Sudah dari sore Rania diam di kamar Satria. Ia enggan menunggu kepulangan Alfi di kamarnya.
Ada perasaan jijik saat ia menatap ranjang yang biasanya ia gunakan dengan panas saat bergumul dengan suaminya itu. Seharusnya ia tahu dari awal kalau Alfi suaminya adalah seorang yang punya kelainan seksual. “Jujuju... keretanya lewat ke Bandung. Uwong-uwong... jujujuju.” Satria melajukan kereta mainanannya diatas relnya, “Mama awas, keretanya mau lewat.” Rania terpaksa menggeser agar tubuh Satria bisa terus bergerak mengikuti kemana kereta berjalan. Ia tersenyum getir menatap anaknya bisa tumbuh sebaik ini. Air matanya turun tanpa komando membuatnya mau tak mau terus menghapusnya diam-diam. Satria yang kelelahan duduk bersila menatap sekeliling kamarnya yang penuh dengan mainan. Matanya yang bulat lalu tidak sengaja menatap Rania yang menunduk menghapus air matanya, "Mama?” “Iya, sayang?” Rania mendongak, “Kenapa?” Satria menghampiri Rania dan duduk dihadapannya, “Mama kenapa nangis?” “Enggak, mama gak nangis.” “Ituuu air matanya turun.” Satria menunjuk kedua mata Rania yang kembali menangis karena benteng pertahanannya sudah hancur. Rania memeluk Satria erat, “Maafin mama ya, sayang.” Satria mengelus punggung Rania, “Kenapa mama minta maaf?” “Maaf karena mama... mama gak bisa nepatin janji mama kita liburan di Puncak empat hari. Maafin mama ya.” Satria melepas pelukannya, “Gak papa kok, Satria gak marah. Mama jangan nangis lagi ya,” katanya sambil menghapus air mata mamanya dengan sapu tangan yang sedari tadi dipegang Rania. Rania mengangguk. Ia menatap inci demi inci wajah Satria yang sembilan puluh lima persen begitu mirip Alfi. Matanya, alisnya, hidungnya, juga bibirnya semua mirip sang suami. Sedangkan ia lebih banyak mewariskan kecerdasan, kebiasaan dan hobi pada sang anak. “Satria, maafin papa ya.” Satria mengernyit, “Kenapa aku harus maafin papa? Emang papa salah apa?” “Papa...” Rania membuang mukanya. “Karena papa kerja?” Rania tersenyum mengangguk, “Harusnya papa ‘kan nemenin Satria main selama libur Tahun baru ini.” Satria menggeleng, “Gak papa kok, aku gak marah. Om Arbi bilang papa kerja itu buat aku dan mama. Papa pasti pingin kasih yang terbaik buat kita, jadinya papa kerja terus.” Rania mengangguk, “Iya, om Arbi bener.” “Aku ‘kan bisa ketemu papa setiap hari. Meskipun papa sering pergi dan nginep di rumah temennya, aku gak marah. Aku punya waktu lebih banyak dari temen-temen papa.” Rania merasakan dadanya bagai di tikam tombak kala mendengar penuturan polos Satria. Ia memang memiliki waktu yang lebih banyak dari teman-teman Alfi, tapi satu temannya memiliki separuh tubuh dan jiwanya tanpa diketahui siapapun. Roland memberikan bukti pembayaran hotel menggunakan kartu debit Alfi. Di sana tertera tanggal dan di mana mereka menginap. Tertera dari tanggalnya, mereka biasa menginap selama dua minggu sekali selama dua hari satu malam untuk menikmati waktu kebersamaan mereka menjadi sepasang kekasih. “...mau yang banyak ya, ma?” “Hm? Apanya yang mau banyak, sayang?” kesadaran Rania baru kembali. Satria tersenyum menatapnya sambil mengelus baby bumpnya yang lucu, “Aku mau adik yang banyaaaak banget. Mama sama papa mau ‘kan bikinin adik yang banyak buat aku?” Rania hanya tersenyum. Ia tak berani menjawab tanya Satria. Bayi dalam perutnya mungkin bisa jadi anak Alfi yang terakhir akan dikandungnya. Ia tidak sudi disentuh apalagi harus mengandung anaknya lagi. “Papa pulang. Sayang? Satria? Sini, papa bawa oleh-oleh nih.” “Horeeee papa pulang!” pekik Satria kegirangan. Ia bangkit dari duduk silanya dan berlari menuruni anak tangga untuk menghampiri sang papa. Rania enggan menyusul. Ia malah kembali menangis dan memegangi kepalanya yang pusing karena terlalu banyak menangis hari ini. Kalau bisa ia juga enggan melihat wajah suaminya malam ini. “Sayang? Ke sini dong, aku ada hadiah loh buat kamu,” teriak Alfi dari bawah. Rania dengan ogah-ogahan berdiri. Ia menggigit jarinya karena harus menemukan ide super cepat agar tidak perlu bertemu suaminya. “Sayang?” suara Alfi terdengar mendekat. Karena tidak punya tempat persembunyian lain, Rania berjalan cepat memasuki kamar mandi di kamar Satria. Ia menguncinya dari dalam dan mengucurkan kran westafel. “Sayang?” Alfi melongokkan kepalanya ke dalam kamar Satria, “Kamu....” “Huwekkk....” Rania berakting sedang muntah. Alfi memasuki kamar Satria dan mengetuk pintu kamar mandi, “Sayang, mual banget ya? Kamu tadi gak makan yang mengandung banyak minyak ‘kan waktu lunch sama temen kamu?” Rania menjawab sambil menghadap pintu, “Enggak kok, mas.” “Ya udah cepet keluar, aku pijitin sini.” “Gak usah, mas, kamu istirahat aja. Aku gak sempet masak, kamu angetin makanan yang aku take away aja dari kafe. Kamu suapin Satria juga ya, dia belum makan.” “Satria lagi makan Burger yang aku bawa. Kamu mau Burger?” “Enggak, kamu makan aja.” Alfi menekan handel pintu. Ia mengernyit, kenapa sampai dikunci segala? “Mas, kamu pergi aja. Mualnya agak parah nih.” “Oke, aku tunggu di ruang makan ya.” “Iya.” Setelah tak mendengar suara Alfi lagi, Rania menutup kran dan duduk di atas kloset. Ia menunduk menatap perutnya yang sudah mulai terlihat. “Sayang, kamu di sana baik-baik aja ‘kan? Maaf ya mama sedih terus. Mama berusaha untuk...” Rania menggeleng, “Sampe kapan pun, mama gak akan pernah terima kondisi Papa kamu. Itu salah, sayang. Tapi kehadiran kamu bukanlah kesalahan.” Rania kembali menitikan air matanya. Fakta yang ia terima tadi siang terlalu sulit untuk diterima. Tapi ia berjanji akan mengurangi tangisannya karena tidak mau membuat janinnya ikut merasakan kesedihan itu. Ia akan berusaha bersikap biasa pada Alfi meski terpaksa. Bagaimana pun ia membutuhkan suara Alfi untuk menyapa anak kedua mereka. Pintu kamar mandi Satria ia buka. Mendengar suara tawa Satria yang beradu dengan suara tawa Alfi membuat hatinya bingung. Ia tentu senang Satria bisa memiliki ayah yang seru dan keren versinya, tapi ia dengan nasib tragisnya harus memiliki suami yang berbeda dari suami lainnya. Begitu keluar dari kamar Satria, Rania bertemu dengan Arbi yang mengangkut koper dari kamar tamu, “Kak, mau pulang sekarang?” “Eh, Ran. Iya nih. Agil tadi... gak sengaja mecahin vas bunga di ruang tamu waktu kamu pergi. Kakak sama mbak Sani jadi gak enak. Selama kita tinggal di sini Agil udah ngerusak banyak barang.” “Oh itu, gak papa kok, kak.” Rania maklum dengan kondisi Agil yang menghidap ADHD. “Nggak bisa diwajarin gitu aja. Nanti kakak ganti semua barangnya. Mbak Sani lagi cari yang mirip di e-commerce. Kalo begitu kakak pulang ya, Ran. Makasih udah dibolehkan menginap di sini.” “Aku yang terima kasih, kak. Waktu kita ke Puncak, kakak sama mbak Sani udah bersedia jaga rumah ini.” “Gak masalah. Oyah, tadi kamu abis ketemu siapa, Ran? Alfi sampe uring-uringan karena gak kenal sama temen kamu.” Rania diam. Ia tidak tahu perlu mengatakan ini atau tidak pada Arbi. “Dia mungkin takut kamu... selingkuh. Soalnya Alfi bilang beberapa temen kuliahnya ada yang mau cerai karena istrinya selingkuh.” Rania tersenyum, “Aku gak selingkuh, kak. Mas Alfi yang selingkuh dari aku.” Air muka Arbi berubah kaget. Ia sampai menurunkan koper yang semula diangkatnya. Ia menatap Rania intens, “Alfi selingkuh sama siapa, Ran?” “Kakak tahu kok siapa orangnya. Aku justru gak tahu, apa kak Arbi tahu kalau mas Alfi.... berbeda?”“Kakak tahu kok siapa orangnya. Aku justru gak tahu, apa kak Arbi tahu kalau mas Alfi.... berbeda?”Arbi tak menjawab. Ia malah menatap Rania datar.Rania tertawa, “Enggak, aku bercanda. Aku ke kamar dulu ya, kak. Soal barang-barang yang dipecahin Agil, gak papa, gak perlu diganti. Permisi, kak.”Arbi membuang nafasnya pelan setelah Rania pergi. Ia kembali mengambil kopernya dan turun ke lantai satu untuk berpamitan pada Alfi dan Satria.“Fi, kakak pulang dulu ya. Makasih udah izinin mbak Sani sama Agil liburan disini.”“Santai, kak. Merekanya mana? Kok gak disuruh masuk?”“Biasa lah, Agil langsung keliling komplek waktu keluar dari mobil. Mbak Sani lagi kejar.”Alfi manggut-manggut, “Satria salim dulu sama, om.”Satria yang sedang makan sosis panggang berdiri dari kursi makan dan mengulurkan tangannya, “Selamat jalan, om. Hati-hati di jalan ya.”Arbi tersenyum dan mengacak-acak rambutnya, “Makasih, ya. Oyah, mobil-mobilan yang dirusakin sama kak Agil, nanti om ganti.”Satria mengangg
“Jawab!” teriak Alfi kencang. Rania menutup matanya takut. “Jawab, Ran!” Rania terperanjata kaget. Ia bangun dari ranjang menghindari amarah Alfi yang baru ia lihat selama enam tahun pernikahannya, “Mas,” Alfi mundur. Ia baru menyadari suaranya begitu kencang. “Mamaaaa.” Satria masuk ke dalam kamar menggenggam Burger yang masih tersisa. Ia mendekap mamanya ketakutan. “Sayang, maaf.” Alfi memandang istrinya merasa bersalah. Rania tak menjawab, ia memeluk tubuh mungil Satria erat dan membawanya keluar kamar. Setelah berhasil keluar dari kamar utama, Rania membawa Burger digenggaman tangan Satria, “Sayang, makannya udah ya. Kamu gosok gigi, dan mama siapin buku bacaan kita malam ini.” Satria mengangguk, “Iya, ma.” Anak sulungnya itu berjalan memasuki kamar mandi. Terdengar suara kucuran air di westafel yang membuat Rania sedikit tenang karena Satria tidak menanyakan kenapa papanya bisa marah. Kini ia terduduk di tepian ranjang Satria menutup wajahnya. “Besok aku ha
Rania menarik tangannya dari genggaman Arbi, “Mas? Kenapa? Ada yang ketinggalan ya?” ia menghampiri Alfi yang enggan masuk ke dalam dapur. “Dompet aku.” air muka Alfi menahan marah. Rania mengedarkan matanya ke sekeliling, “Ah, ini dia.” Ia membawa dompet itu dan memberikannya pada Alfi, “Ini, mas. Ada yang ketinggalan lagi gak?” Alfi menggeleng. “Fi, kakak kesini bawa ganti vas bunga dan mainan Satria yang dirusakkin Agil. Belum semua sih.” “Aku berangkat, sayang.” Alfi mencium kening dan pipi Rania tanpa menoleh pada Arbi. Seperginya Alfi, keadaan sedikit menjadi canggung. Rania bisa paham kenapa Alfi bisa marah pada kakaknya. Mungkin ia pun akan begitu jika Sani melakukan itu pada suaminya. Untungnya Satria turun tangga. Ia menggendong tas ransel yang berisi baju ganti dan mainan kesayangannya, “Om Arbi?” “Hai, jagoan kecil om.” Satria salim lalu memeluk tubuh Arbi, “Om mau nginep
Ketika Rania baru membuka pintu utama, sebuah mobil berhenti didepan pagar. “Ma, itu siapa?” tanya Satria. “Kayaknya tante Sani sama Agil.” Benar saja, saat pintu mobil terbuka, Agil yang dua tahun lebih tua dari Satria langsung berlari mengelilingi komplek. “Agil! Jangan jauh-jauh larinya! Hey, denger ibu gak?” Sani berusaha mengejar tapi kakinya pegal setelah seharian berdiri. Di bank tempatnya bekerja kebetulan sedang ada event awal tahun. “Mbak?” “Ran, kamu baru pulang?” “Iya. Itu Agil...” “Udah biarin aja. Mbak capek banget ngejarnya.” “Pasti aman, mbak. Di depan ada satpam yang jaga. Masuk, mbak.” Rania dan Sani duduk, sementara Satria berlari menuju kamar mandi karena sudah kebelet pipis sejak di taksi setelah pulang dari Day Care. “Gimana hasil pemeriksaannya?” “Baik, mbak.” “Syukur lah. Oh iya ini mbak bawain Green Tea cake kesukaa
Rania dan Alfi belum bicara lagi setelah pertanyaan tadi sore diberikan. Rania tentu tak menjawab apapun, ia hanya kebingungan karena ditanya seperti itu. Kini, saat Satria sudah tidur, ia hanya duduk diranjang dengan pikiran yang penuh. Apalagi yang harus ia lakukan untuk mencari bukti tentang penyimpangan suaminya? Kalau foto bisa di edit, berarti bukti penginapan itu juga? Tapi ucapan Alfi saat mengangkat telpon dari Roland tidak bisa dibantah. Suaminya itu ketakutan dan mengatakan jangan sampai ia tahu? “Sayang.” Alfi mendekati ranjang. Sikap Alfi tak berubah seolah tidak ada pertengkaran diantara mereka. Memang tidak ada, tapi ia tahu suaminya marah pada kakaknya karena dirinya. “Aku mau,” Alfi menatap genit, “Tadi kata dokter kita boleh, ‘kan?” Rania menarik nafas sebelum harus pura-pura tersenyum, “Dokter bilang adek bayinya gak boleh kena guncangan.” Alfi menatap kecewa, “Padahal aku pengen banget.”
Setelah mengantarkan Satria sekolah, Rania memiliki waktu untuk kembali bertemu Fira. Sahabatnya itu ada praktik siang di rumah sakit, sehingga mereka bisa bertemu dan ia bisa menjemputnya ke TK tempat Satria belajar. Mobil Fira baru masuk pelataran gedung. “Masuk, Ran.” Rania segera memasuki mobil. Ia tidak mengatakan akan pergi keluar pada Alfi, karena suaminya itu pasti curiga. Suaminya tahu bahwa ia hanyalah ibu rumah tangga yang jarang keluar rumah kecuali untuk urusan belanja dan Satria. Tapi setelah pulang dari Villa, ia berubah jadi sering keluar. “Kenapa lagi? Pagi-pagi kok udah cemberut?” Rania menoleh, “Fir, laki-laki Homoseksual bisa kembali normal ‘kan?” “Bisa, tapi susah. Dia harus punya tekad yang kuat, Ran.” “Ada yang mempengaruhi gak cepat atau lambatnya proses penyembuhannya?” Fira hanya menatap sahabatnya itu sebelum mobilnya belok menuju sebuah kafetaria yang akan mereka tuju, “Ran, lo
“...Jadi apa yang terjadi?” “Mas Alfi... tetangga yang aku ceritain itu gak ada, Fir. Itu sebenernya...” Rania mendongak menatap Fira yang berdiri disamping kursi. Bicaranya terbata karena sebetulnya ia tidak siap memberi tahu siapapun mengenai kondisi suaminya. Fira duduk dengan mata yang terus terpaku pada Rania, “Jangan bilang Alfi... Homoseksual?” Rania tak berani menatap mata Fira lagi. Ia mengangguk lalu menunduk melanjutkan tangisnya. Fira tetap menatap sahabatnya yang hidupnya sudah pasti bukan hanya hancur, tapi juga lebur. Ia tak pernah menyangka akan mendapatkan kabar ini justru disaat ia mengatakan bahwa pernikahan mereka adalah panutan baginya. Tak ada yang bisa Fira katakan lagi. Terlalu banyak pertanyaan yang harus ia ketahui jawabannya, tapi ia yakin Rania pun tidak tahu semua jawaban itu. “Aku... hidup aku... rasanya berhenti waktu tahu semuanya.” isak tangis Rania membuat hati Fira juga nyeri, “Fir,
Rania tak pernah merasakan hidupnya sehancur ini sebelumnya, meski masalah banyak datang di fase kehidupan sebelumnya. Masalahnya selalu bisa diselesaikan setelah ia menangis. Tak seperti sekarang, ia sudah menangis beberapa hari ini tapi tak kunjung mendapatkan solusi harus bagaimana menghadapi semuanya. Setelah bertemu Fira, ia menjemput Satria dari TK dan langsung pulang. Rania tak memiliki hasrat untuk pergi belanja meski kulkasnya sudah tak menyimpan bahan makanan. “...mama gak denger aku ya?” suara cempreng Satria baru terdengar. “Kenapa, sayang? Kamu ngomong apa?” Rania menoleh pada Satria yang sedang memangku robot Transformer kesayangannya. “Aku laper, ma!” Rania melirik jam dinding bergambar Robot di dinding. Sudah jam delapan malam, “Ya ampun, maafin mama ya, sayang. Mama pesenin makan malam di aplikasi aja ya.” “Aku mau Ayam Goreng Tepung.” “Iya, sayang. Mama pesen sekarang ya.” Rania mengambil