Share

Bab 8 - Sulit untuk Jujur

Rania menarik tangannya dari genggaman Arbi, “Mas? Kenapa? Ada yang ketinggalan ya?” ia menghampiri Alfi yang enggan masuk ke dalam dapur.

“Dompet aku.” air muka Alfi menahan marah.

Rania mengedarkan matanya ke sekeliling, “Ah, ini dia.” Ia membawa dompet itu dan memberikannya pada Alfi, “Ini, mas. Ada yang ketinggalan lagi gak?”

Alfi menggeleng.

“Fi, kakak kesini bawa ganti vas bunga dan mainan Satria yang dirusakkin Agil. Belum semua sih.”

“Aku berangkat, sayang.” Alfi mencium kening dan pipi Rania tanpa menoleh pada Arbi.

Seperginya Alfi, keadaan sedikit menjadi canggung. Rania bisa paham kenapa Alfi bisa marah pada kakaknya. Mungkin ia pun akan begitu jika Sani melakukan itu pada suaminya.

Untungnya Satria turun tangga. Ia menggendong tas ransel yang berisi baju ganti dan mainan kesayangannya, “Om Arbi?”

“Hai, jagoan kecil om.”

Satria salim lalu memeluk tubuh Arbi, “Om mau nginep lagi ya disini?”

“Enggak, om cuma mau kasih ganti vas bunga punya mama sama robot punya Satria yang dirusakkin kak Agil.” Arbi meraih paper bag yang tadi ditaruh di atas meja makan.

“Gak papa, om, mainannya nanti aja. Om anterin aja aku sama mama ke rumah sakit.”

Arbi melirik Rania, “Kamu sakit, Ran?”

Rania menggeleng buru-buru, “Aku mau check up aja kok, kak.”

‘Oh, iya.”

“Yuk, om, anterin, kasian mama kalo naek taksi.”

“Boleh, om sekalian ke kantor ya.”

“Kak, gak perlu kok. Aku sama Satria naek taksi aja.”

“Gak papa, Ran, sekalian. Kamu siap-siap gih.”

Rania mengangguk. Ia segera ke kamar untuk bersiap. Ia tidak tega harus membuat Satria kembali kecewa jika menolak ajakan Arbi. Ia tahu bagaimana anaknya begitu menyukai iparnya itu.

Mobil berhenti didepan gedung rumah sakit. Arbi yang berniat mengantarkan sampai lobi dilarang Rania.

“Kak, makasih ya udah nganterin kesini.”

“Sama-sama, Ran.”

“Oyah, aku minta tolong anterin Satria ke Day Care. Aku udah kabarin penjaga disana kok.”

Arbi mengangguk.

Rania menoleh ke belakang, “Sayang, mama tinggal dulu ya. Nanti begitu urusan mama selesai, mama jemput ke Day Care.”

“Oke.”

Rania mencium kedua pipi Satria gemas, “Dadah.”

“Dadah, mama. Semoga adek bayi sehat terus ya.”

"Iya, sayang."

Rania keluar dari mobil. Ia segera menyusuri gedung rumah sakit setelah mobil Arbi menghilang beradu dengan kendaraan lain. Ia sudah membuat janji temu dengan Fira, berharap sebelum jam praktiknya tiba, mereka masih memiliki waktu untuk berbincang.

Sebelum masuk ke dalam ruangannya, Rania bertemu Fira yang baru kembali setelah membeli kopi.

“Rani, apa kabar?” Fira mencium pipi kanan-kiri Rania.

“Baik, Fir, kamu gimana?”

“Baik juga. Masuk yuk.”

Rania berjalan membuntut dibelakang tubuh Fira. Sudah lama ia tidak kesini. Terakhir ketika Satria masih balita karena ia lelah menghadapi Toilete Training yang dirasa lambat.

“Ada apa?” tembak Fira sekaligus.

“Kamu tuh, baru juga duduk.”

Fira tertawa, “Waktu lo bilang mau ketemu gue disini, gue langsung mikir lo mau ngobrol serius.”

Tebakan yang hebat. Fira jelas tahu kebiasannya. Jika hanya ingin berbincang santai mereka biasanya bertemu di kafe.

“Aku cuma mau tanya-tanya soal kasus suami-istri yang... suaminya ternyata punya penyimpangan, Fir.”

“Penyimpangan apa? Sosial atau... seksual?”

Rania menatap Fira tidak nyaman. Entah keputusannya untuk membicarakan ini dengan sahabatnya sekaligus Psikolog adalah keputusan yang tepat.

“Ran?’

“Seksual, Fir.”

“Siapa emang yang suaminya ternyata punya penyimpangan seksual?”

“Ehm... tetangga aku. Dia cerita katanya curiga suaminya... Homo.”

“Oyah? Kenapa bisa curiga? Ada kecenderungan apa emangnya?”

“Dia pernah liat foto-foto suaminya lagi tidur sama cowok lain.”

Fira diam sejenak, “Sekarang ‘kan zaman AI. Bisa aja itu editan.”

Rania menahan nafasnya, “Bisa ya kayak gitu?”

“Iya lah. Sekarang tuh zaman udah gila, Ran, jangan terlalu percaya sama foto-foto.”

Rania duduk menyender. Ucapan Fira bisa dibilang membuatnya sedikit tenang. Roland mungkin kesal pada Alfi karena mereka bertengkar dan menyebarkan berita bohong itu padanya agar ia membenci suaminya? Itu bisa terjadi ‘kan?

“Tapi cowok Homoseksual punya polanya.”

Rania duduk tegap menatap Fira, “Polanya gimana, Fir?”

“Biasanya dia akan menikah untuk menutupi penyimpangannya, dia lembut, baik, bertanggung jawab, seolah dia emang suami yang baik. Tapi dibalik itu semua, ya itu cuma kamuflase aja buat nutupin penyakitnya.”

“Terus ada lagi gak?”

“Sering kontak mata dengan cowok lagi, contohnya. Ya lo pasti bisa bedain lah, terus biasanya dia sangat memperhatikan penampilannya banget. Rapi, necis, clean dan wangi.”

“Tapi ‘kan ciri yang pakaian rapi dan wangi bisa di alami cowok normal, Fir.”

“Iya. Emang gak gampang buat mengidentifikasi mereka Homoseksual, Ran. Makannya tadi gue banyak tanya, karena untuk mengatakan dia kena penyimpangan harus melalui proses panjang. Lo pernah denger ‘kan dulu waktu kuliah ada yang namanya Skala Kinsey? Nah, kita bisa tahu lewat sana. Kita juga bisa lakuin wawancara mendalam, atau tes Rorschach.”

“Semua ‘kan harus sesuai mau dan kesadaran klien.”

“Ya iya lah.”

“Selain tiga cara itu gak ada cari lain ya, Fir?”

“Ada. Satu cara yang paling penting. Dia mau ngaku sendiri kalau dia emang Homo.”

Rania membuang nafas lesu. Dengan cara itu mana mungkin Alfi akan mengakui kalau dirinya Gay ‘kan?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status