Share

KUMINTA CERAI KETIKA RAHASIA SUAMIKU TERBONGKAR
KUMINTA CERAI KETIKA RAHASIA SUAMIKU TERBONGKAR
Penulis: Rahmani Rima

Bab 1 - Menerima Kenyataan Pahit

1 Pesan baru masuk

From Roland: Maaf kamu harus baca ini di pagi tahun baru, tapi aku dan Alfi sebenarnya adalah sepasang kekasih.

Bagai diserang petir di siang bolong, Rania yang tengah berulang tahun hari itu justru mendapatkan hadiah tak terduga. Ia menutup mulutnya karena kehabisan kata. Air mata kemudian turun tanpa komando.

Tidak ingin dilihat sedang menangis oleh suami dan anaknya, Rania pun memutuskan untuk lari ke kamar mandi dan menyalakan keran.

Hancur sudah pertahanannya. Tubuhnya terduduk di lantai kamar mandi dengan luka hati menganga.

Rania, wanita yang kini tengah hamil besar itu kini menepuk-nepuk dadanya yang sesak. Liburan yang dirancang suaminya dengan mengajak Rania ke Villa, kini berubah jadi liburan penuh air mata.

Tok-Tok-Tok

“Mama? Mama lagi ngapain di dalem?” suara kecil Satria membuat Rania menahan suara isak tangisnya.

“Sssst, sayang, ‘kan papa udah bilang, mama mungkin lagi muntah karena adek bayi bete di dalem perut.” Alfi sudah pasti merayu dan berusaha menenangkan Satria seperti biasa.

“Aku mau masuk nemenin mama.”

“Iya, nanti ya, sekarang Satria nemenin papa ngambil minum, mau?”

“Gak mau, maunya sama mama.”

“Satria, hayo inget gak papa bilang apa? Kalo Satria mau adek, gak boleh apa?”

“Gak boleh nakal.” Satria menjawab dengan lirih.

“Pinter. Yuk, temenin papa ambil minum buat mama. Kamu ke dapur duluan ya.”

“Oke, pa.” rerdengar langkah kecil Satria menjauh, anak lima tahun itu berlari menuju dapur.

Sementara itu, Alfi masih berdiri di depan pintu kamar mandi, “Sayang, kamu baik-baik aja ‘kan di dalem?” suara penuh khawatirnya terdengar.

Rania diam sejenak, “I-iya, mas, aku cuma pengen muntah lebih banyak.”

“Oke, aku tinggal ya?”

“Iya.”

Alfi pergi menyusul Satria ke dapur.

Untung saja, kehamilannya yang kedua ini memang kerap kali diwarnai rasa mual dan muntah. Sehingga, alasan Rania kali ini benar-benar bisa diterima sang suami.

Rania mengusap wajahnya pelan lalu bersandar ke dinding tembok. Hatinya hancur berkeping-keping mendapatkan ucapan itu dari Roland. Meski tidak melampirkan bukti, entah hatinya meyakini hal ini adalah benar adanya.

Ia mengingat dengan jelas, dulu, enam tahun lalu ketika ia tak sengaja bertemu Alfi di restoran tempat Alfi bekerja sebagai kepala koki. Mereka menjadi sering bertemu dan dekat. Tidak membutuhkan waktu lama, lelaki keturunan Turki itu membawanya menemui keluarganya untuk dikenalkan.

Ekspresi ibu dan ayah benar-benar membuat Rania si calon menantu merasa senang. Mereka begitu bergembira menyambut kabar ini. Bahkan ia dipuji setinggi langit karena berhasil meluluhkan hati Alfi yang beku.

Rania merasa menjadi perempuan paling beruntung, karena katanya selama 27 tahun hidupnya, hanya ia satu-satunya perempuan yang dikenalkan Alfi pada keluarganya.

Kini Rania sedikit menyesal bisa bahagia tanpa curiga. Ia pikir suaminya itu memang belum menemukan perempuan yang cocok selama ini. Ternyata… ini alasannya. Bukan karena tidak ada perempuan yang cocok, melainkan Alfi memang merasa cocok hanya pada lelaki lainnya.

Dengan sisa tenaga yang ia miliki, Rania membalas pesan Roland.

To: Roland

Aku mau kita atur pertemuan setelah aku pulang ke Jakarta. Bawa bukti supaya aku gak nuduh kamu mau menghancurkan rumah tangga aku.

Terkirim.

Rania menutup lagi wajahnya yang merah padam menahan marah.

Tok-Tok-Tok

“Mama buka pintunya.”

Untungnya Rania sedikit lebih tenang setelah menumpahkan luapan emosinya dengan menangis. Ia bangkit dengan cepat. Sebelum keluar ia membasuh muka untuk menyamarkan wajahnya yang memerah.

Perlahan, putaran kunci berputar, dan pintu terbuka lebar. Rania tersenyum menatap Satria yang tampak khawatir pada keadannya.

“Mama.” Satria memeluk Rania erat.

“Iya? Maaf ya mama lama di kamar mandinya.”

Satria mendongakkan kepalanya, “Mama udah gak papa?”

Rania tersenyum, “Udah gak papa. Papa mana?”

“Papa lagi buatin minum buat mama biar gak muntah lagi.”

Senyum Rania luntur. Alfi memang sering bergerak cepat membuatkannya minuman Madu Jahe jika ia sudah mual dan muntah.

Melihat kesigapan Alfi sebagai seorang suami dan ayah, Rania jadi sedikit dilema. Apakah jika Roland bisa membuktikan ucapannya ia bisa menerimanya? Atau justru menolak dengan terus berpikir pada kebaikan dan kelembutan Alfi selama mereka menjalani biduk rumah tangga?

“Sayang?” Alfi melenggang membawakan segelas ramuan pereda mual yang bekerja dengan baik pada tubuh istrinya, “Aku bawain ramuan cinta buat kamu dan adek Satria.”

‘Ramuan cinta?’ ujar batin Rania. Setelah membaca pesan Roland, ucapan yang biasanya mampu membuat pipinya merona kini terdengar menjijikkan.

Namun, Rania terpaksa tersenyum. Ia menerima gelas itu dan meneguknya segera. Matanya terus terpaku pada wajah Alfi yang meneduhkan.

Dari sisi mana pun, Alfi terlihat begitu mencintai keluarganya. Lelaki itu begitu mencintai Rania, juga Satria dan calon anak kedua mereka.

Dalam hati, Rania sudah mengancam. Andai kata bukti-bukti mengatakan kebenaran, ia sudah akan bertekad memisahkan kedua anaknya dari sang papa.

Namun, sedetik kemudian ia membatin lagi. Jika kedua anaknya bisa hidup tanpa papanya, lantas dirinya, apakah sanggup hidup tanpa suaminya itu?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status