Share

Bab 9 - Tak Mengerti

Ketika Rania baru membuka pintu utama, sebuah mobil berhenti didepan pagar.

“Ma, itu siapa?” tanya Satria.

“Kayaknya tante Sani sama Agil.”

Benar saja, saat pintu mobil terbuka, Agil yang dua tahun lebih tua dari Satria langsung berlari mengelilingi komplek.

“Agil! Jangan jauh-jauh larinya! Hey, denger ibu gak?” Sani berusaha mengejar tapi kakinya pegal setelah seharian berdiri. Di bank tempatnya bekerja kebetulan sedang ada event awal tahun.

“Mbak?”

“Ran, kamu baru pulang?”

“Iya. Itu Agil...”

“Udah biarin aja. Mbak capek banget ngejarnya.”

“Pasti aman, mbak. Di depan ada satpam yang jaga. Masuk, mbak.”

Rania dan Sani duduk, sementara Satria berlari menuju kamar mandi karena sudah kebelet pipis sejak di taksi setelah pulang dari Day Care.

“Gimana hasil pemeriksaannya?”

“Baik, mbak.”

“Syukur lah. Oh iya ini mbak bawain Green Tea cake kesukaan kamu.” Sani menaruh paper bag diatas meja, “Dari outlet yang simpang lima itu.”

“Ya ampun, mbak, repot-repot deh, aku jadi gak enak.”

“Gak papa. Mas Arbi tadi wanti-wanti banget jangan sampe aku gak dapet yang rasa Green Tea. Katanya gak akan kamu makan kalo rasa lain.”

“Kak Arbi suka berlebihan deh. Aku suka semua rasa kok.”

“Mas Arbi kok tahu banget ya kesukaan kamu. Aku jadi iri.”

Rani tersenyum, “Ngapain iri sama aku? Kak Arbi pasti tahu lebih banyak soal mbak.”

Sani manyun, “Mana ada, Ran. Ipar kamu itu gak tahu apa-apa soal aku, dia juga gak peduli apapun yang terjadi sama aku.”

“Oyah?” Rani terkejut karena sikap Arbi padanya begitu manis. Jadi ia pikir sikapnya pada Sani pasti lebih manis lagi.

“Iya. Percaya gak percaya nih, waktu aku kepeleset di kamar mandi, dia sama sekali gak khawatir, gak bantu, dan gak ngajakin berobat. Aku harus ngelakuin semuanya sendiri. Apalagi kalo soal Agil, wah dia angkat tangan banget.”

“Mungkin kak Arbi capek di kantor. Jadi Manager ‘kan tanggung jawabnya pasti besar, jadi dia gak sempet bantu mbak buat ngasuh Agil.”

“Ran, siapa sih yang gak capek ditempat kerja? Alfi juga sibuk di resto karena dia kepala koki. Tapi apa yang terjadi? Dia bisa jadi suami dan ayah yang baikkkk banget buat kalian. Kamu tuh beruntung banget, Ran bisa punya Alfi.”

Rani tersenyum kecil. Andai Sani tahu apa ang terjadi pada Alfi, entah ia masih bisa bicara seperti itu atau tidak.

“Aku jadi bingung ujian pernikahan kalian apa. Financial oke, soal anak juga oke, kamu punya Satria, kamu juga lagi hamil dan katanya anaknya cewek, kamu gak capek sama sekali karena jadi IRT. Sedangkan aku? Ya kamu liat sendiri deh.”

“Percaya deh, mbak, aku pengen kerja kayak mbak, tapi... mas Alfi gak kasih izin.”

“Masa? Alfi gak izinin kamu kerja?”

Rania mengangguk.

“Itu karena dia takut kamu kecapean, Ran. Bagus jadi IRT, kamu cukup mikirin rumah aja.”

Rania tersenyum kecut, “Mbak, istirahat dulu ya, aku mau bersih-bersih terus lanjut masak.”

“Gak usah masak. Mas Arbi bilang dia udah di jalan dan bakal bawa Gudeg Yogya favorit kamu. Udah kamu bersih-bersih aja. Sana.”

Rania mengangguk. Arbi begitu perhatian padanya, tapi ia merasa tidak suka. Terlebih ketika ia mendengar sikap iparnya itu tidak sebaik yang ia pikir pada istrinya.

Ketika kembali ke ruang tamu setelah mandi, Alfi pulang. Mendapati ada Arbi disini, membuatnya langsung masuk kamar dan enggan makan malam bersama.

“Alfi kenapa? Kalian berantem, mas?”

Arbi menggeleng.

“Eum... mas Alfi paling kecapean. Kalian makan aja, ya. Satria udah nunggu di meja. Yuk.”

Arbi, Sani dan Agil melenggang ke ruang makan. Mereka duduk melingkar.

“Kalian makan duluan aja, ya, aku nanti sama mas Alfi.”

Sani mengangguk, “Kamu pijitin aja tuh Alfi, kasian.”

“Udah gak perlu, Ran. Tangan kamu ‘kan pasti sakit.”

Sani melirik Arbi, “Kenapa emangnya sama tangan Rania?”

“Tadi pagi gak sengaja kena pisau.”

“Oh.” Sani mendadak murung, “Ran, kita makan duluan ya.”

“Iya, mbak, silakan. Aku susul mas Alfi dulu ke kemar.”

Alfi turun dari tangga, “Gak perlu disusul, sayang. Kak, maaf tapi lebih baik kakak pulang aja.”

Semua menatap Alfi termasuk Satria, “Kok papa usir om Arbi?”

Alfi hanya melirik Satria sekilas.

“Ehm, iya, kita makan di rumah aja.” Arbi bangkit dari kursi, “Ayo.” ajaknya pada Sani dan Agil.

Rania mengerti kenapa Alfi bersikap begitu. Meski tidak pantas mengusir kakaknya yang akan makan, ia diam saja. Ia malas ribut dengan suaminya.

Alfi berjalan cepat menuju depan rumah.

“Mas, duluan aja, aku ke toilet dulu.”

Arbi mengangguk. Ia berjalan keluar rumah membawa jasnya. Ia mendekati mobilnya dan berhenti saat berdiri samping Alfi, “Soal pagi tadi, maaf, Fi.”

“Gak perlu terlalu sering kesini.”

Arbi bergeming.

“Tolong hargai aku, kak.”

“Fi, tadi kakak cuma—”

Rania menyusul keluar membawa dua rantang berisi nasi dan lauk pauk yang dibeli Arbi. Ia tidak enak jika harus memakannya sendiri, padahal yang membelinya adalah Arbi, “Kak, ini Gudeg sama lauk lainnya.”

“Gak perlu, Ran, ini buat disini kok.”

“Gak papa.”

Arbi terpaksa membawa rantang itu, “Makasih ya.”

Sani keluar menyeret Agil yang sibuk lari berkeliling rumah, “Mas, aku ikut mobilmu ya. Nanti mobilku aku bawa besok aja.”

“Kita bawa mobil masing-masing aja.” Arbi melenggang masuk ke dalam mobilnya.

Sani membuang nafas kesal, “Tuh, kamu lihat, Ran, kelakuan ipar kamu. Mbak tiap hari dapet perlakuan kayak gitu dari mas Arbi. Ya udah, mbak sama Agil pulang dulu ya, Fi, Ran.”

“Iya, mbak, hati-hati.”

Seperginya mobil Arbi dan Sani, Alfi menatap Rania intens, “Kamu seneng liat mereka gak akur?”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
si rani kayaknya g punya otak dan hanya punya nafsu aja. klu orang waras pasti g akan mau bolang klu dia tertarik sama kakak iparnya. betul2 wanita tolol tanpa pertimbangan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status