Bailey melirik Shaw bermaksud untuk melihat apakah Shaw sudah selesai membaca suratnya atau belum, tetapi malah mendapati sahabatnya itu menangis dengan surat masih terbuka di kedua tangannya.
Shaw mengusap air mata yang menetes di pipi, mengangkat wajah ke atas dan mengerjapkan mata. Hembusan napas beberapa kali ia lakukan, untuk melegakan perasaan sesak dan sedih dalam hatinya.
"Kita harus bergerak cepat. Pengorbanan Viking ini tidak boleh sia-sia," ujar Shaw lirih. Memberikan suratnya pada Wilton, kemudian mengusap air mata yang masih berjatuhan.
Sembari menunggu Wilton selesai membaca, Shaw bergantian menceritakan perjalanannya mencari panasea, hingga kembali lebih cepat dari perkiraan.
"Kau lihat wajahnya? Wajah itu, mirip sekali!"
Suasana yang biasanya tenang nan hening berubah bising malam ini. Beberapa kali api lilin merah di tengah berayun karena hentakan tangan ke meja.
"Tapi, ini tidak mun
"Haaaahhhh ... dia pasti ada di suatu tempat. Kita cari tahu besok saja. Kalau pun dia hilang, maka kabarnya pasti segera sampai. Penduduk di luar hutan yang paling dekat dengan rumah itu sering lewat jika ingin ke hutan untuk mengumpulkan kayu atau buah."Barid menguap; menutup mulut dengan punggung tangan kiri sekali lagi, kentara sangat mengantuk."Semoga saja seperti yang kau katakan. Kalau begitu, aku pamit dulu. Lanjutkan istirahatmu, selagi kau masih bisa beristirahat dengan nyenyak. Besok lusa, mungkin akan ada hal yang akan merusak istirahat kita."Kuda kembali berderap; ke luar area mansion Barid dengan langkah tenang tetapi sedikit cepat. Eduardo membuka tirai jendela kereta kuda sisi kanannya, mengangkat wajah ke atas.Pelupuk matanya menangkap pergerakan sebuah bayang cepat di atas atap rumah-rumah penduduk, seakan ada sesuatu yang penting. Eduardo menyipitkan matanya, memperjelas penihatannya.'Mata-mata. Hakinya bagus, tapi tin
"Ini pasti akan menggemparkan Zanwan besok, tapi tidak masalah. Asalkan Tuan Muda dan Shaw selamat."Alton melangkah tergesa mendatangi ruangan Emrys Pasha; rekan satu timnya saat masih tinggal di asrama pasukan elite."Sebenarnya, kenapa Tuan Muda dan Shaw pergi ke dungeon malam-malam begini? Padahal lebih baik tidur nyenyak. Aku saja ingin kembali menjadi anak-anak agar dapat tidur nyenyak lebih lama, lebih banyak, dan lebih sering," celoteh Dorn di belakang Ascal. Sifat Dorn yang terkadang tenang, terkadang ramai dan tidak bisa diam sudah terkenal di kalangan teman-temannya, hingga mereka seringkali geleng-geleng kepala melihat tingkah Dorn."Dia tidak ada di ruangannya," papar Alton seraya mengintip ruangan Emrys dari jendela, karena tidak mendapat jawaban ketika ia mengetuk pintu.Alton berbalik dan mengedarkan pandangan, barangkali menemukan orang yang bisa ia tanyai."Ethren!" Dorn berseru sembari menggerakkan telapak tangan kanannya n
"Kau merasakannya, Bailey?" tanya Shaw lirih. Berlari di belakang Bailey sembari memberikan sebagian besar fokusnya ke jenggala di ujung pandang.Bailey melirik sekilas ke arah depan atas; menatap pepohonan jenggala di kejauhan sebelum menjawab pertanyaan Shaw."Hum. Ada banyak haki."Banyak orang di antara pepohonan jenggala yang tengah menunggu, dan sedikit banyak tujuan dari orang-orang itu berhubungan dengan dirinya. Yakin Bailey.Sejak dari mansion, Bailey yang memimpin karena Shaw belum tahu daerah itu. Namun sekarang, melihat pepohonan jenggala yang semakin dekat, Shaw mempercepat larinya; mensejajarkan diri dengan Bailey."Bersikaplah seakan kita belum mengetahuinya," tandas Shaw lirih seraya menyalip Bailey.Seorang mata-mata yang mengawasi di perbatasan utara jenggala dungeon mendekat; melaporkan kedatangan Shaw dan Bailey pada ketua divisinya yang kemudian memberi kode pada anak buahnya yang lain untuk bersiap. Mereka naik ke
Masih dalam ragunya, Emilie membuka surat perlahan. Matanya mulai berembun ketika ia melihat tulisan di dalamnya."Ini ... tulisan Toru ...." ucapnya lirih. Tangannya gemetar dengan mata yang semakin berkaca-kaca, membaca baris demi baris kalimat yang tertulis.Sesekali terdengar kekehan darinya."Toru ...." Ia berucap lirih lagi.Gemetar pula bibirnya, lalu pecah tangis begitu ia membaca tulisan yang semakin dekat dengan bagian akhir. Bulir air menetes dari kedua matanya, perlahan menderas, hingga terdengar isak tangis.Ia menggenggam erat surat di tangan, membawanya ke dekapan dengan penuh kesedihan.Hidupnya terasa mati ketika kabar kematian Toru sampai ke telinga. Waktunya seakan berhenti. Gairah untuk melanjutkan hidup pun hilang dalam sekejap. Penyesalan menggelayutinya, beribu andai terulang ucap dalam sanubari, tangis tertahan mengisi hari-harinya selama berara di dalam sel, sejak kabar kematian itu.Bailey menundukkan k
Emilie menggerak-menggerakkan jemari kedua tangan yang melingkar erat di gagang pedang dengan sedikit kaku. Ia bukannya tidak pernah menyentuh pedang, menggunakannya pun sudah pernah beberapa kali. Namun, keadaannya kini berbeda. Ia tidak pernah berperang tanpa teman-temannya ... dan pertempuran di depan matanya saat ini adalah sesuatu yang sangat asing. Yang terdengar olehnya hanya suara denting pedang, hembusan akibat dari haki, dan sobekan pakaian serta kulit diiringi cipratan darah setelahnya. Yang dilihatnya pun hanya orang-orang baru, yang bergerak dengan kecepatan yang sungguh cepat, dan itu juga baru untuknya.Tujuh anggota dari divisi hiu hitam keluar dari area pertarungan, melompat ke pohon dan bergerak ke arah Shaw, Bailey, dan Emilie. Mereka mengangkat tangan bersamaan, menggabungkan haki lalu mengarahkannya ke arah Bailey dan Emilie. Ketua dua pedang yang menyadarinya langsung berpindah ke depan Bailey dan Emilie, kemudian menancapkan pedang ke tanah.
Darah yang bercucuran di pertarungan semalam, yang membasahi tanah dan mengubah warnanya dari cokelat gelap menjadi merah pekat di jenggala timur dungeon sudah mengering. 10 prajurit diperintah Dorn untuk menguruknya, guna mencegah hewan liar berdatangan dan menghilangkan ambu amis anyirnya yang menyengat hidung."Tuan ...!"Panggilan dari satu sel menghentikan langkah Dorn. Ia berbalik mendekat, melempar senyum pada sang pemanggil."Ada sesuatu yang Anda butuhkan, Tuan?" tanyanya, ramah."Tuan ... saya dengar ada pertarungan di timur dungeon tadi malam, dan Shaw serta Tuan Muda terlibat di dalamnya. Bagaimana keadaan mereka? Apakah mereka terluka?"Spencer dan Gracie berdiri bersisian dengan raut khawatir. Mereka menatap tidak sabar dengan kedua tangan memegang jeruji besi.Dorn menggeleng, memasang senyum yang lebih mengembang sebelum menjawabnya."Tuan dan Nyonya tenanglah .... Shaw dan Tuan Muda baik-baik saja, dan mereka ti
Puas memandang luar, Shaw menarik kembali kepalanya; menolehkan ke samping. Senyum cerah di parasnya berganti tanya, menatap Edvard yang terlihat melamun."Gundah tidak akan selesai dengan lamunan, Tuan Dokter." Shaw menceletuk, membawa kesadaran Edvard kembali ke dunia nyata."Aku hanya sedang mengingat beberapa hal," tukas Edvard, menyandarkan punggungnya.Shaw mengikut, menyandarkan punggungnya seraya memejamkan mata. Berselang 3 detik, matanya kembali terbuka perlahan, bergerak ke samping; menatap Edvard."Tuan, kenapa orang terkadang menyebut panasea, terkadang juga menyebut obat jika sudah digenggaman? Sudah terambil dari pohonnya. Tetapi ... jika hendak ke luar, orang akan menyebut keseluruhannya sebagai panasea."Senyum tersimpul di paras Edvard, merespon pertanyaan Shaw. Matanya lurus memandang ke depan."Itu karena orang sudah mengetahui jenisnya. Obat, adalah ketika jenisnya sudah diketahui, yang artinya termasuk manfaatnya
Pena dan tinta kembali beradu dengan bertumpuk-tumpuk lembar kertas seusai makan malam. Prajurit dan pelayan membersihkan area balai pengobatan meliputi halaman luar sampai benar-benar bersih. Mereka tak sampai hati berleha-leha sementara para tenaga kesehatan masih berkutat dengan pekerjaannya, kendati bagian mereka lebih menguras tenaga.Selesai dengan tugas, semua orang meninggalkan balai pengobatan. Tempat yang dituju Edvard tidak jauh, hanya perlu berjalan kaki sekitar 5 menit. Dari arah selatan, seorang remaja datang berlari tergopoh menghentikan jalan Shaw, Edvard, dan rombongan yang hendak ke penginapan."Dokter, tolonglah kakek saya ...," pintanya dengan nada memohon sembari terisak, air matanya berambai deras dan hidungnya memerah."Tunjukkan jalannya," tandas Edvard, kemudian mengikut langkah sang remaja.Sebuah rumah kayu ditujunya, sederhana dan terlihat sejuk. Seorang pria rimpuh dengan buih keluar dari mulut di kamarnya, membuat Edvar