"Dokter, mereka menaikkan harga atas obat-obat yang Anda katakan," lapor seorang prajurit sembari menyerahkan selembar kertas bertuliskan daftar obat beserta harganya di beberapa toko.
"Baiklah, terima kasih .... Kau boleh kembali."
Edvard mengernyitkan kening membaca tulisan di kertas; terheran-heran.
"Seharusnya tidak semahal ini. Bagaimana bisa naik begitu saja? Sedangkan berita wabah di timur Zanwan saja baru masuk ke pengadilan hari ini. Juga, beberapa obatnya adalah jenis obat yang belum lama tumbuh dan berbuah, seharusnya masih di pohonnya. Pencari panasea yang ingin mendapatkannya pun setidaknya masih dalam perjalanan ... tapi ini sudah tersedia. Ditambah ada obat yang langka. Hmm ... ini seperti sudah disiapkan sejak lama," gumamnya.
Edvard menyimpan kertas itu ke dalam tas, kemudian fokus kembali mengaw
"Shaw, kenapa kau menangis?"Bailey melirik Shaw bermaksud untuk melihat apakah Shaw sudah selesai membaca suratnya atau belum, tetapi malah mendapati sahabatnya itu menangis dengan surat masih terbuka di kedua tangannya.Shaw mengusap air mata yang menetes di pipi, mengangkat wajah ke atas dan mengerjapkan mata. Hembusan napas beberapa kali ia lakukan, untuk melegakan perasaan sesak dan sedih dalam hatinya."Kita harus bergerak cepat. Pengorbanan Viking ini tidak boleh sia-sia," ujar Shaw lirih. Memberikan suratnya pada Wilton, kemudian mengusap air mata yang masih berjatuhan.Sembari menunggu Wilton selesai membaca, Shaw bergantian menceritakan perjalanannya mencari panasea, hingga kembali lebih cepat dari perkiraan."Kau lihat wajahnya? Wajah itu, mirip sekali!"Suasana yang biasanya tenang nan hening berubah bising malam ini. Beberapa kali api lilin merah di tengah berayun karena hentakan tangan ke meja."Tapi, ini tidak mun
"Haaaahhhh ... dia pasti ada di suatu tempat. Kita cari tahu besok saja. Kalau pun dia hilang, maka kabarnya pasti segera sampai. Penduduk di luar hutan yang paling dekat dengan rumah itu sering lewat jika ingin ke hutan untuk mengumpulkan kayu atau buah."Barid menguap; menutup mulut dengan punggung tangan kiri sekali lagi, kentara sangat mengantuk."Semoga saja seperti yang kau katakan. Kalau begitu, aku pamit dulu. Lanjutkan istirahatmu, selagi kau masih bisa beristirahat dengan nyenyak. Besok lusa, mungkin akan ada hal yang akan merusak istirahat kita."Kuda kembali berderap; ke luar area mansion Barid dengan langkah tenang tetapi sedikit cepat. Eduardo membuka tirai jendela kereta kuda sisi kanannya, mengangkat wajah ke atas.Pelupuk matanya menangkap pergerakan sebuah bayang cepat di atas atap rumah-rumah penduduk, seakan ada sesuatu yang penting. Eduardo menyipitkan matanya, memperjelas penihatannya.'Mata-mata. Hakinya bagus, tapi tin
"Ini pasti akan menggemparkan Zanwan besok, tapi tidak masalah. Asalkan Tuan Muda dan Shaw selamat."Alton melangkah tergesa mendatangi ruangan Emrys Pasha; rekan satu timnya saat masih tinggal di asrama pasukan elite."Sebenarnya, kenapa Tuan Muda dan Shaw pergi ke dungeon malam-malam begini? Padahal lebih baik tidur nyenyak. Aku saja ingin kembali menjadi anak-anak agar dapat tidur nyenyak lebih lama, lebih banyak, dan lebih sering," celoteh Dorn di belakang Ascal. Sifat Dorn yang terkadang tenang, terkadang ramai dan tidak bisa diam sudah terkenal di kalangan teman-temannya, hingga mereka seringkali geleng-geleng kepala melihat tingkah Dorn."Dia tidak ada di ruangannya," papar Alton seraya mengintip ruangan Emrys dari jendela, karena tidak mendapat jawaban ketika ia mengetuk pintu.Alton berbalik dan mengedarkan pandangan, barangkali menemukan orang yang bisa ia tanyai."Ethren!" Dorn berseru sembari menggerakkan telapak tangan kanannya n
"Kau merasakannya, Bailey?" tanya Shaw lirih. Berlari di belakang Bailey sembari memberikan sebagian besar fokusnya ke jenggala di ujung pandang.Bailey melirik sekilas ke arah depan atas; menatap pepohonan jenggala di kejauhan sebelum menjawab pertanyaan Shaw."Hum. Ada banyak haki."Banyak orang di antara pepohonan jenggala yang tengah menunggu, dan sedikit banyak tujuan dari orang-orang itu berhubungan dengan dirinya. Yakin Bailey.Sejak dari mansion, Bailey yang memimpin karena Shaw belum tahu daerah itu. Namun sekarang, melihat pepohonan jenggala yang semakin dekat, Shaw mempercepat larinya; mensejajarkan diri dengan Bailey."Bersikaplah seakan kita belum mengetahuinya," tandas Shaw lirih seraya menyalip Bailey.Seorang mata-mata yang mengawasi di perbatasan utara jenggala dungeon mendekat; melaporkan kedatangan Shaw dan Bailey pada ketua divisinya yang kemudian memberi kode pada anak buahnya yang lain untuk bersiap. Mereka naik ke
Masih dalam ragunya, Emilie membuka surat perlahan. Matanya mulai berembun ketika ia melihat tulisan di dalamnya."Ini ... tulisan Toru ...." ucapnya lirih. Tangannya gemetar dengan mata yang semakin berkaca-kaca, membaca baris demi baris kalimat yang tertulis.Sesekali terdengar kekehan darinya."Toru ...." Ia berucap lirih lagi.Gemetar pula bibirnya, lalu pecah tangis begitu ia membaca tulisan yang semakin dekat dengan bagian akhir. Bulir air menetes dari kedua matanya, perlahan menderas, hingga terdengar isak tangis.Ia menggenggam erat surat di tangan, membawanya ke dekapan dengan penuh kesedihan.Hidupnya terasa mati ketika kabar kematian Toru sampai ke telinga. Waktunya seakan berhenti. Gairah untuk melanjutkan hidup pun hilang dalam sekejap. Penyesalan menggelayutinya, beribu andai terulang ucap dalam sanubari, tangis tertahan mengisi hari-harinya selama berara di dalam sel, sejak kabar kematian itu.Bailey menundukkan k
Emilie menggerak-menggerakkan jemari kedua tangan yang melingkar erat di gagang pedang dengan sedikit kaku. Ia bukannya tidak pernah menyentuh pedang, menggunakannya pun sudah pernah beberapa kali. Namun, keadaannya kini berbeda. Ia tidak pernah berperang tanpa teman-temannya ... dan pertempuran di depan matanya saat ini adalah sesuatu yang sangat asing. Yang terdengar olehnya hanya suara denting pedang, hembusan akibat dari haki, dan sobekan pakaian serta kulit diiringi cipratan darah setelahnya. Yang dilihatnya pun hanya orang-orang baru, yang bergerak dengan kecepatan yang sungguh cepat, dan itu juga baru untuknya.Tujuh anggota dari divisi hiu hitam keluar dari area pertarungan, melompat ke pohon dan bergerak ke arah Shaw, Bailey, dan Emilie. Mereka mengangkat tangan bersamaan, menggabungkan haki lalu mengarahkannya ke arah Bailey dan Emilie. Ketua dua pedang yang menyadarinya langsung berpindah ke depan Bailey dan Emilie, kemudian menancapkan pedang ke tanah.
Darah yang bercucuran di pertarungan semalam, yang membasahi tanah dan mengubah warnanya dari cokelat gelap menjadi merah pekat di jenggala timur dungeon sudah mengering. 10 prajurit diperintah Dorn untuk menguruknya, guna mencegah hewan liar berdatangan dan menghilangkan ambu amis anyirnya yang menyengat hidung."Tuan ...!"Panggilan dari satu sel menghentikan langkah Dorn. Ia berbalik mendekat, melempar senyum pada sang pemanggil."Ada sesuatu yang Anda butuhkan, Tuan?" tanyanya, ramah."Tuan ... saya dengar ada pertarungan di timur dungeon tadi malam, dan Shaw serta Tuan Muda terlibat di dalamnya. Bagaimana keadaan mereka? Apakah mereka terluka?"Spencer dan Gracie berdiri bersisian dengan raut khawatir. Mereka menatap tidak sabar dengan kedua tangan memegang jeruji besi.Dorn menggeleng, memasang senyum yang lebih mengembang sebelum menjawabnya."Tuan dan Nyonya tenanglah .... Shaw dan Tuan Muda baik-baik saja, dan mereka ti
Puas memandang luar, Shaw menarik kembali kepalanya; menolehkan ke samping. Senyum cerah di parasnya berganti tanya, menatap Edvard yang terlihat melamun."Gundah tidak akan selesai dengan lamunan, Tuan Dokter." Shaw menceletuk, membawa kesadaran Edvard kembali ke dunia nyata."Aku hanya sedang mengingat beberapa hal," tukas Edvard, menyandarkan punggungnya.Shaw mengikut, menyandarkan punggungnya seraya memejamkan mata. Berselang 3 detik, matanya kembali terbuka perlahan, bergerak ke samping; menatap Edvard."Tuan, kenapa orang terkadang menyebut panasea, terkadang juga menyebut obat jika sudah digenggaman? Sudah terambil dari pohonnya. Tetapi ... jika hendak ke luar, orang akan menyebut keseluruhannya sebagai panasea."Senyum tersimpul di paras Edvard, merespon pertanyaan Shaw. Matanya lurus memandang ke depan."Itu karena orang sudah mengetahui jenisnya. Obat, adalah ketika jenisnya sudah diketahui, yang artinya termasuk manfaatnya
Atmosfer terasa lebih ramah. Irama dari ranting-ranting dan dahan oleh angin terdengar lebih wajar dibandingkan tadi. Shaw makin yakin, semua karena Morth. Atmosfer, halusinasi, entah apa lagi yang Morth sebabkan. Satu pertanyaan besar dalam benak Shaw, siapa Morth sesungguhnya? Mengapa seisi jenggala sunyi hingga seluruh penjurunya seakan-akan berada di bawah kaki tangan Morth?“Kau pikirkan aku?” Morth tiba-tiba bertanya. Rupanya ia mengekori Shaw.Huh? Apa Morth juga bisa membaca pikiran?Shaw menengok ke belakang, langkahnya melambat. “Jangan katakan kau dapat menembus kepala orang.”“Kau banyak bertanya, belum tuntas seluruhnya.” Morth mensejajarkan diri. Sejenak, ia melihat Shaw dari atas ke bawah. “Orang keras kepala seperti kau tentu akan merenungkannya. Aku benar, bukan?”“Kita baru saling tahu beberapa saat lalu dan kau yakin sekali dengan kata-katamu. Antara kau pandai menilai atau hanya pandai berasumsi.” Shaw menggeleng. Pandangan ia tujukan ke depan.Morth menyentuh leng
Tanduk. Hal pertama yang dilihat oleh Shaw dari sumber suara adalah tanduk, tersembunyi di antara dedaunan semak belukar setinggi pinggang orang dewasa.Shaw mengernyit, kemudian bergumam lirih, nyaris tak bersuara, "Itu seperti tanduk rusa."Sepasang mata semerah darah terlihat dari celah dedaunan. Shaw menelan ludah. Ia tahu betul itu bukan mata hewan biasa, apalagi manusia. Tidak ada satu pun penduduk desa yang pernah ditemuinya memiliki mata seperti itu.Mungkinkah ini yang Fu maksud? Apapun itu, merasakan haki tidak biasa dari sang sosok misterius membuat Shaw merasa dirinya tidak boleh berlama-lama.Diliputi kewaspadaan dan dengan suara tercekat, ia berucap dalam hati, "Aku harus segera pergi dari sini."Tanpa melakukan pergerakan yang kentara serta dengan posisi kepala yang masih sama, tatapan Shaw menyisir sekitar; memastikan tidak ada keanehan lain. Ia yang semula berjongkok pun perlahan berdiri sepelan mungkin. Namun, bak lelah bermain petak umpet, ransel yang Shaw gendong m
"Tetap tidak bisa! Terlalu berbahaya. Kau kan tahu lebih baik daripada aku, Tibate." Fu mengangkat kepala, menatap lurus Tibate dan Baldor. Ini bukan waktu yang tepat, pikir Fu. "Lagi pula aku bisa menjaga diri. Akan kupanggil kalian jika hal buruk terjadi dan aku tidak bisa mengatasinya.""Kau bisa tinggal, Fu. Aku akan melanjutkan perjalananku seorang diri," sela Shaw, angkat bicara setelah menimang-nimang."Tidak―""Aku juga akan meninggalkan kudaku di sini." Shaw menepuk pundak Fu. Ia serius ingin Fu tinggal. "Bold bilang ada danau dan tebing. Jadi, aku tidak bisa membawa kudaku. Selain itu, kau bisa mengawasi keadaan hutan dan mengabariku. Kau juga terluka, Fu. Jangan bersikeras seolah kau baik-baik saja. Bagaimanapun kau juga masih anak-anak."Ini adalah tugas Shaw. Sejak awal, Shaw memulainya sendiri, dan ia harus melanjutkannya sendiri. Shaw tidak ingin merepotkan.Fu berdecak, tidak terima, tetapi juga tidak menyangkal ataupun menyanggah. Bertemu Baldor dan Tibate membuatnya
Pria berjanggut memperhatikan sambil mengusap-usap janggut dan kumisnya. Saat otaknya mengingat sesuatu tentang Fu, matanya seketika melebar."Kau ingin aku mencincangmu, hah?!" Tibate berseru.Setelah ikan bakarnya rusak, sekarang dirinya yang nyaris terbakar. Pria plontos itu tidak terima.Tibate menghentak tanah dengan kakinya, bergantian kaki kanan dan kaki kiri. Pegangannya pada gagang pedang semakin erat dan erat.Fu melompat mundur, mengambil sikap siaga dan meningkatkan kewaspadaannya. Ia siap dengan apapun yang akan Tibate lakukan untuk membalasnya.Sebelum Tibate menyerang balik, pria berjanggut yang masih menggenggam keranjang bambu itu berjalan ke depan Tibate, lalu berdiri memunggungi Fu dan Shaw."Kau mau dikutuk atau sudah bosan hidup?!" tanyanya."Apa maksudmu? Kalau kau hanya ingin aku berhenti memberi anak itu pelajaran, sebaiknya kau minggir!" balas Tibate."Kau tahu kau sedang berhadapan dengan siapa? Kau tidak berencana mengingkari janjimu pada Jenderal Besar, 'ka
"Apa kau sedang bercanda?" Tibate mendengus kasar. Ia tampak tidak suka.Pria plontos itu tahu dirinya sudah hidup lama, tetapi bukan berarti ingatannya menua. Ia tahu ingatannya masih berfungsi dengan sangat baik. Ia sangat meyakini itu."Aku tidak bercanda," sanggah Fu, berkacak pinggang. "Kau memberitahukannya sendiri padaku saat aku memberimu buah persik. Kalau kau masih tidak ingat, berarti ada yang salah dengan ingatanmu," imbuhnya.Buah persik?Tibate mengerutkan kening. Ia merasa tidak asing, tetapi tidak mengingat apapun."Sudahlah. Lebih baik kalian pulang sekarang, dan akan kuanggap ini tidak pernah terjadi," ujar Tibate seraya memasang wajah serius."Tidak bisa!" Shaw berseru. "Aku harus pergi ke tenggara!""Ya. Kami tidak bisa kembali ke desa saat ini," Fu menimpali.Tibate memukulkan ujung pedangnya ke tanah, menimbulkan gelombang angin yang kencang. Dedaunan dan batu kerikil tersapu, begitu pun Fu dan Shaw yang ikut terpental."Aduh ...." Shaw mengerang, berusaha bangun
Menjelang pagi, suara kehidupan awal sekali menggaung. Beberapa penduduk desa sudah mulai melakukan aktivitas mereka. Sebagian di dalam rumah, sebagian di luar rumah.Satu di antara manusia yang telah lepas dari peraduannya adalah Wilton. Ia bertugas pagi kali ini."Selalu rajin, ya." Zander berkomentar. Kuda-kuda di kandang bersuara antusias saat Zander memberi mereka makan."Tidak juga. Aku hanya tidur cukup nyenyak semalam, dan tubuhku merasa lebih segar saat aku bangun. Jadi, ya, mungkin lebih bersemangat," sahut Wilson seraya terkekeh kecil."Padahal kau hanya tidur sebentar, 'kan, semalam," Celetuk Zander. Tangannya cekatan melipat karung-karung rumput yang sudah kosong.Wilton tersenyum cerah menanggapinya. Ia memeras kain yang dipakai untuk mengelap kuda yang akan ia pakai untuk mengantar Bailey ke sekolah."Sebentar pun tetap saja namanya tidur, Zan," kata Wilton, keluar dari kandang sambil membawa kain basah dan ember hitam kecil."Ya, tidak salah."Suara derap kaki nyaring
"Ada yang menarik perhatianmu, Vid? Aku sampai mengantuk menunggumu." Bailey menimpali."Ah, maaf maaf .... Tadi ada yang harus kulakukan. Ada sesuatu! Jadi, aku kembali lebih lama," ujar Avidius seraya tersenyum canggung.Avidius adalah cucu Barid. Ia satu sekolah dengan Leonere."Sesuatu apa?" Leonere bertanya.Avidius, remaja berkulit putih kemerahan dengan senyum manis dan lesung pipi itu mengeluarkan sebuah kain merah dari saku pakaian di balik jubahnya. Saat kain dibuka, Leonere dan Bailey membulatkan mata melihat benda yang terpampang di sana."Bukankah itu—" Kata-kata Leonere terhenti. Ia mendekat tergesa dan memegang benda yang ditunjukkan Avidius. "Ini kan ....""Dari mana kau menemukan itu?" tanya Bailey yang juga mendekat.Avidius melirik ke arah belakang sesaat, memastikan sekitarnya aman. Senyumnya pudar seketika."Dari hutan barat laut. Aku menemukannya tadi," bisik Avidius, tampak serius.Bailey dan Leonere tercengang lalu saling menatap. Pikiran keduanya seolah tersam
"Tidak ada yang gratis," sahut Fu seraya menyeringai tipis.Shaw berdecak. "Kubayar dengan manisan.""Apa itu? Tidak cukup! Informasiku sangat mahal, kau tahu.""Ck, kubayar dengan makanan lain. Kau bebas memintanya, dan aku akan membuatkannya untukmu," tawar Shaw.Fu menyeringai penuh kemenangan kini. Sebuah siasat terlintas di benaknya."Bisa dipertimbangkan," kata Fu. Sesaat kemudian seringai di wajahnya hilang, berganti raut serius. "Kurangi kecepatan kudanya. Melewati batang pohon besar di depan itu, buat kudanya berjalan biasa.""Huh? Oke."Shaw percaya pada Fu. Ia mengikuti instruksi Fu tanpa ragu.Pohon-pohon besar yang dimaksud Fu berada 20 meter dari mereka. Warna pohonnya gelap, seolah melambangkan sesuatu yang misterius dan tampak mati. Pepohonan itu seakan telah terbakar. Meski begitu, dedaunannya sangat rimbun.Melewati dua pohon besar tersebut, kuda memasuki jenggala yang lebih gelap dan sunyi dari sebelumnya. Sekeliling tampak benar-benar gelap dengan aura yang terasa
"Ya sudah." Eroth menghela napas.Selain belajar bersikap baik pada budaknya, Eroth pun belajar untuk tidak memaksakan kehendak. Ya, itu sungguhan, bukan sandiwara yang dibuat-buat.Di depan mereka, Aaban mendengarkan dalam diam. Komandan itu sibuk dengan pikirannya.Menjelang ujung dari jenggala ketiga, Fu tiba-tiba berujar. Suaranya terdengar serius di telinga Shaw."Berhenti, Shaw."Shaw menghentikan laju kuda dan melirik Fu. "Ada apa?""Kita ambil jalan lain," tukas Fu."Kenapa? Ada apa dengan jalan ini?""Ada sesuatu di depan. Hakinya tidak jauh berbeda dengan Kaye dan teman-temannya.""Ha?"Shaw menatap lurus, lalu memejamkan mata. Ia mencoba merasakan haki di depan, tetapi tidak merasakan atau melihat apapun."Aku tidak merasakan apapun," kata Shaw seraya membuka mata.Fu berdecak dan memegang kedua pundak Shaw. Aliran haki mengalir dari tangannya."Coba lihat lagi," kata Fu. Shaw mengiyakan.Bayangan sosok berjumlah lebih dari 10 terlihat di kejauhan di depan, dengan haki yang