"Apa itu?" Shaw bergumam pelan dengan mata yang masih terpejam.
Suara gesekan benda menjadi satu-satunya yang terdengar di dalam gua, ke kamar yang ditempatinya. Mereka mengobrol sampai sore, dan sang tuan rumah menyarankan Shaw, Bold, dan Mival untuk bermalam ketika ketiganya pamit untuk melanjutkan perjalanan.
Shaw mengerutkan kening, mendengar suara yang kembali menyelusup ke pendengarannya. Merasa sudah terjaga dan sulit tidur lagi, Shaw membuka mata; mengusapnya sekali dan beranjak dari peraduan. Ia telusuri asal suara yang didengar, membawa langkah ke lorong gelap yang tak begitu lebar, menurun; ke ruangan bawah. Barulah ia tahu bahwa lantai gua yang ia pijak sebelumnya bukan benar-benar lantai dasar karena masih ada lantai lain di bawahnya, seperti ruangan bawah tanah.
Tuan rumah terlihat duduk di kursi paling dekat dinding. Ada lentera minyak yang diletakkan di tengah meja persegi, dan beberapa benda di sekitar lentera.
"Ini bukan wa
"Bold!?"Salah seorang jagawana refleks menyebut nama Bold saat lampu menyorot kedatangan sang prajurit jagur. Lampu sorot yang dinyalakan lebih redup daripada lampu sorot yang digunakan saat malam hari, sebab hanya sebagai penerang pembantu ... karena hutan yang lebat membuat sekitar lebih gelap meskipun malam telah lewat.Jagawana lain yang berkutat dengan penerangan mereka pun mengarahkan pandang ke depan menara, melihat sang prajurit jagur datang mendekat. Serentak, mereka memberi hormat, sebab posisi dan jabatan mereka berada di bawah Bold."Tidak perlu formal, bersikap biasa saja ... aku hanya mampir sebentar," ujar Bold seraya menaik-turunkan telapak tangannya melihat para jagawana dengan posisi sigap dan tampak lebih tegang.Sang ketua tim jagawana yang bertugas turun dari atas menara, menyambut Bold dan mempersilakan prajurit jagur itu duduk di kursi pos samping menara; tempat para jagawana beristirahat. Pandangannya ia arahkan pula
Afmosfer langka yang menyelimuti pos jagawana selama beberapa saat itu memudar; semua kembali seperti sedia kala seiring kepergian Shaw, Bold, dan Mival usai ketiganya pamit. Para jagawana kembali dengan ekspresi serius, datar, nan tenang mereka, menyorot setiap inchi jenggala dalam jangkauan jarak sesuai tugas yang diamanatkan.Matahari terus bergulir, tak lama lagi mencapat titik 50° dari ufuk barat. Shaw, Bold, dan Mival melewati padang rumput di luar jagawana yang tak begitu luas, kemudian menanjak ke bukit rumput di timurnya, menurun dan melaju ke jenggala di kaki bukit, kembali menyeberangi padang rumput lagi, lalu memasuki area perumahan penduduk yang tampak sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Renovasi di sana tidak lama lagi akan selesai.Mereka terus memacu cepat kuda yang ditunggangi, mengabaikan tatapan orang yang melihat mereka. Risau menelisik hati Shaw, membuatnya lebih bungkam lagi muram."Kakeeek? Neneeek?" Suara Shaw membaha
"Ada kata-kata terakhir?"Rantai telah terpasang sempurna di kedua kaki dan tangan. Pecut cambuk telah dibersihkan, siap untuk dipakai lagi. Lantai ruangan pun telah bersih hingga menguarkan semerbaknya yang harum, mengalahkan amis anyir darah yang biasanya menyelimuti. Semua dipersiapkan untuk hari ini, setelah penantian 10 tahun lamanya.Di ruangan area lain yang lebih dalam, sepanjang lorong untuk ke sana pun telah dibersihkan, juga dengan ruangan di sana. Tiang tempat penggal kepala pun telah bersih, dengan pisau panjangnya yang berkilau. Pun semerbak telah menguar, memenuhi ruangan hingga ke lorong gelap di luarnya."Tolong gantikan kami untuk merawat Shaw," pinta Spencer lirih."Shaw .... Tolong jaga Shaw." Gracie pun ikut bersuara dengan nada sendu.Tak ada yang dipikirkan keduanya selain cucu mereka. Tentang hari ini, telah mereka bicarakan bersama sejak 10 tahun lalu. Keduanya siap untuk saling melepas satu sama lain, siap untuk bert
"Kuberitahukan jika Tuan Hunt benar-benar tidak datang," jawab sang prajurit dengan suara yang lebih lirih.Shaw tidak menyahut lagi, menatap sekitar sesaat kemudian hanyut dalam pikirannya. 'Bagaimana jika Bailey kembali sendirian? Dan Tuan Hunt tidak datang?' batinnya cemas. Shaw memijat pelipisnya pelan sambil menghirup napas dan menghembuskannya perlahan. Mengulanginya sampai beberapa kali."Apa yang kau sembunyikan dariku?"Buku-buku dan berkas-berkas disingkirkan dari tengah meja, lalu sebuah bingkai lukisan diletakkan dengan kasar."Kenapa diam saja?" Nada ketus terdengar sekali dari Jill, menatap kesal Ascal yang hanya mengambil lukisan dan menatapnya lama."Kau pasti menyembunyikan sesuatu. Paman Baldric, kau pasti membicarakan sesuatu dengannya hari itu, 'kan? Dan itu pasti tentang Hao Yi dan Maru."Ascal tergeming, tak menjawab pertanyaan Jill. Ia masih menatap sang sosok terlukis yang tidak lain adalah Shaw. Setelah 3 detik
Keogan menatap tidak suka, mendengus dan terfokus pada satu pedang lain yang berasal dari belakang seorang prajurit anak buah Dorn.Pemilik pedang itu mendorong pedangnya dan menghempaskan prajurit Keogan hingga sang prajurit mundur beberapa langkah. Ia lantas berjalan perlahan ke samping, memperlihatkan dirinya dan berhenti di depan Spencer. Sorot matanya menajam dan mendingin, terarah lurus ke depan."Berani sekali kalian menghunuskan pedang kepada kakek dan nenekku!" ujarnya dengan nada datar nan dingin. Mival mengerjapkan mata, merasa Shaw seperti orang yang berbeda."Siapa kau anak kecil? Berani sekali menghalangi!" tandas Keogan seraya memicingkan mata; merasa familier dengan mata Shaw sekaligus penasaran dengan wajah di balik sorban yang dikenakan Shaw.Mata Keogan sesaat beralih pada Dorn, melempar tatapan tajamnya."Kau juga! Berani sekali kau!"Dorn memasang badan di depan sedikit ke kiri dari Gracie dan menggenggam erat pedang
"Aku punya tugas untukmu," kata Ascal. Menatap lekat Shaw. "Kakek dan nenekmu akan dibawa ke dalam sel. Aku akan mempertimbangkan lagi jika kau bisa menyelesaikan semua tugas yang kuberikan. Dan kau, Dorn--" Ascal memutuskan. Mengalihkan atensi pada sang ketua keamanan dungeon tanpa menunggu jawaban Shaw."Tugasmu perihal perkara ini sudah selesai untuk sementara waktu. Ikuti prajurit Bexter, agar kau tahu sel yang mereka tuju."Dorn mengangguk cepat. Menunggu kata-kata Ascal berikutnya, juga menunggu anak buah Bexter berjalan lebih dulu."Tuan--" Keogan menginterupsi. Tidak setuju dengan keputusan Ascal. "Hal ini sudah dibicarakan dalam rapat, dan keputusan akhir sudah disepakati. Anda tidak bisa mengubahnya.""Dan kau--" Atensi Ascal beralih pada Keogan yang langsung mengunci mulut. "Ulangi kata-katamu sekali lagi, jika kau sudah bosan hidup di Zanwan," ucap Ascal. Membuat Keogan terbeliak lalu menggeleng cepat. Memucat wajahnya.
Satu pion berwarna hitam maju dua kotak, merupakan pion pertama yang digerakkan."Kau akan menggunakan taktik lama?" tanya lawan di hadapan seraya menggerakkan pion berwarna putih di depan raja; maju satu kotak."Tergantung aku membutuhkannya atau tidak," jawab sosok penggerak bidak hitam.Sebuah bayang berhenti di depan ruangan, mengetuk pintu sekali lalu masuk setelah dipersilakan."Tuan, tidak ada penggal kepala malam ini," lapornya.Sang penggerak bidak putih mengambil cangkir yang masih terisi penuh teh, menyesapnya sedikit."Wah, tidak kusangka dibatalkan," sahutnya. Menaruh kembali cangkir teh."Bagaimana selanjutnya?" tanya penggerak bidak hitam sambil bertopang dagu."Selanjutnya ... tinggal menunggu kabar. Rencana kita yang berikutnya sudah mulai berjalan."Seperti biasa, lilin merah di tengah meja menjadi pelengkap penerangan ruangan. Bersama partner setianya, sang lentera berpancarkan cahaya orany
"Apa isinya?" Bold bertanya lagi.Shaw membuka peti, mengambil isinya; sebuah gulungan kertas. Ia membuka gulungan itu, membacanya sebentar, lalu menatap satu per satu orang di sana. Terlihat ekspresi penasaran, termasuk dari wajah Ascal yang sejak dulu ingin sekali melihat isi peti itu, tetapi tidak pernah diizinkan, pun tidak memiliki kesempatan."Duduklah ... kuberi tahu kalau semuanya duduk," tukas Shaw. Kembali membuat Bold, Wilton, dan Bexter meragu. Namun, mereka kemudian duduk usai melihat Mival langsung naik ke kasur dan duduk manis menatap Shaw."Isinya sebuah puisi," ujar Shaw seraya tersenyum lebar."Bacakan, Shaw!" seru Bailey. Tidak sabar. Ascal yang duduk di samping Bailey terlihat semakin penasaran dan penasaran.Shaw berdehem sesaat, lalu kembali menatap kertas di tangan; mulai membacakan puisi.“Dedaunanku menariIringi senandung nabastalaCerah berpendarSebiru gagang pedangmuLukaku merona