“Bosen gue Win,” kata Bagas, minumannya habis lebih cepat. “Lo suka main game? Bisa main game?”
“Bisa,” jawab Edwin. “Suka gue, lumayan.”
“Main yuk, PS4 aja kali ya.”
“Oke yuk, main di mana?”
“Di sinilah, itu gue ada TV.”
“Lha TV doang di Pos Satpam juga ada. PS-nya mana maksud gue.”
“Beli dulu lah, bentar.”
Bagas mengeluarkan hapenya, tampak mengetik sesuatu. Edwin masih asyik dengan es kopi yang belum juga habis. Dia kembali menyinggung obrolan mereka tadi.
“Lo diselametin Silvi ya kemarin,” buka Edwin.
“Iya sih kayaknya, tapi emang salah ya.”
“Emang gak salah sih, tapi lo yang gila.”
Kala itu Bagas hampir menjelaskan temuan data anehnya ke Pak Agung. Namun, sebelum Bagas bicara panjang, ternyata Silvi dengan cepat menariknya dan mengalihkan pembicaraan.
Bagas nyaris bicara, tapi tidak jadi. Dia jadi bertanya-tanya apa maksud kakeknya untuk jadi diri sendiri. Menurutnya, keanehan dalam laporan keuangan itu harus dibicarakan.
Mereka terus mengobrol sampai satu jam lebih. Edwin kembali ingat ajakan main game tadi.
“Lo katanya mau beli PS4, jadi gak nih? Gue anter bisa.” kata Edwin.
“Udah kok, paling bentar lagi dateng.”
“Hah? Maksudnya?”
“Gue minta tolong asisten gue, lagi males jalan aja.”
Benar saja, belum sempat Edwin membalas, bel flat Bagas berbunyi. Sepertinya delivery yang mereka tunggu-tunggu. Bagas membuka pintu dan langsung saja Edwin terheran-heran.
“Permisi, atas nama Bagas betul? Kami dari Blitz Gaming Store. Ada pesanan ya,” si pengirim buka suara.
“Betul mas, ini apa aja?”
“Sesuai pesanan ya, detail ada di nota. Totalnya 63 juta 500 ribu.”
Edwin mengerutkan alis, tapi menahan diri untuk bicara. Dia memilih mengambil nota belanja dan membacanya. Tercatat harga satu unit PS4 5.750.000 rupiah, lalu 100 kaset dengan harga beragam mulai 300 ribu hingga 600 ribu rupiah.
“Ini sudah dibayar kok,” lanjut si petugas. “Mau ditaruh di mana?”
“Di bawah TV ada tempatnya mas, sekalian dipasang ya,” jawab Bagas.
“Oke, 15 menit beres.”
Edwin cepat-cepat menarik Bagas ke samping. Berbisik-bisik, dia bicara. “Lo gila apa beli 100 kaset?!”
“Hah, emang kenapa?” jawab Bagas.
“Itu banyak banget anjir, mau buat apa lo.”
“Emang lo gak mau maen?”
“Ma … mau sih, tapi …” Edwin tergagap.
“Yaudah, tinggal maen.”
Bagas mengamati dua petugas yang sedang memasang PS4 dan menyesuaikan pengaturan. Ada satu hal yang masih membuatnya belum puas, dia butuh PC Gaming.
“Bisa rakit PC Gaming juga Mas?” tanya Bagas.
“Bisa. Ada yang udah jadi, ada yang siap rakit, bisa juga pesen custom sesuai bujet.”
“Oh, aku mau deh, custom ya.”
“Boleh-boleh, bujet berapa?”
“Berapa ya, gak tau. 100 juta cukup?”
Belum sempat si penjual menjawab, Edwin sudah heboh. “Gas! Lo ini wah!”
“Hah, kenapa?” jawab Bagas.
“100 juta itu duit!”
“Lha, emang duit.”
Si petugas menahan tawa melihat obrolan tak jelas dua pemuda ini.
“Oke PC Gaming rakit 100 juta ya, butuh waktu tapi. Paling seminggu, bisa lebih, penginnya dibuat kayak gimana.”
Bagas lanjut mengobrol dengan si petugas, memilih tiap komponen dan desain PC-nya. Edwin gatal untuk membahas berapa banyak uang yang dikeluarkan Bagas dalam hitungan jam.
Tak lama, proses pemasangan PS4 selesai dan PC Gaming pesanan Bagas sudah dicatat. Si petugas dan rekannya baru saja pergi, Edwin akhirnya punya kesempatan bicara.
“Wah lo ajaib Gas,” kata Edwin.
“Hah, kenapa?” Bagas merespons.
“Lo habisin duit 160 juta lebih tuh gak pake mikir woi.”
“Oh, kirain kenapa. Emang banyak ya …”
“Iya banyak itu banyak banget,” Edwin memotong ucapan Bagas, dia sudah hafal kebiasaan Bagas yang menanyakan soal duit.
Belum sempat Bagas menjawab, bel flatnya kembali berbunyi. Hanya satu kali, tapi Bagas langsung tahu.
“Oh, itu si Sarah,” kata Bagas.
“Sarah siapa?” Edwin dibuat heran lagi.
“Asisten gue, yang beliin PS tadi. Tolong bukain pintu Win.”
Edwin bergerak ke pintu, tidak tahu apa yang akan dia hadapi di baliknya. Dia membuka pintu dan terpaku di tempatnya.
“Halo Bagaaaas,” kata Sarah. “Udah sampai PS-nya?”
Edwin masih belum bicara.
“Eh, lo siapa?” Sarah bertanya ke Edwin.
“Gue … eh.”
Sepekan berlalu. Bagas sudah menuntaskan pekan pertama bersama Silvi bersama tim Pak Agung. Tidak ada kejadian apa pun. Bagas memilih menahan diri setelah ditarik Silvi. Sekarang, pekan kedua, Bagas berkelompok bersama Edwin di bawah tim Pak Evan. Tentu saja Edwin masih mengulangi pertanyaan yang sama setelah seminggu. “Gas! Sarah gimana kabar? Dia cantik banget anjir,” kata Edwin pagi itu. “Biasa aja,” jawab Bagas. “Lah, sakit mata lo. Seumuran kita dia Gas?” “Iya kayaknya, gue juga baru kenal.” “Lho baru kenal kok kayak udah akrab banget?” “Emang rada heboh gitu orangnya, gak ngerti juga gue. Lo tanya melulu.”
Bagas dan Edwin turun ke lapangan, sama seperti pekan sebelumnya. Mereka mengikuti salah satu tim sales, Mas Yusa. Meski turun lapangan, sebenarnya tidak banyak yang dilakukan Bagas dan Edwin, hanya mengamati cara kerja sales senior.“Gue hari ini mau nyamperin 3 distributor gede, mayan lah kalian ikut biar ada pengalaman,” ujar Mas Yusa, mereka sudah dalam perjalanan dengan mobil kantor.“Oke siap mas, ke mana aja?” jawab Edwin.“Dua ada di Jaktim, satu lagi di Bekasi,” jawab Mas Yusa. “Lumayan jauh sih, ya bisa seharian lah kita.”“Bekasi itu apa?” tanya Bagas.“Lha kocak lo gas,” Edwin menjawab.Tim Pak Eva
Keesokan harinya, kembali ke kantor, Edwin masih sangat penasaran dengan Bagas. Kali ini sikap Edwin sedikit berubah, tidak sesantai biasanya. Dia benar-benar terganggu dengan kemungkinan bahwa Bagas adalah cucu konglomerat perusahaan tempatnya magang.Kecurigaan Edwin semakin kuat setelah menghubungkan benang merah antara fakta-fakta yang terjadi sejauh ini. Sejak awal Bagas sudah membuat heboh ketika mendatangkan chef lengkap beserta dapurnya hanya untuk makan siang.Hanya orang super-kaya yang bisa melakukan hal-hal aneh seperti itu. Sebelumnya keanehan Bagas tampak biasa, sekarang Edwin mulai menanam rasa curiga.“Lo,” kata Edwin menunjuk Bagas. “Lo utang penjelasan ke gue.”Pagi itu keduanya datang lebih awal di ruang magang. Dua senior
Jakarta, April 2018 Hari Senin, aktivitas di kantor Djerami super sibuk seperti biasa, khususnya tim sales. Kedatangan tiga anak magang pagi itu sedikit mengganggu alur kerja tim. “Oke, kalian bertiga anak magang itu ya. Bagus gak ada yang telat, ikut gue sekarang,” kata seorang pegawai muda. Keempatnya berbaris memasuki ruangan besar dengan bilik kerja berbaris. Setiap pegawai tampak sibuk, entah dengan telepon atau terpaku menatap layar. Mereka memasuki satu ruangan kecil berkaca di sudut. “Yuk masuk. Ini ruangan khusus anak magang. Itu ada dua senior kalian, sebelumnya lima, yang tiga udah lulus. Nah ketambahan kalian jadi lima lagi. Kenalin, gue Ardi, yang ngurus kalian,” katanya. Belum sempat salah satu dari tiga anak maga
Kantor pusat Djerami masih heboh setelah kemarin salah satu anak Magang membuat kejutan dengan mendatangkan chef dan dapur dadakan. Betapa tidak, biaya untuk mendatangkan layanan seperti itu jelas sangat mahal.Anehnya, si pelaku, Bagas, tidak merasa yang dia lakukan aneh. Bahkan dia tidak tahu kalau harganya mahal.“Lo gila ya, masa datengin chef lengkap sama dapur-dapurnya. Kan gue cuma bilang bisa delivery,” kata Edwin pagi itu.“Eh, emg kalian gak pernah?” tanya Bagas.“Ya enggak lah woi, habis berapa duit itu. Emang lo anak orang kaya ya?”“Cuma 10 juta kok. Emang mahal?”Pertanyaan Bagas membuat 4 anak magang lain di temp
Hari ketiga magang, Bagas bakal ditempatkan di tim sales Pak Agung. Masih pagi, kantor masih sepi, dia sudah diwanti-wanti oleh Doni si senior magang.“Lo kudu ati-ati di tim Pak Agung,” kata Doni ke Bagas. “Ati-ati bosen maksudnya.”“Hah, kenapa?” tanya Bagas.“Pak Agung tuh ketat banget, males ngurusin anak magang. Paling juga lo bakal disuruh fotokopi, itu udah bagus gak dicuekin.”“Lho kok? Emang kerjaan anak magang gitu doang?”“Gue udah dua bulan di sini, paling banter disuruh ngerapihin data di sheet doang kalau ikut tim dia. Sabar-sabar aja, kayaknya lo bakal ikut tim
Sudah dua hari Bagas dan Silvi magang di tim Pak Agung, ini hari ketiga, hari Jumat. Dua hari kemarin Bagas dan Silvi masih belum mendapatkan pekerjaan layak, paling banter fotokopi.Hari ini, keduanya kembali datang paling pagi. Bagas dan Silvi sudah di depan laptop masing-masing, meski tidak ada yang dikerjakan. Tak lama, Pak Agung datang.“Pagi pak,” kata Bagas dan Silvi.“Yo,” jawab Pak Agung.Salam mereka terhenti di situ. Dua hari kemarin Pak Agung nyaris tak pernah bicara dengan Bagas dan Silvi. Hanya para pegawai yang bicara, itu pun untuk menyuruh.“Namamu siapa,” tanya Pak Agung sambil menunjuk Silvi.“Eh … saya Silvi pak.
University of Oxford, Inggris, Juli 2017 Kelas pagi itu berjalan molor, kepala Bagas nyaris meletup setelah dua jam mempelajari angka-angka. “Allright, i’ll get going guys,” ujar Bagas ke teman-teman seperjuangannya di Economics and Management. Sudah tiga tahun lebih Bagas menempuh pendidikan di Inggris. Dia harus meninggalkan keluarganya di Belgia, paling tidak meninggalkan ibunya. Ayahnya berbeda, masih di Indonesia dan fokus berbisnis, jarang berkumpul dengan keluarga. Bagas keluar dari fakultas dan berjalan menuju lapangan, ingin keluar kampus. Sudah bertahun-tahun, tapi bangunan tua Oxford tidak pernah berhenti membuatnya kagum. “Bagas …” terdengar suara pria tua. Bagas menole
Keesokan harinya, kembali ke kantor, Edwin masih sangat penasaran dengan Bagas. Kali ini sikap Edwin sedikit berubah, tidak sesantai biasanya. Dia benar-benar terganggu dengan kemungkinan bahwa Bagas adalah cucu konglomerat perusahaan tempatnya magang.Kecurigaan Edwin semakin kuat setelah menghubungkan benang merah antara fakta-fakta yang terjadi sejauh ini. Sejak awal Bagas sudah membuat heboh ketika mendatangkan chef lengkap beserta dapurnya hanya untuk makan siang.Hanya orang super-kaya yang bisa melakukan hal-hal aneh seperti itu. Sebelumnya keanehan Bagas tampak biasa, sekarang Edwin mulai menanam rasa curiga.“Lo,” kata Edwin menunjuk Bagas. “Lo utang penjelasan ke gue.”Pagi itu keduanya datang lebih awal di ruang magang. Dua senior
Bagas dan Edwin turun ke lapangan, sama seperti pekan sebelumnya. Mereka mengikuti salah satu tim sales, Mas Yusa. Meski turun lapangan, sebenarnya tidak banyak yang dilakukan Bagas dan Edwin, hanya mengamati cara kerja sales senior.“Gue hari ini mau nyamperin 3 distributor gede, mayan lah kalian ikut biar ada pengalaman,” ujar Mas Yusa, mereka sudah dalam perjalanan dengan mobil kantor.“Oke siap mas, ke mana aja?” jawab Edwin.“Dua ada di Jaktim, satu lagi di Bekasi,” jawab Mas Yusa. “Lumayan jauh sih, ya bisa seharian lah kita.”“Bekasi itu apa?” tanya Bagas.“Lha kocak lo gas,” Edwin menjawab.Tim Pak Eva
Sepekan berlalu. Bagas sudah menuntaskan pekan pertama bersama Silvi bersama tim Pak Agung. Tidak ada kejadian apa pun. Bagas memilih menahan diri setelah ditarik Silvi. Sekarang, pekan kedua, Bagas berkelompok bersama Edwin di bawah tim Pak Evan. Tentu saja Edwin masih mengulangi pertanyaan yang sama setelah seminggu. “Gas! Sarah gimana kabar? Dia cantik banget anjir,” kata Edwin pagi itu. “Biasa aja,” jawab Bagas. “Lah, sakit mata lo. Seumuran kita dia Gas?” “Iya kayaknya, gue juga baru kenal.” “Lho baru kenal kok kayak udah akrab banget?” “Emang rada heboh gitu orangnya, gak ngerti juga gue. Lo tanya melulu.”
“Bosen gue Win,” kata Bagas, minumannya habis lebih cepat. “Lo suka main game? Bisa main game?” “Bisa,” jawab Edwin. “Suka gue, lumayan.” “Main yuk, PS4 aja kali ya.” “Oke yuk, main di mana?” “Di sinilah, itu gue ada TV.” “Lha TV doang di Pos Satpam juga ada. PS-nya mana maksud gue.” “Beli dulu lah, bentar.” Bagas mengeluarkan hapenya, tampak mengetik sesuatu. Edwin masih asyik dengan es kopi yang belum juga habis. Dia kembali menyinggung obrolan mereka tadi. “Lo diselametin Silvi ya kemarin,” buka Edwin. “Iya sih kayaknya, tapi emang s
Jumat selalu terasa lebih cepat. Bagas dan Edwin keluar kantor bersama. Setelah lama memendam rasa penasaran, Edwin akhirnya bertanya. “Gue gak pernah liat lo pake motor atau mobil,” katanya. “Lo ke kantor naik apa?” “Jalan, gue tinggal di apartemen deket sini,” jawab Bagas. “Wah keren, bener orang kaya lo ye. Emang di mana?” Bagas menyebut nama salah satu apartemen paling mahal di Jakarta, Keraton Residence. Edwin tentu tidak bisa menahan diri. “Gila lo ya! Itu sewa apartemen mahal banget,” Edwin lagi-lagi dibuat terkejut “Duit dari mana lo, wah curiga gue.” “Eh, masa mahal?” tanya Bagas. “Disewain Kakek sih, katanya apartemen biasa, gue tinggal masuk aja.”
University of Oxford, Inggris, Juli 2017 Kelas pagi itu berjalan molor, kepala Bagas nyaris meletup setelah dua jam mempelajari angka-angka. “Allright, i’ll get going guys,” ujar Bagas ke teman-teman seperjuangannya di Economics and Management. Sudah tiga tahun lebih Bagas menempuh pendidikan di Inggris. Dia harus meninggalkan keluarganya di Belgia, paling tidak meninggalkan ibunya. Ayahnya berbeda, masih di Indonesia dan fokus berbisnis, jarang berkumpul dengan keluarga. Bagas keluar dari fakultas dan berjalan menuju lapangan, ingin keluar kampus. Sudah bertahun-tahun, tapi bangunan tua Oxford tidak pernah berhenti membuatnya kagum. “Bagas …” terdengar suara pria tua. Bagas menole
Sudah dua hari Bagas dan Silvi magang di tim Pak Agung, ini hari ketiga, hari Jumat. Dua hari kemarin Bagas dan Silvi masih belum mendapatkan pekerjaan layak, paling banter fotokopi.Hari ini, keduanya kembali datang paling pagi. Bagas dan Silvi sudah di depan laptop masing-masing, meski tidak ada yang dikerjakan. Tak lama, Pak Agung datang.“Pagi pak,” kata Bagas dan Silvi.“Yo,” jawab Pak Agung.Salam mereka terhenti di situ. Dua hari kemarin Pak Agung nyaris tak pernah bicara dengan Bagas dan Silvi. Hanya para pegawai yang bicara, itu pun untuk menyuruh.“Namamu siapa,” tanya Pak Agung sambil menunjuk Silvi.“Eh … saya Silvi pak.
Hari ketiga magang, Bagas bakal ditempatkan di tim sales Pak Agung. Masih pagi, kantor masih sepi, dia sudah diwanti-wanti oleh Doni si senior magang.“Lo kudu ati-ati di tim Pak Agung,” kata Doni ke Bagas. “Ati-ati bosen maksudnya.”“Hah, kenapa?” tanya Bagas.“Pak Agung tuh ketat banget, males ngurusin anak magang. Paling juga lo bakal disuruh fotokopi, itu udah bagus gak dicuekin.”“Lho kok? Emang kerjaan anak magang gitu doang?”“Gue udah dua bulan di sini, paling banter disuruh ngerapihin data di sheet doang kalau ikut tim dia. Sabar-sabar aja, kayaknya lo bakal ikut tim
Kantor pusat Djerami masih heboh setelah kemarin salah satu anak Magang membuat kejutan dengan mendatangkan chef dan dapur dadakan. Betapa tidak, biaya untuk mendatangkan layanan seperti itu jelas sangat mahal.Anehnya, si pelaku, Bagas, tidak merasa yang dia lakukan aneh. Bahkan dia tidak tahu kalau harganya mahal.“Lo gila ya, masa datengin chef lengkap sama dapur-dapurnya. Kan gue cuma bilang bisa delivery,” kata Edwin pagi itu.“Eh, emg kalian gak pernah?” tanya Bagas.“Ya enggak lah woi, habis berapa duit itu. Emang lo anak orang kaya ya?”“Cuma 10 juta kok. Emang mahal?”Pertanyaan Bagas membuat 4 anak magang lain di temp