'Tetap pergi atau batalkan?' Gundah Shaw dalam hati. Tujuan utama pergi mencari panasea dan mengajak Bold adalah agar bisa kembali ke barat daya dan mengambil tas pemberian Daniel, tapi sekarang tas itu sudah kembali padanya.
"Jadi, kalian akan langsung pergi?" Spencer meletakkan sebuah keranjang penuh apel merah yang sudah dicuci. Ia masukkan apel itu ke dalam dua wadah.
"Benar, Kek. Kami akan langsung pergi ... biar tidak kesorean nanti pulangnya, soalnya ini sudah mau siang." Shaw menjawab. Merapikan pakaiannya. 'Pergi sajalah ... aku sudah terlanjur bilang, Bailey pun pasti sudah mengatakan itu pada orangtuanya.'
"Ya sudah, berhati-hatilah. Ini ada apel yang sudah masak. Kakek memetiknya pagi-pagi sekali hari ini," ujar Spencer. Memberikan sekantung apel merah pada Bailey dan Edvard.
"Terima kasih, Kek." jawab Bailey dan Edvard.
Kuda berpacu menjauh, membelah jenggala. Menuju distrik Aloclya.
Shaw menengok ke arah kiri saat sampai di hamparan padang rumput; melihat rute jalan yang dilaluinya saat pelarian bersama Daniel. Tampak beberapa bangunan telah selesai direnovasi, juga orang-orang yang sibuk melakukan pekerjaan mereka di bangunan lainnya."Ada apa?" Bailey membuka suara. Melirik ke belakang sekilas.
"Tidak, hanya melihat perbaikan bangunan di sana itu," tunjuk Shaw ke arah barat.
"Ramai?" tanya Bailey lagi. Shaw mengangguk.
"Ayah memerintahkan untuk membuka lebih banyak lowongan dan merekrut lebih banyak orang, katanya agar renovasi lebih cepat selesai." Bailey menjelaskan tanpa menoleh. Fokus pada kuda dan jalanan.
Birai setebal 50 cm berdiri kokoh di kedua sisi jembatan yang melengkung di sungai perbatasan. Abu-abu gelap warnanya menyempurnakan pemandangan. Berbaur dengan jernihnya air sungai, hitam batu, cokelat batang pepohonan, hijau daun dan terangnya cahaya yang menyelusup malu-malu. Jenggala asri ini akan lebih berwarna saat musim semi dan musim gugur.
"Rasanya hutan ini semakin indah saja," Shaw berkomentar. Di depan, kekehan terdengar dari Bailey. Merasa lucu akan Shaw yang seperti seorang pengunjung sedang berkeliling.
Bangunan rumah-rumah bak istana dengan halaman seperti taman yang luas nan indah tersuguhkan di depan mata begitu melewati hutan. Sungguh berbanding terbalik dengan distrik acilav yang sederhana.
Asrama pasukan elite Zanwan terletak tak jauh dari mansion Hunt. Terpisah oleh hampar pekarangan, dinding pagar, dan jalanan. Mansion Hunt sendiri memiliki halaman yang luas seperti taman seribu bunga. Ini dikarenakan nyonya besar--Jillian suka sekali tanam-menanam, terutama bunga.
Keluarga pemimpin Zanwan seharusnya tinggal di mansion tertua di Zanwan, sebuah bangunan menyerupai kastil dengan hamparan padang rumput yang luas. Letaknya di dekat bukit utara. Namun, Ascal dan Jillian sepakat menolak. Keduanya memilih tinggal di rumah yang mereka bangun dari uang mereka berdua. Memilih dekat dengan asrama pasukan elite Zanwan karena pada saat itu Ascal sering bolak-balik ke sana ... entah untuk melihat prajurit berlatih atau latihan sendiri.
Dahulu pula pemimpin di Zanwan dipanggil dengan sebutan Yang Mulia ... panggilan khas untuk seorang raja. Namun, sejak Ascal dilantik, panggilan itu dihapuskan. Banyak suara yang tidak setuju dan sempat terjadi perdebatan panas di ruang rapat, namun Ascal mengabaikan semuanya.
"๐๐ฃ๐ถ๐ฌ๐ถ ๐ฃ๐ช๐ญ๐ข๐ฏ๐จ ... ๐ต๐ช๐ฏ๐จ๐จ๐ข๐ญ ๐ฅ๐ช ๐ฌ๐ข๐ด๐ต๐ช๐ญ ๐บ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฃ๐ฆ๐ด๐ข๐ณ ๐ฅ๐ข๐ฏ ๐ฎ๐ฆ๐จ๐ข๐ฉ ๐ฎ๐ฆ๐ฎ๐ฃ๐ถ๐ต๐ถ๐ฉ๐ฌ๐ข๐ฏ ๐ฑ๐ฆ๐ณ๐ข๐ธ๐ข๐ต๐ข๐ฏ ๐บ๐ข๐ฏ๐จ ๐ญ๐ฆ๐ฃ๐ช๐ฉ ๐ณ๐ถ๐ฎ๐ช๐ต, ๐ถ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฅ๐ข๐ฏ ๐ต๐ฆ๐ฏ๐ข๐จ๐ข ๐บ๐ข๐ฏ๐จ ๐ญ๐ฆ๐ฃ๐ช๐ฉ ๐ฃ๐ข๐ฏ๐บ๐ข๐ฌ, ๐ซ๐ถ๐จ๐ข ๐ฎ๐ฆ๐ฎ๐ฑ๐ฆ๐ณ๐ฃ๐ฆ๐ด๐ข๐ณ ๐ค๐ฆ๐ญ๐ข๐ฉ ๐ถ๐ฏ๐ต๐ถ๐ฌ ๐ฅ๐ช๐ฎ๐ข๐ด๐ถ๐ฌ๐ช ๐ฐ๐ณ๐ข๐ฏ๐จ ๐ข๐ด๐ช๐ฏ๐จ. ๐๐ข๐ฅ๐ช ๐ญ๐ฆ๐ฃ๐ช๐ฉ ๐ณ๐ข๐ธ๐ข๐ฏ ๐ฃ๐ข๐ฉ๐ข๐บ๐ข. ๐๐ข๐ณ๐ฆ๐ฏ๐ข ๐ช๐ต๐ถ๐ญ๐ข๐ฉ, ๐ข๐บ๐ข๐ฉ ๐ฅ๐ข๐ฏ ๐ช๐ฃ๐ถ ๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐ฐ๐ญ๐ข๐ฌ ๐ถ๐ฏ๐ต๐ถ๐ฌ ๐ต๐ช๐ฏ๐จ๐จ๐ข๐ญ ๐ฅ๐ช ๐ด๐ข๐ฏ๐ข. ๐๐ฃ๐ถ ๐ซ๐ถ๐จ๐ข ๐ฃ๐ช๐ญ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฌ๐ข๐ญ๐ข๐ถ ๐ด๐ฆ๐ซ๐ข๐ฌ ๐ฌ๐ฆ๐ค๐ช๐ญ, ๐ข๐บ๐ข๐ฉ ๐ต๐ช๐ฅ๐ข๐ฌ ๐ด๐ถ๐ฌ๐ข ๐ฅ๐ช๐ฑ๐ข๐ฏ๐จ๐จ๐ช๐ญ ๐ฅ๐ฆ๐ฏ๐จ๐ข๐ฏ ๐ฑ๐ข๐ฏ๐จ๐จ๐ช๐ญ๐ข๐ฏ ๐ฃ๐ฆ๐ณ๐ฃ๐ข๐ถ ๐ฌ๐ฆ๐ณ๐ข๐ซ๐ข๐ข๐ฏ. ๐๐ข๐ฌ๐ข ๐ฅ๐ข๐ณ๐ช ๐ช๐ต๐ถ, ๐ข๐บ๐ข๐ฉ ๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐จ๐ฆ๐ญ๐ถ๐ข๐ณ๐ฌ๐ข๐ฏ ๐ฑ๐ฆ๐ณ๐ช๐ฏ๐ต๐ข๐ฉ ๐ฅ๐ข๐ฏ ๐ฑ๐ฆ๐ณ๐ฏ๐บ๐ข๐ต๐ข๐ข๐ฏ ๐ถ๐ฏ๐ต๐ถ๐ฌ ๐ฎ๐ฆ๐ฎ๐ข๐ฏ๐จ๐จ๐ช๐ญ๐ฏ๐บ๐ข ๐ฅ๐ฆ๐ฏ๐จ๐ข๐ฏ ๐ฑ๐ข๐ฏ๐จ๐จ๐ช๐ญ๐ข๐ฏ ๐บ๐ข๐ฏ๐จ ๐ด๐ข๐ฎ๐ข ๐ด๐ฆ๐ฑ๐ฆ๐ณ๐ต๐ช ๐ฐ๐ณ๐ข๐ฏ๐จ ๐ญ๐ข๐ช๐ฏ ๐ด๐ฆ๐ต๐ฆ๐ญ๐ข๐ฉ ๐ฑ๐ฆ๐ญ๐ข๐ฏ๐ต๐ช๐ฌ๐ข๐ฏ." Bailey menuturkan suatu hari, kala Shaw bertanya padanya mengenai kastil dan panggilan yang dihapuskan.
Shaw hanya melihat sekilas mansion Hunt dari celah pagar besi yang tinggi lagi kokoh. Terlihat jelas hamparan taman bunga di halaman depannya.
Sementara kuda yang ditunggangi Shaw dan Bailey melambat; bersiap untuk berbelok masuk ke kawasan asrama prajurit elite Zanwan, Edvard menghentikan lajunya.
"Saya hanya mengantar sampai di sini, ya." Edvard berujar.
"Terima kasih, Tuan Dokter." Shaw menyahut.
"Hati-hati di jalan," sambung Bailey.
"Shaw, kalau mulai merasa tidak nyaman punggungnya, lepaskan bajunya beberapa saat sampai merasa lebih baik. Dan ingat, jangan memberi tekanan berlebih." Edvard mengingatkan.
"Roger, Kapten!" seru Shaw semangat. Mengangkat tangan membuat pose hormat. Edvard terkekeh dibuatnya.
"Baiklah, saya pergi dulu," pamit Edvard. Memperbaiki posisi tas di gendongannya. "Semoga sukses!" lanjutnya. Tersenyum. Menekuk siku, mengepalkan tangan ke atas lalu menariknya ke bawah.
Para prajurit yang sedang mengobrol, berlatih, dan melakukan aktivitas lainnya berangsur menegapkan daksa dan menundukkan pandangan seiring mata mereka menangkap kehadiran sang tuan muda.
"Woaahh ... luasnyaa ...." Shaw menatap takjub sekeliling. Suaranya yang jadi terdengar lebih kencang karena suasana hening, membuat beberapa prajurit sedikit mengangkat kepala mereka; mencuri pandang pada Shaw. 'Itukah anak yang dimaksud dalam kabar itu?' tanya mereka dalam hati.
Seorang prajurit yang sedang bertugas jaga berlari dari arah jam 9. Mendekati Shaw dan Bailey yang hendak turun dari kuda.
"Adakah sesuatu yang bisa saya bantu, Tuan?" tanyanya. Menatap bumi."Aku mencari Bold. Di mana dia?" tanya Bailey. Turun dari kuda setelah Shaw.
"Tadi pagi saya melihat Bold di halaman belakang, Tuan. Mari saya antar ke ruangan untuk menunggu, biar saya panggilkan Bold sesudahnya," ujar sang prajurit.
"Terima kasih, tapi tidak usah. Kami akan menemuinya sendiri. Umm ... minta tolong bawa kuda ke tempat yang lebih teduh boleh?" Bailey melihat sekeliling. "Bawa ke mana saja asal tidak terlalu jauh," tambahnya.
"Seperti yang Anda katakan, Tuan Muda." Sang prajurit merespon. Shaw dan Bailey mengucapkan terima kasih juga pamit melanjutkan langkah menuju lorong. 'Betapa santunnya,' batin sang prajurit. Menatap punggung Shaw dan Bailey sepersekian detik, lalu menarik kekang kuda ke dekat pos jaganya.
Suara denting pedang memenuhi udara. Terlihat di lapangan yang luas di tengah bangunan asrama itu, para prajurit yang berlatih. Namun bising itu tak bertahan lama. Seperti di luar tadi, perlahan berangsur mereka menegapkan daksa dan menundukkan pandangan ketika mata menangkap kehadiran sang tuan muda.
"Tuan, Anda berdarah!" Shaw sedikit berteriak, berlari menghampiri seorang prajurit dengan kaos pendek berwarna hitam polos yang tergores tangan kirinya oleh pedang. Sayatan tipis sepanjang 7 cm itu terlihat jelas di sana.
Aksi Shaw sontak menjadi perhatian prajurit lain, termasuk Bailey yang segera menghampiri.
"Shaw, ingat kata Kakek. Kau harus berhati-hati." Bailey mengingatkan. Menghela napas kecil."Sebentar," jawab Shaw singkat. Mengeluarkan sebuah kain berwarna hijau tua yang terlipat persegi dari sakunya. "Berikan tangan Anda, Tuan."
"T-tidak apa, ini hanya luka kecil." Sang prajurit menarik tangan kirinya ke belakang; berusaha menyembunyikan.
Tak mengindahkan, Shaw menarik tangan kiri sang prajurit lalu mengikatkan kain menutupi lukanya.
"Luka sekecil apapun bisa jadi masalah dan penyebab luka lain yang lebih serius jika dibiarkan berlama-lama ... terlebih jika terkena udara bebas." Shaw berujar. Menalikan ujung kain sekali lagi. "Nah, sudah," imbuhnya. Menepuk tangan sekali dan mengangkat wajah menatap sang prajurit. "Nanti segera obati kalau sudah selesai berlatih, ya- ...."
Sang prajurit terbengong-bengong, kemudian mengangguk pelan.
"B-baik, terima kasih ...," tukasnya. Kehabisan kata-kata. Sampai Shaw dan Bailey berlalu menjauh, sang prajurit tak mengatakan apapun lagi. Hanya menatap punggung dua bocah lelaki itu."Apakah dia anak yang dibicarakan itu?" Prajurit lain bertanya dengan suara pelan.
"Kurasa iya. Buktinya dia terlihat bersama Tuan Muda," respon prajurit lain.
Image Bailey yang terkenal dingin dan tak mudah didekati apalagi diajak berteman sudah menyebar luas, menjadi rahasia umum di kalangan penduduk Aloclya. Melihat Bailey berjalan dan pergi bersama orang lain sebayanya adalah sesuatu yang langka.
"Baik sekali dia," sahut prajurit yang lain lagi. Lalu suasana kembali seperti semula; para prajurit meneruskan latihannya.
"Itu Bold!" Bailey melempar pandangan pada seseorang yang berlatih pedang di tanah lapang, di halaman belakang asrama yang sepi.
"Ruciragati sekali gerakannya ... tajam pandangan lagi tenang. Pantas saja dia menjadi yang terbaik di Zanwan." Shaw berkomentar. Terkesima melihat gerakan pedang Bold yang lembut namun tegas.
"Benar. Dia menghanyutkan sekaligus mematikan." Bailey mengangguk setuju.
Bold, begitu ia biasa dipanggil. Adalah seorang yang jagur, seniman bela diri dan prajurit terbaik di zanwan. Ia bergabung ke dalam pasukan elite 7 tahun lalu, saat usianya 16 tahun. Setelah melewati proses seleksi yang ketat dan berat.
Merasa diperhatikan, Bold menoleh. Mendapati Shaw dan Bailey berajalan mendekat. Mengenali kedua bocah itu, Bold menundukkan pandangan. Bukan karena Shaw, tetapi Bailey.
"Angkat kepalamu, Bold." Bailey memerintah.
"Bold! Bagaimana kabarmu?" Pertanyaan dengan nada riang dari Shaw menyambut di detik Bold mengangkat kepala.
"Kabarku baik. Bagaimana denganmu? Kudengar kau terluka parah." Bold menatap tanpa ekspresi.
"Kabarku juga baik!" Shaw menjawab seraya tersenyum cerah.
"Shaw, beritahukan." Bailey menatap Shaw seraya memberi anggukan. Shaw menatap Bailey sekilas dan balas mengangguk, lalu menatap Bold yang masih menampilkan wajah tanpa ekspresi.
"Bold, aku ingin memintamu untuk menemani perjalananku mencari panasea ke luar desa. Maukah? Iya? Mau, 'kan?" Shaw mengedip-ngedipkan matanya memohon, menyatukan kedua tangan di depan dada dan memasang wajah imut.
"Yeayy!!" Shaw melompat riang. Membuat Bailey dan Bold sedikit terkejut. "Bold mau!" serunya. Tersenyum senang."Tidak." Bold menjawab. Membuat air muka Shaw berubah. Ia menunduk murung."Aku akan berubah pikiran kalau kau bisa menjatuhkan pedangku." Bold menambahkan.Shaw mengangkat wajah, mengukir kembali senyumnya."Bertarung?" tanyanya."Shaw belum sembuh benar ... biar kugantikan." Bailey mengusulkan."Tidak apa, Bailey .... Tidak masalah," ujar Shaw kemudian. Mundur beberapa langkah dan mencabut pedang dari sarung di sisi kiri."Haah ... ya sudah." Bailey mengalah. Menepi; membiarkan Shaw dan Bold melanjutkan. Beberapa prajurit di sana menoleh ketika mendengar pedang Shaw dan Bold mulai beradu, kemudian mendekat dan menonton di tepian; penasaran siapa yang akan menang. Ini adalah momen langka bagi mereka juga Bailey. Ia bisa melihat bagaimana Shaw menggerakkan pedangnya jika bertarung dengan orang lain selain
"Shaw. Namaku Shaw.""Hanya Shaw?" tanya Baldric lagi. Shaw mengangguk."Hmm ... baiklah, silakan diminum." Baldric duduk. Mengambil gelas berisikan air jeruk manis dan meminumnya."Tuan Muda ... terima kasih sudah beranjang dan membawa Shaw serta.""Hum. Jadi, kenapa Profesor ingin bertemu Shaw?" Bailey tidak bisa menahan diri lagi untuk tidak mengajukan pertanyaan yang muncul dalam benaknya sejak pagi."Saya hanya ingin melihat secara langsung. Ah, kalian pasti belum makan ... mari kita makan!"Baldric berdiri, menggandeng tangan Bailey dan Shaw hingga keduanya mau tak mau berdiri mengikuti. Sedang Bold tetap diam di tempat. Dalam benaknya, Bold berpikir bahwa dirinya tidaklah pantas untuk ikut serta. Di ruang tamu, mereka semua bisa duduk dalam jajar dan tinggi kursi yang sama. Tapi di meja makan, itu adalah hal lain lagi ... tempat yang berbeda.Baldric menolehkan kepala. Melempar senyum hangat pada Bold yang tak ber
Dunia sedang tertidur. Pekat malam menyelimuti raga dalam lelap, menemani sukma dalam bunga mimpi."Siapa kau?"Mata bulat hitamnya menyipit mencoba menyingkap entitas di balik jubah dan topeng hitam sesosok di depan jeruji. Sisi lain memperhatikan gerak jemari sang sosok yang tampak menggerakkan sesuatu. Sebuah kunci.Temaram lentera menghasilkan siluet sang sosok yang justru semakin menyembunyikan dirinya. Hanya berupa bayang hitam yang mengecewakan."Mau apa kau?"Matanya terus mengawasi, sementara daksa memasang kuda-kuda. Tubuh yang melemah kehilangan banyak tenaga oleh luka ia abaikan. Tungkai mundur merapat dinding, bersamaan sang sosok yang berhasil membuka gembok yang mengunci pintu jeruji besi. Melangkah masuk mendekat pada gelapnya ruang.Dan apa yang akan kau temui di pekat lain saat diri memutuskan terjaga di titik tergelapnya malam? Ketika kau tahu bahwa pekat malam menyimpan berjuta misteri. Semua hal bisa
"Apakah Anda terluka, Tuan muda?" Orang yang memanggil Bailey bertanya."Aku tidak apa-apa, Bexter. Tapi kudaku sepertinya tidak bisa berdiri." Bailey menjawab pelan; melihat ke arah sosok misterius yang tersisa. Satu prajurit mengunci kedua tangan orang itu dengan rantai. Sesaat mata keduanya bersirobok saat sang sosok didorong untuk berjalan; melewati Bailey. Sementara keempat orang lainnya yang sudah tidak bernyawa dibopong di pundak oleh empat prajurit berbadan kekar.Bexter menoleh pada kuda Bailey, lalu memerintahkan prajurit lain untuk mengobatinya."Biar prajurit membawa kudanya ke mansion nanti. Tuan muda, oh-! Leher Anda terluka!" Bexter berseru terkejut sekaligus panik. Guratan lukanya tidak besar dan dalam, bahkan tipis. Tapi masalah yang akan timbul karenanya itulah yang membuat Bexter lebih panik. Karena pasti akan ada lebih dari satu punggung yang menerima cambukan nantinya.Bailey meraba lehernya, melihat darah di tangannya d
"Bentuknya seperti peti. Kau tahu ini apa, Bold?"Benda di tangan disodorkan pada Bold agar bisa melihat lebih jelas."Kurasa, memang, peti. Ada tempat kunci, lihatlah." Bold menunjuk pada satu lubang kecil di tengah benda itu."Tapi tidak ada kuncinya.""Mungkin Kakek dan Nenekmu tahu.""Hmm ... benar juga." Shaw menanggapi dengan lesu perkataan Bold barusan. Kakek dan neneknya mungkin tahu, tapi masalahnya adalah ... apakah mereka akan memberikan kunci itu padanya jika mereka tahu dan memilikinya? Sisi muara pikiran buruk dan cemas menghinggapi isi kepala Shaw; gundah ia dibuatnya."Eeeehhhh ... kenapa masih di situ?" Satu dari dua yang baru saja dibicarakan datang. Panjang umur Gracie yang muncul dari pintu, mencari keduanya. "Ayo masuk, hari sudah gelap," ujarnya lagi.Shaw dan Bold saling berpandangan sesaat, lalu berjalan mengikuti Gracie."Nah, ada satu kamar lagi yang kosong, sudah Nenek bersihkan. Bold bi
"Dasar lambat! Ayo cepat!"Ctash!"Ba-baik, Tuan.""Lebih cepat lagi!! Dasar anak pemalas!!"Tungkai yang gemetar melangkah sembari terseok-seok. Kentara sekali dipaksa tetap tegak. Rantai dengan bola logam di kedua kaki tak beralas membuat langkahnya semakin payah, ditambah sebuah karung yang nampak berat sebab daksa terlihat sampai membungkuk membuat usahanya bak bunuh diri.Aksi tak menyenangkan mata tersebut tertangkap pelupuk mata Shaw. Membuatnya segera berbelok menghampiri. Bold yang sedikit terkejut sigap mengikuti. Kedua orang yang mengganggu pemandangan Shaw itu menghentikan diri dan menoleh pada kehadiran yang tak diundang.Terlihat jelaslah oleh Shaw, seorang anak berkulit sawo matang lagi kurus yang terlihat begitu tersiksa namun berusaha tak menunjukkan. Lalu di hadapan samping kirinya, seorang pria dewasa yang Shaw taksir usianya sekitar 40-50 tahun."Siapa kau?" Sang pria dewasa bertanya setelah mengamati
Luka di telapak kaki Mival selesai diobati dan dibalut dengan perban. Shaw lalu melepas sandal yang ia kenakan dan memakaikannya ke kedua kaki Mival."Kau anak yang kuat, Mival. Kau sangat tangguh!" puji Shaw. Menepuk pelan kaki Mival dua kali seraya tersenyum cerah."Sebentar," ucap Shaw. Berdiri dan mencuci tangan juga kotak makannya ke sungai, kemudian memasukkan kotak makan ke dalam ransel setelahnya dan kembali.Mival merasa pipinya basah. Ia mengangkat tangan dan mengusap dengan jemarinya. Tapi ketika air matanya berderai lagi dan lagi, Mival menutup matanya dengan punggung tangan kanan.Shaw duduk di tempatnya, menatap Mival di samping dengan senyum dan membawa anak 8 tahun itu ke dalam dekapan."Kau hebat, Mival. Orang lain belum tentu bisa bertahan sampai sekarang sepertimu," ujar Shaw lirih.Bold terdiam memperhatikan. Ia masih belum terbiasa membuka diri dan memeluk orang lain."Masa depanmu pasti cerah. Kau tidak boleh
Laci dibuka, Bailey mengambil pena dan buku catatan berukuran kecil, lantas menuliskan rentetan kejadian yang ia ingat sejak beberapa hari sebelum penyerangan, saat perang, nama-nama yang ia curigai beserta alasannya, orang yang mengusulkan dan mendesak penundaan hukuman mati di rapat, dan laporan-laporan yang masih ia ingat serta nama-nama pelapornya. Selesainya, pena ia taruh dan melanjutkan membaca.“Dua prajurit itu, terkadang aku melihat mereka berjaga di area tahanan tetua. Maksudku, para orang tua ... jeruji-jeruji di lorong yang kau lewati saat Shaw dihukum. Terkadang aku hanya melihat satu dari mereka, terkadang keduanya. Kalau dipikir-pikir, bukankah seharusnya mereka tidak sesering itu berjaga di tempat yang sama? Bukankah begitu peraturannya? Setidaknya itu yang kutahu dari seorang prajurit yang pernah kutanyai.’’'Hum, memang begitu.' Bailey membenarkan. Menulis lagi di buku catatan.“Aku juga pernah mendengar m
Atmosfer terasa lebih ramah. Irama dari ranting-ranting dan dahan oleh angin terdengar lebih wajar dibandingkan tadi. Shaw makin yakin, semua karena Morth. Atmosfer, halusinasi, entah apa lagi yang Morth sebabkan. Satu pertanyaan besar dalam benak Shaw, siapa Morth sesungguhnya? Mengapa seisi jenggala sunyi hingga seluruh penjurunya seakan-akan berada di bawah kaki tangan Morth?โKau pikirkan aku?โ Morth tiba-tiba bertanya. Rupanya ia mengekori Shaw.Huh? Apa Morth juga bisa membaca pikiran?Shaw menengok ke belakang, langkahnya melambat. โJangan katakan kau dapat menembus kepala orang.โโKau banyak bertanya, belum tuntas seluruhnya.โ Morth mensejajarkan diri. Sejenak, ia melihat Shaw dari atas ke bawah. โOrang keras kepala seperti kau tentu akan merenungkannya. Aku benar, bukan?โโKita baru saling tahu beberapa saat lalu dan kau yakin sekali dengan kata-katamu. Antara kau pandai menilai atau hanya pandai berasumsi.โ Shaw menggeleng. Pandangan ia tujukan ke depan.Morth menyentuh leng
Tanduk. Hal pertama yang dilihat oleh Shaw dari sumber suara adalah tanduk, tersembunyi di antara dedaunan semak belukar setinggi pinggang orang dewasa.Shaw mengernyit, kemudian bergumam lirih, nyaris tak bersuara, "Itu seperti tanduk rusa."Sepasang mata semerah darah terlihat dari celah dedaunan. Shaw menelan ludah. Ia tahu betul itu bukan mata hewan biasa, apalagi manusia. Tidak ada satu pun penduduk desa yang pernah ditemuinya memiliki mata seperti itu.Mungkinkah ini yang Fu maksud? Apapun itu, merasakan haki tidak biasa dari sang sosok misterius membuat Shaw merasa dirinya tidak boleh berlama-lama.Diliputi kewaspadaan dan dengan suara tercekat, ia berucap dalam hati, "Aku harus segera pergi dari sini."Tanpa melakukan pergerakan yang kentara serta dengan posisi kepala yang masih sama, tatapan Shaw menyisir sekitar; memastikan tidak ada keanehan lain. Ia yang semula berjongkok pun perlahan berdiri sepelan mungkin. Namun, bak lelah bermain petak umpet, ransel yang Shaw gendong m
"Tetap tidak bisa! Terlalu berbahaya. Kau kan tahu lebih baik daripada aku, Tibate." Fu mengangkat kepala, menatap lurus Tibate dan Baldor. Ini bukan waktu yang tepat, pikir Fu. "Lagi pula aku bisa menjaga diri. Akan kupanggil kalian jika hal buruk terjadi dan aku tidak bisa mengatasinya.""Kau bisa tinggal, Fu. Aku akan melanjutkan perjalananku seorang diri," sela Shaw, angkat bicara setelah menimang-nimang."Tidakโ""Aku juga akan meninggalkan kudaku di sini." Shaw menepuk pundak Fu. Ia serius ingin Fu tinggal. "Bold bilang ada danau dan tebing. Jadi, aku tidak bisa membawa kudaku. Selain itu, kau bisa mengawasi keadaan hutan dan mengabariku. Kau juga terluka, Fu. Jangan bersikeras seolah kau baik-baik saja. Bagaimanapun kau juga masih anak-anak."Ini adalah tugas Shaw. Sejak awal, Shaw memulainya sendiri, dan ia harus melanjutkannya sendiri. Shaw tidak ingin merepotkan.Fu berdecak, tidak terima, tetapi juga tidak menyangkal ataupun menyanggah. Bertemu Baldor dan Tibate membuatnya
Pria berjanggut memperhatikan sambil mengusap-usap janggut dan kumisnya. Saat otaknya mengingat sesuatu tentang Fu, matanya seketika melebar."Kau ingin aku mencincangmu, hah?!" Tibate berseru.Setelah ikan bakarnya rusak, sekarang dirinya yang nyaris terbakar. Pria plontos itu tidak terima.Tibate menghentak tanah dengan kakinya, bergantian kaki kanan dan kaki kiri. Pegangannya pada gagang pedang semakin erat dan erat.Fu melompat mundur, mengambil sikap siaga dan meningkatkan kewaspadaannya. Ia siap dengan apapun yang akan Tibate lakukan untuk membalasnya.Sebelum Tibate menyerang balik, pria berjanggut yang masih menggenggam keranjang bambu itu berjalan ke depan Tibate, lalu berdiri memunggungi Fu dan Shaw."Kau mau dikutuk atau sudah bosan hidup?!" tanyanya."Apa maksudmu? Kalau kau hanya ingin aku berhenti memberi anak itu pelajaran, sebaiknya kau minggir!" balas Tibate."Kau tahu kau sedang berhadapan dengan siapa? Kau tidak berencana mengingkari janjimu pada Jenderal Besar, 'ka
"Apa kau sedang bercanda?" Tibate mendengus kasar. Ia tampak tidak suka.Pria plontos itu tahu dirinya sudah hidup lama, tetapi bukan berarti ingatannya menua. Ia tahu ingatannya masih berfungsi dengan sangat baik. Ia sangat meyakini itu."Aku tidak bercanda," sanggah Fu, berkacak pinggang. "Kau memberitahukannya sendiri padaku saat aku memberimu buah persik. Kalau kau masih tidak ingat, berarti ada yang salah dengan ingatanmu," imbuhnya.Buah persik?Tibate mengerutkan kening. Ia merasa tidak asing, tetapi tidak mengingat apapun."Sudahlah. Lebih baik kalian pulang sekarang, dan akan kuanggap ini tidak pernah terjadi," ujar Tibate seraya memasang wajah serius."Tidak bisa!" Shaw berseru. "Aku harus pergi ke tenggara!""Ya. Kami tidak bisa kembali ke desa saat ini," Fu menimpali.Tibate memukulkan ujung pedangnya ke tanah, menimbulkan gelombang angin yang kencang. Dedaunan dan batu kerikil tersapu, begitu pun Fu dan Shaw yang ikut terpental."Aduh ...." Shaw mengerang, berusaha bangun
Menjelang pagi, suara kehidupan awal sekali menggaung. Beberapa penduduk desa sudah mulai melakukan aktivitas mereka. Sebagian di dalam rumah, sebagian di luar rumah.Satu di antara manusia yang telah lepas dari peraduannya adalah Wilton. Ia bertugas pagi kali ini."Selalu rajin, ya." Zander berkomentar. Kuda-kuda di kandang bersuara antusias saat Zander memberi mereka makan."Tidak juga. Aku hanya tidur cukup nyenyak semalam, dan tubuhku merasa lebih segar saat aku bangun. Jadi, ya, mungkin lebih bersemangat," sahut Wilson seraya terkekeh kecil."Padahal kau hanya tidur sebentar, 'kan, semalam," Celetuk Zander. Tangannya cekatan melipat karung-karung rumput yang sudah kosong.Wilton tersenyum cerah menanggapinya. Ia memeras kain yang dipakai untuk mengelap kuda yang akan ia pakai untuk mengantar Bailey ke sekolah."Sebentar pun tetap saja namanya tidur, Zan," kata Wilton, keluar dari kandang sambil membawa kain basah dan ember hitam kecil."Ya, tidak salah."Suara derap kaki nyaring
"Ada yang menarik perhatianmu, Vid? Aku sampai mengantuk menunggumu." Bailey menimpali."Ah, maaf maaf .... Tadi ada yang harus kulakukan. Ada sesuatu! Jadi, aku kembali lebih lama," ujar Avidius seraya tersenyum canggung.Avidius adalah cucu Barid. Ia satu sekolah dengan Leonere."Sesuatu apa?" Leonere bertanya.Avidius, remaja berkulit putih kemerahan dengan senyum manis dan lesung pipi itu mengeluarkan sebuah kain merah dari saku pakaian di balik jubahnya. Saat kain dibuka, Leonere dan Bailey membulatkan mata melihat benda yang terpampang di sana."Bukankah ituโ" Kata-kata Leonere terhenti. Ia mendekat tergesa dan memegang benda yang ditunjukkan Avidius. "Ini kan ....""Dari mana kau menemukan itu?" tanya Bailey yang juga mendekat.Avidius melirik ke arah belakang sesaat, memastikan sekitarnya aman. Senyumnya pudar seketika."Dari hutan barat laut. Aku menemukannya tadi," bisik Avidius, tampak serius.Bailey dan Leonere tercengang lalu saling menatap. Pikiran keduanya seolah tersam
"Tidak ada yang gratis," sahut Fu seraya menyeringai tipis.Shaw berdecak. "Kubayar dengan manisan.""Apa itu? Tidak cukup! Informasiku sangat mahal, kau tahu.""Ck, kubayar dengan makanan lain. Kau bebas memintanya, dan aku akan membuatkannya untukmu," tawar Shaw.Fu menyeringai penuh kemenangan kini. Sebuah siasat terlintas di benaknya."Bisa dipertimbangkan," kata Fu. Sesaat kemudian seringai di wajahnya hilang, berganti raut serius. "Kurangi kecepatan kudanya. Melewati batang pohon besar di depan itu, buat kudanya berjalan biasa.""Huh? Oke."Shaw percaya pada Fu. Ia mengikuti instruksi Fu tanpa ragu.Pohon-pohon besar yang dimaksud Fu berada 20 meter dari mereka. Warna pohonnya gelap, seolah melambangkan sesuatu yang misterius dan tampak mati. Pepohonan itu seakan telah terbakar. Meski begitu, dedaunannya sangat rimbun.Melewati dua pohon besar tersebut, kuda memasuki jenggala yang lebih gelap dan sunyi dari sebelumnya. Sekeliling tampak benar-benar gelap dengan aura yang terasa
"Ya sudah." Eroth menghela napas.Selain belajar bersikap baik pada budaknya, Eroth pun belajar untuk tidak memaksakan kehendak. Ya, itu sungguhan, bukan sandiwara yang dibuat-buat.Di depan mereka, Aaban mendengarkan dalam diam. Komandan itu sibuk dengan pikirannya.Menjelang ujung dari jenggala ketiga, Fu tiba-tiba berujar. Suaranya terdengar serius di telinga Shaw."Berhenti, Shaw."Shaw menghentikan laju kuda dan melirik Fu. "Ada apa?""Kita ambil jalan lain," tukas Fu."Kenapa? Ada apa dengan jalan ini?""Ada sesuatu di depan. Hakinya tidak jauh berbeda dengan Kaye dan teman-temannya.""Ha?"Shaw menatap lurus, lalu memejamkan mata. Ia mencoba merasakan haki di depan, tetapi tidak merasakan atau melihat apapun."Aku tidak merasakan apapun," kata Shaw seraya membuka mata.Fu berdecak dan memegang kedua pundak Shaw. Aliran haki mengalir dari tangannya."Coba lihat lagi," kata Fu. Shaw mengiyakan.Bayangan sosok berjumlah lebih dari 10 terlihat di kejauhan di depan, dengan haki yang