Satu pion berwarna hitam maju dua kotak, merupakan pion pertama yang digerakkan.
"Kau akan menggunakan taktik lama?" tanya lawan di hadapan seraya menggerakkan pion berwarna putih di depan raja; maju satu kotak.
"Tergantung aku membutuhkannya atau tidak," jawab sosok penggerak bidak hitam.
Sebuah bayang berhenti di depan ruangan, mengetuk pintu sekali lalu masuk setelah dipersilakan.
"Tuan, tidak ada penggal kepala malam ini," lapornya.
Sang penggerak bidak putih mengambil cangkir yang masih terisi penuh teh, menyesapnya sedikit.
"Wah, tidak kusangka dibatalkan," sahutnya. Menaruh kembali cangkir teh."Bagaimana selanjutnya?" tanya penggerak bidak hitam sambil bertopang dagu.
"Selanjutnya ... tinggal menunggu kabar. Rencana kita yang berikutnya sudah mulai berjalan."
Seperti biasa, lilin merah di tengah meja menjadi pelengkap penerangan ruangan. Bersama partner setianya, sang lentera berpancarkan cahaya orany
"Apa isinya?" Bold bertanya lagi.Shaw membuka peti, mengambil isinya; sebuah gulungan kertas. Ia membuka gulungan itu, membacanya sebentar, lalu menatap satu per satu orang di sana. Terlihat ekspresi penasaran, termasuk dari wajah Ascal yang sejak dulu ingin sekali melihat isi peti itu, tetapi tidak pernah diizinkan, pun tidak memiliki kesempatan."Duduklah ... kuberi tahu kalau semuanya duduk," tukas Shaw. Kembali membuat Bold, Wilton, dan Bexter meragu. Namun, mereka kemudian duduk usai melihat Mival langsung naik ke kasur dan duduk manis menatap Shaw."Isinya sebuah puisi," ujar Shaw seraya tersenyum lebar."Bacakan, Shaw!" seru Bailey. Tidak sabar. Ascal yang duduk di samping Bailey terlihat semakin penasaran dan penasaran.Shaw berdehem sesaat, lalu kembali menatap kertas di tangan; mulai membacakan puisi.“Dedaunanku menariIringi senandung nabastalaCerah berpendarSebiru gagang pedangmuLukaku merona
Dentum benturan benda yang dilemparkan nyaring mengudara, membuat bising pagi-pagi di rumah Spencer."Sepertinya terjadi sesuatu di dalam."Kening mengernyit, disusul tungkai melompat turun dari kuda; bergerak ke arah dapur setelah tak ada sahutan di pintu depan."Lepaskaann!"Teriakan dari dapur membuat langkah lebih cepat, lalu tangan membuka pintu dengan paksa, terbeliak mata melihat seisi dapur kacau balau. Peralatan memasak berserakan, juga kursi-kursi meja makan bergeser dari tempatnya.Di dekat pintu kamar, Mival terduduk bersandar ke tembok. Keningnya lebam. Pandangannya tertuju ke arah kompor, menatap Shaw yang terdorong jatuh ke dekat lemari di sana. Beberapa pisau yang dipegangnya berhamburan lepas dari tangan, cepat-cepat Shaw mengumpulkannya lagi.Dua mata-mata mencoba merebut pisau di tangan Shaw, sedang Mival berdiri, berlari ke arah Shaw dan mendorong salah satu mata-mata."Jangan bodoh! Lepaskan pisaunya!" teria
Gudang obat di pusat desa sesak dipenuhi prajurit yang ke luar masuk membawa kotak-kotak obat, memindahkannya ke dalam kereta kuda."Dokter, mereka menaikkan harga atas obat-obat yang Anda katakan," lapor seorang prajurit sembari menyerahkan selembar kertas bertuliskan daftar obat beserta harganya di beberapa toko."Baiklah, terima kasih .... Kau boleh kembali."Edvard mengernyitkan kening membaca tulisan di kertas; terheran-heran."Seharusnya tidak semahal ini. Bagaimana bisa naik begitu saja? Sedangkan berita wabah di timur Zanwan saja baru masuk ke pengadilan hari ini. Juga, beberapa obatnya adalah jenis obat yang belum lama tumbuh dan berbuah, seharusnya masih di pohonnya. Pencari panasea yang ingin mendapatkannya pun setidaknya masih dalam perjalanan ... tapi ini sudah tersedia. Ditambah ada obat yang langka. Hmm ... ini seperti sudah disiapkan sejak lama," gumamnya.Edvard menyimpan kertas itu ke dalam tas, kemudian fokus kembali mengaw
"Shaw, kenapa kau menangis?"Bailey melirik Shaw bermaksud untuk melihat apakah Shaw sudah selesai membaca suratnya atau belum, tetapi malah mendapati sahabatnya itu menangis dengan surat masih terbuka di kedua tangannya.Shaw mengusap air mata yang menetes di pipi, mengangkat wajah ke atas dan mengerjapkan mata. Hembusan napas beberapa kali ia lakukan, untuk melegakan perasaan sesak dan sedih dalam hatinya."Kita harus bergerak cepat. Pengorbanan Viking ini tidak boleh sia-sia," ujar Shaw lirih. Memberikan suratnya pada Wilton, kemudian mengusap air mata yang masih berjatuhan.Sembari menunggu Wilton selesai membaca, Shaw bergantian menceritakan perjalanannya mencari panasea, hingga kembali lebih cepat dari perkiraan."Kau lihat wajahnya? Wajah itu, mirip sekali!"Suasana yang biasanya tenang nan hening berubah bising malam ini. Beberapa kali api lilin merah di tengah berayun karena hentakan tangan ke meja."Tapi, ini tidak mun
"Haaaahhhh ... dia pasti ada di suatu tempat. Kita cari tahu besok saja. Kalau pun dia hilang, maka kabarnya pasti segera sampai. Penduduk di luar hutan yang paling dekat dengan rumah itu sering lewat jika ingin ke hutan untuk mengumpulkan kayu atau buah."Barid menguap; menutup mulut dengan punggung tangan kiri sekali lagi, kentara sangat mengantuk."Semoga saja seperti yang kau katakan. Kalau begitu, aku pamit dulu. Lanjutkan istirahatmu, selagi kau masih bisa beristirahat dengan nyenyak. Besok lusa, mungkin akan ada hal yang akan merusak istirahat kita."Kuda kembali berderap; ke luar area mansion Barid dengan langkah tenang tetapi sedikit cepat. Eduardo membuka tirai jendela kereta kuda sisi kanannya, mengangkat wajah ke atas.Pelupuk matanya menangkap pergerakan sebuah bayang cepat di atas atap rumah-rumah penduduk, seakan ada sesuatu yang penting. Eduardo menyipitkan matanya, memperjelas penihatannya.'Mata-mata. Hakinya bagus, tapi tin
"Ini pasti akan menggemparkan Zanwan besok, tapi tidak masalah. Asalkan Tuan Muda dan Shaw selamat."Alton melangkah tergesa mendatangi ruangan Emrys Pasha; rekan satu timnya saat masih tinggal di asrama pasukan elite."Sebenarnya, kenapa Tuan Muda dan Shaw pergi ke dungeon malam-malam begini? Padahal lebih baik tidur nyenyak. Aku saja ingin kembali menjadi anak-anak agar dapat tidur nyenyak lebih lama, lebih banyak, dan lebih sering," celoteh Dorn di belakang Ascal. Sifat Dorn yang terkadang tenang, terkadang ramai dan tidak bisa diam sudah terkenal di kalangan teman-temannya, hingga mereka seringkali geleng-geleng kepala melihat tingkah Dorn."Dia tidak ada di ruangannya," papar Alton seraya mengintip ruangan Emrys dari jendela, karena tidak mendapat jawaban ketika ia mengetuk pintu.Alton berbalik dan mengedarkan pandangan, barangkali menemukan orang yang bisa ia tanyai."Ethren!" Dorn berseru sembari menggerakkan telapak tangan kanannya n
"Kau merasakannya, Bailey?" tanya Shaw lirih. Berlari di belakang Bailey sembari memberikan sebagian besar fokusnya ke jenggala di ujung pandang.Bailey melirik sekilas ke arah depan atas; menatap pepohonan jenggala di kejauhan sebelum menjawab pertanyaan Shaw."Hum. Ada banyak haki."Banyak orang di antara pepohonan jenggala yang tengah menunggu, dan sedikit banyak tujuan dari orang-orang itu berhubungan dengan dirinya. Yakin Bailey.Sejak dari mansion, Bailey yang memimpin karena Shaw belum tahu daerah itu. Namun sekarang, melihat pepohonan jenggala yang semakin dekat, Shaw mempercepat larinya; mensejajarkan diri dengan Bailey."Bersikaplah seakan kita belum mengetahuinya," tandas Shaw lirih seraya menyalip Bailey.Seorang mata-mata yang mengawasi di perbatasan utara jenggala dungeon mendekat; melaporkan kedatangan Shaw dan Bailey pada ketua divisinya yang kemudian memberi kode pada anak buahnya yang lain untuk bersiap. Mereka naik ke
Masih dalam ragunya, Emilie membuka surat perlahan. Matanya mulai berembun ketika ia melihat tulisan di dalamnya."Ini ... tulisan Toru ...." ucapnya lirih. Tangannya gemetar dengan mata yang semakin berkaca-kaca, membaca baris demi baris kalimat yang tertulis.Sesekali terdengar kekehan darinya."Toru ...." Ia berucap lirih lagi.Gemetar pula bibirnya, lalu pecah tangis begitu ia membaca tulisan yang semakin dekat dengan bagian akhir. Bulir air menetes dari kedua matanya, perlahan menderas, hingga terdengar isak tangis.Ia menggenggam erat surat di tangan, membawanya ke dekapan dengan penuh kesedihan.Hidupnya terasa mati ketika kabar kematian Toru sampai ke telinga. Waktunya seakan berhenti. Gairah untuk melanjutkan hidup pun hilang dalam sekejap. Penyesalan menggelayutinya, beribu andai terulang ucap dalam sanubari, tangis tertahan mengisi hari-harinya selama berara di dalam sel, sejak kabar kematian itu.Bailey menundukkan k