Home / Lain / Jeruji Tanah Anarki / Pedang berlumur darah

Share

Pedang berlumur darah

Author: Maula Faza
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

"Perapian sudah siap!"

"Woaaahhhh ... Bold hebat!! Cepat sekalii ...." Mata berbinar Mival terarah lurus pada Bold dan perapian di depan prajurit jagur itu. Mival belum pernah membuat api secepat itu, apalagi di malam hari yang udaranya dingin. Meski memakai pemantik pun, dirinya belum bisa secepat Bold menyalakan api dan membuatnya menjadi api unggun kecil.

"Hmm ... bekal yang Nenek siapkan cukup banyak, tapi tidak dengan jenisnya. Jadi makanan kita malam ini sama seperti tadi siang, dan ini cukup sampai besok malam. Tapi minumnya kurasa akan lebih cepat habis." Shaw menghampiri Bold dan Mival di dekat perapian, meletakkan ranselnya dan mengeluarkan tiga kotak makan serta botol minum.

"Tidak masalah. Masih ada buah-buahan, 'kan? Kalau kurang, kita bisa mencarinya. Di hutan luar desa ada banyak pohon buah. Ikan pun melimpah di sungai." Bold menenangkan.

"A-apa itu?" Mival yang asik menyimak tak sengaja melihat benda berwarna putih di ketinggian.

Shaw dan Bold mengikuti arah pandang Mival; memicingkan mata. Benda putih mendekat, hingga terlihat wujudnya ketika indurasmi mengenainya.

"Itu burung merpatii!! Ahahahahaha ...." Shaw melepas tawa, setelah beberapa saat memicingkan mata dengan serius mengira benda putih itu sesuatu yang asing. Dia sempat berpikir yang tidak-tidak.

"Kenapa ada burung merpati terbang malam-malam? Dan kenapa merpatinya mendekat?" Mival bertanya lagi. Membuat Shaw kembali mengarahkan pandangnya.

Bold masih tak melepas tatap, lalu menyadari sesuatu.

"Merpati pembawa pesan," ujar Bold. Melihat merpati itu mendarat di hadapan Shaw dengan sebuah batang bambu kecil tertali di kakinya.

Shaw melepaskan ikatan di kaki burung merpati, membukanya dan mengambil gulungan kertas dari dalamnya. Mimik wajahnya berubah serius sekaligus bingung ketika membaca kalimat-kalimat yang tertulis di kertas. Lalu ia mengeluarkan buku catatan dan pena dari ranselnya; menuliskan sesuatu. Sejenak ia berhenti, menoleh pada Bold dan Mival yang menatap tanya padanya sedari tadi.

"Surat dari Bailey." Shaw berujar. Mengetahui tatapan penuh tanya dari Bold dan Mival. "Bailey bertanya aku sudah sampai mana, juga mengatakan ada hal yang sangat penting untuk dibahas denganku. Menurutmu bagaimana, Bold?"

"Apa dia memintamu pulang? Atau menuliskan hal yang sangat penting itu?"

Shaw melihat suratnya lagi, membacanya dengan seksama.

"Tidak, dia tidak memintaku pulang. Tapi dia berharap aku pulang lebih cepat. Dan dia juga tidak menuliskan apapun tentang hal yang sangat penting itu selain mengatakan salah satunya berkaitan dengan perang perompak," terang Shaw. Mengangkat wajah lagi menatap Bold.

"Jika saja panasea di rumahmu masih cukup banyak, maka kita bisa segera pulang setelah mendapatkan panasea dari selatan pulau. Tapi karena panasea di rumahmu tinggal sedikit, dan belum tentu di selatan pulau terdapat banyak panasea, maka sepertinya kita akan pulang lebih lama. Mungkin bisa memakan waktu empat sampai lima hari dari sekarang jika kita bergerak cepat."

Shaw mengangguk dan menggerakkan penanya, lanjut menuliskan balasan surat Bailey. Namun kemudian berhenti lagi. Seakan mengerti kebimbangan Shaw, Bold kembali berkata.

"Tidak lama lagi musim panas, dan panasea akan lebih sulit didapatkan. Mungkin saja sudah lebih dulu mengering atau bahkan mati karena kebanyakan panasea di pulau ini berbunga dan berbuah saat musim semi dan pertengahan musim gugur. Jika kita mempercepat pulang dengan panasea seadanya, kita harus menunggu beberapa purnama untuk kembali mendapatkannya. Itupun akan lebih sulit karena saat itu akan ada banyak hujan dan badai."

"Benar juga." Shaw menganggukkan kepala beberapa kali dan lanjut menulis. Surat yang siap dikirim ia gulung dan masukkan ke dalam batang bambu kecil, menalikannya lagi ke kaki merpati di hadapan. Lalu mengangkat lagi merpati dan melemparnya ke udara.

"Ayo makan ... lalu tidur. Kita harus bangun sangat pagi untuk mengejar waktu," tutur Shaw usai melihat merpati terbang menjauh. Menyimpan buku catatan dan penanya ke dalam tas, lalu beranjak bergeser mengambil tempat duduk di samping Mival dan memakan makanannya.

Seperti yang Shaw katakan, ketiganya bergegas tidur saat makanan di perut mereka telah turun. Tenda camp yang dibangun Bold dengan bantuan Shaw dan Mival cukup untuk bernaung, melindungi mereka dari angin malam yang dingin dan hewan-hewan yang berkeliaran.

Di sudut lain Zanwan, di ruangan 4x4 meter bernuansa abad pertengahan dengan lampu bercahayakan oranye gelap, dua kursi kayu cokelat tua saling berhadapan mengapit meja kayu persegi 1x1 meter yang teduh dan sejuk disentuh di tengah ruangan, seorang pria terduduk menopang dagu dengan wajah ditekuk. Di hadapannya, teronggok sebilah pedang terbuka di samping sarungnya, berlumurkan darah yang sudah mengering.

"Sebenarnya apa yang terjadi?" gumamnya lirih. "Jika Tuan Muda yang membunuh empat perompak itu, maka pedangnyalah yang akan berlumuran darah, bukannya pedang ini." Ia mengusap wajah lelahnya, untuk kesekian kali.

"Kenapa belum tidur?"

Sebuah kepala mengintip dari pintu, diikuti daksa dan tungkai yang melangkah mendekat. Suara kecilnya membuat sang pria menolehkan kepala.

"Kakak belum bisa tidur," jawab sang pria. "Kau sendiri kenapa? Terbangun, hmm?"

"Hum, aku terbangun ... karena bermimpi buruk."

Mata bulat dengan bulu mata lentik dan alis hitam yang lebat melengkung indah itu memperhatikan pedang sesaat, lalu suara feminin yang mengantuk terdengar lagi.

"Lebih baik Kakak membicarakan ini dengan Tuan Besar dan menanyakan semua pertanyaan Kakak pada Tuan Muda," usulnya. Menatap khawatir.

"Benar kata Cerys." Satu kepala lain muncul dari pintu, mendekat dan berhenti di samping seseorang yang ia panggil Cerys. Ia menyusul karena melihat gadis itu keluar dari kamarnya.

"Dexter ...." Sang pria bersuara, melipat tangannya. "Apa ada yang mencurigakan di mansion setiap kali aku tidak ada? Seperti orang asing yang masuk ke dapur utama dengan gerak-gerik mencurigakan misalnya?" tanyanya, mengangkat wajah menatap pria di samping Cerys.

"Sejauh ini tidak ada." Dexter menjawab singkat.

"Baguslah. Kita harus lebih waspada mulai sekarang," ujar sang pria. Berdiri dan menyarungkan pedang di meja. Ia mengambil serta busur dan anak panah di lemari. "Kalian tidurlah ... aku akan menemui Tuan Ascal."

"Apa harus malam ini juga, Kak?" Cerys berjalan cepat menyusul ke pintu.

"Hum. Lebih cepat lebih baik. Kakak bawa kunci cadangan, jadi kau tidak perlu menunggu."

"Ya sudah." Cerys mengalah. Menghentikan langkah.

Dexter menghampiri, merangkul Cerys dengan tangan kanannya.

"Sudah ... ayo bantu Kakak membereskan keranjang sayuran ... kau akan sulit tidur kembali kalau sudah terbangun seperti ini. Dan akan lebih cepat tidur lagi setelah mengerjakan sesuatu, 'kan?"

"Hum ... tapi, Kak Bexter akan baik-baik saja, 'kan, Kak? Sepertinya ini masalah serius." Ekspresi khawatir masih terpasang di wajah Cerys ... bercampur kantuk yang memudar, membuat satu usapan tangan Dexter mendarat di kepalanya.

"Dia akan baik-baik saja. Kau tidak perlu khawatir berlebihan ... dia tahu apa yang dia lakukan. Lagipula dia itu salah satu prajurit terbaik di Zanwan." Dexter berujar. Meyakinkan adiknya yang mudah sekali khawatir.

"Baiklah." Cerys menghela napas. Menurut mengikuti langkah Dexter meninggalkan ruangan; berjalan menuju dapur.

Suara ketukan di jendela membawa sadar dari lelap kembali ke dunia nyata. Bailey membuka matanya, mengerjap pelan dan mengarahkan tatapan ke sumber suara; jendela. Ada seekor burung merpati di luarnya. Bailey bangun dari kasur dan mendekat, membukakan jendela membiarkan merpati masuk. Lalu menutup jendela dan menguncinya lagi.

Sang merpati mendarat di lantai, tak bergeming saat Bailey menangkapnya dan melepaskan ikatan batang bambu di kakinya, hingga memasukkannya ke kandang. Sigap tangan Bailey memberi makanan dan mengisi penuh wadah yang tinggal setengah airnya sebelum menutup pintu kandangnya lagi.

Di jalan yang menghubungkan paviliun dan mansion, Bexter berhenti. Terdiam sesaat melihat ke arah jendela kamar Bailey yang ditutup belum lama itu. Lalu ia melanjutkan langkah memasuki mansion Hunt setelah satu hembusan napas.

Di mansion Hunt, para pekerja tinggal di bangunan terpisah dari mansion utama; tempat tinggal Ascal dan keluarganya. Setiap pekerja tinggal di asrama yang disediakan sesuai pekerjaan mereka. Kecuali pekerja dengan posisi yang lebih tinggi, pekerja yang anggota lain di keluarga mereka juga bekerja di mansion Hunt, dan pekerja yang tidak memiliki rumah lain. Bagi mereka, masing-masing disediakan satu area paviliun yang terpisah.

Tok tok!

Jarum jam menunjuk angka 11 malam. Ascal menghela napas, menghentikan gerakan penanya.

"Masuk."

Pintu dibuka di detik berikutnya. Bexter masuk dan menutup kembali pintu sebelum menghampiri Ascal.

"Tuan, ada sesuatu yang ingin saya sampaikan."

"Duduklah." Ascal melepas pena dari tangan dan menutup bukunya. Memberikan seluruh atensi pada Bexter. "Katakan."

Bexter duduk. Memindahkan beberapa buku di meja lalu meletakkan pedang dari genggaman.

"Ini pedang perompak terakhir yang menyerang Tuan Muda di bukit timur," tuturnya. Mencabut pedang dan menaruhnya di samping sarung pedang.

Ascal mengambil pedang itu dan membolak-balikkannya. Ingatannya melayang ke hari penyerangan di bukit timur, lalu ke leher Bailey. Ia tak membahas luka Bailey itu di hadapan banyak prajurit dan bersikap seperti tidak menyadarinya. Sengaja. Pikiran Ascal sedang tak jernih saat itu, dan ia tidak ingin mengulangi kesalahan di masa lalu karena membuat keputusan ketika emosinya sedang di luar kendali.

Ascal baru membahas itu di ruang kerjanya, menanyakannya langsung pada Bailey dan Bexter. Dan dari penuturan keduanya, diketahui Ascal jikalau luka yang didapat Bailey hanyalah goresan di lehernya. Pedang Bailey pun bersih, tak bernoda barang sedikit.

"Jadi, yang membunuh empat perompak itu adalah rekan mereka sendiri?" Ascal menaruh pedang ke posisi semula.

"Saya tidak melihat seluruh kejadiannya. Kami datang ketika empat perompak sudah tewas dan Tuan Muda tengah bertarung dengan satu perompak yang tersisa. Tapi jika dilihat dari pedang ini, sepertinya begitu."

"Apa pendapatmu?"

"Perompak ini sengaja membunuh keempat rekannya." Bexter mengambil napas. Menyandarkan tangan ke meja. "Seperti yang kita tahu ... para perompak ini memiliki kemampuan berpedang yang tidak bisa dianggap remeh. Jika satu dari mereka bisa membunuh empat orang yang juga sama-sama adalah perompak, maka sudah pasti akan lebih mudah untuk membunuh Tuan Muda yang dari segi pengalaman masih jauh di bawah ... meski kemampuan berpedang Tuan Muda terbilang bagus."

"Haahh .... Kau benar. Ada lagi yang ingin kau sampaikan?"

"Ada dua hal lagi, Tuan." 

Bexter menggeser pedang sedikit ke depan dan menaruh busur serta anak panahnya.

"Ini adalah busur dan anak panah perompak itu." Bexter mengambil semua anak panah yang berjumlah tujuh itu dan menyusunnya lurus dengan kepala anak panah menghadap ke arahnya. "Perhatikan ekor anak panahnya."

Ascal memperhatikan satu per satu ekor anak panah. Terdapat satu huruf di masing-masing keenam anak panah dan satu angka di anak panah yang diletakkan di ujung. Semuanya berwarna merah. Huruf-huruf dan satu angka itu adalah A, C, E, L, S, T, 4.

"Huruf-huruf ini membentuk sesuatu. Tapi saya belum bisa memecahkannya," ujar Bexter.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Maula Faza
Nah, harusnya di bab ini (≡^∇^≡)
goodnovel comment avatar
Maula Faza
Ayoo..... ada yang bisa memecahkan misteri huruf dan angkanya?
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Jeruji Tanah Anarki   Gua tersembunyi di kaki gunung

    "Hmm ... lantas, satu halnya lagi?"Ascal tak ingin menahan Bexter lebih lama karena hari sudah sangat larut. Pun tahu kalau besok asistennya itu akan siaga dengan jadwalnya di pagi buta. Mengenal dan bersama cukup lama membuat Ascal sangat paham bagaimana seorang Bexter Larson. Dan Ascal ingin Bexter mendapat cukup istirahat agar tubuhnya prima, juga agar dapat bekerja dengan maksimal.Bexter yang memahami respon Ascal pun tak membuka lebih banyak bahasan. Ia mengeluarkan sebuah kotak kayu kecil dari saku dan menaruhnya di meja."Ini, Tuan."Ascal meraih kotak itu dan membukanya. Ada sebuah robekan syal berwarna maroon dan secarik kertas di dalamnya."Itu adalah kotak yang saya temukan di saku perompak yang terakhir itu."Ascal mengambil secarik kertas dan membaca tulisan yang tertera di sana."Little shark of Zanwan & bloody night of Viking?" Kening Ascal mengernyit; menatap Bexter. "Interaksi antara para Vik

  • Jeruji Tanah Anarki   Pengejaran

    Tanah yang lembab membuat setiap tapal kuda berjejak cukup dalam diakibatkan oleh hentakan yang kuat. Perlu kehati-hatian ekstra agar kuda tidak terjerembab ataupun terpeleset dan jatuh. Semak dan rerumputan yang semakin tinggi tersebab kawasan yang sangat jarang disentuh manusia itu tak menjadi penghalang Shaw dan Bold untuk mempercepat laju kuda mereka. Keduanya memilih area tanah yang lebih datar dengan rerumputan yang lebih rendah dan kering agar kuda dapat melaju lebih cepat.Kini mereka berhasil mencapai jarak 3/4 busur panah dari kaki gunung di titik mereka memanjat tebing, terus melajukan kuda sampai mencapai penuh ujung busur; sejajar dengan titik saat mereka memanjat tebing.Pandangan dan pendengaran ditajamkan sembari terus menghentak kuda. Pepohonan yang lebat dengan jarak cukup rapat membuat pemandangan sekitar tampak seperti potongan puzzle dengan kecepatan kuda mereka."Arah jam sebelas!!" Shaw berseru begitu melihat sang sosok memac

  • Jeruji Tanah Anarki   Lukisan pembawa sendu

    Apalah yang bisa semesta lakukan? Ketika hati masih terpaut pada orang yang sama, meski raga telah terpisahkan. Jarak yang teramat jauh membentang, beribu ruang dan pintu kokoh menjadi penghalang, pun waktu yang meragu beri kesempatan, disempurnakan takdir yang seakan lelah untuk kembali pertemukan.Apalah yang bisa semesta lakukan? Ketika atma yang merindu menolak untuk berhenti mengaum, ketika rasa dalam kalbu yang bergejolak menimbulkan gelombang ombak menolak untuk berhenti meraung.Adakah setitik harapan itu masih hidup? Sekecil kesempatan pun 'kan diterima, lebih dari cukup untuk menarik dua sudut bibir melengkung ke atas. Adakah benang merah itu masih terikat? Setipis benang layang pun tak masalah. Cukup untuk membuat nadi tetap dalam iramanya, menari di hamparan ladang bunga ... bertemankan kupu-kupu, capung, dan burung-burung.Rangkaian aksara di buku yang terbuka tak lebih dari pengalih atensi orang lain; barangkali ada yang melihat. Seme

  • Jeruji Tanah Anarki   Kembali ke barat daya

    "Apa itu?" Shaw bergumam pelan dengan mata yang masih terpejam.Suara gesekan benda menjadi satu-satunya yang terdengar di dalam gua, ke kamar yang ditempatinya. Mereka mengobrol sampai sore, dan sang tuan rumah menyarankan Shaw, Bold, dan Mival untuk bermalam ketika ketiganya pamit untuk melanjutkan perjalanan.Shaw mengerutkan kening, mendengar suara yang kembali menyelusup ke pendengarannya. Merasa sudah terjaga dan sulit tidur lagi, Shaw membuka mata; mengusapnya sekali dan beranjak dari peraduan. Ia telusuri asal suara yang didengar, membawa langkah ke lorong gelap yang tak begitu lebar, menurun; ke ruangan bawah. Barulah ia tahu bahwa lantai gua yang ia pijak sebelumnya bukan benar-benar lantai dasar karena masih ada lantai lain di bawahnya, seperti ruangan bawah tanah.Tuan rumah terlihat duduk di kursi paling dekat dinding. Ada lentera minyak yang diletakkan di tengah meja persegi, dan beberapa benda di sekitar lentera."Ini bukan wa

  • Jeruji Tanah Anarki   Mengambil kotak sang tuan rumah

    "Bold!?"Salah seorang jagawana refleks menyebut nama Bold saat lampu menyorot kedatangan sang prajurit jagur. Lampu sorot yang dinyalakan lebih redup daripada lampu sorot yang digunakan saat malam hari, sebab hanya sebagai penerang pembantu ... karena hutan yang lebat membuat sekitar lebih gelap meskipun malam telah lewat.Jagawana lain yang berkutat dengan penerangan mereka pun mengarahkan pandang ke depan menara, melihat sang prajurit jagur datang mendekat. Serentak, mereka memberi hormat, sebab posisi dan jabatan mereka berada di bawah Bold."Tidak perlu formal, bersikap biasa saja ... aku hanya mampir sebentar," ujar Bold seraya menaik-turunkan telapak tangannya melihat para jagawana dengan posisi sigap dan tampak lebih tegang.Sang ketua tim jagawana yang bertugas turun dari atas menara, menyambut Bold dan mempersilakan prajurit jagur itu duduk di kursi pos samping menara; tempat para jagawana beristirahat. Pandangannya ia arahkan pula

  • Jeruji Tanah Anarki   Kuceritakan sesuatu

    Afmosfer langka yang menyelimuti pos jagawana selama beberapa saat itu memudar; semua kembali seperti sedia kala seiring kepergian Shaw, Bold, dan Mival usai ketiganya pamit. Para jagawana kembali dengan ekspresi serius, datar, nan tenang mereka, menyorot setiap inchi jenggala dalam jangkauan jarak sesuai tugas yang diamanatkan.Matahari terus bergulir, tak lama lagi mencapat titik 50° dari ufuk barat. Shaw, Bold, dan Mival melewati padang rumput di luar jagawana yang tak begitu luas, kemudian menanjak ke bukit rumput di timurnya, menurun dan melaju ke jenggala di kaki bukit, kembali menyeberangi padang rumput lagi, lalu memasuki area perumahan penduduk yang tampak sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Renovasi di sana tidak lama lagi akan selesai.Mereka terus memacu cepat kuda yang ditunggangi, mengabaikan tatapan orang yang melihat mereka. Risau menelisik hati Shaw, membuatnya lebih bungkam lagi muram."Kakeeek? Neneeek?" Suara Shaw membaha

  • Jeruji Tanah Anarki   Tuduhan

    "Ada kata-kata terakhir?"Rantai telah terpasang sempurna di kedua kaki dan tangan. Pecut cambuk telah dibersihkan, siap untuk dipakai lagi. Lantai ruangan pun telah bersih hingga menguarkan semerbaknya yang harum, mengalahkan amis anyir darah yang biasanya menyelimuti. Semua dipersiapkan untuk hari ini, setelah penantian 10 tahun lamanya.Di ruangan area lain yang lebih dalam, sepanjang lorong untuk ke sana pun telah dibersihkan, juga dengan ruangan di sana. Tiang tempat penggal kepala pun telah bersih, dengan pisau panjangnya yang berkilau. Pun semerbak telah menguar, memenuhi ruangan hingga ke lorong gelap di luarnya."Tolong gantikan kami untuk merawat Shaw," pinta Spencer lirih."Shaw .... Tolong jaga Shaw." Gracie pun ikut bersuara dengan nada sendu.Tak ada yang dipikirkan keduanya selain cucu mereka. Tentang hari ini, telah mereka bicarakan bersama sejak 10 tahun lalu. Keduanya siap untuk saling melepas satu sama lain, siap untuk bert

  • Jeruji Tanah Anarki   Kedatangan tak diundang

    "Kuberitahukan jika Tuan Hunt benar-benar tidak datang," jawab sang prajurit dengan suara yang lebih lirih.Shaw tidak menyahut lagi, menatap sekitar sesaat kemudian hanyut dalam pikirannya. 'Bagaimana jika Bailey kembali sendirian? Dan Tuan Hunt tidak datang?' batinnya cemas. Shaw memijat pelipisnya pelan sambil menghirup napas dan menghembuskannya perlahan. Mengulanginya sampai beberapa kali."Apa yang kau sembunyikan dariku?"Buku-buku dan berkas-berkas disingkirkan dari tengah meja, lalu sebuah bingkai lukisan diletakkan dengan kasar."Kenapa diam saja?" Nada ketus terdengar sekali dari Jill, menatap kesal Ascal yang hanya mengambil lukisan dan menatapnya lama."Kau pasti menyembunyikan sesuatu. Paman Baldric, kau pasti membicarakan sesuatu dengannya hari itu, 'kan? Dan itu pasti tentang Hao Yi dan Maru."Ascal tergeming, tak menjawab pertanyaan Jill. Ia masih menatap sang sosok terlukis yang tidak lain adalah Shaw. Setelah 3 detik

Latest chapter

  • Jeruji Tanah Anarki   Morth

    Atmosfer terasa lebih ramah. Irama dari ranting-ranting dan dahan oleh angin terdengar lebih wajar dibandingkan tadi. Shaw makin yakin, semua karena Morth. Atmosfer, halusinasi, entah apa lagi yang Morth sebabkan. Satu pertanyaan besar dalam benak Shaw, siapa Morth sesungguhnya? Mengapa seisi jenggala sunyi hingga seluruh penjurunya seakan-akan berada di bawah kaki tangan Morth?“Kau pikirkan aku?” Morth tiba-tiba bertanya. Rupanya ia mengekori Shaw.Huh? Apa Morth juga bisa membaca pikiran?Shaw menengok ke belakang, langkahnya melambat. “Jangan katakan kau dapat menembus kepala orang.”“Kau banyak bertanya, belum tuntas seluruhnya.” Morth mensejajarkan diri. Sejenak, ia melihat Shaw dari atas ke bawah. “Orang keras kepala seperti kau tentu akan merenungkannya. Aku benar, bukan?”“Kita baru saling tahu beberapa saat lalu dan kau yakin sekali dengan kata-katamu. Antara kau pandai menilai atau hanya pandai berasumsi.” Shaw menggeleng. Pandangan ia tujukan ke depan.Morth menyentuh leng

  • Jeruji Tanah Anarki   Penunggu hutan sunyi

    Tanduk. Hal pertama yang dilihat oleh Shaw dari sumber suara adalah tanduk, tersembunyi di antara dedaunan semak belukar setinggi pinggang orang dewasa.Shaw mengernyit, kemudian bergumam lirih, nyaris tak bersuara, "Itu seperti tanduk rusa."Sepasang mata semerah darah terlihat dari celah dedaunan. Shaw menelan ludah. Ia tahu betul itu bukan mata hewan biasa, apalagi manusia. Tidak ada satu pun penduduk desa yang pernah ditemuinya memiliki mata seperti itu.Mungkinkah ini yang Fu maksud? Apapun itu, merasakan haki tidak biasa dari sang sosok misterius membuat Shaw merasa dirinya tidak boleh berlama-lama.Diliputi kewaspadaan dan dengan suara tercekat, ia berucap dalam hati, "Aku harus segera pergi dari sini."Tanpa melakukan pergerakan yang kentara serta dengan posisi kepala yang masih sama, tatapan Shaw menyisir sekitar; memastikan tidak ada keanehan lain. Ia yang semula berjongkok pun perlahan berdiri sepelan mungkin. Namun, bak lelah bermain petak umpet, ransel yang Shaw gendong m

  • Jeruji Tanah Anarki   Halusinasi

    "Tetap tidak bisa! Terlalu berbahaya. Kau kan tahu lebih baik daripada aku, Tibate." Fu mengangkat kepala, menatap lurus Tibate dan Baldor. Ini bukan waktu yang tepat, pikir Fu. "Lagi pula aku bisa menjaga diri. Akan kupanggil kalian jika hal buruk terjadi dan aku tidak bisa mengatasinya.""Kau bisa tinggal, Fu. Aku akan melanjutkan perjalananku seorang diri," sela Shaw, angkat bicara setelah menimang-nimang."Tidak―""Aku juga akan meninggalkan kudaku di sini." Shaw menepuk pundak Fu. Ia serius ingin Fu tinggal. "Bold bilang ada danau dan tebing. Jadi, aku tidak bisa membawa kudaku. Selain itu, kau bisa mengawasi keadaan hutan dan mengabariku. Kau juga terluka, Fu. Jangan bersikeras seolah kau baik-baik saja. Bagaimanapun kau juga masih anak-anak."Ini adalah tugas Shaw. Sejak awal, Shaw memulainya sendiri, dan ia harus melanjutkannya sendiri. Shaw tidak ingin merepotkan.Fu berdecak, tidak terima, tetapi juga tidak menyangkal ataupun menyanggah. Bertemu Baldor dan Tibate membuatnya

  • Jeruji Tanah Anarki   Janji pada jenderal besar

    Pria berjanggut memperhatikan sambil mengusap-usap janggut dan kumisnya. Saat otaknya mengingat sesuatu tentang Fu, matanya seketika melebar."Kau ingin aku mencincangmu, hah?!" Tibate berseru.Setelah ikan bakarnya rusak, sekarang dirinya yang nyaris terbakar. Pria plontos itu tidak terima.Tibate menghentak tanah dengan kakinya, bergantian kaki kanan dan kaki kiri. Pegangannya pada gagang pedang semakin erat dan erat.Fu melompat mundur, mengambil sikap siaga dan meningkatkan kewaspadaannya. Ia siap dengan apapun yang akan Tibate lakukan untuk membalasnya.Sebelum Tibate menyerang balik, pria berjanggut yang masih menggenggam keranjang bambu itu berjalan ke depan Tibate, lalu berdiri memunggungi Fu dan Shaw."Kau mau dikutuk atau sudah bosan hidup?!" tanyanya."Apa maksudmu? Kalau kau hanya ingin aku berhenti memberi anak itu pelajaran, sebaiknya kau minggir!" balas Tibate."Kau tahu kau sedang berhadapan dengan siapa? Kau tidak berencana mengingkari janjimu pada Jenderal Besar, 'ka

  • Jeruji Tanah Anarki   Pertarungan Fu dan Tibate

    "Apa kau sedang bercanda?" Tibate mendengus kasar. Ia tampak tidak suka.Pria plontos itu tahu dirinya sudah hidup lama, tetapi bukan berarti ingatannya menua. Ia tahu ingatannya masih berfungsi dengan sangat baik. Ia sangat meyakini itu."Aku tidak bercanda," sanggah Fu, berkacak pinggang. "Kau memberitahukannya sendiri padaku saat aku memberimu buah persik. Kalau kau masih tidak ingat, berarti ada yang salah dengan ingatanmu," imbuhnya.Buah persik?Tibate mengerutkan kening. Ia merasa tidak asing, tetapi tidak mengingat apapun."Sudahlah. Lebih baik kalian pulang sekarang, dan akan kuanggap ini tidak pernah terjadi," ujar Tibate seraya memasang wajah serius."Tidak bisa!" Shaw berseru. "Aku harus pergi ke tenggara!""Ya. Kami tidak bisa kembali ke desa saat ini," Fu menimpali.Tibate memukulkan ujung pedangnya ke tanah, menimbulkan gelombang angin yang kencang. Dedaunan dan batu kerikil tersapu, begitu pun Fu dan Shaw yang ikut terpental."Aduh ...." Shaw mengerang, berusaha bangun

  • Jeruji Tanah Anarki   Penjaga hutan hitam

    Menjelang pagi, suara kehidupan awal sekali menggaung. Beberapa penduduk desa sudah mulai melakukan aktivitas mereka. Sebagian di dalam rumah, sebagian di luar rumah.Satu di antara manusia yang telah lepas dari peraduannya adalah Wilton. Ia bertugas pagi kali ini."Selalu rajin, ya." Zander berkomentar. Kuda-kuda di kandang bersuara antusias saat Zander memberi mereka makan."Tidak juga. Aku hanya tidur cukup nyenyak semalam, dan tubuhku merasa lebih segar saat aku bangun. Jadi, ya, mungkin lebih bersemangat," sahut Wilson seraya terkekeh kecil."Padahal kau hanya tidur sebentar, 'kan, semalam," Celetuk Zander. Tangannya cekatan melipat karung-karung rumput yang sudah kosong.Wilton tersenyum cerah menanggapinya. Ia memeras kain yang dipakai untuk mengelap kuda yang akan ia pakai untuk mengantar Bailey ke sekolah."Sebentar pun tetap saja namanya tidur, Zan," kata Wilton, keluar dari kandang sambil membawa kain basah dan ember hitam kecil."Ya, tidak salah."Suara derap kaki nyaring

  • Jeruji Tanah Anarki   Penemuan Avidius

    "Ada yang menarik perhatianmu, Vid? Aku sampai mengantuk menunggumu." Bailey menimpali."Ah, maaf maaf .... Tadi ada yang harus kulakukan. Ada sesuatu! Jadi, aku kembali lebih lama," ujar Avidius seraya tersenyum canggung.Avidius adalah cucu Barid. Ia satu sekolah dengan Leonere."Sesuatu apa?" Leonere bertanya.Avidius, remaja berkulit putih kemerahan dengan senyum manis dan lesung pipi itu mengeluarkan sebuah kain merah dari saku pakaian di balik jubahnya. Saat kain dibuka, Leonere dan Bailey membulatkan mata melihat benda yang terpampang di sana."Bukankah itu—" Kata-kata Leonere terhenti. Ia mendekat tergesa dan memegang benda yang ditunjukkan Avidius. "Ini kan ....""Dari mana kau menemukan itu?" tanya Bailey yang juga mendekat.Avidius melirik ke arah belakang sesaat, memastikan sekitarnya aman. Senyumnya pudar seketika."Dari hutan barat laut. Aku menemukannya tadi," bisik Avidius, tampak serius.Bailey dan Leonere tercengang lalu saling menatap. Pikiran keduanya seolah tersam

  • Jeruji Tanah Anarki   Hutan hitam

    "Tidak ada yang gratis," sahut Fu seraya menyeringai tipis.Shaw berdecak. "Kubayar dengan manisan.""Apa itu? Tidak cukup! Informasiku sangat mahal, kau tahu.""Ck, kubayar dengan makanan lain. Kau bebas memintanya, dan aku akan membuatkannya untukmu," tawar Shaw.Fu menyeringai penuh kemenangan kini. Sebuah siasat terlintas di benaknya."Bisa dipertimbangkan," kata Fu. Sesaat kemudian seringai di wajahnya hilang, berganti raut serius. "Kurangi kecepatan kudanya. Melewati batang pohon besar di depan itu, buat kudanya berjalan biasa.""Huh? Oke."Shaw percaya pada Fu. Ia mengikuti instruksi Fu tanpa ragu.Pohon-pohon besar yang dimaksud Fu berada 20 meter dari mereka. Warna pohonnya gelap, seolah melambangkan sesuatu yang misterius dan tampak mati. Pepohonan itu seakan telah terbakar. Meski begitu, dedaunannya sangat rimbun.Melewati dua pohon besar tersebut, kuda memasuki jenggala yang lebih gelap dan sunyi dari sebelumnya. Sekeliling tampak benar-benar gelap dengan aura yang terasa

  • Jeruji Tanah Anarki   Desa neraka dan tetua desa

    "Ya sudah." Eroth menghela napas.Selain belajar bersikap baik pada budaknya, Eroth pun belajar untuk tidak memaksakan kehendak. Ya, itu sungguhan, bukan sandiwara yang dibuat-buat.Di depan mereka, Aaban mendengarkan dalam diam. Komandan itu sibuk dengan pikirannya.Menjelang ujung dari jenggala ketiga, Fu tiba-tiba berujar. Suaranya terdengar serius di telinga Shaw."Berhenti, Shaw."Shaw menghentikan laju kuda dan melirik Fu. "Ada apa?""Kita ambil jalan lain," tukas Fu."Kenapa? Ada apa dengan jalan ini?""Ada sesuatu di depan. Hakinya tidak jauh berbeda dengan Kaye dan teman-temannya.""Ha?"Shaw menatap lurus, lalu memejamkan mata. Ia mencoba merasakan haki di depan, tetapi tidak merasakan atau melihat apapun."Aku tidak merasakan apapun," kata Shaw seraya membuka mata.Fu berdecak dan memegang kedua pundak Shaw. Aliran haki mengalir dari tangannya."Coba lihat lagi," kata Fu. Shaw mengiyakan.Bayangan sosok berjumlah lebih dari 10 terlihat di kejauhan di depan, dengan haki yang

DMCA.com Protection Status