Dunia sedang tertidur. Pekat malam menyelimuti raga dalam lelap, menemani sukma dalam bunga mimpi.
“Siapa kau?”
Mata bulat hitamnya menyipit, mencoba menyingkap entitas di balik jubah dan topeng hitam sesosok di depan jeruji. Sisi lain memperhatikan gerak jemari sang sosok yang tampak menggerakkan sesuatu. Sebuah kunci.
Temaram lentera menghasilkan siluet sang sosok yang justru makin menyembunyikan dirinya. Hanya berupa bayang hitam yang mengecewakan.
“Mau apa kau?”
Matanya terus mengawasi sementara raga memasang kuda-kuda. Tubuh yang melemah kehilangan banyak tenaga oleh luka ia abaikan. Tungkai mundur merapat dinding bersamaan sang sosok yang berhasil membuka gembok yang mengunci pintu jeruji besi. Sekarang sang sosok melangkah masuk, mendekat pada gelapnya ruang.
Ketika kau tahu bahwa pekat malam menyimpan berjuta misteri, kau kira, apa yang akan kau temui saat memutuskan terjaga di titik tergelap malam? Dalam setarik napas, dalam sekejap, semua hal bisa terjadi.
“Tuan, lima tahanan di jeruji area perompak menghilang!” Seorang prajurit melapor pada atasannya.
“Apa?! Bagaimana bisa?! Kau beritahukan ini pada penjaga lain. Suruh mereka membawa tim lain dan cari menyebar ke seluruh sudut dungeon, lalu beritahukan pada Tuan Alton segera. Kalian berempat ikut aku mencari di hutan.”
Kokokan ayam jantan adalah pertanda fajar segera sampai pada mentarinya, malam pada paginya. Tidak jarang pula ayam jantan menjadi salah satu makhluk yang pertama kali bangun ketika hari berganti. Namun, di Zanwan, manusianya seringkali terbangun lebih dahulu. Bukan hanya melakukan aktivitas kecil sebagai peregangan tubuh, tetapi juga acapkali sampai berlari dan berkuda, menyisir hutan-hutan yang gelap dan dingin.
Di kediaman Hunt, bahkan sang pemimpin Zanwan pun tidak pada lelapnya.
“Bailey?”
Ascal berdiri di depan kamar Bailey. Pintu kamar yang terbiasa tidak dikunci memudahkan Ascal untuk membukanya.
“Myriam, kau melihat Bailey?”
Sosok yang dicari tidak ditemu membawa langkah Ascal ke perpustakaan, ruang depan, dan ruangan-ruangan lain hingga berakhir di dapur dan ruang makan.
“Saya belum melihatnya, Tuan.”
“Bexter, bagaimana denganmu? Kau menemukannya?”
Atensi Ascal beralih pada asistennya yang muncul dari lorong samping, berharap mendapat jawaban yang diinginkan.
“Tidak, Tuan. Saya ….”
“Ada apa ini?” Jillian muncul dari pintu taman bersama Selise dan Bariela, tanpa sengaja menyela Bexter.
“Kau melihat Bailey?”
“Bailey di bukit timur. Kau sendiri tahu dia selalu ke sana setiap hari menjelang fajar. Memangnya ada apa?” Raut tenang Jillian mulai terusik.
Bexter turut menimpali, “Benar, Tuan. Penjaga di pintu utama dan penjaga gerbang mengatakan Tuan Muda pergi dan belum kembali.”
“Bexter, bawa beberapa orang ke bukit timur. Jemput Bailey sekarang juga!
“Baik, Tuan.”
Jillian menatap kepergian Bexter, sesaat kemudian beralih pada Ascal yang langsung berlalu ke ruang kerjanya. Titah kembali ke kamar diberikan oleh Jillian pada Selise yang langsung mengerti. Sesudahnya, Jillian menyusul Ascal, mencari tahu jawaban atas nada bicara Ascal yang tidak terbantahkan dalam titahnya kepada Bexter. Usai menutup pintu, Jillian mendapati suaminya sedang berjalan mondar-mandir.
“Ada apa?”
“Lima tahanan dungeon dari area perompak menghilang. Tahanan lain melihat seseorang datang membebaskan mereka,” jawab Ascal tanpa menoleh dan masih mondar-mandir.
Sekarang Jillian mendapatkan jawabannya.
“Bagaimana bisa? Bukankah hanya penjaga yang memiliki kuncinya?” Panik tergambar jelas dari suara Jillian, tetapi sejenak kemudian kembali tenang setelah mengatur napas.
“Aku belum tahu. Penyelidikan masih dilakukan. Aku khawatir mereka mengincar Bailey.”
“Apa menurutmu ini bagian dari konspirasi?” Jillian berjalan mendekati lemari kaca berisi buku-buku.
“Maksudmu?” Ascal mendekat.
Nada tenang dari suara Jillian justru menciptakan keheranan sekaligus penasaran.
“Apa kau menyadari perubahan yang terjadi sejak hari pelarian Daniel?”
“Ya, tetapi tidak kusangka akan sejauh ini.”
“Tentu saja.” Jillian menghadap ke samping, menatap Ascal. “Mungkin tidak akan sejauh ini jika Shaw ikut serta, pergi dari Zanwan bersama Daniel. Namun, anak itu memilih tinggal, bahkan membiarkan dirinya ditangkap dan tetap diam menerima hukuman, ditambah fakta bahwa dia dekat dengan Bailey. Menurutmu, apa yang akan dipikirkan tikus-tikus Zanwan itu?”
“Kau benar. Aku tidak memikirkan bagian itu.”
“Aku tidak heran. Pikiranmu sudah terlalu penuh. Oh, kurasa ada hal lain yang membuat mereka melakukan pergerakan yang cukup kentara.”
“Apa itu?”
“Entahlah, tetapi mungkin saja sesuatu yang serius. Mereka tidak akan sejauh ini jika Shaw hanya anak biasa, bukan?”
Jillian mengutarakan kebingungannya seperti pisau bermata ganda. Matanya yang mengunci Ascal malah membuat Ascal terhenyak dan membisu.
Di saat yang sama di dungeon, pencarian tidak menghasilkan apa pun. Nihil. Tahanan yang kabur tidak ditemukan di dungeon maupun hutan sekitarnya. Penjagaan dungeon diperketat, prajurit yang bertugas jaga sejak beberapa hari sebelumnya dikumpulkan untuk pemeriksaan, dan para prajurit lain dari pasukan elite disebar diam-diam ke dua distrik agar tidak membuat khawatir penduduk sampai merambah pula ke tiap perbatasan. Beberapa lainnya bergabung bersama Bexter dan pasukannya; serentak menuju bukit timur.
Di bukit timur, Bailey tidak terusik.
“Kurasa sudah cukup.”
Bailey mengelap keringat di kening dengan punggung tangan kiri, lalu menyarungkan pedangnya. Mentari mulai menampakkan diri. Bailey menyudahi latihan di bukit timur, memacu kudanya kembali ke mansion.
Srahhtttt!
Sebuah anak panah melesat dari arah pukul sebelas, hampir mengenai Bailey kalau saja ia tidak memiringkan badan dan menangkapnya.
Bailey berhenti, menatap anak panah yang melesat padanya, lalu mengedarkan pandang. Tidak ada siapa pun yang terlihat. Ketika Bailey hendak memacu kudanya lagi, lima orang berpakaian serba hitam dengan kain yang menyembunyikan setengah wajah mereka tiba-tiba datang berlari dari arah kanan dan kiri Bailey, mengepung dirinya. Salah seorang dari mereka memanah kaki kuda yang ditunggangi Bailey hingga kuda itu jatuh. Bailey refleks melompat.
“Siapa kalian? Apa mau kalian?” tanya Bailey. Waspada.
“Siapa kami tidaklah penting,” ujar seseorang dengan pedang bergagang hitam. “Dan apa mau kami?”
Ia mendekat beberapa langkah.
“Nyawamu,” jelasnya, menyeringai di balik kain.
Satu orang di arah pukul dua dari Bailey maju, mengayunkan pedang secara vertikal dari atas ke bawah. Bailey mencabut pedangnya, berpindah satu langkah lebar ke belakang, lalu satu langkah kecil ke kanan dan menahan serangan itu. Ia menggerakkan pedangnya searah jarum jam dengan cepat yang membuat tangan sang sosok terpelintir. Dalam satu tarikan mampu melepaskan pedang sang sosok dari tangannya hingga tubuhnya terhuyung ke depan. Telapak tangan kiri Bailey terbuka, memukul ulu hati sang sosok. Mencuri kesempatan, Bailey melepaskan anak panah tadi yang masih digenggam tangan kanannya, membiarkannya terjatuh.
Seorang di belakang Bailey langsung maju menyerang, mengayunkan pedang secara horizontal dari kanan ke kiri. Bailey yang menyadarinya segera membungkukkan badan, kemudian memukul ulu hati orang itu dengan kepala pedangnya.
Dua orang lain maju bersamaan, memaksa Bailey menggunakan kakinya untuk bergerak lincah, menghindar dan memegang pedang dengan kedua tangan.
“Kau lihai juga,” ucap seorang yang hanya berdiri memperhatikan di arah pukul sembilan. “Sayang sekali hidupmu harus berakhir di sini, padahal kau bisa menjadi samurai yang hebat.”
Bailey tidak sempat membalas ucapan sang sosok karena empat orang tadi mulai menyerang lagi.
“Sebaiknya lakukan dengan cepat sebelum orang lain melihat kita.” Seorang dari mereka berujar sebelum menyerang Bailey dengan membabi buta.
Bailey mulai kewalahan, tetapi masih bisa menahan serangan dan mengakibatkan mereka mundur beberapa langkah.
Orang yang sejak awal hanya memperhatikan mulai bergerak maju setelah seorang yang lain menatapnya dengan tatapan aneh, tertangkap oleh penglihatan Bailey. Namun, ia maju bukan untuk menyerang Bailey, melainkan menyerang orang lain yang mencoba meraih sang tuan muda. Ia berdiri tegak membelakangi sang penerus takhta, lalu dengan cepat menyerang lagi begitu keempatnya maju bersamaan. Kemampuan keempatnya tidak sebanding, tidak bisa juga mengimbangi, berakhir mereka dihabisi dengan mudah.
Melalui ekor matanya, ia melihat siluet orang di kejauhan. Harap dalam hatinya siluet itu adalah orang-orang yang akan membantu Bailey, bukan bantuan yang dikirim untuk membantu mereka berlima.
“Dengar. Aku mungkin akan mati setelah ini,” kata orang itu pada Bailey tiba-tiba. Matanya melirik siluet jauh di belakang.
“Ambil panahnya dan bawa pulang. Kusisipkan pesan di sana. Seseorang berpakaian tertutup jubah dan topeng hitam datang ke jerujiku tadi malam, mengumpulkanku bersama empat orang itu, memberi perintah, dan mengancam.”
Ia mengangkat pedangnya, menggores sedikit leher Bailey di bagian samping hingga berdarah. Gerakannya yang terlalu cepat membuat Bailey tidak sempat menghind
“Ada orang yang mendekat di belakangmu. Bersikaplah seperti kita sedang bertarung, maka tidak akan ada lagi tahanan yang diperintahkan untuk melakukan hal seperti ini,” katanya lagi, berbisik.
Bailey menuruti meski bingung dan ragu.
“Empat orang ini adalah temanku. Aku sudah coba memberitahu dan menasehati mereka, tapi mereka tidak mau mendengar, justru bersikeras untuk membunuhmu. Mungkin ada sesuatu yang dikatakan atau diberikan oleh sosok berjubah itu pada teman-temanku karena mereka berempat tidak seperti orang yang kukenal. Terpaksa kuakhiri karena aku tahu ini tidak benar dan aku tahu harus ada yang dikorbankan.” Ia meneruskan, mundur mengambil jarak dan napas. Beberapa detik kemudian ia maju lagi. Gerakannya terlihat lebih serius seiring orang-orang di belakang Bailey makin dekat.
“Tidak ada seorang pun tahu aku pernah bertemu si Jubah Hitam sebelumnya, tapi kau harus percaya, aku pernah bertemu dengannya sebelum tadi malam dan sungguh mereka seperti dua orang yang berbeda. Kau tahu, buncis dan kedelai tidaklah sama meski keduanya adalah kacang.”
“Tuan Muda!” teriak seseorang dari belakang sambil memacu kudanya cepat menuju Bailey. Belasan kuda lain nyaring menghentak tanah di belakangnya.
“Siapa pun sosok di balik jubah hitam yang menemuiku malam tadi, sudah pasti dia bukanlah dari bangsaku, para viking pengembara lautan. Jiwa kami berdiri pada kebebasan. Kami lebih memilih mati daripada menjadi alat untuk kejahatan orang lain yang bertentangan dengan prinsip kami. Kau berhati-hatilah. Tidak semua hal di sekitarmu adalah seperti apa yang terlihat.”
“Tangkap dia!” seru seseorang yang tadi berteriak memanggil Bailey. Bexter.
Belasan prajurit lain menghentak kuda mereka lebih keras, lalu menyebar, mengepung Bailey dan satu-satunya sosok misterius yang masih hidup.
“Apakah Anda terluka, Tuan muda?” Bexter bertanya sambil memindai keadaan Bailey.“Aku tidak apa-apa, Bexter, tapi kudaku sepertinya tidak bisa berdiri.”Bailey melirik sosok misterius yang tersisa. Satu prajurit mengunci kedua tangan sosok tersebut dengan rantai. Sesaat mata keduanya bersirobok saat sang sosok didorong untuk berjalan, melewati Bailey. Keempat sosok lain yang sudah tidak bernyawa digendong di pundak oleh empat prajurit berbadan kekar.“Biar prajurit membawa kudanya ke mansion nanti. Tuan muda, oh! Leher Anda terluka!”Seruan Bexter memancing atensi prajurit lain dan dalam sekejap ketegangan tercipta. Satu dua dari mereka meneguk ludah, lainnya berusaha bersikap biasa.Bailey meraba lehernya, melihat darah di tangannya dari luka itu.“Hanya luka kecil, tidak usah khawatir. Cukup tidak memberitahukannya pada orang lain, maka ini tidak akan jadi masalah.”Bailey tahu apa yang akan terjadi. Meskipun luka di lehernya cenderung tipis, tidak besar dan dalam, masalah tetap aka
“Bentuknya seperti peti. Kau tahu ini apa, Bold?”Benda di tangannya Shaw sodorkan pada Bold agar dapat melihat lebih jelas. Mereka masih di gudang.“Kurasa memang peti. Ada tempat kunci, lihatlah.” Bold menunjuk satu lubang kecil di tengah benda itu.“Tapi tidak ada kuncinya.”“Mungkin kakek dan nenekmu tahu.”“Hmm ... benar juga.”Lesu Shaw menanggapi perkataan Bold barusan. Kakek dan neneknya mungkin tahu, tetapi masalahnya adalah apakah mereka akan memberikan kunci itu padanya jika mereka tahu dan memilikinya? Sisi muara pikiran buruk dan cemas menghinggapi isi kepala Shaw. Gundah ia dibuatnya.“Eeeehhhh ... kenapa masih di situ?”Satu dari dua yang baru saja dibicarakan datang. Panjang umur Gracie yang muncul dari pintu, mencari keduanya.“Ayo, masuk. Hari sudah gelap.”Shaw dan Bold saling berpandangan sesaat, lalu berjalan mengikuti Gracie.Bold agak canggung, tetapi perlakuan hangat kakek nenek Shaw perlahan mencairkannya. Ia bahkan ikut bersenda gurau saat makan malam bersama.
“Dasar lambat! Ayo, cepat!”Ctash!“Ba … baik, Tuan.”“Lebih cepat lagi! Dasar anak pemalas!”Tungkai yang gemetar melangkah terseok-seok. Rantai dengan bola logam di kedua kaki tidak beralas memberatkan langkah, ditambah sebuah karung yang memperparah sampai raga membungkuk.Aksi tidak menyenangkan mata tersebut tertangkap pelupuk mata Shaw. Ia berbelok ke sana. Bold yang sedikit terkejut sigap mengikuti. Kedua orang yang mengganggu pemandangan Shaw itu menghentikan diri dan menoleh pada kehadiran yang tak diundang.Terlihat jelaslah oleh Shaw, seorang anak berkulit sawo matang lagi kurus yang terlihat begitu tersiksa, tetapi berusaha tidak menunjukkan. Di hadapan samping kiri Shaw, seorang pria dewasa yang Shaw taksir usianya sekitar 40-50 tahun.“Siapa kau?” Sang pria dewasa bertanya setelah mengamati Shaw dari atas ke bawah, lalu pandangannya berganti pada Bold yang baru datang.Mengetahui yang mendatanginya adalah prajurit elite tersohor, sang pria mematung di tempat. Pikirannya m
Luka di telapak kaki Mival selesai diobati dan dibalut perban. Shaw melepas sandal yang ia kenakan, memakaikannya ke kaki Mival.“Kau anak yang kuat, Mival. Kau sangat tangguh!” puji Shaw, menepuk pelan betis Mival dua kali seraya tersenyum cerah.“Sebentar ….”Shaw mencuci tangan juga kotak makannya ke sungai, kemudian memasukkan kotak makan ke dalam ransel setelahnya dan kembali.Mival merasa pipinya basah. Ia mengangkat tangan, mengusap dengan jemarinya. Ketika air matanya berderai lagi dan lagi, Mival menutup matanya dengan punggung tangan kanan.Shaw duduk di tempatnya, menatap Mival di samping dengan senyum dan membawa anak delapan tahun itu ke dalam dekapan.“Kau hebat, Mival. Orang lain belum tentu bisa bertahan sampai sekarang sepertimu,” ujar Shaw lirih.Bold terdiam memperhatikan. Ia masih belum terbiasa membuka diri dan memeluk orang lain.“Masa depanmu pasti cerah. Kau tidak boleh putus asa. Semuanya akan membaik,” tutur Shaw lembut sambil mengusap-usap punggung Mival. Ana
Laci dibuka, Bailey mengambil pena dan buku catatan berukuran kecil, lantas menuliskan rentetan kejadian yang ia ingat sejak beberapa hari sebelum penyerangan, saat perang, nama-nama yang ia curigai beserta alasannya, orang yang mengusulkan dan mendesak penundaan hukuman mati di rapat, dan laporan-laporan yang masih ia ingat beserta nama-nama pelapornya. Selesainya, pena ia taruh dan melanjutkan membaca.“Dua prajurit itu, terkadang aku melihat mereka berjaga di area tahanan tetua. Maksudku, para orang tua, jeruji-jeruji di lorong yang kau lewati saat Shaw dihukum. Terkadang aku hanya melihat satu dari mereka, terkadang keduanya. Kalau dipikir-pikir, bukankah seharusnya mereka tidak sesering itu berjaga di tempat yang sama? Bukankah begitu peraturannya? Setidaknya itu yang kutahu dari seorang prajurit yang pernah kutanyai.”“Hum, memang begitu.” Bailey membenarkan, menulis lagi di buku catatan.“Aku juga pernah mendengar mereka membicarakan tahanan-tahanan tetua itu. Kalau kau lupa tah
Lampu-lampu ruangan telah menyala, kontras dengan gelap yang terpampang di luar jendela. Baru Bailey sadari kalau hari sudah malam. Ia pergi ke dapur. Pelayan dan koki di sana menengok dengan desir kejut menjalar.“Tu … Tuan Muda, apa yang Anda lakukan di sini? Anda membutuhkan sesuatu?” Itu Dexter sang koki. Ia meletakkan piring berisi olahan ayam di meja dan menghampiri Bailey sembari mengelap tangan. Para pelayan menundukkan pandangan sekilas dan melanjutkan kegiatan.“Aku haus,” jawab Bailey, mengambil gelas.“Ah, sebentar, biar saya ambilkan.”Dexter bergegas mengambil gelas, tetapi langkahnya terhenti karena Bailey sudah lebih dulu mengisi gelasnya.“Tidak usah, Dexter, terima kasih. Ini hanya air putih,” ujar Bailey seraya mengangkat gelas berisi air putih di tangan.Sambil membawa gelas, Bailey keluar dapur, mendudukkan diri di kursinya, membiarkan para pelayan menghidangkan makan malam di meja dengan gugup. Tentu saja gugup. Belum tepat jam makan malam, tetapi tuan muda mereka
“Perapian sudah siap!”“Woaaahhhh, Bold hebat! Cepat sekali!”Mata berbinar Mival terarah lurus pada Bold dan perapian di depan prajurit jagur itu. Mival belum pernah membuat api secepat itu, apalagi di malam hari yang udaranya dingin. Meski memakai pemantik pun, Mival belum bisa secepat Bold menyalakan api dan membuatnya menjadi api unggun kecil.“Hmm ... bekal yang Nenek siapkan cukup banyak, tapi tidak dengan jenisnya. Jadi, makanan kita malam ini sama seperti tadi siang dan ini cukup sampai besok malam, tapi minumnya kurasa akan lebih cepat habis.”Shaw menghampiri Bold dan Mival di dekat perapian, meletakkan ransel, dan mengeluarkan tiga kotak makan serta botol minum.“Tidak masalah. Masih ada buah-buahan, 'kan? Kalau kurang, kita bisa mencarinya. Di hutan luar desa ada banyak pohon buah. Ikan pun melimpah di sungai.” Bold menenangkan.“A … apa itu?”Mival yang asyik menyimak tidak sengaja melihat benda berwarna putih di ketinggian.Shaw dan Bold mengikuti arah pandang Mival dan m
“Hmm ... lantas, satu halnya lagi?”Ascal tidak ingin menahan Bexter lebih lama karena hari sudah sangat larut, pun tahu besok asistennya itu akan siaga dengan jadwalnya di pagi buta. Mengenal dan bersama cukup lama membuat Ascal sangat paham bagaimana seorang Bexter Larson. Ascal ingin Bexter mendapat cukup istirahat agar tubuhnya prima, juga agar dapat bekerja dengan maksimal.Bexter yang memahami respon Ascal pun tidak membuka lebih banyak bahasan. Ia mengeluarkan sebuah kotak kayu kecil dari saku dan menaruhnya di meja.“Ini, Tuan.”Ascal meraih kotak itu dan membukanya. Ada sebuah robekan syal berwarna marun dan secarik kertas di dalamnya.“Itu adalah kotak yang saya temukan di saku perompak yang terakhir itu.”Ascal mengambil secarik kertas, membaca tulisan yang tertera di sana.“Little Shark of Zanwan & bloody night of Viking?” Kening Ascal mengernyit, menatap Bexter. “Interaksi antara para viking ini dengan penduduk Zanwan yang kuingat hanya dua. Beberapa hari lalu dan saat per
Kilau cahaya pohon dan jalan memandu Bailey ke kaki gunung sisi utara, melewati area yang Bailey datangi tempo lalu bersama Shaw dan yang lain pada malam operasi penambangan ilegal. Semak belukar lebih tinggi, lalu ketika Bailey sampai di timur, menuju belokan ke tenggara, kilau cahaya kemerahan berkelap-kelip di depan.Bailey segera menghentikan laju kudanya.“Profesor bilang warna lain selain hitam dan putih akan cenderung samar, tapi merah itu terlalu jelas,” gumam Bailey.Menggeser fokus tatapannya, Bailey menemukan lebih banyak siluet merah dengan haki yang menguar di dalam sebuah gua. Bailey mengamati sekitar lebih jeli. Terlihat oleh matanya dinding seperti kubah di atas.Bailey menyalurkan hakinya ke kuda, tetapi tetap menyamarkannya, kemudian membuat kuda berderap pelan dan santai. Sang kuda bagai berjalan di atas angin; tidak ada suara yang terdengar tiap kali kakinya memijak.Mendekati gua, Bailey turun dari kuda. Ia ikatkan tali kuda ke sebuah pohon, kemudian melanjutkan d
Aaban mengangguk, kemudian beralih tatap pada prajurit yang tadi membawakan kuda.“Buka gerbangnya.”Sang prajurit mengangguk patuh, kemudian berlari menuju pos jaga di sisi salah satu gerbang. Model pos agak tinggi dari permukaan tanah, jadi, ia mendongak dan berseru pada prajurit yang berada di pos.“Buka gerbangnyaaaa!”Prajurit di pos segera menjalankan perintah. Engsel gerbang segera berbunyi, lalu gerbang berderit, perlahan terbuka seiring Bailey menunggangi kuda.“Hati-hati, Tuan Muda!” kata Aaban.Bailey mengangguk. “Aku pergi.”Prajurit yang berseru pada prajurit di gerbang menyingkir, kembali ke sisi Aaban. Bailey menghentak tali kuda, melewati gerbang begitu gerbang terbuka lebar.“Tuan Muda sangat berani dan cerdik,” celetuk prajurit di sisi Aaban. Ia memandangi kepergian Bailey dengan binar takjub di matanya.“Dia putra pemimpin Zanwan. Keberanian dan kecerdikan akan bagus untuk menjadi bagian dari dirinya,” kata Aaban sambil memandangi Bailey yang menjauh, membelah padan
Matahari telah terbenam di ufuk barat. Malam telah bertakhta. Dinginnya udara menerpa Zanwan sedingin suasana di meja makan mansion Hunt.“Wilton, di mana Bailey?” Jillian bertanya.Piring-piring masih terisi, belum habis setengah hidangan di atasnya. Satu kursi di meja makan, kursi yang biasa diduduki Bailey, kini kosong. Wilton berdiri di belakang samping kursi tersebut.Pelayan mengatakan Bailey tidak ada di kamarnya beberapa saat lalu. Sebentar sebelum duduk ke kursinya, Jillian pun mengecek kamar Bailey, hanya menemukan ruangan kosong. Sampai Ascal tiba, Bailey belum juga muncul. Tak ayal Ascal memanggil Wilton.“Tuan Muda ….” Wilton bicara serupa suara bisikan di keramaian, nyaris tidak terdengar saking lirihnya.Jillian mengerjap. Ia melirik Wilton sambil makan. Wilton terus menunduk, bahkan tidak kunjung menyelesaikan bicaranya. Ascal berganti melontarkan tanya tanpa menoleh.“Wilton, di mana Bailey?”“Tuan Muda pergi ….” Wilton masih serupa anak kecil yang bersembunyi.“Wilto
Bailey manggut-manggut. “Aku tidak mengira kalian akan mengajukan pertanyaan semacam itu, bahkan tidak mengira kalian akan pernah menghiraukan hal semacam itu. Terima kasih, kurasa.”Senyum terukir di hati Bailey. Sebuah kabar gembira bagai menggema di dalam dirinya. Begitu pula yang dirasakan Otto dan Milo. Bailey menyambut baik, tentu itu kabar besar yang membahagiakan. Sekali lagi, perkiraan mereka salah. Sepertinya Bailey tidak mendengar pembicaraan mereka di kelas atau mungkin mendengar, tetapi tidak mempermasalahkan, dan itu membuat kegembiraan mereka kian bertambah.“Sanjungan lebih pantas untukmu,” kata Milo.Bailey merespon itu dengan senyum kecil. Otto dan Milo mengerjap, segera berpikir apakah mereka salah lihat. Namun, mereka dapati bahwa mereka tidak salah lihat. Bailey memang tersenyum. Senyum itu, Bailey tujukan kepada mereka.“Aku mulai dari pertanyaan pertama, ya,” kata Bailey, kemudian menghirup udara sejenak.Otto dan Milo mengangguk dan memasang telinga baik-baik.
“Kau mendengarnya?” Otto bertanya dengan wajah memucat. Suaranya amat pelan sampai nyaris tidak terdengar.Milo mengangguk kecil dalam gerakan patah-patah dan sarat keraguan. Ekspresi pada wajahnya tidak jauh berbeda.Kepala mereka kemudian bergerak bersamaan, berpaling tatap ke baris terdepan, lalu mereka melihat Bailey beranjak dari duduknya, pergi keluar.“Apa Tuan Muda mendengar pembicaraan kita?” Milo bertanya dalam suara lebih rendah, serupa bisik-bisik yang mungkin saja akan hanyut terbawa angin.Otto menggeleng. Bukan jawaban meyakinkan, hanya harapan bahwa itu adalah kenyataan yang terjadi.“Kalau benar, semesta mungkin tidak akan berpihak pada kita setelah ini,” kata Otto.Cemas menyerang Otto. Kalau Bailey benar mendengar pembicaraan mereka, apakah kali ini Bailey akan tersinggung? Kesal? Emosi dan apa pun yang lebih buruk?“Kurasa kita sebaiknya bergegas?” Milo melirik Otto.“Itu keputusan paling baik.” Otto berdiri.Milo memasukkan buku catatan yang baru sebentar ia baca
“Katakan saja,” ucap Bailey di sela makannya.Bailey tahu dua anak lelaki ini takkan mendatanginya kalau hanya untuk makan. Ada meja-meja kosong lain yang siap untuk ditempati, pun keduanya belum pernah begitu pada Bailey sepanjang sejarah bersekolah walau satu kelas dengan Bailey.“Kami … agak … penasaran. Apa Tuan Muda akan mendaftar untuk turnamen?” Otto Atrius yang duduk di sebelah Milo bertanya. Bibir merah cerahnya berulang kali mengatup dan terbuka setelah pertanyaan diajukan. Otaknya berpikir apakah pertanyaan itu sudah pas atau tidak.“Turnamen umum, maksudmu?” tanya Bailey.Otto mengangguk. “Kami dengar-dengar tahun ini murid yang terpilih untuk mewakili sekolah boleh mendaftar turnamen umum. Kami juga baca informasinya di mading pagi ini.”“Kalau terpilih mewakili sekolah, lalu mendaftar di turnamen umum dan ternyata lolos dalam keduanya ke final, terlebih keluar sebagai juara di peringkat satu, akan otomatis mendapat tiket emas dan bonus berlipat.” Milo turut bicara setela
“Ayah dan Ibu bawa apa? Itu terlihat banyak sekali!” Shaw mengamati tas-tas belanjaan dengan antusias. Salah satu isi yang tertangkap matanya adalah pakaian.“Oh, ini untuk putra Ibu yang paling manis!” Suara wanita menjawab.“Asyik! Pakaian, ya?” tanya Shaw.“Betul. Ada mainan juga!” Suara pria yang bicara.“Horeeee … mainan!” Shaw berseru gembira. Kebahagiaan meluap-luap pada suaranya.Di atas kaca, Shaw gemetar. Ia tidak mengira danau kaca keyakinan akan menampilkan momen seperti itu. Ia kira itu hanya akan berkisar perjalanannya, rencananya dengan Bailey, tantangan yang dihadapi dalam upaya mewujudkan impian tentang Zanwan. Namun, apa yang ia dengar sepenuhnya berbeda. Sama sekali tidak ada dalam bayangannya. Tidak sedikit pun.Mata Shaw bergetar. Air makin banyak di sana, lalu tumpah kala Shaw dengar suara yang sangat familier.“Shaw, jangan melompat-lompat tinggi begitu.” Itu suara Spencer, terdengar riang dan penuh kasih.“Shaw gembira sekali sepertinya.” Gracie menyusul bicara
“Ini danaunya.”Shaw sampai di ujung hutan lain setelah dari hutan sunyi dan melewati padang rumput. Di hadapannya membentang danau jernih yang berkilau, besar dan luas yang tidak mampu Shaw ukur dengan pasti. Ia perkirakan luasnya sama atau bahkan melebihi lapangan alun-alun distrik Acilav.“Sampai di danau itu, cara paling cepat untuk melewatinya adalah membelahnya. Menyeberanginya,” kata Fu dalam pesannya sebelum berpisah. “Jangan terkecoh dengan ukurannya yang kau mungkin kira tidak seberapa luas; masih sangat mungkin untuk dilewati dengan mengitarinya. Terkadang dalam waktu dan untuk alasan yang tidak terduga, setelah melihat wujudnya, begitu kau berjalan, mencoba memutari danau untuk sampai di seberang, di sisi lain, kau akan dapati bahwa ujung danau bahkan tidak kautemukan. Semua yang kaulihat mungkin hanya akan menjadi hamparan air. Tidak ada lagi pepohonan, tidak ada lagi daratan selain tempat kau berpijak dan sekitar.”Shaw berjinjit, mencoba menjangkau seberang danau dengan
“Ada rencana untuk keluar lagi di sisa hari ini, Tuan Muda?” Wilton bertanya seturunnya ia dari kuda, memegangi tali setelah Bailey turun. Mereka baru sampai di mansion, pulang dari sekolah.“Kurasa tidak. Sepertinya aku akan habiskan waktu di meja belajar.”“Baik. Saya akan ada di pos malam ini kalau Tuan Muda butuh sesuatu.”“Ya. Aku masuk, ya. Terima kasih untuk hari ini, Wilton.”Bailey pergi, masuk ke mansion. Wilton mengiringi kepergian Bailey dengan anggukan penuh hormat. Bibirnya melengkung membentuk senyum. Usai Bailey tidak lagi terlihat, Wilton membawa kuda ke kandang.Sampai kamar, Bailey menyalakan penerangan, melepaskan ransel, dan bersih-bersih. Ia melanjutkan dengan menekuri buku-buku mata pelajaran sampai pelayan memanggil namanya dari luar pintu.Makan malam tiba, Bailey berseri-seri menemukan Jillian di meja makan. Canda tawa Jillian serupa bunga-bunga di musim semi dan keceriaan Bariela adalah penyempurna. Jillian telah kembali dengan warna cerahnya, tidak lagi ber