Share

Bab 2 - Menguping

“Kenapa buru-buru, sayang? Aku ngajuin cuti empat hari biar kita bisa lama-lama di sini.”

Alfi menatap Rania yang sibuk memasukkan baju-baju mereka ke dalam koper.

Siapa yang akan meneruskan liburan, ketika mendapati pesan yang begitu menjijikkan. Rania jadi ingin cepat-cepat membuktikannya sendiri.

“Aku lupa ada janji sama mbak Sani buat bikin kue bareng,” kilahnya.

“Bikin kue ‘kan bisa kapan aja, sayang.”

Rania menatap Alfi yang tengah duduk santai di atas kasur tanpa menghentikan aktivitasnya melipat baju, “Kamu lupa mbak Sani itu kerja? Waktu dia gak bebas, mas. Gak kayak aku cuma ibu rumah tangga.”

Alfi bangun dari posisinya dan menghampiri Rania. Ia mencium pucuk rambutnya yang hitam mengkilap, “Ibu rumah tangga bukan hanya cuma. Itu dedikasi yang tinggi.”

Rania membuang nafasnya. Ya jelas dedikasi, sebab karena Alfi menikahinya buru-buru, ia jadi gagal melanjutkan pendidikan profesi psikologinya.

“Kamu tolong bujuk Satria ya. Dia pasti gak mau pulang dari sini.”

Alfi mengangguk, “Siap sayangku. One kiss, please.”

Rania terpaksa memberikan satu kecupan manis di bibir suaminya. Alfi langsung pergi menuju kamar Satria yang terletak samping kamar ini. Ia memang suami idaman karena bisa diandalkan urusan anak.

Setelah selesai packing dan menutup koper, Rania duduk di tepian kasur menatap punggung Alfi yang bergerak menjauihinya.

Pikiran Rania jadi berkelebat dan bercabang pada dua hal. Bagaimana ia harus bersikap jika perkataan Roland terbukti salah, dan bagaimana jika Alfi terbukti menyimpang?

Dengan menghela napas panjang, ia mengusap pelan perutnya, salah satu sumber kekuatannya selain Satria, dengan lembut Rania berkata, “Kamu harus kuat, nak, di dalem. Mama janji akan kasih yang terbaik buat kamu sama kakak kamu.”

“Mama, aku gak mau pulang dari sini.” Satria berlari membawa robot Transformer favoritnya. Ia merengek setelah gagal dibujuk Alfi.

Rania merentangkan tangannya untuk memeluk Satria. Ia mengelus rambut bule anak sulung yang mewarisi wajah ayahnya, “Tapi kita harus pulang, sayang. Mama ada perlu di Jakarta.”

Isak tangis Satria terdengar mengeras, “Gak mau! Aku mau di sini dulu, mah, plissss.”

Alfi yang baru menyusul ke sini berdiri di dekat pintu melipat tangannya. Ia memberi kode pada Rania bahwa ia tidak berhasil membujuk Satria. Ia sudah terlanjur bilang mereka akan di sini selama empat hari. Sehingga rencana pulang dadakan seperti ini pasti membuat Satria amat kesal.

Rania mengelus punggung Satria lembut, “Satria, maaf ya mama buat kamu kesel. Mama lupa ada janji sama tante Sani. Kan kalo kita di Jakarta, kamu bisa main sama Agil, dan mama bikin kue sama tante Sani.”

“Gak mau” Satria menggeleng dalam pelukkan Rania, “Papa bilang kita nginep di sini empat malem. Kan empat malem itu lama. Kita baru sebentar udah pulang. Satria gak suka.”

Alfi tertawa. Rania yang melihat itu menjadi ikut tertawa.

Satria makin manyun, “Kok malah pada ketawa sih?!”

Alfi memeluk Satria, “Habis kamu lucu. Anaknya siapa siiih. Hm?”

Satria tertawa karena badannya digelitiki Alfi, “Papa, geliiii.”

Saat tengah melihat suami dan anaknya, ponsel Rania bergetar panjang.

Drtttt~ Drrrtttt~

Alfi yang terguling karena masih terus berusaha menggelitiki Satria pun menoleh ke arah ponsel yang ditaruh di atas kasur itu. Lelaki itu membaca nama penelepon istrinya.

“Roland. Dia ngapain nelpon kamu?”

Rania mengangkat bahunya, “Gak tahu. Dia chat kamu tapi gak kebales kayaknya. Kamu aja yang angkat.”

Ekspresi wajah Alfi berubah tidak nyaman. Ia meraih ponsel Rania dan berjalan keluar kamar untuk mengangkat telpon Roland.

Rania yang melihat itu memasang pendengaran terbaiknya. Ia ingin tahu apa yang dua orang ini obrolkan karena Alfi terlihat takut. Kenapa selama ini ia tidak bisa menangkap perubahan ekspresi itu ya?

“Sayang, sebentar ya, mama keluar dulu. Kamu main robotnya sendiri.”

“Oke, ma.”

Rania bangkit dan berjalan pelan untuk bisa menguping pembicaraan Alfi dan Roland dengan intens dibalik dinding kamar.

“Apa sih? Kan aku udah bilang jangan telepon sebelum aku yang telepon duluan!” desis Alfi sambil berkacak pinggang menatap ke arah luar jendela.

Rania menahan nafas ketika Alfi berbicara begitu pada Roland. Ia jadi semakin curiga jika ada hubungan tidak wajar di antara mereka. Jika tidak, suaminya tidak akan berbicara seperti itu ‘kan?

“Aku pulang hari ini. Rania tiba-tiba aja pingin pulang. Iya, nanti aku kabarin. Awas kalo kamu bikin ulah begini lagi. Aku tutup, nanti Rania denger lagi. Oke.”

Sebelum Alfi membalikkan badannya, Rania cepat-cepat masuk kamar. Ia pura-pura sibuk mengambil jaket yang tergantung untuk ia bawa pulang.

“Kenapa Roland telpon, mas? Chat dia gak sempet kamu bales ya?” tanya Rania sok polos.

Alfi menyentuh lehernya, “Ah, enggak, dia cuma nanyain kabar Satria. Dia kangen katanya sama ponakannya.”

“Hm gitu.”

“Udah aku aja yang beresin, kamu istirahat aja.” Alfi mengambil jaket yang tengah dirapikan.

“Iya, mas, makasih ya. Aku beruntung banget punya suami sebaik kamu.”

Alfi tersenyum malu. Ia mencium pelipis istrinya dengan mesra, “Aku lebih beruntung punya istri sebaik kamu.”

Rania tersenyum kaku.

Pujian itu biasanya berhasil membuatnya melambung tinggi, merasa sangat dihargai ditengah banyak pernikahan teman-temannya yang justru terasa hampa hingga kandas karena suami mereka tak pernah mengutarakan pujian itu. Tapi semenjak pagi tadi, apa pun yang dikatakan Alfi terasa hambar.

“Aku mandi duluan ya, mas. Tolong temenin Satria main.”

Alfi melirik Satria yang masih asik memainkan robot-robot miliknya di atas kasur. Ia lalu melirik nakal pada Rania, “Sayang, aku mau. Kita mandi bareng yuk. Satria... dia pasti gak papa kok ditinggal sendiri.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status