Share

Bab 6 - Mencecar Alfi

“Kakak tahu kok siapa orangnya. Aku justru gak tahu, apa kak Arbi tahu kalau mas Alfi.... berbeda?”

Arbi tak menjawab. Ia malah menatap Rania datar.

Rania tertawa, “Enggak, aku bercanda. Aku ke kamar dulu ya, kak. Soal barang-barang yang dipecahin Agil, gak papa, gak perlu diganti. Permisi, kak.”

Arbi membuang nafasnya pelan setelah Rania pergi. Ia kembali mengambil kopernya dan turun ke lantai satu untuk berpamitan pada Alfi dan Satria.

“Fi, kakak pulang dulu ya. Makasih udah izinin mbak Sani sama Agil liburan disini.”

“Santai, kak. Merekanya mana? Kok gak disuruh masuk?”

“Biasa lah, Agil langsung keliling komplek waktu keluar dari mobil. Mbak Sani lagi kejar.”

Alfi manggut-manggut, “Satria salim dulu sama, om.”

Satria yang sedang makan sosis panggang berdiri dari kursi makan dan mengulurkan tangannya, “Selamat jalan, om. Hati-hati di jalan ya.”

Arbi tersenyum dan mengacak-acak rambutnya, “Makasih, ya. Oyah, mobil-mobilan yang dirusakin sama kak Agil, nanti om ganti.”

Satria mengangguk semangat, “Makasih banyak ya, om.”

“Kak, gak usah lah, gak papa. Nanti aku aja yang beliin yang baru buat Satria.”

“Gak papa. Agil juga udah pecahin banyak barang dirumah ini. Nanti paling barangnya di paketin aja.”

“Udah aku bilang gak usah.”

“Gak bisa gitu, Fi, gak papa kok bakal tetep kakak ganti.. Kakak pulang ya. Tadi kakak juga udah pamitan sama Rania.”

“Oh iya, kak.” Alfi berdiri dan memeluk Arbi, “Hati-hati di jalan. Sering-sering main kesini.”

“Iya. Satria, om pulang dulu ya.”

“Iya, om, dadah.” Satria melambaikan tangannya dengan riang.

“Dadah.”

“Ayo, aku anterin ke depan.”

Arbi mendorong tubuh Alfi, “Udah gak usah. Mending kamu temenin Rania aja tuh. Kayaknya dia gak enak perut lagi. Wajahnya agak pucet.”

Alfi menatap ke arah tangga.

“Aku tutup pintunya ya.”

“Iya, kak.”

Seperginya Arbi, Alfi kembali duduk, “Sayang, berani gak disini sendiri?”

“Papa mau kemana?”

“Papa mau ke kamar dulu, ngobrol sama mama sebentar. Nanti selagi papa ke kamar dan balik lagi kesini, Satria harus udah selesai makannya ya. Habis itu kita gosok gigi dan baca buku sebelum tidur. Oke?”

“Oke.”

“Toss dulu dong.”

Mereka ber-tos ria. Alfi bangkit dari kursi dan berjalan cepat ke arah kamar. Ia membuka pintu kamarnya yang tertutup rapat, “Sayang, masih mual?”

Rania yang sudah meringkuk di ranjang menggeleng, “Satria mana?”

“Masih makan.” Alfi menghampiri Rania ke ranjang. Ia duduk ditepiannya dan menggenggam tangan Rania, “Kamu agak pucet, sayang.”

Rania menggangguk.

“Kehamilan sekarang terasa lebih berat dari hamil Satria ya?”

Rania mengangguk lagi, “Kehamilan sekarang berat banget, mas. Karena ada hal beda yang aku rasain.”

“Apa?”

Rania tersenyum, “Aku banyak denger soal kasus perselingkuhan.”

“Sayang, itu kamu terlalu banyak nonton acara gosip. Kamu gak usah lah ngikutin berita selebriti lagi. Mending kamu tuh ngabisin waktu buat hobi kamu buat merajut. Lebih bermanfaat buat anak kita nanti.”

Rania menggeleng, “Kasus perselingkuhan yang aku denger bukan soal selebriti, mas, tapi dari orang terdekat aku.”

“Siapa?”

“Ya ada lah, kamu gak akan kenal.”

“Aku ngerasa kamu sekarang-sekarang banyak nyimpen rahasia ya dari aku.”

“Oyah?”

Alfi diam.

“Bukannya kamu ya yang nyimpen rahasia dari aku?”

“Rahasia apa? Aku gak pernah nyimpen rahasia dari kamu.”

Rania tersenyum, “Yakin?"

“Iya lah, sayang. Apa coba rahasia aku?”

“Ya namanya rahasia, berarti aku gak tahu ‘kan, mas.”

Alfi menggeleng, “Aku gak pernah nyimpen rahasia apapun dari kamu, sayang.”

“Oke, aku percaya. Oyah, soal perselingkuhan. Aku boleh tanya sesuatu sama kamu?”

“Dengan senang hati. Kamu mau tanya apa, sayang?”

Rania yang semula sedang tiduran, bangkit dan terduduk tegap diranjang. Tangannya yang digenggam Alfi, balik menggenggam tangan suaminya, “Definisi selingkuh itu ‘kan tindakan tidak jujur yang dilakukan seseorang terhadap pasangannya, baik pacar, suami, atau istri. Pertanyaan aku, apa kamu pernah tertarik sama orang lain selain aku?”

Alfi tak menjawab.

“Kok gak di jawab?”

“Pertanyaan apa sih itu, sayang. Gak aku gak akan jawab.”

“Berarti pernah?”

“Sayang—”

“Kalo enggak, kamu gak akan menghindar loh.”

Alfi tertawa, “Aku lupa kamu calon Psikolog kalo aja aku gak ngajak kamu nikah cepet dulu.”

“Jadi jawabannya?” cecar Rania. Ia tidak akan membiarkan Alfi tidak menjawab tanyanya.

“Gini aja, sebelum aku jawab, kita bikin perjanjian dulu.”

“Oke, apa?”

“Aku bakal jawab kalo kamu juga ikutan jawab.”

Rania diam sejenak lalu mengangguk yakin, “Oke, setuju.”

Alfi menatap kedua irish mata Rania yang berwarna coklat, lalu melirik hidung mancung dan bibirnya yang tipis. Wajah Rania yang cantik dan ayu sebagai perempuan Sunda blasteran Spanyol membuatnya selalu terbius ketika hanya menatapnya saja, “Aku... jatuh cinta sama kamu.”

Rania yang sudah menahan nafas menunggu jawaban Alfi menggebug suaminya itu kesal, “Mas, itu bukan jawaban!”

“Hahaha, maaf, sayang. Oke aku jawab serius.” Alfi kembali menatap Rania, “Aku... pernah tertarik sama perempuan lain.”

Rania kiceup mendengar jawaban Alfi, “Pe-perempuan lain?”

“Iya lah, aku pasti tertarik sama perempuan lain. Masa tertariknya sama laki-laki. Kamu gimana sih.”

“Mmm, bukannya ada kemungkinan seseorang, contohnya laki-laki yang tertarik juga sama laki-laki?”

Alfi melepaskan genggaman tangannya dari Rania, “Mana ada yang begitu.”

Rania tersenyum diam-diam. Ternyata Alfi merasa pertanyaan yang diajukannya barusan membuatnya terpojok. Ia suka cara ini, “Itu ‘kan misalnya, mas. Di berita banyak kok kasus Homoseksual. Temen-temen aku yang Psikolog juga bilang mereka banyak menangani kasus itu.”

“Udah, sekarang giliran kamu yang jawab. Kamu sebagai istri apa pernah tertarik sama laki-laki lain?” tanya Alfi tak sabar. Ia sengaja mengalihkan topik agar tak terus mendapat cecaran.

Rania mengangguk, “Pernah, mas. Sesempurna apapun kamu, kamu pasti punya kekurangan. Dan aku tertarik sama orang ini karena aku ngerasa dia... bisa menutupi ketidak sempurnaan kamu.”

“Kamu... ngomongin siapa, sayang? Siapa orang yang kamu maksud?”

Rania menatap Alfi tepat di korneanya, “Kak Arbi. Aku pernah tertarik sama dia, mas.”

Alfi berdiri sekaligus. Ia berkacak pinggang dan membuang mukanya dengan kesal.

“Mas, itu ‘kan dulu. Sekarang... enggak. Mana mungkin aku masih tertarik sama kak Arbi.”

Alfi menatap Rania, “Apa kak Arbi tahu kamu suka sama dia?”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
ooohhh, klu calon psikolog gagal kayak gini cara bertanya nya ya. g jelas banget apa maunya. kelewat menye2 kau
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status