Share

Bab 5 - Enggan Bertemu Alfi

Sudah dari sore Rania diam di kamar Satria. Ia enggan menunggu kepulangan Alfi di kamarnya.

Ada perasaan jijik saat ia menatap ranjang yang biasanya ia gunakan dengan panas saat bergumul dengan suaminya itu.

Seharusnya ia tahu dari awal kalau Alfi suaminya adalah seorang yang punya kelainan seksual.

“Jujuju... keretanya lewat ke Bandung. Uwong-uwong... jujujuju.” Satria melajukan kereta mainanannya diatas relnya, “Mama awas, keretanya mau lewat.”

Rania terpaksa menggeser agar tubuh Satria bisa terus bergerak mengikuti kemana kereta berjalan. Ia tersenyum getir menatap anaknya bisa tumbuh sebaik ini. Air matanya turun tanpa komando membuatnya mau tak mau terus menghapusnya diam-diam.

Satria yang kelelahan duduk bersila menatap sekeliling kamarnya yang penuh dengan mainan. Matanya yang bulat lalu tidak sengaja menatap Rania yang menunduk menghapus air matanya, "Mama?”

“Iya, sayang?” Rania mendongak, “Kenapa?”

Satria menghampiri Rania dan duduk dihadapannya, “Mama kenapa nangis?”

“Enggak, mama gak nangis.”

“Ituuu air matanya turun.” Satria menunjuk kedua mata Rania yang kembali menangis karena benteng pertahanannya sudah hancur.

Rania memeluk Satria erat, “Maafin mama ya, sayang.”

Satria mengelus punggung Rania, “Kenapa mama minta maaf?”

“Maaf karena mama... mama gak bisa nepatin janji mama kita liburan di Puncak empat hari. Maafin mama ya.”

Satria melepas pelukannya, “Gak papa kok, Satria gak marah. Mama jangan nangis lagi ya,” katanya sambil menghapus air mata mamanya dengan sapu tangan yang sedari tadi dipegang Rania.

Rania mengangguk. Ia menatap inci demi inci wajah Satria yang sembilan puluh lima persen begitu mirip Alfi. Matanya, alisnya, hidungnya, juga bibirnya semua mirip sang suami. Sedangkan ia lebih banyak mewariskan kecerdasan, kebiasaan dan hobi pada sang anak.

“Satria, maafin papa ya.”

Satria mengernyit, “Kenapa aku harus maafin papa? Emang papa salah apa?”

“Papa...” Rania membuang mukanya.

“Karena papa kerja?”

Rania tersenyum mengangguk, “Harusnya papa ‘kan nemenin Satria main selama libur Tahun baru ini.”

Satria menggeleng, “Gak papa kok, aku gak marah. Om Arbi bilang papa kerja itu buat aku dan mama. Papa pasti pingin kasih yang terbaik buat kita, jadinya papa kerja terus.”

Rania mengangguk, “Iya, om Arbi bener.”

“Aku ‘kan bisa ketemu papa setiap hari. Meskipun papa sering pergi dan nginep di rumah temennya, aku gak marah. Aku punya waktu lebih banyak dari temen-temen papa.”

Rania merasakan dadanya bagai di tikam tombak kala mendengar penuturan polos Satria. Ia memang memiliki waktu yang lebih banyak dari teman-teman Alfi, tapi satu temannya memiliki separuh tubuh dan jiwanya tanpa diketahui siapapun.

Roland memberikan bukti pembayaran hotel menggunakan kartu debit Alfi. Di sana tertera tanggal dan di mana mereka menginap. Tertera dari tanggalnya, mereka biasa menginap selama dua minggu sekali selama dua hari satu malam untuk menikmati waktu kebersamaan mereka menjadi sepasang kekasih.

“...mau yang banyak ya, ma?”

“Hm? Apanya yang mau banyak, sayang?” kesadaran Rania baru kembali.

Satria tersenyum menatapnya sambil mengelus baby bumpnya yang lucu, “Aku mau adik yang banyaaaak banget. Mama sama papa mau ‘kan bikinin adik yang banyak buat aku?”

Rania hanya tersenyum. Ia tak berani menjawab tanya Satria. Bayi dalam perutnya mungkin bisa jadi anak Alfi yang terakhir akan dikandungnya. Ia tidak sudi disentuh apalagi harus mengandung anaknya lagi.

“Papa pulang. Sayang? Satria? Sini, papa bawa oleh-oleh nih.”

“Horeeee papa pulang!” pekik Satria kegirangan. Ia bangkit dari duduk silanya dan berlari menuruni anak tangga untuk menghampiri sang papa.

Rania enggan menyusul. Ia malah kembali menangis dan memegangi kepalanya yang pusing karena terlalu banyak menangis hari ini. Kalau bisa ia juga enggan melihat wajah suaminya malam ini.

“Sayang? Ke sini dong, aku ada hadiah loh buat kamu,” teriak Alfi dari bawah.

Rania dengan ogah-ogahan berdiri. Ia menggigit jarinya karena harus menemukan ide super cepat agar tidak perlu bertemu suaminya.

“Sayang?” suara Alfi terdengar mendekat.

Karena tidak punya tempat persembunyian lain, Rania berjalan cepat memasuki kamar mandi di kamar Satria. Ia menguncinya dari dalam dan mengucurkan kran westafel.

“Sayang?” Alfi melongokkan kepalanya ke dalam kamar Satria, “Kamu....”

“Huwekkk....” Rania berakting sedang muntah.

Alfi memasuki kamar Satria dan mengetuk pintu kamar mandi, “Sayang, mual banget ya? Kamu tadi gak makan yang mengandung banyak minyak ‘kan waktu lunch sama temen kamu?”

Rania menjawab sambil menghadap pintu, “Enggak kok, mas.”

“Ya udah cepet keluar, aku pijitin sini.”

“Gak usah, mas, kamu istirahat aja. Aku gak sempet masak, kamu angetin makanan yang aku take away aja dari kafe. Kamu suapin Satria juga ya, dia belum makan.”

“Satria lagi makan Burger yang aku bawa. Kamu mau Burger?”

“Enggak, kamu makan aja.”

Alfi menekan handel pintu. Ia mengernyit, kenapa sampai dikunci segala?

“Mas, kamu pergi aja. Mualnya agak parah nih.”

“Oke, aku tunggu di ruang makan ya.”

“Iya.”

Setelah tak mendengar suara Alfi lagi, Rania menutup kran dan duduk di atas kloset. Ia menunduk menatap perutnya yang sudah mulai terlihat.

“Sayang, kamu di sana baik-baik aja ‘kan? Maaf ya mama sedih terus. Mama berusaha untuk...” Rania menggeleng, “Sampe kapan pun, mama gak akan pernah terima kondisi Papa kamu. Itu salah, sayang. Tapi kehadiran kamu bukanlah kesalahan.”

Rania kembali menitikan air matanya. Fakta yang ia terima tadi siang terlalu sulit untuk diterima. Tapi ia berjanji akan mengurangi tangisannya karena tidak mau membuat janinnya ikut merasakan kesedihan itu. Ia akan berusaha bersikap biasa pada Alfi meski terpaksa. Bagaimana pun ia membutuhkan suara Alfi untuk menyapa anak kedua mereka.

Pintu kamar mandi Satria ia buka. Mendengar suara tawa Satria yang beradu dengan suara tawa Alfi membuat hatinya bingung. Ia tentu senang Satria bisa memiliki ayah yang seru dan keren versinya, tapi ia dengan nasib tragisnya harus memiliki suami yang berbeda dari suami lainnya.

Begitu keluar dari kamar Satria, Rania bertemu dengan Arbi yang mengangkut koper dari kamar tamu, “Kak, mau pulang sekarang?”

“Eh, Ran. Iya nih. Agil tadi... gak sengaja mecahin vas bunga di ruang tamu waktu kamu pergi. Kakak sama mbak Sani jadi gak enak. Selama kita tinggal di sini Agil udah ngerusak banyak barang.”

“Oh itu, gak papa kok, kak.” Rania maklum dengan kondisi Agil yang menghidap ADHD.

“Nggak bisa diwajarin gitu aja. Nanti kakak ganti semua barangnya. Mbak Sani lagi cari yang mirip di e-commerce. Kalo begitu kakak pulang ya, Ran. Makasih udah dibolehkan menginap di sini.”

“Aku yang terima kasih, kak. Waktu kita ke Puncak, kakak sama mbak Sani udah bersedia jaga rumah ini.”

“Gak masalah. Oyah, tadi kamu abis ketemu siapa, Ran? Alfi sampe uring-uringan karena gak kenal sama temen kamu.”

Rania diam. Ia tidak tahu perlu mengatakan ini atau tidak pada Arbi.

“Dia mungkin takut kamu... selingkuh. Soalnya Alfi bilang beberapa temen kuliahnya ada yang mau cerai karena istrinya selingkuh.”

Rania tersenyum, “Aku gak selingkuh, kak. Mas Alfi yang selingkuh dari aku.”

Air muka Arbi berubah kaget. Ia sampai menurunkan koper yang semula diangkatnya. Ia menatap Rania intens, “Alfi selingkuh sama siapa, Ran?”

“Kakak tahu kok siapa orangnya. Aku justru gak tahu, apa kak Arbi tahu kalau mas Alfi.... berbeda?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status