Gudang obat di pusat desa sesak dipenuhi prajurit yang keluar masuk membawa kotak-kotak obat, memindahkannya ke dalam kereta kuda.“Dokter, mereka menaikkan harga pada obat-obat yang Anda katakan,” lapor seorang prajurit sembari menyerahkan selembar kertas bertuliskan daftar obat beserta harganya di beberapa toko.“Baiklah, terima kasih. Kau boleh kembali.” Edvard menerima kertas, mengernyit begitu ia membaca tulisan yang tertera. “Seharusnya tidak semahal ini. Bagaimana bisa naik begitu saja? Berita wabah di timur Zanwan saja baru masuk ke pengadilan hari ini. Beberapa obatnya adalah jenis obat yang belum lama mekar dan berbuah, seharusnya masih di pohonnya. Pencari panasea yang ingin mendapatkannya pun setidaknya masih dalam perjalanan, tapi ini sudah tersedia. Ditambah ada obat yang langka. Hmm, ini seperti sudah disiapkan sejak lama.”Edvard menyimpan kertas laporan ke dalam tas, menujukan fokus kepada obat-obatan yang dikeluarkan dari gudang. Setelah penuh, kereta mulai bergerak b
“Shaw, kenapa kau menangis?”Bailey melirik Shaw bermaksud untuk melihat apakah Shaw sudah selesai membaca suratnya atau belum, tetapi malah mendapati sahabatnya itu menangis dengan surat masih terbuka di kedua tangannya.Shaw mengusap air mata yang menetes di pipi, mengangkat wajah, dan mengerjap. Menghela napas beberapa kali ia lakukan untuk melegakan perasaan sesak dan sedih dalam hatinya.“Kita harus bergerak cepat. Pengorbanan viking ini tidak boleh sia-sia,” ujar Shaw lirih, memberikan suratnya pada Wilton, kemudian mengusap air mata yang masih berjatuhan.Sembari menunggu Wilton selesai membaca, Shaw bergantian menceritakan perjalanannya mencari panasea hingga kembali lebih cepat dari perkiraan.Seperti halnya Bailey, Shaw, dan Wilton yang berkumpul dan saling bercerita di bukit timur, di ruang salah satu rumah di distrik Aloclya pun berkumpul orang-orang, saling bercerita.“Kau lihat wajahnya? Wajah itu mirip sekali!”Suasana yang biasanya tenang nan hening berubah bising malam
“Haaaahhhh ... dia pasti ada di suatu tempat. Kita cari tahu besok saja. Kalaupun dia hilang, kabarnya pasti segera sampai. Penduduk di luar hutan yang paling dekat dengan rumah itu sering lewat tiap-tiap kali ingin ke hutan untuk mencari kayu atau buah.”Barid menguap, menutup mulut dengan punggung tangan kiri sekali lagi.“Semoga saja seperti yang kau katakan. Kalau begitu, aku pamit dulu. Lanjutkan istirahatmu selagi kau masih bisa beristirahat dengan nyenyak. Besok lusa, mungkin akan ada hal yang akan merusak istirahat kita.”Kuda kembali berderap; keluar area mansion Barid. Eduardo membuka tirai jendela kereta kuda sisi kanannya, mengangkat wajah. Pelupuk matanya menangkap pergerakan sebuah bayang cepat di atas atap rumah-rumah penduduk seakan-akan ada sesuatu yang penting. Eduardo menyipitkan mata, memperjelas penglihatannya.“Mata-mata. Hakinya bagus, tetapi tingkahnya mencurigakan,” kata Eduardo dalam hati. Matanya masih mengekor sang mata-mata yang terus bergerak menjauh hingg
“Ini pasti akan menggemparkan Zanwan besok, tetapi tidak masalah asalkan Tuan Muda dan Shaw selamat.”Tergesa Alton mendatangi ruangan Emrys Pasha; rekan satu timnya saat masih tinggal di asrama pasukan elite.“Sebenarnya, kenapa Tuan Muda dan Shaw pergi ke dungeon malam-malam begini? Padahal lebih baik tidur nyenyak. Aku saja ingin kembali menjadi anak-anak agar dapat tidur nyenyak lebih lama, lebih banyak, dan lebih sering,” celoteh Dorn di belakang Ascal.Sifat Dorn yang terkadang tenang, terkadang ramai dan tidak bisa diam sudah terkenal di kalangan teman-temannya hingga mereka seringkali geleng-geleng kepala melihat tingkah Dorn.“Dia tidak ada di ruangannya,” papar Alton seraya mengintip ruangan Emrys dari jendela.Alton berbalik, memperhatikan sekitar barangkali menemukan orang yang bisa ia tanyai.“Ethren!” Dorn tiba-tiba berseru sembari menggerakkan telapak tangan kanannya naik turun pada prajurit yang muncul dari arah lapangan utama; menyuruhnya menghampiri.Ethren berlari me
“Kau merasakannya, Bailey?” tanya Shaw lirih, berlari di belakang Bailey sembari memberikan sebagian besar fokusnya ke hutan di ujung pandang.Bailey melirik sekilas ke depan atas; mengarah ke pepohonan hutan di kejauhan sebelum menjawab pertanyaan Shaw.“Hum. Ada banyak haki.”Banyak orang di antara pepohonan hutan yang tengah menunggu dan sedikit banyak tujuan dari orang-orang itu berhubungan dengan dirinya, yakin Bailey.Sejak dari mansion, Bailey yang memimpin karena Shaw belum tahu daerah itu. Sekarang, melihat pepohonan hutan yang makin dekat, Shaw mempercepat larinya; mensejajarkan diri dengan Bailey.“Bersikaplah seakan-akan kita belum mengetahuinya,” kata Shaw lirih seraya menyalip Bailey.Seorang mata-mata yang mengawasi di perbatasan utara hutan dungeon melaporkan kedatangan Shaw dan Bailey pada ketua divisinya. Sang ketua meneruskan laporan dengan memberi kode pada anak buahnya yang lain untuk bersiap. Mereka naik ke dahan yang lebih tinggi. Sang ketua dengan kain bersimbol
Masih dalam ragunya, Elwanda mengangkat surat. Matanya mulai berembun ketika ia melihat tulisan di dalamnya.“Ini ... tulisan Toru ....” Lirih Elwanda berucap. Tangannya gemetar. Matanya makin berkaca-kaca. Sesekali terdengar kekehan darinya.“Toru ....”Gemetar bibir Elwanda, lalu pecah tangis begitu ia membaca tulisan yang makin dekat dengan bagian akhir. Bulir air menetes dari kedua matanya, menderas, lalu terdengar isak tangis.Elwanda menggenggam erat surat di tangan, membawanya ke dekapan dengan penuh kesedihan.Hidup Elwanda terasa mati ketika kabar kematian Toru sampai ke telinga. Waktunya seakan-akan berhenti. Gairah untuk melanjutkan hidup pun hilang dalam sekejap. Penyesalan menggelayutinya, beribu andai terulang ucap dalam sanubari, tangis tertahan mengisi hari-harinya selama berada di dalam sel sejak kabar kematian itu.Bailey menundukkan kepala. Rasa bersalah itu menyeruak lagi. Jemari kedua tangannya mencengkeram ujung pakaian, menahan pilu yang kian membuncah ia rasakan
Elwanda menggerak-menggerakkan jemari kedua tangan yang melingkar erat di gagang pedang dengan sedikit kaku. Ia bukannya tidak pernah menyentuh pedang, menggunakannya pun sudah pernah beberapa kali. Namun, keadaannya kini berbeda. Ia tidak pernah berperang tanpa teman-temannya dan pertempuran di depan matanya saat ini adalah sesuatu yang sangat asing. Yang terdengar olehnya hanya suara denting pedang, embusan akibat dari haki, serta sobekan pakaian dan kulit diiringi cipratan darah. Yang dilihatnya pun hanya orang-orang baru yang bergerak dengan kecepatan yang sungguh cepat dan itu juga baru untuknya.Tujuh anggota dari divisi hiu hitam keluar dari area pertarungan, melompat ke pohon, bergerak ke arah Shaw, Bailey, dan Elwanda. Mereka mengangkat tangan bersamaan, menggabungkan haki, lalu mengarahkannya kepada Bailey dan Elwanda.Ketua dua pedang yang menyadarinya langsung berpindah ke depan Bailey dan Elwanda, lalu menancapkan pedang ke tanah. Ia mengangkat kedua tangan, mengulurkannya
Darah yang bercucuran di pertarungan semalam sudah mengering. Sepuluh prajurit diperintah Dorn untuk menguruknya pagi-pagi, mencegah hewan liar berdatangan serta menghilangkan ambu amis anyirnya yang menyengat hidung.“Tuan!”Panggilan dari satu sel menghentikan langkah Dorn. Ia berbalik mendekat, melempar senyum pada sang pemanggil.“Ada sesuatu yang Anda butuhkan, Tuan?” Ramah Dorn bertanya.“Tuan, saya dengar ada pertarungan di timur dungeon tadi malam dan Shaw serta Tuan Muda Bailey terlibat di dalamnya. Bagaimana keadaan mereka? Apakah mereka terluka?”Spencer dan Gracie berdiri bersisian dengan raut khawatir. Mereka menatap tidak sabar, kedua tangan mereka memegang jeruji besi.Dorn menggeleng, memasang senyum yang lebih mengembang sebelum menjawabnya.“Tuan dan Nyonya tenanglah. Shaw dan Tuan Muda Bailey baik-baik saja. Mereka tidak terluka.”Banyak yang terluka dan tewas di pertarungan tadi malam, tetapi Shaw dan Bailey baik-baik saja. Selain dari kemampuan keduanya dalam berpe
Kilau cahaya pohon dan jalan memandu Bailey ke kaki gunung sisi utara, melewati area yang Bailey datangi tempo lalu bersama Shaw dan yang lain pada malam operasi penambangan ilegal. Semak belukar lebih tinggi, lalu ketika Bailey sampai di timur, menuju belokan ke tenggara, kilau cahaya kemerahan berkelap-kelip di depan.Bailey segera menghentikan laju kudanya.“Profesor bilang warna lain selain hitam dan putih akan cenderung samar, tapi merah itu terlalu jelas,” gumam Bailey.Menggeser fokus tatapannya, Bailey menemukan lebih banyak siluet merah dengan haki yang menguar di dalam sebuah gua. Bailey mengamati sekitar lebih jeli. Terlihat oleh matanya dinding seperti kubah di atas.Bailey menyalurkan hakinya ke kuda, tetapi tetap menyamarkannya, kemudian membuat kuda berderap pelan dan santai. Sang kuda bagai berjalan di atas angin; tidak ada suara yang terdengar tiap kali kakinya memijak.Mendekati gua, Bailey turun dari kuda. Ia ikatkan tali kuda ke sebuah pohon, kemudian melanjutkan d
Aaban mengangguk, kemudian beralih tatap pada prajurit yang tadi membawakan kuda.“Buka gerbangnya.”Sang prajurit mengangguk patuh, kemudian berlari menuju pos jaga di sisi salah satu gerbang. Model pos agak tinggi dari permukaan tanah, jadi, ia mendongak dan berseru pada prajurit yang berada di pos.“Buka gerbangnyaaaa!”Prajurit di pos segera menjalankan perintah. Engsel gerbang segera berbunyi, lalu gerbang berderit, perlahan terbuka seiring Bailey menunggangi kuda.“Hati-hati, Tuan Muda!” kata Aaban.Bailey mengangguk. “Aku pergi.”Prajurit yang berseru pada prajurit di gerbang menyingkir, kembali ke sisi Aaban. Bailey menghentak tali kuda, melewati gerbang begitu gerbang terbuka lebar.“Tuan Muda sangat berani dan cerdik,” celetuk prajurit di sisi Aaban. Ia memandangi kepergian Bailey dengan binar takjub di matanya.“Dia putra pemimpin Zanwan. Keberanian dan kecerdikan akan bagus untuk menjadi bagian dari dirinya,” kata Aaban sambil memandangi Bailey yang menjauh, membelah padan
Matahari telah terbenam di ufuk barat. Malam telah bertakhta. Dinginnya udara menerpa Zanwan sedingin suasana di meja makan mansion Hunt.“Wilton, di mana Bailey?” Jillian bertanya.Piring-piring masih terisi, belum habis setengah hidangan di atasnya. Satu kursi di meja makan, kursi yang biasa diduduki Bailey, kini kosong. Wilton berdiri di belakang samping kursi tersebut.Pelayan mengatakan Bailey tidak ada di kamarnya beberapa saat lalu. Sebentar sebelum duduk ke kursinya, Jillian pun mengecek kamar Bailey, hanya menemukan ruangan kosong. Sampai Ascal tiba, Bailey belum juga muncul. Tak ayal Ascal memanggil Wilton.“Tuan Muda ….” Wilton bicara serupa suara bisikan di keramaian, nyaris tidak terdengar saking lirihnya.Jillian mengerjap. Ia melirik Wilton sambil makan. Wilton terus menunduk, bahkan tidak kunjung menyelesaikan bicaranya. Ascal berganti melontarkan tanya tanpa menoleh.“Wilton, di mana Bailey?”“Tuan Muda pergi ….” Wilton masih serupa anak kecil yang bersembunyi.“Wilto
Bailey manggut-manggut. “Aku tidak mengira kalian akan mengajukan pertanyaan semacam itu, bahkan tidak mengira kalian akan pernah menghiraukan hal semacam itu. Terima kasih, kurasa.”Senyum terukir di hati Bailey. Sebuah kabar gembira bagai menggema di dalam dirinya. Begitu pula yang dirasakan Otto dan Milo. Bailey menyambut baik, tentu itu kabar besar yang membahagiakan. Sekali lagi, perkiraan mereka salah. Sepertinya Bailey tidak mendengar pembicaraan mereka di kelas atau mungkin mendengar, tetapi tidak mempermasalahkan, dan itu membuat kegembiraan mereka kian bertambah.“Sanjungan lebih pantas untukmu,” kata Milo.Bailey merespon itu dengan senyum kecil. Otto dan Milo mengerjap, segera berpikir apakah mereka salah lihat. Namun, mereka dapati bahwa mereka tidak salah lihat. Bailey memang tersenyum. Senyum itu, Bailey tujukan kepada mereka.“Aku mulai dari pertanyaan pertama, ya,” kata Bailey, kemudian menghirup udara sejenak.Otto dan Milo mengangguk dan memasang telinga baik-baik.
“Kau mendengarnya?” Otto bertanya dengan wajah memucat. Suaranya amat pelan sampai nyaris tidak terdengar.Milo mengangguk kecil dalam gerakan patah-patah dan sarat keraguan. Ekspresi pada wajahnya tidak jauh berbeda.Kepala mereka kemudian bergerak bersamaan, berpaling tatap ke baris terdepan, lalu mereka melihat Bailey beranjak dari duduknya, pergi keluar.“Apa Tuan Muda mendengar pembicaraan kita?” Milo bertanya dalam suara lebih rendah, serupa bisik-bisik yang mungkin saja akan hanyut terbawa angin.Otto menggeleng. Bukan jawaban meyakinkan, hanya harapan bahwa itu adalah kenyataan yang terjadi.“Kalau benar, semesta mungkin tidak akan berpihak pada kita setelah ini,” kata Otto.Cemas menyerang Otto. Kalau Bailey benar mendengar pembicaraan mereka, apakah kali ini Bailey akan tersinggung? Kesal? Emosi dan apa pun yang lebih buruk?“Kurasa kita sebaiknya bergegas?” Milo melirik Otto.“Itu keputusan paling baik.” Otto berdiri.Milo memasukkan buku catatan yang baru sebentar ia baca
“Katakan saja,” ucap Bailey di sela makannya.Bailey tahu dua anak lelaki ini takkan mendatanginya kalau hanya untuk makan. Ada meja-meja kosong lain yang siap untuk ditempati, pun keduanya belum pernah begitu pada Bailey sepanjang sejarah bersekolah walau satu kelas dengan Bailey.“Kami … agak … penasaran. Apa Tuan Muda akan mendaftar untuk turnamen?” Otto Atrius yang duduk di sebelah Milo bertanya. Bibir merah cerahnya berulang kali mengatup dan terbuka setelah pertanyaan diajukan. Otaknya berpikir apakah pertanyaan itu sudah pas atau tidak.“Turnamen umum, maksudmu?” tanya Bailey.Otto mengangguk. “Kami dengar-dengar tahun ini murid yang terpilih untuk mewakili sekolah boleh mendaftar turnamen umum. Kami juga baca informasinya di mading pagi ini.”“Kalau terpilih mewakili sekolah, lalu mendaftar di turnamen umum dan ternyata lolos dalam keduanya ke final, terlebih keluar sebagai juara di peringkat satu, akan otomatis mendapat tiket emas dan bonus berlipat.” Milo turut bicara setela
“Ayah dan Ibu bawa apa? Itu terlihat banyak sekali!” Shaw mengamati tas-tas belanjaan dengan antusias. Salah satu isi yang tertangkap matanya adalah pakaian.“Oh, ini untuk putra Ibu yang paling manis!” Suara wanita menjawab.“Asyik! Pakaian, ya?” tanya Shaw.“Betul. Ada mainan juga!” Suara pria yang bicara.“Horeeee … mainan!” Shaw berseru gembira. Kebahagiaan meluap-luap pada suaranya.Di atas kaca, Shaw gemetar. Ia tidak mengira danau kaca keyakinan akan menampilkan momen seperti itu. Ia kira itu hanya akan berkisar perjalanannya, rencananya dengan Bailey, tantangan yang dihadapi dalam upaya mewujudkan impian tentang Zanwan. Namun, apa yang ia dengar sepenuhnya berbeda. Sama sekali tidak ada dalam bayangannya. Tidak sedikit pun.Mata Shaw bergetar. Air makin banyak di sana, lalu tumpah kala Shaw dengar suara yang sangat familier.“Shaw, jangan melompat-lompat tinggi begitu.” Itu suara Spencer, terdengar riang dan penuh kasih.“Shaw gembira sekali sepertinya.” Gracie menyusul bicara
“Ini danaunya.”Shaw sampai di ujung hutan lain setelah dari hutan sunyi dan melewati padang rumput. Di hadapannya membentang danau jernih yang berkilau, besar dan luas yang tidak mampu Shaw ukur dengan pasti. Ia perkirakan luasnya sama atau bahkan melebihi lapangan alun-alun distrik Acilav.“Sampai di danau itu, cara paling cepat untuk melewatinya adalah membelahnya. Menyeberanginya,” kata Fu dalam pesannya sebelum berpisah. “Jangan terkecoh dengan ukurannya yang kau mungkin kira tidak seberapa luas; masih sangat mungkin untuk dilewati dengan mengitarinya. Terkadang dalam waktu dan untuk alasan yang tidak terduga, setelah melihat wujudnya, begitu kau berjalan, mencoba memutari danau untuk sampai di seberang, di sisi lain, kau akan dapati bahwa ujung danau bahkan tidak kautemukan. Semua yang kaulihat mungkin hanya akan menjadi hamparan air. Tidak ada lagi pepohonan, tidak ada lagi daratan selain tempat kau berpijak dan sekitar.”Shaw berjinjit, mencoba menjangkau seberang danau dengan
“Ada rencana untuk keluar lagi di sisa hari ini, Tuan Muda?” Wilton bertanya seturunnya ia dari kuda, memegangi tali setelah Bailey turun. Mereka baru sampai di mansion, pulang dari sekolah.“Kurasa tidak. Sepertinya aku akan habiskan waktu di meja belajar.”“Baik. Saya akan ada di pos malam ini kalau Tuan Muda butuh sesuatu.”“Ya. Aku masuk, ya. Terima kasih untuk hari ini, Wilton.”Bailey pergi, masuk ke mansion. Wilton mengiringi kepergian Bailey dengan anggukan penuh hormat. Bibirnya melengkung membentuk senyum. Usai Bailey tidak lagi terlihat, Wilton membawa kuda ke kandang.Sampai kamar, Bailey menyalakan penerangan, melepaskan ransel, dan bersih-bersih. Ia melanjutkan dengan menekuri buku-buku mata pelajaran sampai pelayan memanggil namanya dari luar pintu.Makan malam tiba, Bailey berseri-seri menemukan Jillian di meja makan. Canda tawa Jillian serupa bunga-bunga di musim semi dan keceriaan Bariela adalah penyempurna. Jillian telah kembali dengan warna cerahnya, tidak lagi ber