"Hukum Zanwan, memang, tegas. Namun juga keterlaluan!" Seorang dari jeruji lain menimpali. Bailey terus berjalan tanpa menoleh ke kanan kiri.
"Mau bagaimana lagi? Memasukkan toleransi dan sedikit hati ke dalam hukum Zanwan bagaikan mengharap oasis di tengah padang pasir." Lagi, seorang pria bersua dari balik jeruji yang baru saja dilalui Bailey, Shaw, kakek dan nenek.
"Benar. Itupun jika mungkin. Para cecunguk itu tentu tak akan tinggal diam," timpal tahanan yang lain.
Semua tahanan di lorong ini adalah lelaki. Sel jeruji bagi perempuan terpisah; guna mencegah hal yang tidak diinginkan. Ada juga penjaga dan pengawal wanita, tetapi jumlahnya masih sebatas hitungan jari. Sedikit sekali.
Lagi, Bailey mengeratkan pegangan tangannya, menaiki tangga dengan hati-hati. Kakek Shaw kembali berjalan ke depan; membukakan pintu. Lalu mereka melanjutkan langkah, melewati lusinan sel yang berjajar di kanan kiri sampai di ujung pintu utama dungeon.
"Pergilah ke tempat dokter Ed, katakan padanya untuk datang ke rumah Tuan Spencer Porter saat ini juga!" titah Bailey pada satu penjaga di luar pintu dungeon yang mengangguk dan bergegas lari menuju kediaman dokter Edvard Eidem.
Bailey melanjutkan langkah; menuju rumah Spencer. Ia tidak bisa membawa Shaw ke tempat tinggalnya, karena itu akan mendatangkan amukan ayahnya. Maka dari itu, Bailey memilih membawa Shaw ke rumah Spencer, yang juga merupakan tempat tinggal Shaw. Meski akan lebih lama untuk Shaw mendapat pengobatan, tapi setidaknya lebih aman daripada membawa Shaw ke tempat tinggalnya.
Mereka melewati jalanan setapak jenggala yang rindang, cukup jauh untuk sampai ke perumahan penduduk, tapi tidak terlalu jauh ke rumah Spencer karena rumah mereka terletak di pedalaman jenggala; memisahkan diri dari keramaian.
"Bertahanlah, Shaw! Tetaplah bernapas! Tetaplah bersama suaraku!" Bailey gusar. Semakin mempercepat langkah.
Para penduduk sengaja bermukim di tempat yang jauh dari dungeon dan bangunan utama tempat pemimpin mereka dan keluarganya tinggal. Sebab menghindari dungeon adalah karena tidak tahan dengan teriakan dan jeritan yang kerap kali terdengar dari sana, sementara menghindari berdekatan tempat tinggal dengan pemimpin mereka dan keluarganya karena memang tidak diperbolehkan, juga karena khawatir akan terbawa ke dalam masalah apabila tinggal berdekatan.
"Jadi, puteraku membebaskan Shaw?" ucap Ascal. Berdiri dengan setelan jas hitam rapi, menautkan kedua tangan di belakang; memandang hamparan rumput dan bunga-bunga di halaman depan mansionnya. Di belakang samping kiri, berdiri Alton dan 3 anak buahnya.
"Benar, Tuan," sahut Alton.
"Bailey nampaknya semakin menunjukkan posisi dan kuasanya." ujar Ascal lagi.
Alton mengangguk kecil.
"Bukankah itu sesuatu yang bagus?" tanyanya."Tapi ...." Seseorang yang berdiri di belakang samping kanan membuka suara; dokter Ed. ".... Tuan muda masih terlalu belia untuk bersikap seperti itu. Perkembangannya terlalu pesat ... dia menguasai semua yang dipelajari hanya dalam waktu singkat. Saya khawatir akan bagaimana dirinya saat dewasa nanti, jika di usia sebelia itu pun dia sudah bersikap sedemikian rupa."
Ascal masih dengan tenangnya, memandang halaman di depan mata. Benaknya tertuju pada Bailey, yang menjadi sorot perhatian para petinggi desa akhir-akhir ini.
Benar. Bailey masih muda. Ada banyak hal yang terlewat oleh Ascal, mengenai pertumbuhan dan perkembangan puteranya itu. Satu atap tak menjadikan mereka dekat selayaknya ayah dan anak.
Sesaat kemudian, perhatiannya teralih pada derap langkah cepat dari arah kiri; penjaga dungeon, namun pandangannya tetap lurus ke depan.
"Saya membawa pesan Tuan Muda Bailey untuk dokter Ed," ujar sang penjaga dungeon; menundukkan pandangan. Asisten dokter Ed mengatakan bahwa dokter Ed pergi ke kediaman tuan muda untuk jadwal periksa rutin kesehatan tuan Hunt.
Singkat ucapan mengundang tanya, hingga semua menoleh padanya. Termasuk Ascal. Ia sudah mendengar perihal kepergian Bailey pagi buta tadi.
Dokter Ed menaikkan satu alisnya.
"Katakan!""Katakan pada dokter Ed untuk datang ke rumah Tuan Spencer Porter saat ini juga. Itu adalah pesannya, Tuan." Sang penjaga berkomat-kamit dalam hati, berharap tak akan mendapat masalah atas pesan yang ia bawa itu.
Lagi, dokter Ed menaikkan satu alisnya. Menatap tanya akan gerangan apa yang membuat sang tuan muda memangganggilnya ke kediaman Spencer. Namun kemudian teringat perihal Shaw yang dibicarakan barusan, maka ia pun pamit undur diri dan berlalu dari sana.
"Semoga tidak ada masalah setelah ini," gumamnya. Menunggangi kuda dan memacunya keluar pekarangan mansion Hunt, melaju cepat melewati jalanan hingga perbatasan distrik Aloclya.
"Silakan masuk, Tuan Muda." Spencer membuka pintu rumahnya, membiarkan Bailey dan istrinya masuk terlebih dahulu.
Gracie Baker, langsung menuntun Bailey ke dapur. Menunjuk sebuah ranjang kayu di sana.
"Baring di sana dulu, Tuan Muda," ujarnya. Bergegas mengambil sebaskom kecil air dan handuk kecil untuk membersihkan luka Shaw. Sementara Spencer membantu Bailey membaringkan Shaw dengan posisi telungkup.Kembali Gracie, pelan menggerakkan jemarinya; membersihkan darah di punggung Shaw. Tangannya gemetar, matanya yang sudah berhenti meneteskan air mata pun kembali berembun, meringis melihat luka yang banyak dan dalam di punggung cucunya yang manis. Spencer pun memperhatikan dalam duka, bergetar hati melihat cucunya terkulai dengan luka separah itu. Lalu Bailey, mundur beberapa langkah ke belakang. Tangannya mengepal mencengkram ujung pakaian sembari menggigit sedikit bibir bawahnya guna menahan diri agar tidak menangis. Sesekali ia menengok ke arah ruang depan. Menggerutu dalam hati karena dokter Ed tak kunjung datang.
Shaw yang terkejut menunjukkan tanda-tanda sadar. Tubuhnya berulang kali bergetar dan menegang, matanya terpejam erat agar tak ada air mata menetes darinya. Sentuhan kecil pada kulitnya saja terasa menyakitkan, ditambah sapuan air pada luka-lukanya. Berulang kali ia mengerang dalam hati akan perih luar biasa yang dirasakannya.
"Baiklah, sampai." Dokter Ed berujar lega.
Suara kuda terdengar di luar rumah. Spencer beranjak ke depan dan membuka pintu, mendapati pria muda memakai long coat abu-abu gelap tengah menalikan kekang kuda pada tiang kecil di depan samping rumahnya. Ia tersenyum ramah, membuka pintu lebar; mempersilakan dokter Ed masuk dan menuntunnya ke dapur.
"Oh, astaga!" pekik dokter Ed melihat Shaw. Gracie menoleh, lalu berdiri setelah selesai membersihkan luka Shaw; berlalu ke belakang. Kini terlihat jelas garis-garis cambuk di sana, merah menghitam terbuka. Beberapa memperlihatkan tulang punggung Shaw yang putih. Edvard sigap mendudukkan diri di samping Shaw, membuka kotak obat yang dibawanya. Tangannya lihai mengobati Shaw, sepelan mungkin.
Hening, tak ada lagi yang bersuara setelahnya.
"Lukanya harus dibersihkan 2 kali sehari, dan jangan sampai terkena angin secara langsung terlebih dahulu. Dan Shaw harus istirahat total." Edvard memecah keheningan yang sempat menyelimuti mereka selama beberapa saat, menutup kotak obatnya seraya berdiri.
"Mari minum, Tuan dokter," ajak Gracie, membawa nampan berisi beberapa gelas minum dan cemilan ke ruang tamu. Spencer pergi ke kamarnya, mengambil sesuatu.
"Terima kasih, Nyonya. Tapi sepertinya saya akan langsung kembali ke klinik."
"Tuan dokter," Spencer kembali dari kamarnya. Membawa kantung berwarna krem berukuran sedang. "Ini adalah semua uang yang saya punya. Terima kasih telah mengobati Shaw ... kalau boleh tahu, berapa harga obat untuk mengobati Shaw? Kekurangannya akan saya usahakan bayar segera," ujarnya. Menyodorkan kantung berisi uang logam di tangan.
Edvard tak bergeming, mematung sesaat menatap Spencer dan kantung yang disodorkannya. Terdengar olehnya gemerincing uang logam di dalam sana. Penuturan Spencer membuat Edvard tergugah ... bagaimana pun, uang itu bahkan masih jauh dari kata cukup untuk membayar jasanya sekadar mengecek kondisi Shaw.
Sebagai seorang dokter lulusan universitas terkemuka di negeri luar, Edvard menjadi dokter elite di Zanwan. Pasiennya adalah para petinggi Zanwan dan kerabat-kerabatnya. Hal itu pula lah yang membuatnya direkrut sebagai dokter pribadi keluarga Hunt, pemimpin Zanwan.
Tidak seperti kebanyakan orang lain yang tinggal di kawasan elite di Zanwan, Edvard memiliki pola pikir yang berbeda semenjak ia melancong ke negeri jauh untuk belajar. Dari pengalamannya selama belajar di negeri lain itulah, Edvard belajar tentang banyak hal yang tak didapatkannya di Zanwan. Pola pikir dan perasaannya pun berubah seiring ilmu dan pengetahuan yang ia dapatkan.
Baru saja Edvard hendak membuka mulutnya, Bailey sudah bersuara.
"Tidak perlu, Kakek. Bayaran dokter Ed dan obatnya, aku yang akan menanggungnya," tutur Bailey. Tersenyum lembut pada Spencer. Lalu sekali lagi, untuk sesaat Edvard mematung. Ini adalah kali pertama Edvard melihat Bailey tersenyum serekah itu, dan mendengar bagaimana tuan muda itu memanggil Spencer membuat Edvard tertegun, 'sedekat itukah Tuan Muda engan keluarga ini?' batin Edvard."Tapi ...." Spencer meragu. Tak enak hati pada Bailey, pun tak ingin ada masalah apapun yang menghampiri keluarganya di masa depan.
Raut muka Bailey berubah. Ia memasang wajah cemberut.
"Aku punya uang, Kakek ... Dan, bukankah Kakek bilang kalau Kakek menganggapku seperti cucu Kakek sendiri? Biasanya Shaw yang membantu kalian, bekerja dan menghasilkan uang untuk kebutuhan sehari-hari. Nah, berhubung sekarang Shaw sedang terluka, maka biarkan aku menggantikannya untuk sementara." Bailey melipat tangan dan menggelembungkan pipi, masih dengan ekspresi cemberutnya.Suara kekehan lolos dari bibir Shaw. Membuat Bailey, Edvard, dan Spencer menoleh. Gracie yang baru kembali dari ruang tamu menatap Shaw dengan terharu. Ia mendekat; membantu Shaw yang berusaha duduk."Kau bilang kau punya uang?" tanya Shaw. Menatap Bailey yang dibalas anggukan sang tuan muda.Lagi, Shaw terkekeh. Menampilkan sedikit deretan gigi putihnya."Kalau uang yang kau maksud itu adalah pemberian dari ayah atau keluargamu yang lain, kerabatmu, petinggi desa atau lainnya, maka urungkan niatmu. Bagimu itu uangmu, tapi bagiku itu bukan uangmu.""Kenapa?" Bailey menatap polos penuh tanya."Semua uang itu, bisa saja menjadi pemicu ... bahan bakar masalah di kemudian hari, dan kau mungkin saja akan tersudutkan. Aku tidak ingin ada resiko, perintah atau hukuman yang tidak berdaya untuk ditentang ketika kita seharusnya mampu melakukannya." Shaw menjelaskan."Aku mengerti. Kalau begitu aku akan bekerja dan menghasilkan uangku sendiri." Bailey me
Bailey berdecak."Ketahuilah, Ayah ... kebenaran adalah kebenaran. Tak ada seorangpun yang dapat membendung ketika kebenaran sudah tiba pada waktu untuk menunjukkan dirinya. Ayah tidak tahu, 'kan, apa yang sebenarnya diinginkan dan diharapkan penduduk Zanwan?" tanya Bailey seraya menatap lekat Ascal. Berharap ayahnya itu akan memahami maksud dari perkataan juga sorot matanya."Zaman sudah berubah. Aku menginginkan kebebasan sebagaimana orang lain menginginkannya." Suaranya lebih tenang kali ini.Sejenak Bailey menghela napas, mengalihkan pandangan; menatap roti di piring, lalu melanjutkan, "Akan kupikul beban berat di pundak Ayah. Aku ... Aku tak keberatan untuk menggantikan Ayah nantinya, meneruskan tahta Ayah seperti yang seharusnya. Aku tak keberatan mengorbankan hidupku untuk Zanwan, melupakan semua mimpi menjelajah dunia luar dan mengabdi pada Zanwan. Tapi--"Lagi, Bailey mengh
"Tidurlah dengan nyenyak ...." ucap Spencer lirih. Mengusap lembut kepala Shaw.Perapian di dapur sudah dinyalakan. Berat Spencer dan Gracie melajukan tungkai ke kamar, meninggalkan Shaw terbaring sendiri; bermalam di ranjang kayu di dapur, tanpa selimut. Bukan tak ada, hanya saja tak bisa dipakai sesuai fungsinya. Luka di punggung Shaw belum pulih.Derit pintu terdengar, menandakan Spencer dan Gracie sudah masuk ke ruang peristirahatan mereka. Perlahan Shaw membuka mata, mengerjap tak bersuara. Otak dan batinnya mulai kembali riuh. Kalbu merapal pelajaran yang disampaikan Bailey petang tadi."๐๐ข๐ฌ ๐ข๐ฅ๐ข ๐ฑ๐ฆ๐ฏ๐บ๐ข๐ฌ๐ช๐ต ๐บ๐ข๐ฏ๐จ ๐ต๐ข๐ฌ ๐ฃ๐ช๐ด๐ข ๐ฅ๐ช๐ด๐ฆ๐ฎ๐ฃ๐ถ๐ฉ๐ฌ๐ข๐ฏ ๐ฌ๐ฆ๐ค๐ถ๐ข๐ญ๐ช ๐ฌ๐ฆ๐ฎ๐ข๐ญ๐ข๐ด๐ข๐ฏ. ๐๐ข๐ฌ ๐ข๐ฅ๐ข ๐ฐ๐ฃ๐ข๐ต ๐บ๐ข๐ฏ๐จ ๐ต๐ข๐ฌ ๐ฃ๐ฆ๐ณ๐จ๐ถ๐ฏ๐ข ๐ด๐ฆ๐ญ๐ข๐ช๐ฏ ๐ฌ๐ถ๐ณ๐ข๐ฏ๐จ๐ฏ๐บ๐ข ๐ฑ๐ฆ๐ฏ๐จ๐ฆ๐ต๐ข๐ฉ๐ถ๐ข๐ฏ." Hanya sebuah kata mutiara dari Ibnu Sina, yang Bailey hafalkan dari buku yang
"Penjagaan di selatan lebih ketat ... aku tidak mungkin ke sana. Tapi jalan yang kulewati kemarin lalu bersama Kak Daniel pun tidak bisa kulewati lagi ... penjagaannya pasti ditambah." Mulutnya bergerak, bersahutan dengan pikirannya.".... Hilir sungai perbatasan di barat lebih mudah dicapai, tapi membutuhkan waktu lebih lama. Dan tentu penjagaannya pasti ditambah juga."Shaw menegakkan diri; melipat tangan, mengetuk-ngetuk pelan hidungnya dengan jari telunjuk tangan kanan. Pandangannya masih terarah pada peta, mencari celah sembari otaknya memikirkan cara terbaik untuk sampai ke pesisir dan kembali tanpa ketahuan; secepat mungkin. Sesekali meringis ia, merasakan gelenyar perih di punggungnya.Beberapa hari beristirahat total dengan makan dan obat teratur membuat lukanya berangsur membaik dengan cepat, namun belum bisa dikatakan sembuh 50%."Aha!" Shaw mengangkat jari telunjuk tangan kanannya. Matanya melebar cerah menanggapi ide yang terlin
"Baiklah, apa saja yang perlu kubawa untuk nanti?" Shaw bertanya pada dirinya sendiri. Melangkah lebar-lebar dengan riang dan semangat menuju kamar."Sepertinya aku harus mencatatnya dulu," ucapnya. Menghampiri meja dan meraih buku catatan. Namun tangannya terhenti saat matanya menatap sesuatu yang tidak asing. Tas pemberian Daniel!Mata Shaw membulat. Diraih lalu dirabanya tas yang terpampang di hadapan. Dicek pula isinya. Lalu dimiringkan ke depan, kiri, kanan, belakang. Memastikan itu adalah tas yang sama."Ini tas dari Kak Daniel!" ujarnya dengan nada tidak percaya."Tapi bagaimana bisa ada di sini? Siapa yang membawanya ke sini?" tanyanya. Mengangkat kepala melihat ke jendela yang tertutup. Keningnya berkerut."Aku." Sebuah suara muncul dari belakang. Shaw membalik badan; menatap waspada namun juga penuh tanda tanya pada sosok misterius yang bersandar pada lemari."Siapa?" tanya Shaw penasaran.Sosok itu maju bebera
'Tetap pergi atau batalkan?' Gundah Shaw dalam hati. Tujuan utama pergi mencari panasea dan mengajak Bold adalah agar bisa kembali ke barat daya dan mengambil tas pemberian Daniel, tapi sekarang tas itu sudah kembali padanya."Jadi, kalian akan langsung pergi?" Spencer meletakkan sebuah keranjang penuh apel merah yang sudah dicuci. Ia masukkan apel itu ke dalam dua wadah."Benar, Kek. Kami akan langsung pergi ... biar tidak kesorean nanti pulangnya, soalnya ini sudah mau siang." Shaw menjawab. Merapikan pakaiannya. 'Pergi sajalah ... aku sudah terlanjur bilang, Bailey pun pasti sudah mengatakan itu pada orangtuanya.'"Ya sudah, berhati-hatilah. Ini ada apel yang sudah masak. Kakek memetiknya pagi-pagi sekali hari ini," ujar Spencer. Memberikan sekantung apel merah pada Bailey dan Edvard."Terima kasih, Kek." jawab Bailey dan Edvard.Kuda berpacu menjauh, membelah jenggala. Menuju distrik Aloclya.Shaw menengok ke arah kiri saat s
"Yeayy!!" Shaw melompat riang. Membuat Bailey dan Bold sedikit terkejut. "Bold mau!" serunya. Tersenyum senang."Tidak." Bold menjawab. Membuat air muka Shaw berubah. Ia menunduk murung."Aku akan berubah pikiran kalau kau bisa menjatuhkan pedangku." Bold menambahkan.Shaw mengangkat wajah, mengukir kembali senyumnya."Bertarung?" tanyanya."Shaw belum sembuh benar ... biar kugantikan." Bailey mengusulkan."Tidak apa, Bailey .... Tidak masalah," ujar Shaw kemudian. Mundur beberapa langkah dan mencabut pedang dari sarung di sisi kiri."Haah ... ya sudah." Bailey mengalah. Menepi; membiarkan Shaw dan Bold melanjutkan. Beberapa prajurit di sana menoleh ketika mendengar pedang Shaw dan Bold mulai beradu, kemudian mendekat dan menonton di tepian; penasaran siapa yang akan menang. Ini adalah momen langka bagi mereka juga Bailey. Ia bisa melihat bagaimana Shaw menggerakkan pedangnya jika bertarung dengan orang lain selain
"Shaw. Namaku Shaw.""Hanya Shaw?" tanya Baldric lagi. Shaw mengangguk."Hmm ... baiklah, silakan diminum." Baldric duduk. Mengambil gelas berisikan air jeruk manis dan meminumnya."Tuan Muda ... terima kasih sudah beranjang dan membawa Shaw serta.""Hum. Jadi, kenapa Profesor ingin bertemu Shaw?" Bailey tidak bisa menahan diri lagi untuk tidak mengajukan pertanyaan yang muncul dalam benaknya sejak pagi."Saya hanya ingin melihat secara langsung. Ah, kalian pasti belum makan ... mari kita makan!"Baldric berdiri, menggandeng tangan Bailey dan Shaw hingga keduanya mau tak mau berdiri mengikuti. Sedang Bold tetap diam di tempat. Dalam benaknya, Bold berpikir bahwa dirinya tidaklah pantas untuk ikut serta. Di ruang tamu, mereka semua bisa duduk dalam jajar dan tinggi kursi yang sama. Tapi di meja makan, itu adalah hal lain lagi ... tempat yang berbeda.Baldric menolehkan kepala. Melempar senyum hangat pada Bold yang tak ber
Atmosfer terasa lebih ramah. Irama dari ranting-ranting dan dahan oleh angin terdengar lebih wajar dibandingkan tadi. Shaw makin yakin, semua karena Morth. Atmosfer, halusinasi, entah apa lagi yang Morth sebabkan. Satu pertanyaan besar dalam benak Shaw, siapa Morth sesungguhnya? Mengapa seisi jenggala sunyi hingga seluruh penjurunya seakan-akan berada di bawah kaki tangan Morth?โKau pikirkan aku?โ Morth tiba-tiba bertanya. Rupanya ia mengekori Shaw.Huh? Apa Morth juga bisa membaca pikiran?Shaw menengok ke belakang, langkahnya melambat. โJangan katakan kau dapat menembus kepala orang.โโKau banyak bertanya, belum tuntas seluruhnya.โ Morth mensejajarkan diri. Sejenak, ia melihat Shaw dari atas ke bawah. โOrang keras kepala seperti kau tentu akan merenungkannya. Aku benar, bukan?โโKita baru saling tahu beberapa saat lalu dan kau yakin sekali dengan kata-katamu. Antara kau pandai menilai atau hanya pandai berasumsi.โ Shaw menggeleng. Pandangan ia tujukan ke depan.Morth menyentuh leng
Tanduk. Hal pertama yang dilihat oleh Shaw dari sumber suara adalah tanduk, tersembunyi di antara dedaunan semak belukar setinggi pinggang orang dewasa.Shaw mengernyit, kemudian bergumam lirih, nyaris tak bersuara, "Itu seperti tanduk rusa."Sepasang mata semerah darah terlihat dari celah dedaunan. Shaw menelan ludah. Ia tahu betul itu bukan mata hewan biasa, apalagi manusia. Tidak ada satu pun penduduk desa yang pernah ditemuinya memiliki mata seperti itu.Mungkinkah ini yang Fu maksud? Apapun itu, merasakan haki tidak biasa dari sang sosok misterius membuat Shaw merasa dirinya tidak boleh berlama-lama.Diliputi kewaspadaan dan dengan suara tercekat, ia berucap dalam hati, "Aku harus segera pergi dari sini."Tanpa melakukan pergerakan yang kentara serta dengan posisi kepala yang masih sama, tatapan Shaw menyisir sekitar; memastikan tidak ada keanehan lain. Ia yang semula berjongkok pun perlahan berdiri sepelan mungkin. Namun, bak lelah bermain petak umpet, ransel yang Shaw gendong m
"Tetap tidak bisa! Terlalu berbahaya. Kau kan tahu lebih baik daripada aku, Tibate." Fu mengangkat kepala, menatap lurus Tibate dan Baldor. Ini bukan waktu yang tepat, pikir Fu. "Lagi pula aku bisa menjaga diri. Akan kupanggil kalian jika hal buruk terjadi dan aku tidak bisa mengatasinya.""Kau bisa tinggal, Fu. Aku akan melanjutkan perjalananku seorang diri," sela Shaw, angkat bicara setelah menimang-nimang."Tidakโ""Aku juga akan meninggalkan kudaku di sini." Shaw menepuk pundak Fu. Ia serius ingin Fu tinggal. "Bold bilang ada danau dan tebing. Jadi, aku tidak bisa membawa kudaku. Selain itu, kau bisa mengawasi keadaan hutan dan mengabariku. Kau juga terluka, Fu. Jangan bersikeras seolah kau baik-baik saja. Bagaimanapun kau juga masih anak-anak."Ini adalah tugas Shaw. Sejak awal, Shaw memulainya sendiri, dan ia harus melanjutkannya sendiri. Shaw tidak ingin merepotkan.Fu berdecak, tidak terima, tetapi juga tidak menyangkal ataupun menyanggah. Bertemu Baldor dan Tibate membuatnya
Pria berjanggut memperhatikan sambil mengusap-usap janggut dan kumisnya. Saat otaknya mengingat sesuatu tentang Fu, matanya seketika melebar."Kau ingin aku mencincangmu, hah?!" Tibate berseru.Setelah ikan bakarnya rusak, sekarang dirinya yang nyaris terbakar. Pria plontos itu tidak terima.Tibate menghentak tanah dengan kakinya, bergantian kaki kanan dan kaki kiri. Pegangannya pada gagang pedang semakin erat dan erat.Fu melompat mundur, mengambil sikap siaga dan meningkatkan kewaspadaannya. Ia siap dengan apapun yang akan Tibate lakukan untuk membalasnya.Sebelum Tibate menyerang balik, pria berjanggut yang masih menggenggam keranjang bambu itu berjalan ke depan Tibate, lalu berdiri memunggungi Fu dan Shaw."Kau mau dikutuk atau sudah bosan hidup?!" tanyanya."Apa maksudmu? Kalau kau hanya ingin aku berhenti memberi anak itu pelajaran, sebaiknya kau minggir!" balas Tibate."Kau tahu kau sedang berhadapan dengan siapa? Kau tidak berencana mengingkari janjimu pada Jenderal Besar, 'ka
"Apa kau sedang bercanda?" Tibate mendengus kasar. Ia tampak tidak suka.Pria plontos itu tahu dirinya sudah hidup lama, tetapi bukan berarti ingatannya menua. Ia tahu ingatannya masih berfungsi dengan sangat baik. Ia sangat meyakini itu."Aku tidak bercanda," sanggah Fu, berkacak pinggang. "Kau memberitahukannya sendiri padaku saat aku memberimu buah persik. Kalau kau masih tidak ingat, berarti ada yang salah dengan ingatanmu," imbuhnya.Buah persik?Tibate mengerutkan kening. Ia merasa tidak asing, tetapi tidak mengingat apapun."Sudahlah. Lebih baik kalian pulang sekarang, dan akan kuanggap ini tidak pernah terjadi," ujar Tibate seraya memasang wajah serius."Tidak bisa!" Shaw berseru. "Aku harus pergi ke tenggara!""Ya. Kami tidak bisa kembali ke desa saat ini," Fu menimpali.Tibate memukulkan ujung pedangnya ke tanah, menimbulkan gelombang angin yang kencang. Dedaunan dan batu kerikil tersapu, begitu pun Fu dan Shaw yang ikut terpental."Aduh ...." Shaw mengerang, berusaha bangun
Menjelang pagi, suara kehidupan awal sekali menggaung. Beberapa penduduk desa sudah mulai melakukan aktivitas mereka. Sebagian di dalam rumah, sebagian di luar rumah.Satu di antara manusia yang telah lepas dari peraduannya adalah Wilton. Ia bertugas pagi kali ini."Selalu rajin, ya." Zander berkomentar. Kuda-kuda di kandang bersuara antusias saat Zander memberi mereka makan."Tidak juga. Aku hanya tidur cukup nyenyak semalam, dan tubuhku merasa lebih segar saat aku bangun. Jadi, ya, mungkin lebih bersemangat," sahut Wilson seraya terkekeh kecil."Padahal kau hanya tidur sebentar, 'kan, semalam," Celetuk Zander. Tangannya cekatan melipat karung-karung rumput yang sudah kosong.Wilton tersenyum cerah menanggapinya. Ia memeras kain yang dipakai untuk mengelap kuda yang akan ia pakai untuk mengantar Bailey ke sekolah."Sebentar pun tetap saja namanya tidur, Zan," kata Wilton, keluar dari kandang sambil membawa kain basah dan ember hitam kecil."Ya, tidak salah."Suara derap kaki nyaring
"Ada yang menarik perhatianmu, Vid? Aku sampai mengantuk menunggumu." Bailey menimpali."Ah, maaf maaf .... Tadi ada yang harus kulakukan. Ada sesuatu! Jadi, aku kembali lebih lama," ujar Avidius seraya tersenyum canggung.Avidius adalah cucu Barid. Ia satu sekolah dengan Leonere."Sesuatu apa?" Leonere bertanya.Avidius, remaja berkulit putih kemerahan dengan senyum manis dan lesung pipi itu mengeluarkan sebuah kain merah dari saku pakaian di balik jubahnya. Saat kain dibuka, Leonere dan Bailey membulatkan mata melihat benda yang terpampang di sana."Bukankah ituโ" Kata-kata Leonere terhenti. Ia mendekat tergesa dan memegang benda yang ditunjukkan Avidius. "Ini kan ....""Dari mana kau menemukan itu?" tanya Bailey yang juga mendekat.Avidius melirik ke arah belakang sesaat, memastikan sekitarnya aman. Senyumnya pudar seketika."Dari hutan barat laut. Aku menemukannya tadi," bisik Avidius, tampak serius.Bailey dan Leonere tercengang lalu saling menatap. Pikiran keduanya seolah tersam
"Tidak ada yang gratis," sahut Fu seraya menyeringai tipis.Shaw berdecak. "Kubayar dengan manisan.""Apa itu? Tidak cukup! Informasiku sangat mahal, kau tahu.""Ck, kubayar dengan makanan lain. Kau bebas memintanya, dan aku akan membuatkannya untukmu," tawar Shaw.Fu menyeringai penuh kemenangan kini. Sebuah siasat terlintas di benaknya."Bisa dipertimbangkan," kata Fu. Sesaat kemudian seringai di wajahnya hilang, berganti raut serius. "Kurangi kecepatan kudanya. Melewati batang pohon besar di depan itu, buat kudanya berjalan biasa.""Huh? Oke."Shaw percaya pada Fu. Ia mengikuti instruksi Fu tanpa ragu.Pohon-pohon besar yang dimaksud Fu berada 20 meter dari mereka. Warna pohonnya gelap, seolah melambangkan sesuatu yang misterius dan tampak mati. Pepohonan itu seakan telah terbakar. Meski begitu, dedaunannya sangat rimbun.Melewati dua pohon besar tersebut, kuda memasuki jenggala yang lebih gelap dan sunyi dari sebelumnya. Sekeliling tampak benar-benar gelap dengan aura yang terasa
"Ya sudah." Eroth menghela napas.Selain belajar bersikap baik pada budaknya, Eroth pun belajar untuk tidak memaksakan kehendak. Ya, itu sungguhan, bukan sandiwara yang dibuat-buat.Di depan mereka, Aaban mendengarkan dalam diam. Komandan itu sibuk dengan pikirannya.Menjelang ujung dari jenggala ketiga, Fu tiba-tiba berujar. Suaranya terdengar serius di telinga Shaw."Berhenti, Shaw."Shaw menghentikan laju kuda dan melirik Fu. "Ada apa?""Kita ambil jalan lain," tukas Fu."Kenapa? Ada apa dengan jalan ini?""Ada sesuatu di depan. Hakinya tidak jauh berbeda dengan Kaye dan teman-temannya.""Ha?"Shaw menatap lurus, lalu memejamkan mata. Ia mencoba merasakan haki di depan, tetapi tidak merasakan atau melihat apapun."Aku tidak merasakan apapun," kata Shaw seraya membuka mata.Fu berdecak dan memegang kedua pundak Shaw. Aliran haki mengalir dari tangannya."Coba lihat lagi," kata Fu. Shaw mengiyakan.Bayangan sosok berjumlah lebih dari 10 terlihat di kejauhan di depan, dengan haki yang