Bagas, sejak SMP sudah sekolah di luar negeri dan terus di sana hingga kuliah. Kini dia kembali ke Indonesia untuk magang di perusahaan rokok terbesar, Djerami. Menariknya, Bagas seperti kenal betul dengan perusahaan itu. Apa yang sebenarnya terjadi?
Lihat lebih banyakKeesokan harinya, kembali ke kantor, Edwin masih sangat penasaran dengan Bagas. Kali ini sikap Edwin sedikit berubah, tidak sesantai biasanya. Dia benar-benar terganggu dengan kemungkinan bahwa Bagas adalah cucu konglomerat perusahaan tempatnya magang.Kecurigaan Edwin semakin kuat setelah menghubungkan benang merah antara fakta-fakta yang terjadi sejauh ini. Sejak awal Bagas sudah membuat heboh ketika mendatangkan chef lengkap beserta dapurnya hanya untuk makan siang.Hanya orang super-kaya yang bisa melakukan hal-hal aneh seperti itu. Sebelumnya keanehan Bagas tampak biasa, sekarang Edwin mulai menanam rasa curiga.“Lo,” kata Edwin menunjuk Bagas. “Lo utang penjelasan ke gue.”Pagi itu keduanya datang lebih awal di ruang magang. Dua senior
Bagas dan Edwin turun ke lapangan, sama seperti pekan sebelumnya. Mereka mengikuti salah satu tim sales, Mas Yusa. Meski turun lapangan, sebenarnya tidak banyak yang dilakukan Bagas dan Edwin, hanya mengamati cara kerja sales senior.“Gue hari ini mau nyamperin 3 distributor gede, mayan lah kalian ikut biar ada pengalaman,” ujar Mas Yusa, mereka sudah dalam perjalanan dengan mobil kantor.“Oke siap mas, ke mana aja?” jawab Edwin.“Dua ada di Jaktim, satu lagi di Bekasi,” jawab Mas Yusa. “Lumayan jauh sih, ya bisa seharian lah kita.”“Bekasi itu apa?” tanya Bagas.“Lha kocak lo gas,” Edwin menjawab.Tim Pak Eva
Sepekan berlalu. Bagas sudah menuntaskan pekan pertama bersama Silvi bersama tim Pak Agung. Tidak ada kejadian apa pun. Bagas memilih menahan diri setelah ditarik Silvi. Sekarang, pekan kedua, Bagas berkelompok bersama Edwin di bawah tim Pak Evan. Tentu saja Edwin masih mengulangi pertanyaan yang sama setelah seminggu. “Gas! Sarah gimana kabar? Dia cantik banget anjir,” kata Edwin pagi itu. “Biasa aja,” jawab Bagas. “Lah, sakit mata lo. Seumuran kita dia Gas?” “Iya kayaknya, gue juga baru kenal.” “Lho baru kenal kok kayak udah akrab banget?” “Emang rada heboh gitu orangnya, gak ngerti juga gue. Lo tanya melulu.”
“Bosen gue Win,” kata Bagas, minumannya habis lebih cepat. “Lo suka main game? Bisa main game?” “Bisa,” jawab Edwin. “Suka gue, lumayan.” “Main yuk, PS4 aja kali ya.” “Oke yuk, main di mana?” “Di sinilah, itu gue ada TV.” “Lha TV doang di Pos Satpam juga ada. PS-nya mana maksud gue.” “Beli dulu lah, bentar.” Bagas mengeluarkan hapenya, tampak mengetik sesuatu. Edwin masih asyik dengan es kopi yang belum juga habis. Dia kembali menyinggung obrolan mereka tadi. “Lo diselametin Silvi ya kemarin,” buka Edwin. “Iya sih kayaknya, tapi emang s
Jumat selalu terasa lebih cepat. Bagas dan Edwin keluar kantor bersama. Setelah lama memendam rasa penasaran, Edwin akhirnya bertanya. “Gue gak pernah liat lo pake motor atau mobil,” katanya. “Lo ke kantor naik apa?” “Jalan, gue tinggal di apartemen deket sini,” jawab Bagas. “Wah keren, bener orang kaya lo ye. Emang di mana?” Bagas menyebut nama salah satu apartemen paling mahal di Jakarta, Keraton Residence. Edwin tentu tidak bisa menahan diri. “Gila lo ya! Itu sewa apartemen mahal banget,” Edwin lagi-lagi dibuat terkejut “Duit dari mana lo, wah curiga gue.” “Eh, masa mahal?” tanya Bagas. “Disewain Kakek sih, katanya apartemen biasa, gue tinggal masuk aja.”
University of Oxford, Inggris, Juli 2017 Kelas pagi itu berjalan molor, kepala Bagas nyaris meletup setelah dua jam mempelajari angka-angka. “Allright, i’ll get going guys,” ujar Bagas ke teman-teman seperjuangannya di Economics and Management. Sudah tiga tahun lebih Bagas menempuh pendidikan di Inggris. Dia harus meninggalkan keluarganya di Belgia, paling tidak meninggalkan ibunya. Ayahnya berbeda, masih di Indonesia dan fokus berbisnis, jarang berkumpul dengan keluarga. Bagas keluar dari fakultas dan berjalan menuju lapangan, ingin keluar kampus. Sudah bertahun-tahun, tapi bangunan tua Oxford tidak pernah berhenti membuatnya kagum. “Bagas …” terdengar suara pria tua. Bagas menole
Sudah dua hari Bagas dan Silvi magang di tim Pak Agung, ini hari ketiga, hari Jumat. Dua hari kemarin Bagas dan Silvi masih belum mendapatkan pekerjaan layak, paling banter fotokopi.Hari ini, keduanya kembali datang paling pagi. Bagas dan Silvi sudah di depan laptop masing-masing, meski tidak ada yang dikerjakan. Tak lama, Pak Agung datang.“Pagi pak,” kata Bagas dan Silvi.“Yo,” jawab Pak Agung.Salam mereka terhenti di situ. Dua hari kemarin Pak Agung nyaris tak pernah bicara dengan Bagas dan Silvi. Hanya para pegawai yang bicara, itu pun untuk menyuruh.“Namamu siapa,” tanya Pak Agung sambil menunjuk Silvi.“Eh … saya Silvi pak.
Hari ketiga magang, Bagas bakal ditempatkan di tim sales Pak Agung. Masih pagi, kantor masih sepi, dia sudah diwanti-wanti oleh Doni si senior magang.“Lo kudu ati-ati di tim Pak Agung,” kata Doni ke Bagas. “Ati-ati bosen maksudnya.”“Hah, kenapa?” tanya Bagas.“Pak Agung tuh ketat banget, males ngurusin anak magang. Paling juga lo bakal disuruh fotokopi, itu udah bagus gak dicuekin.”“Lho kok? Emang kerjaan anak magang gitu doang?”“Gue udah dua bulan di sini, paling banter disuruh ngerapihin data di sheet doang kalau ikut tim dia. Sabar-sabar aja, kayaknya lo bakal ikut tim
Kantor pusat Djerami masih heboh setelah kemarin salah satu anak Magang membuat kejutan dengan mendatangkan chef dan dapur dadakan. Betapa tidak, biaya untuk mendatangkan layanan seperti itu jelas sangat mahal.Anehnya, si pelaku, Bagas, tidak merasa yang dia lakukan aneh. Bahkan dia tidak tahu kalau harganya mahal.“Lo gila ya, masa datengin chef lengkap sama dapur-dapurnya. Kan gue cuma bilang bisa delivery,” kata Edwin pagi itu.“Eh, emg kalian gak pernah?” tanya Bagas.“Ya enggak lah woi, habis berapa duit itu. Emang lo anak orang kaya ya?”“Cuma 10 juta kok. Emang mahal?”Pertanyaan Bagas membuat 4 anak magang lain di temp
Jakarta, April 2018 Hari Senin, aktivitas di kantor Djerami super sibuk seperti biasa, khususnya tim sales. Kedatangan tiga anak magang pagi itu sedikit mengganggu alur kerja tim. “Oke, kalian bertiga anak magang itu ya. Bagus gak ada yang telat, ikut gue sekarang,” kata seorang pegawai muda. Keempatnya berbaris memasuki ruangan besar dengan bilik kerja berbaris. Setiap pegawai tampak sibuk, entah dengan telepon atau terpaku menatap layar. Mereka memasuki satu ruangan kecil berkaca di sudut. “Yuk masuk. Ini ruangan khusus anak magang. Itu ada dua senior kalian, sebelumnya lima, yang tiga udah lulus. Nah ketambahan kalian jadi lima lagi. Kenalin, gue Ardi, yang ngurus kalian,” katanya. Belum sempat salah satu dari tiga anak maga
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen