“Kakak tahu kok siapa orangnya. Aku justru gak tahu, apa kak Arbi tahu kalau mas Alfi.... berbeda?”
Arbi tak menjawab. Ia malah menatap Rania datar. Rania tertawa, “Enggak, aku bercanda. Aku ke kamar dulu ya, kak. Soal barang-barang yang dipecahin Agil, gak papa, gak perlu diganti. Permisi, kak.” Arbi membuang nafasnya pelan setelah Rania pergi. Ia kembali mengambil kopernya dan turun ke lantai satu untuk berpamitan pada Alfi dan Satria. “Fi, kakak pulang dulu ya. Makasih udah izinin mbak Sani sama Agil liburan disini.” “Santai, kak. Merekanya mana? Kok gak disuruh masuk?” “Biasa lah, Agil langsung keliling komplek waktu keluar dari mobil. Mbak Sani lagi kejar.” Alfi manggut-manggut, “Satria salim dulu sama, om.” Satria yang sedang makan sosis panggang berdiri dari kursi makan dan mengulurkan tangannya, “Selamat jalan, om. Hati-hati di jalan ya.” Arbi tersenyum dan mengacak-acak rambutnya, “Makasih, ya. Oyah, mobil-mobilan yang dirusakin sama kak Agil, nanti om ganti.” Satria mengangguk semangat, “Makasih banyak ya, om.” “Kak, gak usah lah, gak papa. Nanti aku aja yang beliin yang baru buat Satria.” “Gak papa. Agil juga udah pecahin banyak barang dirumah ini. Nanti paling barangnya di paketin aja.” “Udah aku bilang gak usah.” “Gak bisa gitu, Fi, gak papa kok bakal tetep kakak ganti.. Kakak pulang ya. Tadi kakak juga udah pamitan sama Rania.” “Oh iya, kak.” Alfi berdiri dan memeluk Arbi, “Hati-hati di jalan. Sering-sering main kesini.” “Iya. Satria, om pulang dulu ya.” “Iya, om, dadah.” Satria melambaikan tangannya dengan riang. “Dadah.” “Ayo, aku anterin ke depan.” Arbi mendorong tubuh Alfi, “Udah gak usah. Mending kamu temenin Rania aja tuh. Kayaknya dia gak enak perut lagi. Wajahnya agak pucet.” Alfi menatap ke arah tangga. “Aku tutup pintunya ya.” “Iya, kak.” Seperginya Arbi, Alfi kembali duduk, “Sayang, berani gak disini sendiri?” “Papa mau kemana?” “Papa mau ke kamar dulu, ngobrol sama mama sebentar. Nanti selagi papa ke kamar dan balik lagi kesini, Satria harus udah selesai makannya ya. Habis itu kita gosok gigi dan baca buku sebelum tidur. Oke?” “Oke.” “Toss dulu dong.” Mereka ber-tos ria. Alfi bangkit dari kursi dan berjalan cepat ke arah kamar. Ia membuka pintu kamarnya yang tertutup rapat, “Sayang, masih mual?” Rania yang sudah meringkuk di ranjang menggeleng, “Satria mana?” “Masih makan.” Alfi menghampiri Rania ke ranjang. Ia duduk ditepiannya dan menggenggam tangan Rania, “Kamu agak pucet, sayang.” Rania menggangguk. “Kehamilan sekarang terasa lebih berat dari hamil Satria ya?” Rania mengangguk lagi, “Kehamilan sekarang berat banget, mas. Karena ada hal beda yang aku rasain.” “Apa?” Rania tersenyum, “Aku banyak denger soal kasus perselingkuhan.” “Sayang, itu kamu terlalu banyak nonton acara gosip. Kamu gak usah lah ngikutin berita selebriti lagi. Mending kamu tuh ngabisin waktu buat hobi kamu buat merajut. Lebih bermanfaat buat anak kita nanti.” Rania menggeleng, “Kasus perselingkuhan yang aku denger bukan soal selebriti, mas, tapi dari orang terdekat aku.” “Siapa?” “Ya ada lah, kamu gak akan kenal.” “Aku ngerasa kamu sekarang-sekarang banyak nyimpen rahasia ya dari aku.” “Oyah?” Alfi diam. “Bukannya kamu ya yang nyimpen rahasia dari aku?” “Rahasia apa? Aku gak pernah nyimpen rahasia dari kamu.” Rania tersenyum, “Yakin?" “Iya lah, sayang. Apa coba rahasia aku?” “Ya namanya rahasia, berarti aku gak tahu ‘kan, mas.” Alfi menggeleng, “Aku gak pernah nyimpen rahasia apapun dari kamu, sayang.” “Oke, aku percaya. Oyah, soal perselingkuhan. Aku boleh tanya sesuatu sama kamu?” “Dengan senang hati. Kamu mau tanya apa, sayang?” Rania yang semula sedang tiduran, bangkit dan terduduk tegap diranjang. Tangannya yang digenggam Alfi, balik menggenggam tangan suaminya, “Definisi selingkuh itu ‘kan tindakan tidak jujur yang dilakukan seseorang terhadap pasangannya, baik pacar, suami, atau istri. Pertanyaan aku, apa kamu pernah tertarik sama orang lain selain aku?” Alfi tak menjawab. “Kok gak di jawab?” “Pertanyaan apa sih itu, sayang. Gak aku gak akan jawab.” “Berarti pernah?” “Sayang—” “Kalo enggak, kamu gak akan menghindar loh.” Alfi tertawa, “Aku lupa kamu calon Psikolog kalo aja aku gak ngajak kamu nikah cepet dulu.” “Jadi jawabannya?” cecar Rania. Ia tidak akan membiarkan Alfi tidak menjawab tanyanya. “Gini aja, sebelum aku jawab, kita bikin perjanjian dulu.” “Oke, apa?” “Aku bakal jawab kalo kamu juga ikutan jawab.” Rania diam sejenak lalu mengangguk yakin, “Oke, setuju.” Alfi menatap kedua irish mata Rania yang berwarna coklat, lalu melirik hidung mancung dan bibirnya yang tipis. Wajah Rania yang cantik dan ayu sebagai perempuan Sunda blasteran Spanyol membuatnya selalu terbius ketika hanya menatapnya saja, “Aku... jatuh cinta sama kamu.” Rania yang sudah menahan nafas menunggu jawaban Alfi menggebug suaminya itu kesal, “Mas, itu bukan jawaban!” “Hahaha, maaf, sayang. Oke aku jawab serius.” Alfi kembali menatap Rania, “Aku... pernah tertarik sama perempuan lain.” Rania kiceup mendengar jawaban Alfi, “Pe-perempuan lain?” “Iya lah, aku pasti tertarik sama perempuan lain. Masa tertariknya sama laki-laki. Kamu gimana sih.” “Mmm, bukannya ada kemungkinan seseorang, contohnya laki-laki yang tertarik juga sama laki-laki?” Alfi melepaskan genggaman tangannya dari Rania, “Mana ada yang begitu.” Rania tersenyum diam-diam. Ternyata Alfi merasa pertanyaan yang diajukannya barusan membuatnya terpojok. Ia suka cara ini, “Itu ‘kan misalnya, mas. Di berita banyak kok kasus Homoseksual. Temen-temen aku yang Psikolog juga bilang mereka banyak menangani kasus itu.” “Udah, sekarang giliran kamu yang jawab. Kamu sebagai istri apa pernah tertarik sama laki-laki lain?” tanya Alfi tak sabar. Ia sengaja mengalihkan topik agar tak terus mendapat cecaran. Rania mengangguk, “Pernah, mas. Sesempurna apapun kamu, kamu pasti punya kekurangan. Dan aku tertarik sama orang ini karena aku ngerasa dia... bisa menutupi ketidak sempurnaan kamu.” “Kamu... ngomongin siapa, sayang? Siapa orang yang kamu maksud?” Rania menatap Alfi tepat di korneanya, “Kak Arbi. Aku pernah tertarik sama dia, mas.” Alfi berdiri sekaligus. Ia berkacak pinggang dan membuang mukanya dengan kesal. “Mas, itu ‘kan dulu. Sekarang... enggak. Mana mungkin aku masih tertarik sama kak Arbi.” Alfi menatap Rania, “Apa kak Arbi tahu kamu suka sama dia?”“Jawab!” teriak Alfi kencang. Rania menutup matanya takut. “Jawab, Ran!” Rania terperanjata kaget. Ia bangun dari ranjang menghindari amarah Alfi yang baru ia lihat selama enam tahun pernikahannya, “Mas,” Alfi mundur. Ia baru menyadari suaranya begitu kencang. “Mamaaaa.” Satria masuk ke dalam kamar menggenggam Burger yang masih tersisa. Ia mendekap mamanya ketakutan. “Sayang, maaf.” Alfi memandang istrinya merasa bersalah. Rania tak menjawab, ia memeluk tubuh mungil Satria erat dan membawanya keluar kamar. Setelah berhasil keluar dari kamar utama, Rania membawa Burger digenggaman tangan Satria, “Sayang, makannya udah ya. Kamu gosok gigi, dan mama siapin buku bacaan kita malam ini.” Satria mengangguk, “Iya, ma.” Anak sulungnya itu berjalan memasuki kamar mandi. Terdengar suara kucuran air di westafel yang membuat Rania sedikit tenang karena Satria tidak menanyakan kenapa papanya bisa marah. Kini ia terduduk di tepian ranjang Satria menutup wajahnya. “Besok aku ha
Rania menarik tangannya dari genggaman Arbi, “Mas? Kenapa? Ada yang ketinggalan ya?” ia menghampiri Alfi yang enggan masuk ke dalam dapur. “Dompet aku.” air muka Alfi menahan marah. Rania mengedarkan matanya ke sekeliling, “Ah, ini dia.” Ia membawa dompet itu dan memberikannya pada Alfi, “Ini, mas. Ada yang ketinggalan lagi gak?” Alfi menggeleng. “Fi, kakak kesini bawa ganti vas bunga dan mainan Satria yang dirusakkin Agil. Belum semua sih.” “Aku berangkat, sayang.” Alfi mencium kening dan pipi Rania tanpa menoleh pada Arbi. Seperginya Alfi, keadaan sedikit menjadi canggung. Rania bisa paham kenapa Alfi bisa marah pada kakaknya. Mungkin ia pun akan begitu jika Sani melakukan itu pada suaminya. Untungnya Satria turun tangga. Ia menggendong tas ransel yang berisi baju ganti dan mainan kesayangannya, “Om Arbi?” “Hai, jagoan kecil om.” Satria salim lalu memeluk tubuh Arbi, “Om mau nginep
Ketika Rania baru membuka pintu utama, sebuah mobil berhenti didepan pagar. “Ma, itu siapa?” tanya Satria. “Kayaknya tante Sani sama Agil.” Benar saja, saat pintu mobil terbuka, Agil yang dua tahun lebih tua dari Satria langsung berlari mengelilingi komplek. “Agil! Jangan jauh-jauh larinya! Hey, denger ibu gak?” Sani berusaha mengejar tapi kakinya pegal setelah seharian berdiri. Di bank tempatnya bekerja kebetulan sedang ada event awal tahun. “Mbak?” “Ran, kamu baru pulang?” “Iya. Itu Agil...” “Udah biarin aja. Mbak capek banget ngejarnya.” “Pasti aman, mbak. Di depan ada satpam yang jaga. Masuk, mbak.” Rania dan Sani duduk, sementara Satria berlari menuju kamar mandi karena sudah kebelet pipis sejak di taksi setelah pulang dari Day Care. “Gimana hasil pemeriksaannya?” “Baik, mbak.” “Syukur lah. Oh iya ini mbak bawain Green Tea cake kesukaa
Rania dan Alfi belum bicara lagi setelah pertanyaan tadi sore diberikan. Rania tentu tak menjawab apapun, ia hanya kebingungan karena ditanya seperti itu. Kini, saat Satria sudah tidur, ia hanya duduk diranjang dengan pikiran yang penuh. Apalagi yang harus ia lakukan untuk mencari bukti tentang penyimpangan suaminya? Kalau foto bisa di edit, berarti bukti penginapan itu juga? Tapi ucapan Alfi saat mengangkat telpon dari Roland tidak bisa dibantah. Suaminya itu ketakutan dan mengatakan jangan sampai ia tahu? “Sayang.” Alfi mendekati ranjang. Sikap Alfi tak berubah seolah tidak ada pertengkaran diantara mereka. Memang tidak ada, tapi ia tahu suaminya marah pada kakaknya karena dirinya. “Aku mau,” Alfi menatap genit, “Tadi kata dokter kita boleh, ‘kan?” Rania menarik nafas sebelum harus pura-pura tersenyum, “Dokter bilang adek bayinya gak boleh kena guncangan.” Alfi menatap kecewa, “Padahal aku pengen banget.”
Setelah mengantarkan Satria sekolah, Rania memiliki waktu untuk kembali bertemu Fira. Sahabatnya itu ada praktik siang di rumah sakit, sehingga mereka bisa bertemu dan ia bisa menjemputnya ke TK tempat Satria belajar. Mobil Fira baru masuk pelataran gedung. “Masuk, Ran.” Rania segera memasuki mobil. Ia tidak mengatakan akan pergi keluar pada Alfi, karena suaminya itu pasti curiga. Suaminya tahu bahwa ia hanyalah ibu rumah tangga yang jarang keluar rumah kecuali untuk urusan belanja dan Satria. Tapi setelah pulang dari Villa, ia berubah jadi sering keluar. “Kenapa lagi? Pagi-pagi kok udah cemberut?” Rania menoleh, “Fir, laki-laki Homoseksual bisa kembali normal ‘kan?” “Bisa, tapi susah. Dia harus punya tekad yang kuat, Ran.” “Ada yang mempengaruhi gak cepat atau lambatnya proses penyembuhannya?” Fira hanya menatap sahabatnya itu sebelum mobilnya belok menuju sebuah kafetaria yang akan mereka tuju, “Ran, lo
“...Jadi apa yang terjadi?” “Mas Alfi... tetangga yang aku ceritain itu gak ada, Fir. Itu sebenernya...” Rania mendongak menatap Fira yang berdiri disamping kursi. Bicaranya terbata karena sebetulnya ia tidak siap memberi tahu siapapun mengenai kondisi suaminya. Fira duduk dengan mata yang terus terpaku pada Rania, “Jangan bilang Alfi... Homoseksual?” Rania tak berani menatap mata Fira lagi. Ia mengangguk lalu menunduk melanjutkan tangisnya. Fira tetap menatap sahabatnya yang hidupnya sudah pasti bukan hanya hancur, tapi juga lebur. Ia tak pernah menyangka akan mendapatkan kabar ini justru disaat ia mengatakan bahwa pernikahan mereka adalah panutan baginya. Tak ada yang bisa Fira katakan lagi. Terlalu banyak pertanyaan yang harus ia ketahui jawabannya, tapi ia yakin Rania pun tidak tahu semua jawaban itu. “Aku... hidup aku... rasanya berhenti waktu tahu semuanya.” isak tangis Rania membuat hati Fira juga nyeri, “Fir,
Rania tak pernah merasakan hidupnya sehancur ini sebelumnya, meski masalah banyak datang di fase kehidupan sebelumnya. Masalahnya selalu bisa diselesaikan setelah ia menangis. Tak seperti sekarang, ia sudah menangis beberapa hari ini tapi tak kunjung mendapatkan solusi harus bagaimana menghadapi semuanya. Setelah bertemu Fira, ia menjemput Satria dari TK dan langsung pulang. Rania tak memiliki hasrat untuk pergi belanja meski kulkasnya sudah tak menyimpan bahan makanan. “...mama gak denger aku ya?” suara cempreng Satria baru terdengar. “Kenapa, sayang? Kamu ngomong apa?” Rania menoleh pada Satria yang sedang memangku robot Transformer kesayangannya. “Aku laper, ma!” Rania melirik jam dinding bergambar Robot di dinding. Sudah jam delapan malam, “Ya ampun, maafin mama ya, sayang. Mama pesenin makan malam di aplikasi aja ya.” “Aku mau Ayam Goreng Tepung.” “Iya, sayang. Mama pesen sekarang ya.” Rania mengambil
Rania melenggang santai menaiki tangga, “Nanti tolong temenin Satria gosok gigi dan bacain dia dongeng, ya, mas.” Alfi tak mendebat ucapan istrinya. Ia mulai membereskan rumah yang dua tahun terakhir selalu rapi dan bersih karena Satria sudah mulai bisa membereskan barang miliknya sendiri. Ia hanya heran dengan perubahan sikap Rania yang tak biasa. Di dalam kamar, Rania sibuk mengatur rencana yang akan ia lakukan mulai dari sekarang. Ia sengaja menguping pembicaraan Alfi dan Arbi tadi. Ia tidak paham awalnya, tapi lama-lama ia mengerti kalau Arbi, kakak iparnya yang selalu perhatian padanya menyukai dirinya dulu. Entah kini, ia juga tidak peduli. “Aku harus bikin mas Alfi cemburu sama kak Arbi. Waktu itu aja dia marah banget karena aku bilang tertarik sama kakaknya. Tapi gimana ya cara bikin kak Arbi terus kesini?” Rania tersenyum senang. Terlintas ide dimana ia tahu bagaimana cara iparnya itu terus datang kesini. “Sayang, aku u