Share

Bab 4 - Bukti dari Roland

Raut wajah Arbi langsung berubah serius. Lelaki itu bahkan terlihat menahan napas, membuat Rania penasaran.

Sayang, belum sempat pertanyaan Rania diijawab oleh Arbi, Satria dengan ekspresi kesalnya muncul menghampiri. Bocah itu memaksa mamanya untuk menemaninya tidur.

Pagi harinya, Rania bersikap seperti biasa. Ia membuat sarapan ala kadarnya untuk sang suami yang tidak terbiasa makan berat.

“Nanti aku pulang agak terlambat, sayang. Soalnya ada acara farewel party. Ada beberapa koki yang di rotasi ke hotel di Bali sama Surabaya.”

“Iya, mas.”

Alfi menghampiri Satria yang tengah menahan kantuk di kursi makan, “Anak papa kok masih ngantuk aja sih? Perasaan semalem tidurnya lebih awal dari biasanya deh.”

Rania tersenyum sambil menuangkan teh hangat ke dalam cangkir. Karena liburan di villa terpotong, juga janji Alfi yang akan mengajaknya jalan-jalan batal karena urusan pekerjaan, Satria jadi menangis terus semalam.

Anaknya itu terus-terusan mengigau sepanjang malam. Alfi terkekeh salah tingkah, lalu mengusap kepala Satria, seolah meminta maaf dan pengertian bocah itu.

“Kamu sih maksa kita pulang lebih cepet dari Puncak. Kalau kita gak pulang kan, aku masih punya jatah libur dua hari.”

Rania tersenyum dipaksakan, “Maaf ya, mas. Aku harus ketemu sama temenku.”

Usai alasan akan membuat kue dengan dengan kakak ipar, Rania kini menggunakan alasan lain. Demi rencananya bertemu dengan Roland hari ini, ia menggunakan alasan akan bertemu teman lama yang kini kerja di luar pulau Jawa.

Alfi menghampiri istrinya dan mencium keningnya, “Iya, sayang, aku cuma bercanda kok. Aku juga minta maaf ya karena harus kerja.”

“Emmm, mas, di Hotel tempat kamu kerja ‘kan ada Play Groundnya. Gak papa ‘kan kalo aku minta kamu bawa Satria ke sana?” ragu-ragu, Rania meminta izin pada Alfi. Ia tidak mungkin mengajak Satria bertemu Roland. Ia tidak ingin anaknya sampai tahu keburukan sang ayah, “Aku... pergi agak lama sama temenku, jadinya kasian kalo Satria ikut. Aku takut dia juga bete kalo harus nemenin aku seharian.”

Alfi tak menjawab. Lelaki itu terlihat sedang menatap tajam penuh pertimbangan ke arah Rania.

Rania memegang kedua tangan Alfi, “Untuk kali ini aja. Kamu ‘kan bagian shift siang, jadinya kamu bisa nemenin Satria di rumah dulu, baru deh bawa dia ke Hotel. Nanti begitu aku selesai ketemu temenku, aku janji aku bakal jemput Satria ke sana.”

“Temen kamu itu... perempuan ‘kan?”

Rania mengangguk ragu, “Iya, perempuan. Kamu gak kenal sama dia, soalnya waktu kita nikah dia gak dateng. Aku juga gak punya fotonya, jadi gak bisa nunjukin ke kamu yang mana orangnya.”

“Dia... belum menikah?”

“Belum, mas. Kenapa?”

Alfi menggeleng, “Enggak, sayang, aku cuma tanya. Hampir semua temen kamu ‘kan udah pada menikah, dan biasanya kalo pergi mereka pasti bawa anaknya.”

“Oh itu. Tadinya aku mau titipin Satria di mbak Sani, tapi aku baru inget Satria sama Agil kurang begitu akur. Aku takut mbak Sani kewalahan.”

Beruntung, Alfi langsung mengabulkan permintaan itu tidak lama.

***

Kini, di jam makan siang, di sinilah Rania, duduk dengan tidak tenang di salah satu meja yang sudah Roland reservasi di daerah Tangerang.

Demi perbincangan ini terjaga kerahasiaannya, ia memang meminta Roland untuk menemukan tempat yang sedikit jauh dan lebih aman.

“Ran!” teriak Roland dari ujung meja lain. Ia tersenyum sambil melangkah cepat menuju mejanya.

Rania berdiri dan mencium pipi kanan-kirinya sahabat suaminya itu dengan wajah datar. Biasanya ia akan tersenyum sumringah karena Roland berubah menjadi sahabatnya juga. Mereka memiliki frekuensi yang sama, sehingga langsung akrab dalam satu kali pertemuan saja.

“Sori ya, tadi harus rapat dulu sebelum ke sini. Biasalah, awal tahun banyak banget yang jastip.”

Rania menangguk mengerti pada jenis pekerjaan Roland yang bekerja di bidang Usaha Jasa Titip Barang ke Luar Negeri, “Iya, santai aja. Duduk, Land.”

“Thank you.” Roland duduk dengan santai di sofa hadapan Rania.

Roland langsung membuka buku menu dan mengangkat tangannya untuk memanggil pramusaji. Setelah itu ia dan Rania tak bicara lagi menunggu pesanan diantarkan ke meja.

Setelah meneguk minuman soda pesanannya, Roland menatap serius ke arah Rania, “Ran, mau dimulai dari mana?”

“Aku...” Rania mengatur nafasnya kesusahan. Ia juga mengelus baby bumpnya dengan tangan bergetar. “Aku mau liat bukti-buktinya dulu.”

Roland mengangguk. Ia merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan sebuah amplop putih yang terekat sempurna. “Semuanya ada di sini, Ran. Buka saat kamu siap. Gak perlu sekarang.”

Rania menatap amplop yang kini tersimpan di atas meja dengan rapi. Dengan tangan bergetar hebat, ia meraih amplop itu dan menatapnya.

“Ran, gak perlu kamu buka sekarang.”

Rania menatap Roland yang menatapnya sendu, “Aku penasaran, Land.”

Roland tidak menjawab lagi. Ia langsung menunduk memainkan kuku-kukunya yang rapi.

Bukannya langsung membuka perekat amplop, Rania malah sibuk menatap keseluruhan wajah Roland yang tampan blasteran Pakistan.

Di wajahnya, tumbuh brewok tipis yang bisa menggoda banyak kaum Hawa. Hidungnya mancung melengkung. Mata bulat Elang itu tidaklah menyeramkan, malah meneduhkan. Beradu dengan dua alis yang tebal gagah.

Penampilan Roland memang sekeren itu. Badannya tinggi kekar, dengan otot yang berhasil ia bentuk melalui proses pangjang nge-gym. Hal itu juga ditunjang dengan sikapnya yang manis dan baik.

Meski lelaki, tetapi suaranya lembut. Ia juga terdengar tidak pernah dibenci siapa pun sangking baiknya. Lalu mengapa hal sesempurna itu harus tertutup dengan pengakuannya yang menyakitkan hati Rania kemarin pagi?

“Land, aku buka ya?”

Roland mengangguk.

Nafas itu berderu kencang. Tak pernah Rania merasa setegang ini selain mempertaruhkan nyawanya lima tahun lalu saat melahirkan Satria. Ia yang sedang mengandung anak kedua merasa akan melahirkan sekarang saat jari-jari lentiknya membuka perekat amplop itu.

Butiran hangat dari kedua matanya yang bulat indah turun cepat. Rania menatap intens semua foto-foto dan lampiran bukti menginap di hotel dari amplop itu.

“Ran, maafin aku.” Roland yang kini duduk di samping Rania ikut menangis.

Setumpuk foto dan bukti-bukti tiket pemesanan hotel itu terjatuh. Tangan lemah Rania tidak mampu lagi menahan setumpuk bukti yang genap menghancurkan rumah tangganya, masa depan indahnya.

“Maafin, aku, Ran.” ucap Roland terus-terusan merasa bersalah.

Maaf? Rania tidak tahu apakah ia akan memaafkan Roland apalagi Alfi yang sudah mengkhianati dan mengelabuinya.

Bahkan, jauh lebih buruk dari itu-- ia justru tidak bisa memaafkan dirinya karena memberikan ayah sebejat itu untuk Satria dan janin yang dikandungnya.

Kini, setelah melihat semua bukti ini, bisakah ia pulang bertemu Alfi dengan perasaan seremuk ini?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status