Share

Bab 7 - Perhatian Kecil Arbi

“Jawab!” teriak Alfi kencang.

Rania menutup matanya takut.

“Jawab, Ran!”

Rania terperanjata kaget. Ia bangun dari ranjang menghindari amarah Alfi yang baru ia lihat selama enam tahun pernikahannya, “Mas,”

Alfi mundur. Ia baru menyadari suaranya begitu kencang.

“Mamaaaa.” Satria masuk ke dalam kamar menggenggam Burger yang masih tersisa. Ia mendekap mamanya ketakutan.

“Sayang, maaf.” Alfi memandang istrinya merasa bersalah.

Rania tak menjawab, ia memeluk tubuh mungil Satria erat dan membawanya keluar kamar.

Setelah berhasil keluar dari kamar utama, Rania membawa Burger digenggaman tangan Satria, “Sayang, makannya udah ya. Kamu gosok gigi, dan mama siapin buku bacaan kita malam ini.”

Satria mengangguk, “Iya, ma.”

Anak sulungnya itu berjalan memasuki kamar mandi. Terdengar suara kucuran air di westafel yang membuat Rania sedikit tenang karena Satria tidak menanyakan kenapa papanya bisa marah. Kini ia terduduk di tepian ranjang Satria menutup wajahnya.

“Besok aku harus ketemu Fira. Aku gak bisa tahan semuanya lagi.”

Setelah membacakan dongeng untuk Satria, Rania masih duduk disini. Ia menatap jalanan dari kaca jendela kamar Satria. Suara pekikkan Alfi tadi begitu membuatnya takut. Tidak pernah ia diteriakki seperti itu sebelumnya.

“Apa kamu juga suka teriak kayak tadi sama Roland?”

Rania membuang nafas pelan. Ia tak sabar segera pagi agar bisa bertemu Fira, sahabatnya yang menjadi Psikolog Klinis Dewasa disebuah Rumah Sakit.

Malam berlalu, Rania berusaha bersikap biasa pada Alfi didepan Satria. Mereka tengah sarapan bersama di meja makan.

“Tambah lagi, mas?” Rania menawari. Ia melirik piring suaminya nyaris kosong.

“Boleh, sayang.” Alfi mengangkat piring agar memudahkan Rania memberikan tambahan Nasi Goreng, “Makasih, sayang.”

“Satria tambah lagi?”

Satria menggeleng, “Ma, kita hari ini main yuk ke Time Zone.”

Rania diam sejenak, “Hmmm, mama mau ke rumah sakit, sayang.”

“Kamu kenapa?” tanya Alfi datar.

“Perutku beberapa hari ini agak kenceng, jadi... aku mau periksa.”

“Tapi aku masuk pagi, sayang.”

“Gak papa, aku bisa sendiri kok.”

“Terus aku gimana?”

Rania melirik Satria, “Hari ini Satria main di Day Care dulu, gak papa ya?”

“Yaaaah.” Satria cemberut kecewa.

Alfi mengusap kepala Satria lembut, “Hey, jangan gitu. Mama ke rumah sakit ‘kan mau periksa adek di dalem kandungan.”

“Tetep aja aku sedih.”

“Gini aja, dari pada kamu maen di Day Care, kamu maen sama om Roland aja mau gak?”

“Mauuuu!” teriak Satria kegirangan.

Rania melotot, “Enggak! Gak boleh!”

Alfi dan Satria melirik Rania.

“Ehm, maksud mama, sayang, om Roland ‘kan kerja, jangan diganggu ya. Udah kamu maen di Day Care aja. Nanti mama kasih hadiah coklat.” Rania mati-matian membuat Satria untuk tidak bermain dengan Roland. Mana mungkin ia membiarkan itu.

“Beneran? Oke deh, Satria mau.”

Rania membuang nafas lega. Untungnya dengan cepat ia bisa menemukan ide mengenai pemberian hadiah coklat untuk Satria.

“Oke, sekarang ambil mainan kamu seperlunya ya, di kamar.”

“Oke, ma.” Satria bangkit dari kursi makan dan berlari menaiki tangga.

Alfi menatap Rania yang sudah selesai makan, “Sayang, kenapa Satria gak boleh main sama Roland?”

“Mas, kasian Roland. Tiap kali mereka ketemu, Satria pasti aja bawa oleh-oleh mainan yang banyak.”

“Ya gak papa dong, Roland ‘kan om nya Satria.”

“Iya, aku ngerti Roland mau kasih banyak hadiah buat keponakannya. Tapi itu gak baik buat Satria, mas. Nanti setiap apa-apa diturutin, mau jadi apa gedenya?”

Alfi bergeming.

“Ya udah kamu berangkat gih, nanti telat lagi sampenya."

Alfi tak kunjung bangkit dari kursi, padahal Rania sudah membereskan piring dan gelas kotor. Ia malah terus melirik istrinya yang tampak dingin pagi ini, “Sayang, soal malem—”

“Iya, mas, gak papa. Tapi aku mohon untuk gak ngelakuin itu lagi, apalagi ada Satria. Dia malem takut banget loh sama kamu.”

Alfi bangkit dari kursi, ia mencium pucuk kepala istrinya, “Aku sayang kamu.”

Rania diam saja.

“Kamu gak sayang sama aku?”

Rania tersenyum kaku, “Aku juga sayang sama kamu. Gih, kamu berangkat.”

“Satria—”

“Udah gak papa. Gih.”

Karena sudah terlambat, Alfi langsung pergi.

Rania pun diam saja. Ia yang biasa mengantarkan Alfi ke depan kini lebih memilih untuk mengatur emosinya sebaik mungkin sebelum kembali berperang mencari tahu mengenai apapun tentang penyimpangan suaminya. Untungnya Alfi pun tidak bertanya kenapa ia tidak ikut ke depan.

Sebelum ke rumah sakit, ia menyiapkan buah potong untuk bekal Satria. Rania mengambil Apel dan memotongnya kecil-kecil.

Ting-Nong

“Siapa tamu yang dateng sepagi ini?” gumam Rania, “Masuk!” teriaknya kencang karena malas harus mengecek pintu.

Suara sepatu khas mendekati dapur. Rania menoleh, mengabaikan pisau yang terus memotong Apel, “Siapa?”

“Pagi, Ran, maaf ya ganggu pagi-pagi gini.” Arbi berdiri di ujung dapur.

“Iya gak—aw!” Rania refleks melempar pisau yang melukai jarinya.

“Ran!” Arbi berlari mendekati Rania, “Mana tangannya? Sini-sini kakak obatin.”

“Aw, perih.” Rania meringis kesakitan berusaha mengobati tangannya sendiri dengan menarik tisu dapur dan menutup jarinya yang tergores.

“Sakit banget ya?” Arbi membawa tangan Rania dan meniupnya. Ia menatap Rania super khawatir, “Lain kali hati-hati ya. Duh, ini lukanya agak lebar lagi.”

“Kak, gak papa, kok, barusan aku cuma kaget.”

Arbi tak mengindahkan ucapan Rania. Ia terus meniup luka itu, membuat Rania membatin kenapa iparnya ini begitu mengkhawatirkan dirinya, padahal hanya luka sekecil itu saja. Apa ia juga selalu seperti ini pada istrinya?

Suara pintu paviliun yang terbuka terdengar di dorong lebih lebar, “Sayang, dompet aku ketinggalan. Ada di dapur—”

Rania dan Arbi otomatis melirik ke arah ujung dapur.

Alfi yang hendak masuk ke dalam dapur berdiri terpaku melihat tangan istrinya digenggam Arbi, “Kalian—ngapain?”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
kau kebanyakan drama nyet. klu pun kau jadi psikolog pasti gagal.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status