Ketika Rania baru membuka pintu utama, sebuah mobil berhenti didepan pagar.
“Ma, itu siapa?” tanya Satria. “Kayaknya tante Sani sama Agil.” Benar saja, saat pintu mobil terbuka, Agil yang dua tahun lebih tua dari Satria langsung berlari mengelilingi komplek. “Agil! Jangan jauh-jauh larinya! Hey, denger ibu gak?” Sani berusaha mengejar tapi kakinya pegal setelah seharian berdiri. Di bank tempatnya bekerja kebetulan sedang ada event awal tahun. “Mbak?” “Ran, kamu baru pulang?” “Iya. Itu Agil...” “Udah biarin aja. Mbak capek banget ngejarnya.” “Pasti aman, mbak. Di depan ada satpam yang jaga. Masuk, mbak.” Rania dan Sani duduk, sementara Satria berlari menuju kamar mandi karena sudah kebelet pipis sejak di taksi setelah pulang dari Day Care. “Gimana hasil pemeriksaannya?” “Baik, mbak.” “Syukur lah. Oh iya ini mbak bawain Green Tea cake kesukaan kamu.” Sani menaruh paper bag diatas meja, “Dari outlet yang simpang lima itu.” “Ya ampun, mbak, repot-repot deh, aku jadi gak enak.” “Gak papa. Mas Arbi tadi wanti-wanti banget jangan sampe aku gak dapet yang rasa Green Tea. Katanya gak akan kamu makan kalo rasa lain.” “Kak Arbi suka berlebihan deh. Aku suka semua rasa kok.” “Mas Arbi kok tahu banget ya kesukaan kamu. Aku jadi iri.” Rani tersenyum, “Ngapain iri sama aku? Kak Arbi pasti tahu lebih banyak soal mbak.” Sani manyun, “Mana ada, Ran. Ipar kamu itu gak tahu apa-apa soal aku, dia juga gak peduli apapun yang terjadi sama aku.” “Oyah?” Rani terkejut karena sikap Arbi padanya begitu manis. Jadi ia pikir sikapnya pada Sani pasti lebih manis lagi. “Iya. Percaya gak percaya nih, waktu aku kepeleset di kamar mandi, dia sama sekali gak khawatir, gak bantu, dan gak ngajakin berobat. Aku harus ngelakuin semuanya sendiri. Apalagi kalo soal Agil, wah dia angkat tangan banget.” “Mungkin kak Arbi capek di kantor. Jadi Manager ‘kan tanggung jawabnya pasti besar, jadi dia gak sempet bantu mbak buat ngasuh Agil.” “Ran, siapa sih yang gak capek ditempat kerja? Alfi juga sibuk di resto karena dia kepala koki. Tapi apa yang terjadi? Dia bisa jadi suami dan ayah yang baikkkk banget buat kalian. Kamu tuh beruntung banget, Ran bisa punya Alfi.” Rani tersenyum kecil. Andai Sani tahu apa ang terjadi pada Alfi, entah ia masih bisa bicara seperti itu atau tidak. “Aku jadi bingung ujian pernikahan kalian apa. Financial oke, soal anak juga oke, kamu punya Satria, kamu juga lagi hamil dan katanya anaknya cewek, kamu gak capek sama sekali karena jadi IRT. Sedangkan aku? Ya kamu liat sendiri deh.” “Percaya deh, mbak, aku pengen kerja kayak mbak, tapi... mas Alfi gak kasih izin.” “Masa? Alfi gak izinin kamu kerja?” Rania mengangguk. “Itu karena dia takut kamu kecapean, Ran. Bagus jadi IRT, kamu cukup mikirin rumah aja.” Rania tersenyum kecut, “Mbak, istirahat dulu ya, aku mau bersih-bersih terus lanjut masak.” “Gak usah masak. Mas Arbi bilang dia udah di jalan dan bakal bawa Gudeg Yogya favorit kamu. Udah kamu bersih-bersih aja. Sana.” Rania mengangguk. Arbi begitu perhatian padanya, tapi ia merasa tidak suka. Terlebih ketika ia mendengar sikap iparnya itu tidak sebaik yang ia pikir pada istrinya. Ketika kembali ke ruang tamu setelah mandi, Alfi pulang. Mendapati ada Arbi disini, membuatnya langsung masuk kamar dan enggan makan malam bersama. “Alfi kenapa? Kalian berantem, mas?” Arbi menggeleng. “Eum... mas Alfi paling kecapean. Kalian makan aja, ya. Satria udah nunggu di meja. Yuk.” Arbi, Sani dan Agil melenggang ke ruang makan. Mereka duduk melingkar. “Kalian makan duluan aja, ya, aku nanti sama mas Alfi.” Sani mengangguk, “Kamu pijitin aja tuh Alfi, kasian.” “Udah gak perlu, Ran. Tangan kamu ‘kan pasti sakit.” Sani melirik Arbi, “Kenapa emangnya sama tangan Rania?” “Tadi pagi gak sengaja kena pisau.” “Oh.” Sani mendadak murung, “Ran, kita makan duluan ya.” “Iya, mbak, silakan. Aku susul mas Alfi dulu ke kemar.” Alfi turun dari tangga, “Gak perlu disusul, sayang. Kak, maaf tapi lebih baik kakak pulang aja.” Semua menatap Alfi termasuk Satria, “Kok papa usir om Arbi?” Alfi hanya melirik Satria sekilas. “Ehm, iya, kita makan di rumah aja.” Arbi bangkit dari kursi, “Ayo.” ajaknya pada Sani dan Agil. Rania mengerti kenapa Alfi bersikap begitu. Meski tidak pantas mengusir kakaknya yang akan makan, ia diam saja. Ia malas ribut dengan suaminya. Alfi berjalan cepat menuju depan rumah. “Mas, duluan aja, aku ke toilet dulu.” Arbi mengangguk. Ia berjalan keluar rumah membawa jasnya. Ia mendekati mobilnya dan berhenti saat berdiri samping Alfi, “Soal pagi tadi, maaf, Fi.” “Gak perlu terlalu sering kesini.” Arbi bergeming. “Tolong hargai aku, kak.” “Fi, tadi kakak cuma—” Rania menyusul keluar membawa dua rantang berisi nasi dan lauk pauk yang dibeli Arbi. Ia tidak enak jika harus memakannya sendiri, padahal yang membelinya adalah Arbi, “Kak, ini Gudeg sama lauk lainnya.” “Gak perlu, Ran, ini buat disini kok.” “Gak papa.” Arbi terpaksa membawa rantang itu, “Makasih ya.” Sani keluar menyeret Agil yang sibuk lari berkeliling rumah, “Mas, aku ikut mobilmu ya. Nanti mobilku aku bawa besok aja.” “Kita bawa mobil masing-masing aja.” Arbi melenggang masuk ke dalam mobilnya. Sani membuang nafas kesal, “Tuh, kamu lihat, Ran, kelakuan ipar kamu. Mbak tiap hari dapet perlakuan kayak gitu dari mas Arbi. Ya udah, mbak sama Agil pulang dulu ya, Fi, Ran.” “Iya, mbak, hati-hati.” Seperginya mobil Arbi dan Sani, Alfi menatap Rania intens, “Kamu seneng liat mereka gak akur?”Rania dan Alfi belum bicara lagi setelah pertanyaan tadi sore diberikan. Rania tentu tak menjawab apapun, ia hanya kebingungan karena ditanya seperti itu. Kini, saat Satria sudah tidur, ia hanya duduk diranjang dengan pikiran yang penuh. Apalagi yang harus ia lakukan untuk mencari bukti tentang penyimpangan suaminya? Kalau foto bisa di edit, berarti bukti penginapan itu juga? Tapi ucapan Alfi saat mengangkat telpon dari Roland tidak bisa dibantah. Suaminya itu ketakutan dan mengatakan jangan sampai ia tahu? “Sayang.” Alfi mendekati ranjang. Sikap Alfi tak berubah seolah tidak ada pertengkaran diantara mereka. Memang tidak ada, tapi ia tahu suaminya marah pada kakaknya karena dirinya. “Aku mau,” Alfi menatap genit, “Tadi kata dokter kita boleh, ‘kan?” Rania menarik nafas sebelum harus pura-pura tersenyum, “Dokter bilang adek bayinya gak boleh kena guncangan.” Alfi menatap kecewa, “Padahal aku pengen banget.”
Setelah mengantarkan Satria sekolah, Rania memiliki waktu untuk kembali bertemu Fira. Sahabatnya itu ada praktik siang di rumah sakit, sehingga mereka bisa bertemu dan ia bisa menjemputnya ke TK tempat Satria belajar. Mobil Fira baru masuk pelataran gedung. “Masuk, Ran.” Rania segera memasuki mobil. Ia tidak mengatakan akan pergi keluar pada Alfi, karena suaminya itu pasti curiga. Suaminya tahu bahwa ia hanyalah ibu rumah tangga yang jarang keluar rumah kecuali untuk urusan belanja dan Satria. Tapi setelah pulang dari Villa, ia berubah jadi sering keluar. “Kenapa lagi? Pagi-pagi kok udah cemberut?” Rania menoleh, “Fir, laki-laki Homoseksual bisa kembali normal ‘kan?” “Bisa, tapi susah. Dia harus punya tekad yang kuat, Ran.” “Ada yang mempengaruhi gak cepat atau lambatnya proses penyembuhannya?” Fira hanya menatap sahabatnya itu sebelum mobilnya belok menuju sebuah kafetaria yang akan mereka tuju, “Ran, lo
“...Jadi apa yang terjadi?” “Mas Alfi... tetangga yang aku ceritain itu gak ada, Fir. Itu sebenernya...” Rania mendongak menatap Fira yang berdiri disamping kursi. Bicaranya terbata karena sebetulnya ia tidak siap memberi tahu siapapun mengenai kondisi suaminya. Fira duduk dengan mata yang terus terpaku pada Rania, “Jangan bilang Alfi... Homoseksual?” Rania tak berani menatap mata Fira lagi. Ia mengangguk lalu menunduk melanjutkan tangisnya. Fira tetap menatap sahabatnya yang hidupnya sudah pasti bukan hanya hancur, tapi juga lebur. Ia tak pernah menyangka akan mendapatkan kabar ini justru disaat ia mengatakan bahwa pernikahan mereka adalah panutan baginya. Tak ada yang bisa Fira katakan lagi. Terlalu banyak pertanyaan yang harus ia ketahui jawabannya, tapi ia yakin Rania pun tidak tahu semua jawaban itu. “Aku... hidup aku... rasanya berhenti waktu tahu semuanya.” isak tangis Rania membuat hati Fira juga nyeri, “Fir,
Rania tak pernah merasakan hidupnya sehancur ini sebelumnya, meski masalah banyak datang di fase kehidupan sebelumnya. Masalahnya selalu bisa diselesaikan setelah ia menangis. Tak seperti sekarang, ia sudah menangis beberapa hari ini tapi tak kunjung mendapatkan solusi harus bagaimana menghadapi semuanya. Setelah bertemu Fira, ia menjemput Satria dari TK dan langsung pulang. Rania tak memiliki hasrat untuk pergi belanja meski kulkasnya sudah tak menyimpan bahan makanan. “...mama gak denger aku ya?” suara cempreng Satria baru terdengar. “Kenapa, sayang? Kamu ngomong apa?” Rania menoleh pada Satria yang sedang memangku robot Transformer kesayangannya. “Aku laper, ma!” Rania melirik jam dinding bergambar Robot di dinding. Sudah jam delapan malam, “Ya ampun, maafin mama ya, sayang. Mama pesenin makan malam di aplikasi aja ya.” “Aku mau Ayam Goreng Tepung.” “Iya, sayang. Mama pesen sekarang ya.” Rania mengambil
Rania melenggang santai menaiki tangga, “Nanti tolong temenin Satria gosok gigi dan bacain dia dongeng, ya, mas.” Alfi tak mendebat ucapan istrinya. Ia mulai membereskan rumah yang dua tahun terakhir selalu rapi dan bersih karena Satria sudah mulai bisa membereskan barang miliknya sendiri. Ia hanya heran dengan perubahan sikap Rania yang tak biasa. Di dalam kamar, Rania sibuk mengatur rencana yang akan ia lakukan mulai dari sekarang. Ia sengaja menguping pembicaraan Alfi dan Arbi tadi. Ia tidak paham awalnya, tapi lama-lama ia mengerti kalau Arbi, kakak iparnya yang selalu perhatian padanya menyukai dirinya dulu. Entah kini, ia juga tidak peduli. “Aku harus bikin mas Alfi cemburu sama kak Arbi. Waktu itu aja dia marah banget karena aku bilang tertarik sama kakaknya. Tapi gimana ya cara bikin kak Arbi terus kesini?” Rania tersenyum senang. Terlintas ide dimana ia tahu bagaimana cara iparnya itu terus datang kesini. “Sayang, aku u
Satria sudah berangkat sekolah bersama papanya. Rumah juga sudah wangi dan rapi. Bahan-bahan masakkan pun sudah lengkap. Alfi yang membereskan semua. Suaminya itu memang cekatan urusan rumah, Rania beruntung. Tapi untuk masalah batin, ia jauh dari kata itu. Pernikahan untuknya adalah hal sakral yang harus terjadi sekali seumur hidup. Tapi jika suaminya menyimpang seperti Alfi, Rania tak masalah sama sekali jika harus bercerai. Tak ada pilihan lain selain berdiri sendiri, karena ia butuh kedamaian. Belum lagi Satria semakin hari semakin besar. Lama-lama sikap Alfi dan Roland pasti akan terlihat. Drttttt~ Rania meraih ponselnya yang tergeletak di atas ranjang. From : Roland Alfi udah cerita ke aku soal kamu yang gak mau terima mainan dari aku buat Satria. Dia juga cerita kamu gak mau aku ketemu sama Satria. Aku gak tahu apa yang ada dipikiran kamu. Tapi sikap begini justru akan bikin Alfi curiga Rania menaruh ke
“Land, bentar, ada panggilan lain masuk.” Rania mematikan sambungan telpon pada Roland dan mengangkat panggilan dari salah satu guru Satria, “Halo, miss?” “Halo, mama Satria, saya mau kasih kabar kalau Satria jatuh dari tangga. Mam bisa ke sekolah sekarang?” Rania menganga kaget, “Ta-tapi Satria gak papa ‘kan, miss?” “Satrianya gak papa, mam, ada luka robekan di dahi dan memar di betisnya.” “Saya kesana sekarang.” Rania kalut sekali, ia tidak bisa berpikir jernih mendengar keadaan Satria, padahal jelas, gurunya barusan mengatakan kalau Satria baik-baik saja. “Aku harus telpon mas Alfi. Enggak-enggak, mas Alfi pasti lagi kerja, hapenya pasti di loker. Terus siapa ya? Kak Arbi? Iya kak Arbi.” Telpon tak langsung diangkat. Selagi menunggu, Rania membawa tas dan memasukkan dompet serta minyak angin ke dalam tasnya. “Halo Kak, Kak bisa dateng ke sekolah Satria gak?” “Aku lagi mau meeting, R
Rania menutup kamar Satria setelah memastikannya sudah terlelap tidur. Ia yang mengira Alfi sudah kembali ke Hotel, sedikit kaget kala mendapati suaminya sedang memperhatikan Agil yang sedang berkeliling rumah memainkan mainan pedangnya. “Mas, kamu gak balik kerja?” “Aku udah izin. Gak papa, ada co asisten kok di dapur.” Rania berjalan memasuki kamarnya yang bersebrangan dengan kamar Satria. Alfi bangkit dari sofa dan menahan Agil yang akan menuruni tangga. “Agil, jangan kemana-mana ya. Mainnya dirumah aja. Semua pintu dikunci, jadi jangan berusaha dibuka, karena nanti berisik dan ganggu Satria yang lagi tidur.” “Oke, om.” “Mainnya pake mainan Agil sendiri ya. Gak boleh mecahin barang dan—Agil!” Tanpa menunggu Alfi selesai bicara, Agil sudah berlari menuruni tangga sambil berteriak kecil. Ia sudah diingatkan dari tadi bahwa tidak boleh berisik karena Satria sedang sakit. Alfi melenggang ke kamar,