Dunia sedang tertidur. Pekat malam menyelimuti raga dalam lelap, menemani sukma dalam bunga mimpi.
"Siapa kau?"
Mata bulat hitamnya menyipit mencoba menyingkap entitas di balik jubah dan topeng hitam sesosok di depan jeruji. Sisi lain memperhatikan gerak jemari sang sosok yang tampak menggerakkan sesuatu. Sebuah kunci.
Temaram lentera menghasilkan siluet sang sosok yang justru semakin menyembunyikan dirinya. Hanya berupa bayang hitam yang mengecewakan.
"Mau apa kau?"
Matanya terus mengawasi, sementara daksa memasang kuda-kuda. Tubuh yang melemah kehilangan banyak tenaga oleh luka ia abaikan. Tungkai mundur merapat dinding, bersamaan sang sosok yang berhasil membuka gembok yang mengunci pintu jeruji besi. Melangkah masuk mendekat pada gelapnya ruang.
Dan apa yang akan kau temui di pekat lain saat diri memutuskan terjaga di titik tergelapnya malam? Ketika kau tahu bahwa pekat malam menyimpan berjuta misteri. Semua hal bisa terjadi.
"Tuan, 5 tahanan di jeruji area perompak menghilang."
"Apa? Bagaimana bisa? Kau, beritahukan ini pada penjaga lain. Suruh mereka membawa tim lain dan cari menyebar ke seluruh sudut dungeon .... Lalu beritahukan pada Tuan Alton segera. Kalian berempat ikut aku mencari di hutan."
Kokokan ayam jantan adalah pertanda fajar segera sampai pada mentarinya, malam pada paginya. Tak jarang pula ayam jantan menjadi salah satu makhluk yang pertama kali bangun ketika hari berganti. Tapi di Zanwan, manusianya seringkali terbangun lebih dulu. Bukan hanya melakukan aktivitas kecil sebagai peregangan tubuh, tapi juga acapkali sampai berlari dan berkuda ... menyisir hutan-hutan yang gelap dan dingin.
"Bailey?"
Kamar yang terbiasa tak dikunci memudahkan Ascal untuk membukanya.
"Myriam, kau melihat Bailey?"
Sosok yang dicari tak ditemu membawa langkah Ascal ke perpustakaan, ruang depan, dan ruangan-ruangan lain hingga berakhir di dapur dan ruang makan.
"Saya belum melihatnya, Tuan."
"Bexter, bagaimana denganmu? Kau menemukannya?" Atensi tertuju pada asistennya yang muncul dari lorong samping. Berharap mendapat jawaban yang diinginkan.
"Tidak, Tuan. Saya--"
"Ada apa ini?" Jill muncul dari pintu taman, bersama Selise dan Bariela.
"Kau melihat Bailey?"
"Bailey di bukit timur. Kau sendiri tahu dia selalu ke sana setiap hari menjelang fajar. Memangnya ada apa?"
"Benar, Tuan. Penjaga di pintu utama dan penjaga gerbang mengatakan Tuan Muda pergi dan belum kembali." Bexter melanjutkan ucapannya yang terpotong.
"Bexter, bawa beberapa orang ke bukit timur. Jemput Bailey sekarang juga!"
"Baik, Tuan."
Jill menatap kepergian Bexter sesaat kemudian beralih pada Ascal yang langsung berlalu ke ruang kerjanya. Titah kembali ke kamar diberikan pada Selise yang langsung mengangguk. Arkian, Jill menyusul Ascal ke ruang kerjanya dan mendapati suaminya itu tengah berjalan mondar-mandir.
"Ada apa?"
"5 tahanan dungeon dari area perompak menghilang. Tahanan lain melihat seseorang datang dan membebaskan mereka," jawab Ascal tanpa menoleh dan masih mondar-mandir.
"Bagaimana bisa? Bukankah hanya penjaga yang memiliki kuncinya?" Panik tergambar jelas dari suara Jill, namun sesaat kemudian kembali tenang seusai dirinya mengatur napas.
"Aku belum tahu .... Penyelidikan masih dilakukan. Aku khawatir mereka mengincar Bailey."
"Apa menurutmu ini bagian dari konspirasi?" Jill berjalan mendekati lemari kaca berisi buku-buku.
"Maksudmu?" Ascal mendekat. Nada tenang dari suara Jill justru membuat ia heran sekaligus penasaran.
"Apa kau menyadari perubahan yang terjadi sejak hari pelarian Daniel?"
"Ya. Tapi tidak kusangka akan sejauh ini."
"Tentu saja." Jill menghadap ke samping. Menatap Ascal. "Mungkin tidak akan sejauh ini jika Shaw ikut serta, pergi dari Zanwan bersama Daniel. Tapi anak itu memilih tinggal ... bahkan membiarkan dirinya ditangkap dan tetap diam menerima hukuman. Ditambah fakta bahwa dia dekat dengan Bailey. Menurutmu, apa yang akan dipikirkan tikus-tikus Zanwan itu?"
"Kau benar. Aku tidak memikirkan bagian itu."
"Dan ... aku rasa ada hal lain yang membuat mereka melakukan pergerakan yang cukup kentara."
"Apa itu?"
"Entahlah .... Tapi mungkin saja sesuatu yang serius. Mereka tidak akan sejauh ini jika Shaw hanya anak biasa, bukan?" Jill mengutarakan kebingungannya. Menatap Ascal lamat-lamat yang malah membuat Ascal terhenyak dan membisu.
Pencarian tidak mendapatkan apapun. Nihil. Tahanan yang kabur tak ditemukan di dungeon maupun hutan sekitarnya. Sementara penjagaan dungeon diperketat, juga prajurit yang bertugas jaga sejak beberapa hari sebelumnya dikumpulkan untuk pemeriksaan, para prajurit lain dari pasukan elite disebar diam-diam ke kedua distrik agar tidak membuat khawatir penduduk ... dan merambah pula ke setiap perbatasan. Sedang beberapa lainnya bergabung bersama Bexter dan pasukannya; menuju bukit timur.
"Kurasa sudah cukup." Bailey mengelap keringat di kening dengan punggung tangan kiri lalu menyarungkan pedangnya. Mentari mulai menampakkan diri ... Bailey menyudahi latihan di bukit batu timur dan memacu kudanya kembali ke mansion.
Srahhtttt!
Sebuah anak panah melesat dari arah jam 11, hampir mengenai Bailey jika ia tidak memiringkan badan dan menangkapnya.
Bailey berhenti, menatap anak panah yang melesat padanya lalu mengedarkan pandangan. Tak ada siapapun yang terlihat. Namun ketika Bailey hendak memacu kudanya lagi, 5 orang berpakaian serba hitam dengan kain yang menyembunyikan setengah wajah mereka tiba-tiba datang berlari dari arah kanan dan kiri Bailey; mengepung dirinya. Salah seorang dari mereka memanah kaki kuda yang ditunggangi Bailey hingga kuda itu jatuh, membuat Bailey refleks melompat.
"Siapa kalian? Dan apa mau kalian?" tanya Bailey. Waspada.
"Siapa kami tidaklah penting," ujar seseorang dengan pedang bergagang hitam. "Dan apa mau kami-?" Ia mendekat beberapa langkah. "Nyawamu," jelasnya. Menyeringai.
Satu orang di arah jam 2 dari Bailey maju, mengayunkan pedang secara vertikal dari atas ke bawah. Bailey mencabut pedangnya. Berpindah satu langkah lebar ke belakang lalu satu langkah kecil ke kanan dan menahan serangan itu, menggerakkan pedangnya searah jarum jam dengan cepat yang membuat tangan orang itu terpelintir ... dalam satu tarikan melepaskan pedang orang itu dari tangannya yang membuat tubuhnya terhuyung ke depan. Telapak tangan kiri Bailey terbuka memukul ulu hati orang itu. Mencuri kesempatan, Bailey melepaskan anak panah tadi yang masih digenggam tangan kanannya; membiarkannya terjatuh.
Seorang di belakang Bailey langsung maju menyerang, mengayunkan pedang secara horizontal dari kanan ke kiri. Bailey yang menyadarinya membungkukkan badan rendah dan berbalik, memukul ulu hati orang itu dengan kepala pedangnya.
Dua orang lain maju bersamaan, memaksa Bailey menggunakan kakinya untuk bergerak lincah menghindar dan memegang pedang dengan kedua tangan.
"Kau lihai juga," ucap seorang yang hanya berdiri memperhatikan di arah jam 9. "Sayang sekali hidupmu harus berakhir di sini. Padahal kau bisa menjadi samurai yang hebat," tuturnya.
Bailey tidak sempat membalas perkatannya karena 4 orang tadi mulai kembali menyerang.
"Sebaiknya lakukan dengan cepat ... sebelum orang lain melihat kita." Seorang dari mereka berujar. Kembali menyerang Bailey dengan membabi buta.
Bailey mulai kewalahan, tapi masih bisa menahan serangan dan membuat mereka mundur beberapa langkah.
Orang yang sejak awal hanya memperhatikan mulai bergerak maju setelah seorang yang lain menatapnya dengan tatapan aneh yang tertangkap penglihatan Bailey.
Namun ia maju bukan untuk menyerang Bailey, melainkan menyerang orang lain yang mencoba meraih sang tuan muda. Ia berdiri tegak membelakangi sang pewaris tahta, lalu dengan cepat menyerang lagi begitu keempatnya maju bersamaan. Kemampuan keempatnya tak sebanding, tak bisa juga mengimbangi ... membuat mereka dihabisi dengan mudah.Melalui ekor matanya, ia melihat siluet orang di kejauhan. Harap dalam hatinya, jikalau siluet itu adalah orang-orang yang akan membantu Bailey ... dan bukan bantuan yang dikirim untuk membantu mereka berlima.
"Dengar! Aku mungkin akan mati setelah ini," kata orang itu pada Bailey tiba-tiba. Matanya melirik siluet jauh di belakang.
"Ambil panahnya dan bawa pulang. Kusisipkan pesan di sana. Seseorang berpakaian tertutup jubah dan topeng hitam datang ke jerujiku tadi malam. Mengumpulkanku bersama empat orang itu, memberi perintah dan mengancam."
Ia mengangkat pedangnya, menggores sedikit leher Bailey di bagian samping hingga berdarah. Gerakannya yang terlalu cepat membuat Bailey tidak sempat menghindar.
"Ada orang yang mendekat di belakangmu. Bersikaplah seperti kita sedang bertarung, maka tidak akan ada lagi tahanan yang diperintahkan untuk melakukan hal seperti ini." Ia menjelaskan. Berbisik.
Bailey menuruti. Meski bingung dan ragu, namun ia mengerti.
"Empat orang ini adalah temanku. Aku sudah coba memberitahu dan menasehati mereka, tapi mereka tidak mau mendengar dan bersikeras untuk membunuhmu. Mungkin ada sesuatu yang dikatakan atau diberikan oleh sosok berjubah itu pada teman-temanku ... karena mereka berempat tidak seperti orang yang kukenal. Terpaksa kuakhiri, karena aku tahu ini tidak benar. Dan aku tahu harus ada yang dikorbankan." Ia meneruskan. Mundur mengambil jarak dan napas. Beberapa detik kemudian ia maju lagi. Gerakannya terlihat lebih serius seiring orang-orang di belakang Bailey semakin mendekat.
"Tidak ada seorangpun yang tahu jika aku pernah bertemu si Jubah Hitam sebelumnya. Tapi mereka terlihat seperti dua orang yang berbeda. Kau tahu, buncis dan kedelai tidaklah sama meski keduanya adalah kacang."
"Tuan muda!" Teriak seseorang dari arah belakang. Memacu kudanya cepat menuju Bailey. Belasan kuda lain nyaring menghentak tanah di belakangnya.
"Siapapun sosok di balik jubah hitam yang menemuiku malam tadi, yang pasti dia bukanlah dari bangsaku .... Para viking pengembara lautan. Jiwa kami berdiri pada kebebasan. Kami lebih memilih mati daripada menjadi alat untuk kejahatan orang lain yang bertentangan dengan prinsip kami. Dan kau berhati-hatilah ... tidak semua hal di sekitarmu adalah seperti apa yang terlihat."
"Tangkap dia!" seru seseorang yang tadi berteriak memanggil Bailey. Belasan prajurit lain menghentak kuda mereka lebih keras lalu menyebar; mengepung Bailey dan satu-satunya sosok misterius yang masih hidup.
"Apakah Anda terluka, Tuan muda?" Orang yang memanggil Bailey bertanya."Aku tidak apa-apa, Bexter. Tapi kudaku sepertinya tidak bisa berdiri." Bailey menjawab pelan; melihat ke arah sosok misterius yang tersisa. Satu prajurit mengunci kedua tangan orang itu dengan rantai. Sesaat mata keduanya bersirobok saat sang sosok didorong untuk berjalan; melewati Bailey. Sementara keempat orang lainnya yang sudah tidak bernyawa dibopong di pundak oleh empat prajurit berbadan kekar.Bexter menoleh pada kuda Bailey, lalu memerintahkan prajurit lain untuk mengobatinya."Biar prajurit membawa kudanya ke mansion nanti. Tuan muda, oh-! Leher Anda terluka!" Bexter berseru terkejut sekaligus panik. Guratan lukanya tidak besar dan dalam, bahkan tipis. Tapi masalah yang akan timbul karenanya itulah yang membuat Bexter lebih panik. Karena pasti akan ada lebih dari satu punggung yang menerima cambukan nantinya.Bailey meraba lehernya, melihat darah di tangannya d
"Bentuknya seperti peti. Kau tahu ini apa, Bold?"Benda di tangan disodorkan pada Bold agar bisa melihat lebih jelas."Kurasa, memang, peti. Ada tempat kunci, lihatlah." Bold menunjuk pada satu lubang kecil di tengah benda itu."Tapi tidak ada kuncinya.""Mungkin Kakek dan Nenekmu tahu.""Hmm ... benar juga." Shaw menanggapi dengan lesu perkataan Bold barusan. Kakek dan neneknya mungkin tahu, tapi masalahnya adalah ... apakah mereka akan memberikan kunci itu padanya jika mereka tahu dan memilikinya? Sisi muara pikiran buruk dan cemas menghinggapi isi kepala Shaw; gundah ia dibuatnya."Eeeehhhh ... kenapa masih di situ?" Satu dari dua yang baru saja dibicarakan datang. Panjang umur Gracie yang muncul dari pintu, mencari keduanya. "Ayo masuk, hari sudah gelap," ujarnya lagi.Shaw dan Bold saling berpandangan sesaat, lalu berjalan mengikuti Gracie."Nah, ada satu kamar lagi yang kosong, sudah Nenek bersihkan. Bold bi
"Dasar lambat! Ayo cepat!"Ctash!"Ba-baik, Tuan.""Lebih cepat lagi!! Dasar anak pemalas!!"Tungkai yang gemetar melangkah sembari terseok-seok. Kentara sekali dipaksa tetap tegak. Rantai dengan bola logam di kedua kaki tak beralas membuat langkahnya semakin payah, ditambah sebuah karung yang nampak berat sebab daksa terlihat sampai membungkuk membuat usahanya bak bunuh diri.Aksi tak menyenangkan mata tersebut tertangkap pelupuk mata Shaw. Membuatnya segera berbelok menghampiri. Bold yang sedikit terkejut sigap mengikuti. Kedua orang yang mengganggu pemandangan Shaw itu menghentikan diri dan menoleh pada kehadiran yang tak diundang.Terlihat jelaslah oleh Shaw, seorang anak berkulit sawo matang lagi kurus yang terlihat begitu tersiksa namun berusaha tak menunjukkan. Lalu di hadapan samping kirinya, seorang pria dewasa yang Shaw taksir usianya sekitar 40-50 tahun."Siapa kau?" Sang pria dewasa bertanya setelah mengamati
Luka di telapak kaki Mival selesai diobati dan dibalut dengan perban. Shaw lalu melepas sandal yang ia kenakan dan memakaikannya ke kedua kaki Mival."Kau anak yang kuat, Mival. Kau sangat tangguh!" puji Shaw. Menepuk pelan kaki Mival dua kali seraya tersenyum cerah."Sebentar," ucap Shaw. Berdiri dan mencuci tangan juga kotak makannya ke sungai, kemudian memasukkan kotak makan ke dalam ransel setelahnya dan kembali.Mival merasa pipinya basah. Ia mengangkat tangan dan mengusap dengan jemarinya. Tapi ketika air matanya berderai lagi dan lagi, Mival menutup matanya dengan punggung tangan kanan.Shaw duduk di tempatnya, menatap Mival di samping dengan senyum dan membawa anak 8 tahun itu ke dalam dekapan."Kau hebat, Mival. Orang lain belum tentu bisa bertahan sampai sekarang sepertimu," ujar Shaw lirih.Bold terdiam memperhatikan. Ia masih belum terbiasa membuka diri dan memeluk orang lain."Masa depanmu pasti cerah. Kau tidak boleh
Laci dibuka, Bailey mengambil pena dan buku catatan berukuran kecil, lantas menuliskan rentetan kejadian yang ia ingat sejak beberapa hari sebelum penyerangan, saat perang, nama-nama yang ia curigai beserta alasannya, orang yang mengusulkan dan mendesak penundaan hukuman mati di rapat, dan laporan-laporan yang masih ia ingat serta nama-nama pelapornya. Selesainya, pena ia taruh dan melanjutkan membaca.“Dua prajurit itu, terkadang aku melihat mereka berjaga di area tahanan tetua. Maksudku, para orang tua ... jeruji-jeruji di lorong yang kau lewati saat Shaw dihukum. Terkadang aku hanya melihat satu dari mereka, terkadang keduanya. Kalau dipikir-pikir, bukankah seharusnya mereka tidak sesering itu berjaga di tempat yang sama? Bukankah begitu peraturannya? Setidaknya itu yang kutahu dari seorang prajurit yang pernah kutanyai.’’'Hum, memang begitu.' Bailey membenarkan. Menulis lagi di buku catatan.“Aku juga pernah mendengar m
Lampu-lampu ruangan telah menyala, kontras dengan gelap terpajang di luar jendela. Baru Bailey sadari kalau hari sudah malam. Ia melangkah ke dapur, membuat pelayan dan koki di sana menengok dengan desir kejut menjalar seketika."T-tuan Muda, apa yang Anda lakukan di sini? Anda membutuhkan sesuatu?" Itu Dexter, sang koki. Menaruh piring berisi olahan ayam di meja dan menghampiri Bailey sembari mengelap tangan. Para pelayan menundukkan pandangan dan melanjutkan kegiatan."Aku haus," jawab Bailey. Mengambil gelas."Ah, sebentar, biar saya ambilkan." Dexter bergegas mengambil gelas, namun langkahnya terhenti karena Bailey sudah lebih dulu mengisi gelasnya."Tidak usah, Dexter ... terima kasih. Ini hanya air putih," ujar Bailey seraya mengangkat gelas berisi air putih di tangan. Setelahnya, Bailey berjalan keluar dapur lalu mendudukkan diri di kursinya, membiarkan para pelayan menghidangkan makan malam di meja dengan gugup. Tentu saja gugup, bel
"Perapian sudah siap!""Woaaahhhh ... Bold hebat!! Cepat sekalii ...." Mata berbinar Mival terarah lurus pada Bold dan perapian di depan prajurit jagur itu. Mival belum pernah membuat api secepat itu, apalagi di malam hari yang udaranya dingin. Meski memakai pemantik pun, dirinya belum bisa secepat Bold menyalakan api dan membuatnya menjadi api unggun kecil."Hmm ... bekal yang Nenek siapkan cukup banyak, tapi tidak dengan jenisnya. Jadi makanan kita malam ini sama seperti tadi siang, dan ini cukup sampai besok malam. Tapi minumnya kurasa akan lebih cepat habis." Shaw menghampiri Bold dan Mival di dekat perapian, meletakkan ranselnya dan mengeluarkan tiga kotak makan serta botol minum."Tidak masalah. Masih ada buah-buahan, 'kan? Kalau kurang, kita bisa mencarinya. Di hutan luar desa ada banyak pohon buah. Ikan pun melimpah di sungai." Bold menenangkan."A-apa itu?" Mival yang asik menyimak tak sengaja melihat benda berwarna putih di ketingg
"Hmm ... lantas, satu halnya lagi?"Ascal tak ingin menahan Bexter lebih lama karena hari sudah sangat larut. Pun tahu kalau besok asistennya itu akan siaga dengan jadwalnya di pagi buta. Mengenal dan bersama cukup lama membuat Ascal sangat paham bagaimana seorang Bexter Larson. Dan Ascal ingin Bexter mendapat cukup istirahat agar tubuhnya prima, juga agar dapat bekerja dengan maksimal.Bexter yang memahami respon Ascal pun tak membuka lebih banyak bahasan. Ia mengeluarkan sebuah kotak kayu kecil dari saku dan menaruhnya di meja."Ini, Tuan."Ascal meraih kotak itu dan membukanya. Ada sebuah robekan syal berwarna maroon dan secarik kertas di dalamnya."Itu adalah kotak yang saya temukan di saku perompak yang terakhir itu."Ascal mengambil secarik kertas dan membaca tulisan yang tertera di sana."Little shark of Zanwan & bloody night of Viking?" Kening Ascal mengernyit; menatap Bexter. "Interaksi antara para Vik
Atmosfer terasa lebih ramah. Irama dari ranting-ranting dan dahan oleh angin terdengar lebih wajar dibandingkan tadi. Shaw makin yakin, semua karena Morth. Atmosfer, halusinasi, entah apa lagi yang Morth sebabkan. Satu pertanyaan besar dalam benak Shaw, siapa Morth sesungguhnya? Mengapa seisi jenggala sunyi hingga seluruh penjurunya seakan-akan berada di bawah kaki tangan Morth?“Kau pikirkan aku?” Morth tiba-tiba bertanya. Rupanya ia mengekori Shaw.Huh? Apa Morth juga bisa membaca pikiran?Shaw menengok ke belakang, langkahnya melambat. “Jangan katakan kau dapat menembus kepala orang.”“Kau banyak bertanya, belum tuntas seluruhnya.” Morth mensejajarkan diri. Sejenak, ia melihat Shaw dari atas ke bawah. “Orang keras kepala seperti kau tentu akan merenungkannya. Aku benar, bukan?”“Kita baru saling tahu beberapa saat lalu dan kau yakin sekali dengan kata-katamu. Antara kau pandai menilai atau hanya pandai berasumsi.” Shaw menggeleng. Pandangan ia tujukan ke depan.Morth menyentuh leng
Tanduk. Hal pertama yang dilihat oleh Shaw dari sumber suara adalah tanduk, tersembunyi di antara dedaunan semak belukar setinggi pinggang orang dewasa.Shaw mengernyit, kemudian bergumam lirih, nyaris tak bersuara, "Itu seperti tanduk rusa."Sepasang mata semerah darah terlihat dari celah dedaunan. Shaw menelan ludah. Ia tahu betul itu bukan mata hewan biasa, apalagi manusia. Tidak ada satu pun penduduk desa yang pernah ditemuinya memiliki mata seperti itu.Mungkinkah ini yang Fu maksud? Apapun itu, merasakan haki tidak biasa dari sang sosok misterius membuat Shaw merasa dirinya tidak boleh berlama-lama.Diliputi kewaspadaan dan dengan suara tercekat, ia berucap dalam hati, "Aku harus segera pergi dari sini."Tanpa melakukan pergerakan yang kentara serta dengan posisi kepala yang masih sama, tatapan Shaw menyisir sekitar; memastikan tidak ada keanehan lain. Ia yang semula berjongkok pun perlahan berdiri sepelan mungkin. Namun, bak lelah bermain petak umpet, ransel yang Shaw gendong m
"Tetap tidak bisa! Terlalu berbahaya. Kau kan tahu lebih baik daripada aku, Tibate." Fu mengangkat kepala, menatap lurus Tibate dan Baldor. Ini bukan waktu yang tepat, pikir Fu. "Lagi pula aku bisa menjaga diri. Akan kupanggil kalian jika hal buruk terjadi dan aku tidak bisa mengatasinya.""Kau bisa tinggal, Fu. Aku akan melanjutkan perjalananku seorang diri," sela Shaw, angkat bicara setelah menimang-nimang."Tidak―""Aku juga akan meninggalkan kudaku di sini." Shaw menepuk pundak Fu. Ia serius ingin Fu tinggal. "Bold bilang ada danau dan tebing. Jadi, aku tidak bisa membawa kudaku. Selain itu, kau bisa mengawasi keadaan hutan dan mengabariku. Kau juga terluka, Fu. Jangan bersikeras seolah kau baik-baik saja. Bagaimanapun kau juga masih anak-anak."Ini adalah tugas Shaw. Sejak awal, Shaw memulainya sendiri, dan ia harus melanjutkannya sendiri. Shaw tidak ingin merepotkan.Fu berdecak, tidak terima, tetapi juga tidak menyangkal ataupun menyanggah. Bertemu Baldor dan Tibate membuatnya
Pria berjanggut memperhatikan sambil mengusap-usap janggut dan kumisnya. Saat otaknya mengingat sesuatu tentang Fu, matanya seketika melebar."Kau ingin aku mencincangmu, hah?!" Tibate berseru.Setelah ikan bakarnya rusak, sekarang dirinya yang nyaris terbakar. Pria plontos itu tidak terima.Tibate menghentak tanah dengan kakinya, bergantian kaki kanan dan kaki kiri. Pegangannya pada gagang pedang semakin erat dan erat.Fu melompat mundur, mengambil sikap siaga dan meningkatkan kewaspadaannya. Ia siap dengan apapun yang akan Tibate lakukan untuk membalasnya.Sebelum Tibate menyerang balik, pria berjanggut yang masih menggenggam keranjang bambu itu berjalan ke depan Tibate, lalu berdiri memunggungi Fu dan Shaw."Kau mau dikutuk atau sudah bosan hidup?!" tanyanya."Apa maksudmu? Kalau kau hanya ingin aku berhenti memberi anak itu pelajaran, sebaiknya kau minggir!" balas Tibate."Kau tahu kau sedang berhadapan dengan siapa? Kau tidak berencana mengingkari janjimu pada Jenderal Besar, 'ka
"Apa kau sedang bercanda?" Tibate mendengus kasar. Ia tampak tidak suka.Pria plontos itu tahu dirinya sudah hidup lama, tetapi bukan berarti ingatannya menua. Ia tahu ingatannya masih berfungsi dengan sangat baik. Ia sangat meyakini itu."Aku tidak bercanda," sanggah Fu, berkacak pinggang. "Kau memberitahukannya sendiri padaku saat aku memberimu buah persik. Kalau kau masih tidak ingat, berarti ada yang salah dengan ingatanmu," imbuhnya.Buah persik?Tibate mengerutkan kening. Ia merasa tidak asing, tetapi tidak mengingat apapun."Sudahlah. Lebih baik kalian pulang sekarang, dan akan kuanggap ini tidak pernah terjadi," ujar Tibate seraya memasang wajah serius."Tidak bisa!" Shaw berseru. "Aku harus pergi ke tenggara!""Ya. Kami tidak bisa kembali ke desa saat ini," Fu menimpali.Tibate memukulkan ujung pedangnya ke tanah, menimbulkan gelombang angin yang kencang. Dedaunan dan batu kerikil tersapu, begitu pun Fu dan Shaw yang ikut terpental."Aduh ...." Shaw mengerang, berusaha bangun
Menjelang pagi, suara kehidupan awal sekali menggaung. Beberapa penduduk desa sudah mulai melakukan aktivitas mereka. Sebagian di dalam rumah, sebagian di luar rumah.Satu di antara manusia yang telah lepas dari peraduannya adalah Wilton. Ia bertugas pagi kali ini."Selalu rajin, ya." Zander berkomentar. Kuda-kuda di kandang bersuara antusias saat Zander memberi mereka makan."Tidak juga. Aku hanya tidur cukup nyenyak semalam, dan tubuhku merasa lebih segar saat aku bangun. Jadi, ya, mungkin lebih bersemangat," sahut Wilson seraya terkekeh kecil."Padahal kau hanya tidur sebentar, 'kan, semalam," Celetuk Zander. Tangannya cekatan melipat karung-karung rumput yang sudah kosong.Wilton tersenyum cerah menanggapinya. Ia memeras kain yang dipakai untuk mengelap kuda yang akan ia pakai untuk mengantar Bailey ke sekolah."Sebentar pun tetap saja namanya tidur, Zan," kata Wilton, keluar dari kandang sambil membawa kain basah dan ember hitam kecil."Ya, tidak salah."Suara derap kaki nyaring
"Ada yang menarik perhatianmu, Vid? Aku sampai mengantuk menunggumu." Bailey menimpali."Ah, maaf maaf .... Tadi ada yang harus kulakukan. Ada sesuatu! Jadi, aku kembali lebih lama," ujar Avidius seraya tersenyum canggung.Avidius adalah cucu Barid. Ia satu sekolah dengan Leonere."Sesuatu apa?" Leonere bertanya.Avidius, remaja berkulit putih kemerahan dengan senyum manis dan lesung pipi itu mengeluarkan sebuah kain merah dari saku pakaian di balik jubahnya. Saat kain dibuka, Leonere dan Bailey membulatkan mata melihat benda yang terpampang di sana."Bukankah itu—" Kata-kata Leonere terhenti. Ia mendekat tergesa dan memegang benda yang ditunjukkan Avidius. "Ini kan ....""Dari mana kau menemukan itu?" tanya Bailey yang juga mendekat.Avidius melirik ke arah belakang sesaat, memastikan sekitarnya aman. Senyumnya pudar seketika."Dari hutan barat laut. Aku menemukannya tadi," bisik Avidius, tampak serius.Bailey dan Leonere tercengang lalu saling menatap. Pikiran keduanya seolah tersam
"Tidak ada yang gratis," sahut Fu seraya menyeringai tipis.Shaw berdecak. "Kubayar dengan manisan.""Apa itu? Tidak cukup! Informasiku sangat mahal, kau tahu.""Ck, kubayar dengan makanan lain. Kau bebas memintanya, dan aku akan membuatkannya untukmu," tawar Shaw.Fu menyeringai penuh kemenangan kini. Sebuah siasat terlintas di benaknya."Bisa dipertimbangkan," kata Fu. Sesaat kemudian seringai di wajahnya hilang, berganti raut serius. "Kurangi kecepatan kudanya. Melewati batang pohon besar di depan itu, buat kudanya berjalan biasa.""Huh? Oke."Shaw percaya pada Fu. Ia mengikuti instruksi Fu tanpa ragu.Pohon-pohon besar yang dimaksud Fu berada 20 meter dari mereka. Warna pohonnya gelap, seolah melambangkan sesuatu yang misterius dan tampak mati. Pepohonan itu seakan telah terbakar. Meski begitu, dedaunannya sangat rimbun.Melewati dua pohon besar tersebut, kuda memasuki jenggala yang lebih gelap dan sunyi dari sebelumnya. Sekeliling tampak benar-benar gelap dengan aura yang terasa
"Ya sudah." Eroth menghela napas.Selain belajar bersikap baik pada budaknya, Eroth pun belajar untuk tidak memaksakan kehendak. Ya, itu sungguhan, bukan sandiwara yang dibuat-buat.Di depan mereka, Aaban mendengarkan dalam diam. Komandan itu sibuk dengan pikirannya.Menjelang ujung dari jenggala ketiga, Fu tiba-tiba berujar. Suaranya terdengar serius di telinga Shaw."Berhenti, Shaw."Shaw menghentikan laju kuda dan melirik Fu. "Ada apa?""Kita ambil jalan lain," tukas Fu."Kenapa? Ada apa dengan jalan ini?""Ada sesuatu di depan. Hakinya tidak jauh berbeda dengan Kaye dan teman-temannya.""Ha?"Shaw menatap lurus, lalu memejamkan mata. Ia mencoba merasakan haki di depan, tetapi tidak merasakan atau melihat apapun."Aku tidak merasakan apapun," kata Shaw seraya membuka mata.Fu berdecak dan memegang kedua pundak Shaw. Aliran haki mengalir dari tangannya."Coba lihat lagi," kata Fu. Shaw mengiyakan.Bayangan sosok berjumlah lebih dari 10 terlihat di kejauhan di depan, dengan haki yang