“Jawab!” teriak Alfi kencang.
Rania menutup matanya takut. “Jawab, Ran!” Rania terperanjata kaget. Ia bangun dari ranjang menghindari amarah Alfi yang baru ia lihat selama enam tahun pernikahannya, “Mas,” Alfi mundur. Ia baru menyadari suaranya begitu kencang. “Mamaaaa.” Satria masuk ke dalam kamar menggenggam Burger yang masih tersisa. Ia mendekap mamanya ketakutan. “Sayang, maaf.” Alfi memandang istrinya merasa bersalah. Rania tak menjawab, ia memeluk tubuh mungil Satria erat dan membawanya keluar kamar. Setelah berhasil keluar dari kamar utama, Rania membawa Burger digenggaman tangan Satria, “Sayang, makannya udah ya. Kamu gosok gigi, dan mama siapin buku bacaan kita malam ini.” Satria mengangguk, “Iya, ma.” Anak sulungnya itu berjalan memasuki kamar mandi. Terdengar suara kucuran air di westafel yang membuat Rania sedikit tenang karena Satria tidak menanyakan kenapa papanya bisa marah. Kini ia terduduk di tepian ranjang Satria menutup wajahnya. “Besok aku harus ketemu Fira. Aku gak bisa tahan semuanya lagi.” Setelah membacakan dongeng untuk Satria, Rania masih duduk disini. Ia menatap jalanan dari kaca jendela kamar Satria. Suara pekikkan Alfi tadi begitu membuatnya takut. Tidak pernah ia diteriakki seperti itu sebelumnya. “Apa kamu juga suka teriak kayak tadi sama Roland?” Rania membuang nafas pelan. Ia tak sabar segera pagi agar bisa bertemu Fira, sahabatnya yang menjadi Psikolog Klinis Dewasa disebuah Rumah Sakit. Malam berlalu, Rania berusaha bersikap biasa pada Alfi didepan Satria. Mereka tengah sarapan bersama di meja makan. “Tambah lagi, mas?” Rania menawari. Ia melirik piring suaminya nyaris kosong. “Boleh, sayang.” Alfi mengangkat piring agar memudahkan Rania memberikan tambahan Nasi Goreng, “Makasih, sayang.” “Satria tambah lagi?” Satria menggeleng, “Ma, kita hari ini main yuk ke Time Zone.” Rania diam sejenak, “Hmmm, mama mau ke rumah sakit, sayang.” “Kamu kenapa?” tanya Alfi datar. “Perutku beberapa hari ini agak kenceng, jadi... aku mau periksa.” “Tapi aku masuk pagi, sayang.” “Gak papa, aku bisa sendiri kok.” “Terus aku gimana?” Rania melirik Satria, “Hari ini Satria main di Day Care dulu, gak papa ya?” “Yaaaah.” Satria cemberut kecewa. Alfi mengusap kepala Satria lembut, “Hey, jangan gitu. Mama ke rumah sakit ‘kan mau periksa adek di dalem kandungan.” “Tetep aja aku sedih.” “Gini aja, dari pada kamu maen di Day Care, kamu maen sama om Roland aja mau gak?” “Mauuuu!” teriak Satria kegirangan. Rania melotot, “Enggak! Gak boleh!” Alfi dan Satria melirik Rania. “Ehm, maksud mama, sayang, om Roland ‘kan kerja, jangan diganggu ya. Udah kamu maen di Day Care aja. Nanti mama kasih hadiah coklat.” Rania mati-matian membuat Satria untuk tidak bermain dengan Roland. Mana mungkin ia membiarkan itu. “Beneran? Oke deh, Satria mau.” Rania membuang nafas lega. Untungnya dengan cepat ia bisa menemukan ide mengenai pemberian hadiah coklat untuk Satria. “Oke, sekarang ambil mainan kamu seperlunya ya, di kamar.” “Oke, ma.” Satria bangkit dari kursi makan dan berlari menaiki tangga. Alfi menatap Rania yang sudah selesai makan, “Sayang, kenapa Satria gak boleh main sama Roland?” “Mas, kasian Roland. Tiap kali mereka ketemu, Satria pasti aja bawa oleh-oleh mainan yang banyak.” “Ya gak papa dong, Roland ‘kan om nya Satria.” “Iya, aku ngerti Roland mau kasih banyak hadiah buat keponakannya. Tapi itu gak baik buat Satria, mas. Nanti setiap apa-apa diturutin, mau jadi apa gedenya?” Alfi bergeming. “Ya udah kamu berangkat gih, nanti telat lagi sampenya." Alfi tak kunjung bangkit dari kursi, padahal Rania sudah membereskan piring dan gelas kotor. Ia malah terus melirik istrinya yang tampak dingin pagi ini, “Sayang, soal malem—” “Iya, mas, gak papa. Tapi aku mohon untuk gak ngelakuin itu lagi, apalagi ada Satria. Dia malem takut banget loh sama kamu.” Alfi bangkit dari kursi, ia mencium pucuk kepala istrinya, “Aku sayang kamu.” Rania diam saja. “Kamu gak sayang sama aku?” Rania tersenyum kaku, “Aku juga sayang sama kamu. Gih, kamu berangkat.” “Satria—” “Udah gak papa. Gih.” Karena sudah terlambat, Alfi langsung pergi. Rania pun diam saja. Ia yang biasa mengantarkan Alfi ke depan kini lebih memilih untuk mengatur emosinya sebaik mungkin sebelum kembali berperang mencari tahu mengenai apapun tentang penyimpangan suaminya. Untungnya Alfi pun tidak bertanya kenapa ia tidak ikut ke depan. Sebelum ke rumah sakit, ia menyiapkan buah potong untuk bekal Satria. Rania mengambil Apel dan memotongnya kecil-kecil. Ting-Nong “Siapa tamu yang dateng sepagi ini?” gumam Rania, “Masuk!” teriaknya kencang karena malas harus mengecek pintu. Suara sepatu khas mendekati dapur. Rania menoleh, mengabaikan pisau yang terus memotong Apel, “Siapa?” “Pagi, Ran, maaf ya ganggu pagi-pagi gini.” Arbi berdiri di ujung dapur. “Iya gak—aw!” Rania refleks melempar pisau yang melukai jarinya. “Ran!” Arbi berlari mendekati Rania, “Mana tangannya? Sini-sini kakak obatin.” “Aw, perih.” Rania meringis kesakitan berusaha mengobati tangannya sendiri dengan menarik tisu dapur dan menutup jarinya yang tergores. “Sakit banget ya?” Arbi membawa tangan Rania dan meniupnya. Ia menatap Rania super khawatir, “Lain kali hati-hati ya. Duh, ini lukanya agak lebar lagi.” “Kak, gak papa, kok, barusan aku cuma kaget.” Arbi tak mengindahkan ucapan Rania. Ia terus meniup luka itu, membuat Rania membatin kenapa iparnya ini begitu mengkhawatirkan dirinya, padahal hanya luka sekecil itu saja. Apa ia juga selalu seperti ini pada istrinya? Suara pintu paviliun yang terbuka terdengar di dorong lebih lebar, “Sayang, dompet aku ketinggalan. Ada di dapur—” Rania dan Arbi otomatis melirik ke arah ujung dapur. Alfi yang hendak masuk ke dalam dapur berdiri terpaku melihat tangan istrinya digenggam Arbi, “Kalian—ngapain?”Rania menarik tangannya dari genggaman Arbi, “Mas? Kenapa? Ada yang ketinggalan ya?” ia menghampiri Alfi yang enggan masuk ke dalam dapur. “Dompet aku.” air muka Alfi menahan marah. Rania mengedarkan matanya ke sekeliling, “Ah, ini dia.” Ia membawa dompet itu dan memberikannya pada Alfi, “Ini, mas. Ada yang ketinggalan lagi gak?” Alfi menggeleng. “Fi, kakak kesini bawa ganti vas bunga dan mainan Satria yang dirusakkin Agil. Belum semua sih.” “Aku berangkat, sayang.” Alfi mencium kening dan pipi Rania tanpa menoleh pada Arbi. Seperginya Alfi, keadaan sedikit menjadi canggung. Rania bisa paham kenapa Alfi bisa marah pada kakaknya. Mungkin ia pun akan begitu jika Sani melakukan itu pada suaminya. Untungnya Satria turun tangga. Ia menggendong tas ransel yang berisi baju ganti dan mainan kesayangannya, “Om Arbi?” “Hai, jagoan kecil om.” Satria salim lalu memeluk tubuh Arbi, “Om mau nginep
Ketika Rania baru membuka pintu utama, sebuah mobil berhenti didepan pagar. “Ma, itu siapa?” tanya Satria. “Kayaknya tante Sani sama Agil.” Benar saja, saat pintu mobil terbuka, Agil yang dua tahun lebih tua dari Satria langsung berlari mengelilingi komplek. “Agil! Jangan jauh-jauh larinya! Hey, denger ibu gak?” Sani berusaha mengejar tapi kakinya pegal setelah seharian berdiri. Di bank tempatnya bekerja kebetulan sedang ada event awal tahun. “Mbak?” “Ran, kamu baru pulang?” “Iya. Itu Agil...” “Udah biarin aja. Mbak capek banget ngejarnya.” “Pasti aman, mbak. Di depan ada satpam yang jaga. Masuk, mbak.” Rania dan Sani duduk, sementara Satria berlari menuju kamar mandi karena sudah kebelet pipis sejak di taksi setelah pulang dari Day Care. “Gimana hasil pemeriksaannya?” “Baik, mbak.” “Syukur lah. Oh iya ini mbak bawain Green Tea cake kesukaa
Rania dan Alfi belum bicara lagi setelah pertanyaan tadi sore diberikan. Rania tentu tak menjawab apapun, ia hanya kebingungan karena ditanya seperti itu. Kini, saat Satria sudah tidur, ia hanya duduk diranjang dengan pikiran yang penuh. Apalagi yang harus ia lakukan untuk mencari bukti tentang penyimpangan suaminya? Kalau foto bisa di edit, berarti bukti penginapan itu juga? Tapi ucapan Alfi saat mengangkat telpon dari Roland tidak bisa dibantah. Suaminya itu ketakutan dan mengatakan jangan sampai ia tahu? “Sayang.” Alfi mendekati ranjang. Sikap Alfi tak berubah seolah tidak ada pertengkaran diantara mereka. Memang tidak ada, tapi ia tahu suaminya marah pada kakaknya karena dirinya. “Aku mau,” Alfi menatap genit, “Tadi kata dokter kita boleh, ‘kan?” Rania menarik nafas sebelum harus pura-pura tersenyum, “Dokter bilang adek bayinya gak boleh kena guncangan.” Alfi menatap kecewa, “Padahal aku pengen banget.”
Setelah mengantarkan Satria sekolah, Rania memiliki waktu untuk kembali bertemu Fira. Sahabatnya itu ada praktik siang di rumah sakit, sehingga mereka bisa bertemu dan ia bisa menjemputnya ke TK tempat Satria belajar. Mobil Fira baru masuk pelataran gedung. “Masuk, Ran.” Rania segera memasuki mobil. Ia tidak mengatakan akan pergi keluar pada Alfi, karena suaminya itu pasti curiga. Suaminya tahu bahwa ia hanyalah ibu rumah tangga yang jarang keluar rumah kecuali untuk urusan belanja dan Satria. Tapi setelah pulang dari Villa, ia berubah jadi sering keluar. “Kenapa lagi? Pagi-pagi kok udah cemberut?” Rania menoleh, “Fir, laki-laki Homoseksual bisa kembali normal ‘kan?” “Bisa, tapi susah. Dia harus punya tekad yang kuat, Ran.” “Ada yang mempengaruhi gak cepat atau lambatnya proses penyembuhannya?” Fira hanya menatap sahabatnya itu sebelum mobilnya belok menuju sebuah kafetaria yang akan mereka tuju, “Ran, lo
“...Jadi apa yang terjadi?” “Mas Alfi... tetangga yang aku ceritain itu gak ada, Fir. Itu sebenernya...” Rania mendongak menatap Fira yang berdiri disamping kursi. Bicaranya terbata karena sebetulnya ia tidak siap memberi tahu siapapun mengenai kondisi suaminya. Fira duduk dengan mata yang terus terpaku pada Rania, “Jangan bilang Alfi... Homoseksual?” Rania tak berani menatap mata Fira lagi. Ia mengangguk lalu menunduk melanjutkan tangisnya. Fira tetap menatap sahabatnya yang hidupnya sudah pasti bukan hanya hancur, tapi juga lebur. Ia tak pernah menyangka akan mendapatkan kabar ini justru disaat ia mengatakan bahwa pernikahan mereka adalah panutan baginya. Tak ada yang bisa Fira katakan lagi. Terlalu banyak pertanyaan yang harus ia ketahui jawabannya, tapi ia yakin Rania pun tidak tahu semua jawaban itu. “Aku... hidup aku... rasanya berhenti waktu tahu semuanya.” isak tangis Rania membuat hati Fira juga nyeri, “Fir,
Rania tak pernah merasakan hidupnya sehancur ini sebelumnya, meski masalah banyak datang di fase kehidupan sebelumnya. Masalahnya selalu bisa diselesaikan setelah ia menangis. Tak seperti sekarang, ia sudah menangis beberapa hari ini tapi tak kunjung mendapatkan solusi harus bagaimana menghadapi semuanya. Setelah bertemu Fira, ia menjemput Satria dari TK dan langsung pulang. Rania tak memiliki hasrat untuk pergi belanja meski kulkasnya sudah tak menyimpan bahan makanan. “...mama gak denger aku ya?” suara cempreng Satria baru terdengar. “Kenapa, sayang? Kamu ngomong apa?” Rania menoleh pada Satria yang sedang memangku robot Transformer kesayangannya. “Aku laper, ma!” Rania melirik jam dinding bergambar Robot di dinding. Sudah jam delapan malam, “Ya ampun, maafin mama ya, sayang. Mama pesenin makan malam di aplikasi aja ya.” “Aku mau Ayam Goreng Tepung.” “Iya, sayang. Mama pesen sekarang ya.” Rania mengambil
Rania melenggang santai menaiki tangga, “Nanti tolong temenin Satria gosok gigi dan bacain dia dongeng, ya, mas.” Alfi tak mendebat ucapan istrinya. Ia mulai membereskan rumah yang dua tahun terakhir selalu rapi dan bersih karena Satria sudah mulai bisa membereskan barang miliknya sendiri. Ia hanya heran dengan perubahan sikap Rania yang tak biasa. Di dalam kamar, Rania sibuk mengatur rencana yang akan ia lakukan mulai dari sekarang. Ia sengaja menguping pembicaraan Alfi dan Arbi tadi. Ia tidak paham awalnya, tapi lama-lama ia mengerti kalau Arbi, kakak iparnya yang selalu perhatian padanya menyukai dirinya dulu. Entah kini, ia juga tidak peduli. “Aku harus bikin mas Alfi cemburu sama kak Arbi. Waktu itu aja dia marah banget karena aku bilang tertarik sama kakaknya. Tapi gimana ya cara bikin kak Arbi terus kesini?” Rania tersenyum senang. Terlintas ide dimana ia tahu bagaimana cara iparnya itu terus datang kesini. “Sayang, aku u
Satria sudah berangkat sekolah bersama papanya. Rumah juga sudah wangi dan rapi. Bahan-bahan masakkan pun sudah lengkap. Alfi yang membereskan semua. Suaminya itu memang cekatan urusan rumah, Rania beruntung. Tapi untuk masalah batin, ia jauh dari kata itu. Pernikahan untuknya adalah hal sakral yang harus terjadi sekali seumur hidup. Tapi jika suaminya menyimpang seperti Alfi, Rania tak masalah sama sekali jika harus bercerai. Tak ada pilihan lain selain berdiri sendiri, karena ia butuh kedamaian. Belum lagi Satria semakin hari semakin besar. Lama-lama sikap Alfi dan Roland pasti akan terlihat. Drttttt~ Rania meraih ponselnya yang tergeletak di atas ranjang. From : Roland Alfi udah cerita ke aku soal kamu yang gak mau terima mainan dari aku buat Satria. Dia juga cerita kamu gak mau aku ketemu sama Satria. Aku gak tahu apa yang ada dipikiran kamu. Tapi sikap begini justru akan bikin Alfi curiga Rania menaruh ke