Keogan menatap tidak suka, mendengkus, terfokus pada satu pedang lain yang berasal dari belakang seorang prajurit anak buah Dorn.Pemilik pedang itu mendorong pedangnya, menghempaskan prajurit Keogan hingga sang prajurit mundur beberapa langkah. Ia berjalan perlahan ke samping, memperlihatkan dirinya, dan berhenti di depan Spencer. Sorot matanya menajam dan mendingin, terarah lurus ke depan.“Berani sekali kalian mengangkat pedang kepada kakek dan nenekku!”Di antara semua orang, Mival yang paling terkejut. Rasa takutnya menyeruak di tengah ketegangan. Ia mengerjap, merasa Shaw benar-benar seperti orang yang berbeda sejak mendengar kakek neneknya dibawa ke dungeon.“Siapa kau, Anak Kecil? Berani sekali menghalangi!”Keogan memicing, merasa familier dengan mata Shaw sekaligus penasaran. Atensi Keogan sesaat beralih pada Dorn, melempar tatapan tajamnya.“Kau juga! Berani sekali kau!”Dorn memasang badan di depan, sedikit ke kiri dari Gracie, dan menggenggam erat pedangnya.“Mohon maaf, T
“Aku punya tugas untukmu. Kakek dan nenekmu akan dibawa ke sebuah sel. Aku akan mempertimbangkan lagi jika kau bisa menyelesaikan semua tugas yang kuberikan dan kau, Dorn, ….” Ascal memutuskan, mengalihkan atensi pada sang ketua keamanan dungeon tanpa menunggu jawaban Shaw. “Tugasmu perihal perkara ini sudah selesai untuk sementara waktu. Ikuti prajurit Bexter agar kau tahu sel yang mereka tuju.”“Baik!” Dorn mengangguk cepat, menunggu kata-kata Ascal berikutnya, juga menunggu anak buah Bexter berjalan lebih dahulu.“Tuan ….” Keogan menginterupsi. “Hal ini sudah dibicarakan dalam rapat dan keputusan akhir sudah disepakati. Anda tidak bisa mengubahnya.”“Dan kau ….” Atensi Ascal beralih pada Keogan yang langsung mengunci mulut. “Ulangi kata-kata kau sekali lagi jika kau sudah bosan hidup di Zanwan.”Suara Ascal sangat tenang, tetapi Keogan membeliak. Cepat Keogan menggeleng, memucat wajahnya.“Pergi.”Hanya dengan satu kata Ascal, Spencer dan Gracie berjalan, pergi bersama tiga anak bua
Satu pion hitam di depan wazir maju dua kotak, merupakan pion pertama yang digerakkan.“Kau akan menggunakan taktik lama?” tanya lawan di hadapan seraya menggerakkan pion berwarna putih di depan raja, maju satu kotak.“Tergantung aku membutuhkannya atau tidak,” jawab sosok penggerak bidak hitam.Sebuah bayang berhenti di depan ruangan, mengetuk pintu sekali, lalu masuk setelah dipersilakan.“Tuan, tidak ada penggal kepala malam ini,” lapor sang bayang.Sang penggerak bidak putih mengambil cangkir berisi penuh teh, menyesapnya sedikit.“Wah, tidak kusangka dibatalkan,” sahutnya, menaruh kembali cangkir teh.“Bagaimana selanjutnya?” tanya penggerak bidak hitam sambil bertopang dagu.“Selanjutnya ... tinggal menunggu kabar. Rencana kita yang berikutnya sudah mulai berjalan.”Seperti biasa, lilin merah di tengah meja menjadi pelengkap penerangan ruangan. Bersama partner setianya; sang lentera berpancarkan cahaya oranye yang digantung di dinding. Bedanya, kali ini tidak ada obrolan spesial
“Apa isinya?” Bold bertanya lagi.Shaw membuka peti, mengambil isinya. Sebuah gulungan kertas. Ia membuka gulungan itu, membacanya sebentar, lalu menatap satu per satu orang di sana. Terlihat ekspresi penasaran, tidak terkecuali Ascal yang sejak dahulu ingin sekali melihat isi peti itu, tetapi tidak pernah diizinkan, pun tidak memiliki kesempatan.“Duduklah. Kuberi tahu kalau semuanya duduk,” kata Shaw.Bold, Wilton, dan Bexter meragu. Namun, mereka kemudian duduk usai melihat Mival langsung naik ke kasur dan duduk manis menatap Shaw.“Isinya sebuah puisi.” Shaw tersenyum lebar.“Bacakan, Shaw!” Bailey berseru.Ascal yang duduk di samping Bailey makin penasaran.Shaw berdeham sebentar.“Dedaunanku menariIringi senandung nabastalaCerah berpendarSebiru gagang pedangmuLukaku meronaPancar penuh tawaAtas kabar bersambutnya rasaDersik pembawa bahagiaKatamu akulah sahmuraPendar mewangi helai mahkotaKataku akulah akaraPendar meluruh tiap amertaSejuk dersik sarayuSimpul terukir keh
Dentum benturan benda yang dilemparkan nyaring mengudara, membuat bising pagi-pagi di rumah Spencer.“Sepertinya terjadi sesuatu di dalam.”Kening mengernyit, disusul tungkai melompat turun dari kuda; bergerak ke dapur setelah tidak ada sahutan di pintu depan.“Lepaskaann!”Teriakan dari dapur mempercepat langkah, lalu tangan membuka pintu dengan paksa, terbeliak mata melihat seisi dapur kacau balau. Peralatan masak berserakan, kursi-kursi meja makan bergeser dari tempatnya.Di dekat pintu kamar, Mival terduduk bersandar ke tembok. Keningnya lebam. Pandangannya tertuju ke kompor, menatap Shaw yang terdorong jatuh ke dekat lemari di sana. Beberapa pisau yang dipegang Shaw berhamburan lepas dari tangan, cepat-cepat Shaw mengumpulkannya lagi.Dua mata-mata mencoba merebut pisau di tangan Shaw. Mival berdiri, berlari ke arah Shaw dan mendorong salah satu mata-mata.“Jangan bodoh! Lepaskan pisaunya!” teriak Mival, menarik tangan sang mata-mata yang masih terus mencoba merebut pisau dari tan
Gudang obat di pusat desa sesak dipenuhi prajurit yang keluar masuk membawa kotak-kotak obat, memindahkannya ke dalam kereta kuda.“Dokter, mereka menaikkan harga pada obat-obat yang Anda katakan,” lapor seorang prajurit sembari menyerahkan selembar kertas bertuliskan daftar obat beserta harganya di beberapa toko.“Baiklah, terima kasih. Kau boleh kembali.” Edvard menerima kertas, mengernyit begitu ia membaca tulisan yang tertera. “Seharusnya tidak semahal ini. Bagaimana bisa naik begitu saja? Berita wabah di timur Zanwan saja baru masuk ke pengadilan hari ini. Beberapa obatnya adalah jenis obat yang belum lama mekar dan berbuah, seharusnya masih di pohonnya. Pencari panasea yang ingin mendapatkannya pun setidaknya masih dalam perjalanan, tapi ini sudah tersedia. Ditambah ada obat yang langka. Hmm, ini seperti sudah disiapkan sejak lama.”Edvard menyimpan kertas laporan ke dalam tas, menujukan fokus kepada obat-obatan yang dikeluarkan dari gudang. Setelah penuh, kereta mulai bergerak b
“Shaw, kenapa kau menangis?”Bailey melirik Shaw bermaksud untuk melihat apakah Shaw sudah selesai membaca suratnya atau belum, tetapi malah mendapati sahabatnya itu menangis dengan surat masih terbuka di kedua tangannya.Shaw mengusap air mata yang menetes di pipi, mengangkat wajah, dan mengerjap. Menghela napas beberapa kali ia lakukan untuk melegakan perasaan sesak dan sedih dalam hatinya.“Kita harus bergerak cepat. Pengorbanan viking ini tidak boleh sia-sia,” ujar Shaw lirih, memberikan suratnya pada Wilton, kemudian mengusap air mata yang masih berjatuhan.Sembari menunggu Wilton selesai membaca, Shaw bergantian menceritakan perjalanannya mencari panasea hingga kembali lebih cepat dari perkiraan.Seperti halnya Bailey, Shaw, dan Wilton yang berkumpul dan saling bercerita di bukit timur, di ruang salah satu rumah di distrik Aloclya pun berkumpul orang-orang, saling bercerita.“Kau lihat wajahnya? Wajah itu mirip sekali!”Suasana yang biasanya tenang nan hening berubah bising malam
“Haaaahhhh ... dia pasti ada di suatu tempat. Kita cari tahu besok saja. Kalaupun dia hilang, kabarnya pasti segera sampai. Penduduk di luar hutan yang paling dekat dengan rumah itu sering lewat tiap-tiap kali ingin ke hutan untuk mencari kayu atau buah.”Barid menguap, menutup mulut dengan punggung tangan kiri sekali lagi.“Semoga saja seperti yang kau katakan. Kalau begitu, aku pamit dulu. Lanjutkan istirahatmu selagi kau masih bisa beristirahat dengan nyenyak. Besok lusa, mungkin akan ada hal yang akan merusak istirahat kita.”Kuda kembali berderap; keluar area mansion Barid. Eduardo membuka tirai jendela kereta kuda sisi kanannya, mengangkat wajah. Pelupuk matanya menangkap pergerakan sebuah bayang cepat di atas atap rumah-rumah penduduk seakan-akan ada sesuatu yang penting. Eduardo menyipitkan mata, memperjelas penglihatannya.“Mata-mata. Hakinya bagus, tetapi tingkahnya mencurigakan,” kata Eduardo dalam hati. Matanya masih mengekor sang mata-mata yang terus bergerak menjauh hingg
Kilau cahaya pohon dan jalan memandu Bailey ke kaki gunung sisi utara, melewati area yang Bailey datangi tempo lalu bersama Shaw dan yang lain pada malam operasi penambangan ilegal. Semak belukar lebih tinggi, lalu ketika Bailey sampai di timur, menuju belokan ke tenggara, kilau cahaya kemerahan berkelap-kelip di depan.Bailey segera menghentikan laju kudanya.“Profesor bilang warna lain selain hitam dan putih akan cenderung samar, tapi merah itu terlalu jelas,” gumam Bailey.Menggeser fokus tatapannya, Bailey menemukan lebih banyak siluet merah dengan haki yang menguar di dalam sebuah gua. Bailey mengamati sekitar lebih jeli. Terlihat oleh matanya dinding seperti kubah di atas.Bailey menyalurkan hakinya ke kuda, tetapi tetap menyamarkannya, kemudian membuat kuda berderap pelan dan santai. Sang kuda bagai berjalan di atas angin; tidak ada suara yang terdengar tiap kali kakinya memijak.Mendekati gua, Bailey turun dari kuda. Ia ikatkan tali kuda ke sebuah pohon, kemudian melanjutkan d
Aaban mengangguk, kemudian beralih tatap pada prajurit yang tadi membawakan kuda.“Buka gerbangnya.”Sang prajurit mengangguk patuh, kemudian berlari menuju pos jaga di sisi salah satu gerbang. Model pos agak tinggi dari permukaan tanah, jadi, ia mendongak dan berseru pada prajurit yang berada di pos.“Buka gerbangnyaaaa!”Prajurit di pos segera menjalankan perintah. Engsel gerbang segera berbunyi, lalu gerbang berderit, perlahan terbuka seiring Bailey menunggangi kuda.“Hati-hati, Tuan Muda!” kata Aaban.Bailey mengangguk. “Aku pergi.”Prajurit yang berseru pada prajurit di gerbang menyingkir, kembali ke sisi Aaban. Bailey menghentak tali kuda, melewati gerbang begitu gerbang terbuka lebar.“Tuan Muda sangat berani dan cerdik,” celetuk prajurit di sisi Aaban. Ia memandangi kepergian Bailey dengan binar takjub di matanya.“Dia putra pemimpin Zanwan. Keberanian dan kecerdikan akan bagus untuk menjadi bagian dari dirinya,” kata Aaban sambil memandangi Bailey yang menjauh, membelah padan
Matahari telah terbenam di ufuk barat. Malam telah bertakhta. Dinginnya udara menerpa Zanwan sedingin suasana di meja makan mansion Hunt.“Wilton, di mana Bailey?” Jillian bertanya.Piring-piring masih terisi, belum habis setengah hidangan di atasnya. Satu kursi di meja makan, kursi yang biasa diduduki Bailey, kini kosong. Wilton berdiri di belakang samping kursi tersebut.Pelayan mengatakan Bailey tidak ada di kamarnya beberapa saat lalu. Sebentar sebelum duduk ke kursinya, Jillian pun mengecek kamar Bailey, hanya menemukan ruangan kosong. Sampai Ascal tiba, Bailey belum juga muncul. Tak ayal Ascal memanggil Wilton.“Tuan Muda ….” Wilton bicara serupa suara bisikan di keramaian, nyaris tidak terdengar saking lirihnya.Jillian mengerjap. Ia melirik Wilton sambil makan. Wilton terus menunduk, bahkan tidak kunjung menyelesaikan bicaranya. Ascal berganti melontarkan tanya tanpa menoleh.“Wilton, di mana Bailey?”“Tuan Muda pergi ….” Wilton masih serupa anak kecil yang bersembunyi.“Wilto
Bailey manggut-manggut. “Aku tidak mengira kalian akan mengajukan pertanyaan semacam itu, bahkan tidak mengira kalian akan pernah menghiraukan hal semacam itu. Terima kasih, kurasa.”Senyum terukir di hati Bailey. Sebuah kabar gembira bagai menggema di dalam dirinya. Begitu pula yang dirasakan Otto dan Milo. Bailey menyambut baik, tentu itu kabar besar yang membahagiakan. Sekali lagi, perkiraan mereka salah. Sepertinya Bailey tidak mendengar pembicaraan mereka di kelas atau mungkin mendengar, tetapi tidak mempermasalahkan, dan itu membuat kegembiraan mereka kian bertambah.“Sanjungan lebih pantas untukmu,” kata Milo.Bailey merespon itu dengan senyum kecil. Otto dan Milo mengerjap, segera berpikir apakah mereka salah lihat. Namun, mereka dapati bahwa mereka tidak salah lihat. Bailey memang tersenyum. Senyum itu, Bailey tujukan kepada mereka.“Aku mulai dari pertanyaan pertama, ya,” kata Bailey, kemudian menghirup udara sejenak.Otto dan Milo mengangguk dan memasang telinga baik-baik.
“Kau mendengarnya?” Otto bertanya dengan wajah memucat. Suaranya amat pelan sampai nyaris tidak terdengar.Milo mengangguk kecil dalam gerakan patah-patah dan sarat keraguan. Ekspresi pada wajahnya tidak jauh berbeda.Kepala mereka kemudian bergerak bersamaan, berpaling tatap ke baris terdepan, lalu mereka melihat Bailey beranjak dari duduknya, pergi keluar.“Apa Tuan Muda mendengar pembicaraan kita?” Milo bertanya dalam suara lebih rendah, serupa bisik-bisik yang mungkin saja akan hanyut terbawa angin.Otto menggeleng. Bukan jawaban meyakinkan, hanya harapan bahwa itu adalah kenyataan yang terjadi.“Kalau benar, semesta mungkin tidak akan berpihak pada kita setelah ini,” kata Otto.Cemas menyerang Otto. Kalau Bailey benar mendengar pembicaraan mereka, apakah kali ini Bailey akan tersinggung? Kesal? Emosi dan apa pun yang lebih buruk?“Kurasa kita sebaiknya bergegas?” Milo melirik Otto.“Itu keputusan paling baik.” Otto berdiri.Milo memasukkan buku catatan yang baru sebentar ia baca
“Katakan saja,” ucap Bailey di sela makannya.Bailey tahu dua anak lelaki ini takkan mendatanginya kalau hanya untuk makan. Ada meja-meja kosong lain yang siap untuk ditempati, pun keduanya belum pernah begitu pada Bailey sepanjang sejarah bersekolah walau satu kelas dengan Bailey.“Kami … agak … penasaran. Apa Tuan Muda akan mendaftar untuk turnamen?” Otto Atrius yang duduk di sebelah Milo bertanya. Bibir merah cerahnya berulang kali mengatup dan terbuka setelah pertanyaan diajukan. Otaknya berpikir apakah pertanyaan itu sudah pas atau tidak.“Turnamen umum, maksudmu?” tanya Bailey.Otto mengangguk. “Kami dengar-dengar tahun ini murid yang terpilih untuk mewakili sekolah boleh mendaftar turnamen umum. Kami juga baca informasinya di mading pagi ini.”“Kalau terpilih mewakili sekolah, lalu mendaftar di turnamen umum dan ternyata lolos dalam keduanya ke final, terlebih keluar sebagai juara di peringkat satu, akan otomatis mendapat tiket emas dan bonus berlipat.” Milo turut bicara setela
“Ayah dan Ibu bawa apa? Itu terlihat banyak sekali!” Shaw mengamati tas-tas belanjaan dengan antusias. Salah satu isi yang tertangkap matanya adalah pakaian.“Oh, ini untuk putra Ibu yang paling manis!” Suara wanita menjawab.“Asyik! Pakaian, ya?” tanya Shaw.“Betul. Ada mainan juga!” Suara pria yang bicara.“Horeeee … mainan!” Shaw berseru gembira. Kebahagiaan meluap-luap pada suaranya.Di atas kaca, Shaw gemetar. Ia tidak mengira danau kaca keyakinan akan menampilkan momen seperti itu. Ia kira itu hanya akan berkisar perjalanannya, rencananya dengan Bailey, tantangan yang dihadapi dalam upaya mewujudkan impian tentang Zanwan. Namun, apa yang ia dengar sepenuhnya berbeda. Sama sekali tidak ada dalam bayangannya. Tidak sedikit pun.Mata Shaw bergetar. Air makin banyak di sana, lalu tumpah kala Shaw dengar suara yang sangat familier.“Shaw, jangan melompat-lompat tinggi begitu.” Itu suara Spencer, terdengar riang dan penuh kasih.“Shaw gembira sekali sepertinya.” Gracie menyusul bicara
“Ini danaunya.”Shaw sampai di ujung hutan lain setelah dari hutan sunyi dan melewati padang rumput. Di hadapannya membentang danau jernih yang berkilau, besar dan luas yang tidak mampu Shaw ukur dengan pasti. Ia perkirakan luasnya sama atau bahkan melebihi lapangan alun-alun distrik Acilav.“Sampai di danau itu, cara paling cepat untuk melewatinya adalah membelahnya. Menyeberanginya,” kata Fu dalam pesannya sebelum berpisah. “Jangan terkecoh dengan ukurannya yang kau mungkin kira tidak seberapa luas; masih sangat mungkin untuk dilewati dengan mengitarinya. Terkadang dalam waktu dan untuk alasan yang tidak terduga, setelah melihat wujudnya, begitu kau berjalan, mencoba memutari danau untuk sampai di seberang, di sisi lain, kau akan dapati bahwa ujung danau bahkan tidak kautemukan. Semua yang kaulihat mungkin hanya akan menjadi hamparan air. Tidak ada lagi pepohonan, tidak ada lagi daratan selain tempat kau berpijak dan sekitar.”Shaw berjinjit, mencoba menjangkau seberang danau dengan
“Ada rencana untuk keluar lagi di sisa hari ini, Tuan Muda?” Wilton bertanya seturunnya ia dari kuda, memegangi tali setelah Bailey turun. Mereka baru sampai di mansion, pulang dari sekolah.“Kurasa tidak. Sepertinya aku akan habiskan waktu di meja belajar.”“Baik. Saya akan ada di pos malam ini kalau Tuan Muda butuh sesuatu.”“Ya. Aku masuk, ya. Terima kasih untuk hari ini, Wilton.”Bailey pergi, masuk ke mansion. Wilton mengiringi kepergian Bailey dengan anggukan penuh hormat. Bibirnya melengkung membentuk senyum. Usai Bailey tidak lagi terlihat, Wilton membawa kuda ke kandang.Sampai kamar, Bailey menyalakan penerangan, melepaskan ransel, dan bersih-bersih. Ia melanjutkan dengan menekuri buku-buku mata pelajaran sampai pelayan memanggil namanya dari luar pintu.Makan malam tiba, Bailey berseri-seri menemukan Jillian di meja makan. Canda tawa Jillian serupa bunga-bunga di musim semi dan keceriaan Bariela adalah penyempurna. Jillian telah kembali dengan warna cerahnya, tidak lagi ber