Tanah yang lembab membuat setiap tapal kuda berjejak cukup dalam diakibatkan oleh hentakan yang kuat. Perlu kehati-hatian ekstra agar kuda tidak terjerembab ataupun terpeleset dan jatuh. Semak dan rerumputan yang semakin tinggi tersebab kawasan yang sangat jarang disentuh manusia itu tak menjadi penghalang Shaw dan Bold untuk mempercepat laju kuda mereka. Keduanya memilih area tanah yang lebih datar dengan rerumputan yang lebih rendah dan kering agar kuda dapat melaju lebih cepat.
Kini mereka berhasil mencapai jarak 3/4 busur panah dari kaki gunung di titik mereka memanjat tebing, terus melajukan kuda sampai mencapai penuh ujung busur; sejajar dengan titik saat mereka memanjat tebing.
Pandangan dan pendengaran ditajamkan sembari terus menghentak kuda. Pepohonan yang lebat dengan jarak cukup rapat membuat pemandangan sekitar tampak seperti potongan puzzle dengan kecepatan kuda mereka.
"Arah jam sebelas!!" Shaw berseru begitu melihat sang sosok memac
Apalah yang bisa semesta lakukan? Ketika hati masih terpaut pada orang yang sama, meski raga telah terpisahkan. Jarak yang teramat jauh membentang, beribu ruang dan pintu kokoh menjadi penghalang, pun waktu yang meragu beri kesempatan, disempurnakan takdir yang seakan lelah untuk kembali pertemukan.Apalah yang bisa semesta lakukan? Ketika atma yang merindu menolak untuk berhenti mengaum, ketika rasa dalam kalbu yang bergejolak menimbulkan gelombang ombak menolak untuk berhenti meraung.Adakah setitik harapan itu masih hidup? Sekecil kesempatan pun 'kan diterima, lebih dari cukup untuk menarik dua sudut bibir melengkung ke atas. Adakah benang merah itu masih terikat? Setipis benang layang pun tak masalah. Cukup untuk membuat nadi tetap dalam iramanya, menari di hamparan ladang bunga ... bertemankan kupu-kupu, capung, dan burung-burung.Rangkaian aksara di buku yang terbuka tak lebih dari pengalih atensi orang lain; barangkali ada yang melihat. Seme
"Apa itu?" Shaw bergumam pelan dengan mata yang masih terpejam.Suara gesekan benda menjadi satu-satunya yang terdengar di dalam gua, ke kamar yang ditempatinya. Mereka mengobrol sampai sore, dan sang tuan rumah menyarankan Shaw, Bold, dan Mival untuk bermalam ketika ketiganya pamit untuk melanjutkan perjalanan.Shaw mengerutkan kening, mendengar suara yang kembali menyelusup ke pendengarannya. Merasa sudah terjaga dan sulit tidur lagi, Shaw membuka mata; mengusapnya sekali dan beranjak dari peraduan. Ia telusuri asal suara yang didengar, membawa langkah ke lorong gelap yang tak begitu lebar, menurun; ke ruangan bawah. Barulah ia tahu bahwa lantai gua yang ia pijak sebelumnya bukan benar-benar lantai dasar karena masih ada lantai lain di bawahnya, seperti ruangan bawah tanah.Tuan rumah terlihat duduk di kursi paling dekat dinding. Ada lentera minyak yang diletakkan di tengah meja persegi, dan beberapa benda di sekitar lentera."Ini bukan wa
"Bold!?"Salah seorang jagawana refleks menyebut nama Bold saat lampu menyorot kedatangan sang prajurit jagur. Lampu sorot yang dinyalakan lebih redup daripada lampu sorot yang digunakan saat malam hari, sebab hanya sebagai penerang pembantu ... karena hutan yang lebat membuat sekitar lebih gelap meskipun malam telah lewat.Jagawana lain yang berkutat dengan penerangan mereka pun mengarahkan pandang ke depan menara, melihat sang prajurit jagur datang mendekat. Serentak, mereka memberi hormat, sebab posisi dan jabatan mereka berada di bawah Bold."Tidak perlu formal, bersikap biasa saja ... aku hanya mampir sebentar," ujar Bold seraya menaik-turunkan telapak tangannya melihat para jagawana dengan posisi sigap dan tampak lebih tegang.Sang ketua tim jagawana yang bertugas turun dari atas menara, menyambut Bold dan mempersilakan prajurit jagur itu duduk di kursi pos samping menara; tempat para jagawana beristirahat. Pandangannya ia arahkan pula
Afmosfer langka yang menyelimuti pos jagawana selama beberapa saat itu memudar; semua kembali seperti sedia kala seiring kepergian Shaw, Bold, dan Mival usai ketiganya pamit. Para jagawana kembali dengan ekspresi serius, datar, nan tenang mereka, menyorot setiap inchi jenggala dalam jangkauan jarak sesuai tugas yang diamanatkan.Matahari terus bergulir, tak lama lagi mencapat titik 50° dari ufuk barat. Shaw, Bold, dan Mival melewati padang rumput di luar jagawana yang tak begitu luas, kemudian menanjak ke bukit rumput di timurnya, menurun dan melaju ke jenggala di kaki bukit, kembali menyeberangi padang rumput lagi, lalu memasuki area perumahan penduduk yang tampak sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Renovasi di sana tidak lama lagi akan selesai.Mereka terus memacu cepat kuda yang ditunggangi, mengabaikan tatapan orang yang melihat mereka. Risau menelisik hati Shaw, membuatnya lebih bungkam lagi muram."Kakeeek? Neneeek?" Suara Shaw membaha
"Ada kata-kata terakhir?"Rantai telah terpasang sempurna di kedua kaki dan tangan. Pecut cambuk telah dibersihkan, siap untuk dipakai lagi. Lantai ruangan pun telah bersih hingga menguarkan semerbaknya yang harum, mengalahkan amis anyir darah yang biasanya menyelimuti. Semua dipersiapkan untuk hari ini, setelah penantian 10 tahun lamanya.Di ruangan area lain yang lebih dalam, sepanjang lorong untuk ke sana pun telah dibersihkan, juga dengan ruangan di sana. Tiang tempat penggal kepala pun telah bersih, dengan pisau panjangnya yang berkilau. Pun semerbak telah menguar, memenuhi ruangan hingga ke lorong gelap di luarnya."Tolong gantikan kami untuk merawat Shaw," pinta Spencer lirih."Shaw .... Tolong jaga Shaw." Gracie pun ikut bersuara dengan nada sendu.Tak ada yang dipikirkan keduanya selain cucu mereka. Tentang hari ini, telah mereka bicarakan bersama sejak 10 tahun lalu. Keduanya siap untuk saling melepas satu sama lain, siap untuk bert
"Kuberitahukan jika Tuan Hunt benar-benar tidak datang," jawab sang prajurit dengan suara yang lebih lirih.Shaw tidak menyahut lagi, menatap sekitar sesaat kemudian hanyut dalam pikirannya. 'Bagaimana jika Bailey kembali sendirian? Dan Tuan Hunt tidak datang?' batinnya cemas. Shaw memijat pelipisnya pelan sambil menghirup napas dan menghembuskannya perlahan. Mengulanginya sampai beberapa kali."Apa yang kau sembunyikan dariku?"Buku-buku dan berkas-berkas disingkirkan dari tengah meja, lalu sebuah bingkai lukisan diletakkan dengan kasar."Kenapa diam saja?" Nada ketus terdengar sekali dari Jill, menatap kesal Ascal yang hanya mengambil lukisan dan menatapnya lama."Kau pasti menyembunyikan sesuatu. Paman Baldric, kau pasti membicarakan sesuatu dengannya hari itu, 'kan? Dan itu pasti tentang Hao Yi dan Maru."Ascal tergeming, tak menjawab pertanyaan Jill. Ia masih menatap sang sosok terlukis yang tidak lain adalah Shaw. Setelah 3 detik
Keogan menatap tidak suka, mendengus dan terfokus pada satu pedang lain yang berasal dari belakang seorang prajurit anak buah Dorn.Pemilik pedang itu mendorong pedangnya dan menghempaskan prajurit Keogan hingga sang prajurit mundur beberapa langkah. Ia lantas berjalan perlahan ke samping, memperlihatkan dirinya dan berhenti di depan Spencer. Sorot matanya menajam dan mendingin, terarah lurus ke depan."Berani sekali kalian menghunuskan pedang kepada kakek dan nenekku!" ujarnya dengan nada datar nan dingin. Mival mengerjapkan mata, merasa Shaw seperti orang yang berbeda."Siapa kau anak kecil? Berani sekali menghalangi!" tandas Keogan seraya memicingkan mata; merasa familier dengan mata Shaw sekaligus penasaran dengan wajah di balik sorban yang dikenakan Shaw.Mata Keogan sesaat beralih pada Dorn, melempar tatapan tajamnya."Kau juga! Berani sekali kau!"Dorn memasang badan di depan sedikit ke kiri dari Gracie dan menggenggam erat pedang
"Aku punya tugas untukmu," kata Ascal. Menatap lekat Shaw. "Kakek dan nenekmu akan dibawa ke dalam sel. Aku akan mempertimbangkan lagi jika kau bisa menyelesaikan semua tugas yang kuberikan. Dan kau, Dorn--" Ascal memutuskan. Mengalihkan atensi pada sang ketua keamanan dungeon tanpa menunggu jawaban Shaw."Tugasmu perihal perkara ini sudah selesai untuk sementara waktu. Ikuti prajurit Bexter, agar kau tahu sel yang mereka tuju."Dorn mengangguk cepat. Menunggu kata-kata Ascal berikutnya, juga menunggu anak buah Bexter berjalan lebih dulu."Tuan--" Keogan menginterupsi. Tidak setuju dengan keputusan Ascal. "Hal ini sudah dibicarakan dalam rapat, dan keputusan akhir sudah disepakati. Anda tidak bisa mengubahnya.""Dan kau--" Atensi Ascal beralih pada Keogan yang langsung mengunci mulut. "Ulangi kata-katamu sekali lagi, jika kau sudah bosan hidup di Zanwan," ucap Ascal. Membuat Keogan terbeliak lalu menggeleng cepat. Memucat wajahnya.
Atmosfer terasa lebih ramah. Irama dari ranting-ranting dan dahan oleh angin terdengar lebih wajar dibandingkan tadi. Shaw makin yakin, semua karena Morth. Atmosfer, halusinasi, entah apa lagi yang Morth sebabkan. Satu pertanyaan besar dalam benak Shaw, siapa Morth sesungguhnya? Mengapa seisi jenggala sunyi hingga seluruh penjurunya seakan-akan berada di bawah kaki tangan Morth?“Kau pikirkan aku?” Morth tiba-tiba bertanya. Rupanya ia mengekori Shaw.Huh? Apa Morth juga bisa membaca pikiran?Shaw menengok ke belakang, langkahnya melambat. “Jangan katakan kau dapat menembus kepala orang.”“Kau banyak bertanya, belum tuntas seluruhnya.” Morth mensejajarkan diri. Sejenak, ia melihat Shaw dari atas ke bawah. “Orang keras kepala seperti kau tentu akan merenungkannya. Aku benar, bukan?”“Kita baru saling tahu beberapa saat lalu dan kau yakin sekali dengan kata-katamu. Antara kau pandai menilai atau hanya pandai berasumsi.” Shaw menggeleng. Pandangan ia tujukan ke depan.Morth menyentuh leng
Tanduk. Hal pertama yang dilihat oleh Shaw dari sumber suara adalah tanduk, tersembunyi di antara dedaunan semak belukar setinggi pinggang orang dewasa.Shaw mengernyit, kemudian bergumam lirih, nyaris tak bersuara, "Itu seperti tanduk rusa."Sepasang mata semerah darah terlihat dari celah dedaunan. Shaw menelan ludah. Ia tahu betul itu bukan mata hewan biasa, apalagi manusia. Tidak ada satu pun penduduk desa yang pernah ditemuinya memiliki mata seperti itu.Mungkinkah ini yang Fu maksud? Apapun itu, merasakan haki tidak biasa dari sang sosok misterius membuat Shaw merasa dirinya tidak boleh berlama-lama.Diliputi kewaspadaan dan dengan suara tercekat, ia berucap dalam hati, "Aku harus segera pergi dari sini."Tanpa melakukan pergerakan yang kentara serta dengan posisi kepala yang masih sama, tatapan Shaw menyisir sekitar; memastikan tidak ada keanehan lain. Ia yang semula berjongkok pun perlahan berdiri sepelan mungkin. Namun, bak lelah bermain petak umpet, ransel yang Shaw gendong m
"Tetap tidak bisa! Terlalu berbahaya. Kau kan tahu lebih baik daripada aku, Tibate." Fu mengangkat kepala, menatap lurus Tibate dan Baldor. Ini bukan waktu yang tepat, pikir Fu. "Lagi pula aku bisa menjaga diri. Akan kupanggil kalian jika hal buruk terjadi dan aku tidak bisa mengatasinya.""Kau bisa tinggal, Fu. Aku akan melanjutkan perjalananku seorang diri," sela Shaw, angkat bicara setelah menimang-nimang."Tidak―""Aku juga akan meninggalkan kudaku di sini." Shaw menepuk pundak Fu. Ia serius ingin Fu tinggal. "Bold bilang ada danau dan tebing. Jadi, aku tidak bisa membawa kudaku. Selain itu, kau bisa mengawasi keadaan hutan dan mengabariku. Kau juga terluka, Fu. Jangan bersikeras seolah kau baik-baik saja. Bagaimanapun kau juga masih anak-anak."Ini adalah tugas Shaw. Sejak awal, Shaw memulainya sendiri, dan ia harus melanjutkannya sendiri. Shaw tidak ingin merepotkan.Fu berdecak, tidak terima, tetapi juga tidak menyangkal ataupun menyanggah. Bertemu Baldor dan Tibate membuatnya
Pria berjanggut memperhatikan sambil mengusap-usap janggut dan kumisnya. Saat otaknya mengingat sesuatu tentang Fu, matanya seketika melebar."Kau ingin aku mencincangmu, hah?!" Tibate berseru.Setelah ikan bakarnya rusak, sekarang dirinya yang nyaris terbakar. Pria plontos itu tidak terima.Tibate menghentak tanah dengan kakinya, bergantian kaki kanan dan kaki kiri. Pegangannya pada gagang pedang semakin erat dan erat.Fu melompat mundur, mengambil sikap siaga dan meningkatkan kewaspadaannya. Ia siap dengan apapun yang akan Tibate lakukan untuk membalasnya.Sebelum Tibate menyerang balik, pria berjanggut yang masih menggenggam keranjang bambu itu berjalan ke depan Tibate, lalu berdiri memunggungi Fu dan Shaw."Kau mau dikutuk atau sudah bosan hidup?!" tanyanya."Apa maksudmu? Kalau kau hanya ingin aku berhenti memberi anak itu pelajaran, sebaiknya kau minggir!" balas Tibate."Kau tahu kau sedang berhadapan dengan siapa? Kau tidak berencana mengingkari janjimu pada Jenderal Besar, 'ka
"Apa kau sedang bercanda?" Tibate mendengus kasar. Ia tampak tidak suka.Pria plontos itu tahu dirinya sudah hidup lama, tetapi bukan berarti ingatannya menua. Ia tahu ingatannya masih berfungsi dengan sangat baik. Ia sangat meyakini itu."Aku tidak bercanda," sanggah Fu, berkacak pinggang. "Kau memberitahukannya sendiri padaku saat aku memberimu buah persik. Kalau kau masih tidak ingat, berarti ada yang salah dengan ingatanmu," imbuhnya.Buah persik?Tibate mengerutkan kening. Ia merasa tidak asing, tetapi tidak mengingat apapun."Sudahlah. Lebih baik kalian pulang sekarang, dan akan kuanggap ini tidak pernah terjadi," ujar Tibate seraya memasang wajah serius."Tidak bisa!" Shaw berseru. "Aku harus pergi ke tenggara!""Ya. Kami tidak bisa kembali ke desa saat ini," Fu menimpali.Tibate memukulkan ujung pedangnya ke tanah, menimbulkan gelombang angin yang kencang. Dedaunan dan batu kerikil tersapu, begitu pun Fu dan Shaw yang ikut terpental."Aduh ...." Shaw mengerang, berusaha bangun
Menjelang pagi, suara kehidupan awal sekali menggaung. Beberapa penduduk desa sudah mulai melakukan aktivitas mereka. Sebagian di dalam rumah, sebagian di luar rumah.Satu di antara manusia yang telah lepas dari peraduannya adalah Wilton. Ia bertugas pagi kali ini."Selalu rajin, ya." Zander berkomentar. Kuda-kuda di kandang bersuara antusias saat Zander memberi mereka makan."Tidak juga. Aku hanya tidur cukup nyenyak semalam, dan tubuhku merasa lebih segar saat aku bangun. Jadi, ya, mungkin lebih bersemangat," sahut Wilson seraya terkekeh kecil."Padahal kau hanya tidur sebentar, 'kan, semalam," Celetuk Zander. Tangannya cekatan melipat karung-karung rumput yang sudah kosong.Wilton tersenyum cerah menanggapinya. Ia memeras kain yang dipakai untuk mengelap kuda yang akan ia pakai untuk mengantar Bailey ke sekolah."Sebentar pun tetap saja namanya tidur, Zan," kata Wilton, keluar dari kandang sambil membawa kain basah dan ember hitam kecil."Ya, tidak salah."Suara derap kaki nyaring
"Ada yang menarik perhatianmu, Vid? Aku sampai mengantuk menunggumu." Bailey menimpali."Ah, maaf maaf .... Tadi ada yang harus kulakukan. Ada sesuatu! Jadi, aku kembali lebih lama," ujar Avidius seraya tersenyum canggung.Avidius adalah cucu Barid. Ia satu sekolah dengan Leonere."Sesuatu apa?" Leonere bertanya.Avidius, remaja berkulit putih kemerahan dengan senyum manis dan lesung pipi itu mengeluarkan sebuah kain merah dari saku pakaian di balik jubahnya. Saat kain dibuka, Leonere dan Bailey membulatkan mata melihat benda yang terpampang di sana."Bukankah itu—" Kata-kata Leonere terhenti. Ia mendekat tergesa dan memegang benda yang ditunjukkan Avidius. "Ini kan ....""Dari mana kau menemukan itu?" tanya Bailey yang juga mendekat.Avidius melirik ke arah belakang sesaat, memastikan sekitarnya aman. Senyumnya pudar seketika."Dari hutan barat laut. Aku menemukannya tadi," bisik Avidius, tampak serius.Bailey dan Leonere tercengang lalu saling menatap. Pikiran keduanya seolah tersam
"Tidak ada yang gratis," sahut Fu seraya menyeringai tipis.Shaw berdecak. "Kubayar dengan manisan.""Apa itu? Tidak cukup! Informasiku sangat mahal, kau tahu.""Ck, kubayar dengan makanan lain. Kau bebas memintanya, dan aku akan membuatkannya untukmu," tawar Shaw.Fu menyeringai penuh kemenangan kini. Sebuah siasat terlintas di benaknya."Bisa dipertimbangkan," kata Fu. Sesaat kemudian seringai di wajahnya hilang, berganti raut serius. "Kurangi kecepatan kudanya. Melewati batang pohon besar di depan itu, buat kudanya berjalan biasa.""Huh? Oke."Shaw percaya pada Fu. Ia mengikuti instruksi Fu tanpa ragu.Pohon-pohon besar yang dimaksud Fu berada 20 meter dari mereka. Warna pohonnya gelap, seolah melambangkan sesuatu yang misterius dan tampak mati. Pepohonan itu seakan telah terbakar. Meski begitu, dedaunannya sangat rimbun.Melewati dua pohon besar tersebut, kuda memasuki jenggala yang lebih gelap dan sunyi dari sebelumnya. Sekeliling tampak benar-benar gelap dengan aura yang terasa
"Ya sudah." Eroth menghela napas.Selain belajar bersikap baik pada budaknya, Eroth pun belajar untuk tidak memaksakan kehendak. Ya, itu sungguhan, bukan sandiwara yang dibuat-buat.Di depan mereka, Aaban mendengarkan dalam diam. Komandan itu sibuk dengan pikirannya.Menjelang ujung dari jenggala ketiga, Fu tiba-tiba berujar. Suaranya terdengar serius di telinga Shaw."Berhenti, Shaw."Shaw menghentikan laju kuda dan melirik Fu. "Ada apa?""Kita ambil jalan lain," tukas Fu."Kenapa? Ada apa dengan jalan ini?""Ada sesuatu di depan. Hakinya tidak jauh berbeda dengan Kaye dan teman-temannya.""Ha?"Shaw menatap lurus, lalu memejamkan mata. Ia mencoba merasakan haki di depan, tetapi tidak merasakan atau melihat apapun."Aku tidak merasakan apapun," kata Shaw seraya membuka mata.Fu berdecak dan memegang kedua pundak Shaw. Aliran haki mengalir dari tangannya."Coba lihat lagi," kata Fu. Shaw mengiyakan.Bayangan sosok berjumlah lebih dari 10 terlihat di kejauhan di depan, dengan haki yang