Kantor pusat Djerami masih heboh setelah kemarin salah satu anak Magang membuat kejutan dengan mendatangkan chef dan dapur dadakan. Betapa tidak, biaya untuk mendatangkan layanan seperti itu jelas sangat mahal.
Anehnya, si pelaku, Bagas, tidak merasa yang dia lakukan aneh. Bahkan dia tidak tahu kalau harganya mahal.
“Lo gila ya, masa datengin chef lengkap sama dapur-dapurnya. Kan gue cuma bilang bisa delivery,” kata Edwin pagi itu.
“Eh, emg kalian gak pernah?” tanya Bagas.
“Ya enggak lah woi, habis berapa duit itu. Emang lo anak orang kaya ya?”
“Cuma 10 juta kok. Emang mahal?”
Pertanyaan Bagas membuat 4 anak magang lain di tempat itu terheran-heran. Ini anak emang bego atau emang kaya banget.
“Ya mahal dong Bagas,” ujar Silvi. “Kamu emang udah biasa kayak gitu?”
“Enggak sih, aku kan baru balik dari …”
Bagas tidak sempat menuntaskan kalimatnya, Mas Ardi datang menyela.
“Hai, pagi semua. Hari ini bisa gue kontrol kalian nih. Kalian berdua,” katanya menunjuk Doni dan Ajeng, “gabung tim Pak Harto ya hari ini. Sisanya, lo bertiga di sini dulu sama gue, orientasi.”
Doni dan Ajeng segera mengambil perlengkapan mereka dan bergerak meninggalkan ruangan. Sisa tiga anak magang baru, Mas Ardi mulai bicara.
“Oke Bagas, gue gak kenal siapa lo, tapi jangan bikin keributan kayak kemarin lagi ya. Lo diomongin sekantor nih, awas banyak musuh nanti.”
“Baik mas, saya gak tau, sori.”
“It’s okay, gue juga kaget kok,” kata Ardi terbahak. “Oke, hari ini gue bakal jelasin struktur perusahaan dulu ya. Paling sampai jam makan siang.”
Bagas, Edwin, dan Silvi duduk di kursi masing-masing. Mas Ardi menarik turun layar presentasi, laptop dipasang, sepertinya bakal serius.
“Oke, kita singkat aja. Mulai dari perusahaan, Djerami ini salah satu perusahaan rokok tertua di Indonesia. Didirikan tahun 1950 oleh Adi Hardjito. Sekarang pimpinan kita generasi kedua, anaknya, Rudi Hardjito. Mungkin kalian lebih kenal dengan sebutan Kakek Rudi.”
Mas Ardi menjelaskan sejarah perusahaan dengan cukup panjang. Hingga akhirnya tiba di struktur perusahaan, para pimpinan, direksi, termasuk manajer-manajer di bawahnya.
“Nah saat ini direksi dipegang oleh anak-anak pak Rudi Hardjito sendiri, gak semua sih, tapi sebagian besar,” lanjut Mas Ardi.
“Di posisi COO ada Pak Tama, beliau bisa dibilang orang nomor dua di sini. Tanggung jawabnya besar banget, operasional perusahaan dan banyak hal lain.”
Bagas menaikkan alis. Itu ayahnya.
“Strategic Affairs, ada Bu Indah. Beliau yang urusin rencana internal dan eksternal perusahaan.”
Tante Indah, batin Bagas.
“Berikutnya Finance, bagian duit nih. Ini dipegang sama Pak Hendra.”
Om Hendra, batin bagas. Dia kurang akrab dengan omnya yang ini.
“Terus ada SCM, dipegang Bu Verra. Beliau pegang produksi dan perencanaan produk. Nanti kalian juga bakal magang di PPIC kayaknya.”
Tante Verra! Bagas berteriak dalam hati. Dia paling dekat dengan tantenya.
“Nah terus di tempat magang kalian yang sekarang, Marketing & Sales. Ini jadi dua divisi sih, ada kepala divisi masing-masing, tapi di atasnya ada Pak Edi yang megang.”
Om Edi, Bagas juga kurang akrab dengan omnya yang satu ini.
Mas Ardi lantas terus menjelaskan struktur perusahaan dan informasi penting lainnya mengenai perusahaan Djerami. Bagas tenggelam dalam pikirannya sendiri.
“Oke, segitu aja buat hari ini,” kata Mas Ardi. “Kalian udah bisa masuk tim sales nih kayaknya, mulai besok ya.”
“Siap mas,” kata Edwin dan Silvi bersamaan.
“Oke mas,” jawab Bagas. “Eh, emang divisi sales siapa yang pimpin Mas?”
“Oh itu Mas Lutfi,” jawaban Mas Ardi membuat Bagas menghembuskan napas panjang. “Masih muda sih, mungkin seumuran kalian.”
Lutfi, itu kan sepupu Bagas! Masa-masa magang pasti menarik.
Hari ketiga magang, Bagas bakal ditempatkan di tim sales Pak Agung. Masih pagi, kantor masih sepi, dia sudah diwanti-wanti oleh Doni si senior magang.“Lo kudu ati-ati di tim Pak Agung,” kata Doni ke Bagas. “Ati-ati bosen maksudnya.”“Hah, kenapa?” tanya Bagas.“Pak Agung tuh ketat banget, males ngurusin anak magang. Paling juga lo bakal disuruh fotokopi, itu udah bagus gak dicuekin.”“Lho kok? Emang kerjaan anak magang gitu doang?”“Gue udah dua bulan di sini, paling banter disuruh ngerapihin data di sheet doang kalau ikut tim dia. Sabar-sabar aja, kayaknya lo bakal ikut tim
Sudah dua hari Bagas dan Silvi magang di tim Pak Agung, ini hari ketiga, hari Jumat. Dua hari kemarin Bagas dan Silvi masih belum mendapatkan pekerjaan layak, paling banter fotokopi.Hari ini, keduanya kembali datang paling pagi. Bagas dan Silvi sudah di depan laptop masing-masing, meski tidak ada yang dikerjakan. Tak lama, Pak Agung datang.“Pagi pak,” kata Bagas dan Silvi.“Yo,” jawab Pak Agung.Salam mereka terhenti di situ. Dua hari kemarin Pak Agung nyaris tak pernah bicara dengan Bagas dan Silvi. Hanya para pegawai yang bicara, itu pun untuk menyuruh.“Namamu siapa,” tanya Pak Agung sambil menunjuk Silvi.“Eh … saya Silvi pak.
University of Oxford, Inggris, Juli 2017 Kelas pagi itu berjalan molor, kepala Bagas nyaris meletup setelah dua jam mempelajari angka-angka. “Allright, i’ll get going guys,” ujar Bagas ke teman-teman seperjuangannya di Economics and Management. Sudah tiga tahun lebih Bagas menempuh pendidikan di Inggris. Dia harus meninggalkan keluarganya di Belgia, paling tidak meninggalkan ibunya. Ayahnya berbeda, masih di Indonesia dan fokus berbisnis, jarang berkumpul dengan keluarga. Bagas keluar dari fakultas dan berjalan menuju lapangan, ingin keluar kampus. Sudah bertahun-tahun, tapi bangunan tua Oxford tidak pernah berhenti membuatnya kagum. “Bagas …” terdengar suara pria tua. Bagas menole
Jumat selalu terasa lebih cepat. Bagas dan Edwin keluar kantor bersama. Setelah lama memendam rasa penasaran, Edwin akhirnya bertanya. “Gue gak pernah liat lo pake motor atau mobil,” katanya. “Lo ke kantor naik apa?” “Jalan, gue tinggal di apartemen deket sini,” jawab Bagas. “Wah keren, bener orang kaya lo ye. Emang di mana?” Bagas menyebut nama salah satu apartemen paling mahal di Jakarta, Keraton Residence. Edwin tentu tidak bisa menahan diri. “Gila lo ya! Itu sewa apartemen mahal banget,” Edwin lagi-lagi dibuat terkejut “Duit dari mana lo, wah curiga gue.” “Eh, masa mahal?” tanya Bagas. “Disewain Kakek sih, katanya apartemen biasa, gue tinggal masuk aja.”
“Bosen gue Win,” kata Bagas, minumannya habis lebih cepat. “Lo suka main game? Bisa main game?” “Bisa,” jawab Edwin. “Suka gue, lumayan.” “Main yuk, PS4 aja kali ya.” “Oke yuk, main di mana?” “Di sinilah, itu gue ada TV.” “Lha TV doang di Pos Satpam juga ada. PS-nya mana maksud gue.” “Beli dulu lah, bentar.” Bagas mengeluarkan hapenya, tampak mengetik sesuatu. Edwin masih asyik dengan es kopi yang belum juga habis. Dia kembali menyinggung obrolan mereka tadi. “Lo diselametin Silvi ya kemarin,” buka Edwin. “Iya sih kayaknya, tapi emang s
Sepekan berlalu. Bagas sudah menuntaskan pekan pertama bersama Silvi bersama tim Pak Agung. Tidak ada kejadian apa pun. Bagas memilih menahan diri setelah ditarik Silvi. Sekarang, pekan kedua, Bagas berkelompok bersama Edwin di bawah tim Pak Evan. Tentu saja Edwin masih mengulangi pertanyaan yang sama setelah seminggu. “Gas! Sarah gimana kabar? Dia cantik banget anjir,” kata Edwin pagi itu. “Biasa aja,” jawab Bagas. “Lah, sakit mata lo. Seumuran kita dia Gas?” “Iya kayaknya, gue juga baru kenal.” “Lho baru kenal kok kayak udah akrab banget?” “Emang rada heboh gitu orangnya, gak ngerti juga gue. Lo tanya melulu.”
Bagas dan Edwin turun ke lapangan, sama seperti pekan sebelumnya. Mereka mengikuti salah satu tim sales, Mas Yusa. Meski turun lapangan, sebenarnya tidak banyak yang dilakukan Bagas dan Edwin, hanya mengamati cara kerja sales senior.“Gue hari ini mau nyamperin 3 distributor gede, mayan lah kalian ikut biar ada pengalaman,” ujar Mas Yusa, mereka sudah dalam perjalanan dengan mobil kantor.“Oke siap mas, ke mana aja?” jawab Edwin.“Dua ada di Jaktim, satu lagi di Bekasi,” jawab Mas Yusa. “Lumayan jauh sih, ya bisa seharian lah kita.”“Bekasi itu apa?” tanya Bagas.“Lha kocak lo gas,” Edwin menjawab.Tim Pak Eva
Keesokan harinya, kembali ke kantor, Edwin masih sangat penasaran dengan Bagas. Kali ini sikap Edwin sedikit berubah, tidak sesantai biasanya. Dia benar-benar terganggu dengan kemungkinan bahwa Bagas adalah cucu konglomerat perusahaan tempatnya magang.Kecurigaan Edwin semakin kuat setelah menghubungkan benang merah antara fakta-fakta yang terjadi sejauh ini. Sejak awal Bagas sudah membuat heboh ketika mendatangkan chef lengkap beserta dapurnya hanya untuk makan siang.Hanya orang super-kaya yang bisa melakukan hal-hal aneh seperti itu. Sebelumnya keanehan Bagas tampak biasa, sekarang Edwin mulai menanam rasa curiga.“Lo,” kata Edwin menunjuk Bagas. “Lo utang penjelasan ke gue.”Pagi itu keduanya datang lebih awal di ruang magang. Dua senior
Keesokan harinya, kembali ke kantor, Edwin masih sangat penasaran dengan Bagas. Kali ini sikap Edwin sedikit berubah, tidak sesantai biasanya. Dia benar-benar terganggu dengan kemungkinan bahwa Bagas adalah cucu konglomerat perusahaan tempatnya magang.Kecurigaan Edwin semakin kuat setelah menghubungkan benang merah antara fakta-fakta yang terjadi sejauh ini. Sejak awal Bagas sudah membuat heboh ketika mendatangkan chef lengkap beserta dapurnya hanya untuk makan siang.Hanya orang super-kaya yang bisa melakukan hal-hal aneh seperti itu. Sebelumnya keanehan Bagas tampak biasa, sekarang Edwin mulai menanam rasa curiga.“Lo,” kata Edwin menunjuk Bagas. “Lo utang penjelasan ke gue.”Pagi itu keduanya datang lebih awal di ruang magang. Dua senior
Bagas dan Edwin turun ke lapangan, sama seperti pekan sebelumnya. Mereka mengikuti salah satu tim sales, Mas Yusa. Meski turun lapangan, sebenarnya tidak banyak yang dilakukan Bagas dan Edwin, hanya mengamati cara kerja sales senior.“Gue hari ini mau nyamperin 3 distributor gede, mayan lah kalian ikut biar ada pengalaman,” ujar Mas Yusa, mereka sudah dalam perjalanan dengan mobil kantor.“Oke siap mas, ke mana aja?” jawab Edwin.“Dua ada di Jaktim, satu lagi di Bekasi,” jawab Mas Yusa. “Lumayan jauh sih, ya bisa seharian lah kita.”“Bekasi itu apa?” tanya Bagas.“Lha kocak lo gas,” Edwin menjawab.Tim Pak Eva
Sepekan berlalu. Bagas sudah menuntaskan pekan pertama bersama Silvi bersama tim Pak Agung. Tidak ada kejadian apa pun. Bagas memilih menahan diri setelah ditarik Silvi. Sekarang, pekan kedua, Bagas berkelompok bersama Edwin di bawah tim Pak Evan. Tentu saja Edwin masih mengulangi pertanyaan yang sama setelah seminggu. “Gas! Sarah gimana kabar? Dia cantik banget anjir,” kata Edwin pagi itu. “Biasa aja,” jawab Bagas. “Lah, sakit mata lo. Seumuran kita dia Gas?” “Iya kayaknya, gue juga baru kenal.” “Lho baru kenal kok kayak udah akrab banget?” “Emang rada heboh gitu orangnya, gak ngerti juga gue. Lo tanya melulu.”
“Bosen gue Win,” kata Bagas, minumannya habis lebih cepat. “Lo suka main game? Bisa main game?” “Bisa,” jawab Edwin. “Suka gue, lumayan.” “Main yuk, PS4 aja kali ya.” “Oke yuk, main di mana?” “Di sinilah, itu gue ada TV.” “Lha TV doang di Pos Satpam juga ada. PS-nya mana maksud gue.” “Beli dulu lah, bentar.” Bagas mengeluarkan hapenya, tampak mengetik sesuatu. Edwin masih asyik dengan es kopi yang belum juga habis. Dia kembali menyinggung obrolan mereka tadi. “Lo diselametin Silvi ya kemarin,” buka Edwin. “Iya sih kayaknya, tapi emang s
Jumat selalu terasa lebih cepat. Bagas dan Edwin keluar kantor bersama. Setelah lama memendam rasa penasaran, Edwin akhirnya bertanya. “Gue gak pernah liat lo pake motor atau mobil,” katanya. “Lo ke kantor naik apa?” “Jalan, gue tinggal di apartemen deket sini,” jawab Bagas. “Wah keren, bener orang kaya lo ye. Emang di mana?” Bagas menyebut nama salah satu apartemen paling mahal di Jakarta, Keraton Residence. Edwin tentu tidak bisa menahan diri. “Gila lo ya! Itu sewa apartemen mahal banget,” Edwin lagi-lagi dibuat terkejut “Duit dari mana lo, wah curiga gue.” “Eh, masa mahal?” tanya Bagas. “Disewain Kakek sih, katanya apartemen biasa, gue tinggal masuk aja.”
University of Oxford, Inggris, Juli 2017 Kelas pagi itu berjalan molor, kepala Bagas nyaris meletup setelah dua jam mempelajari angka-angka. “Allright, i’ll get going guys,” ujar Bagas ke teman-teman seperjuangannya di Economics and Management. Sudah tiga tahun lebih Bagas menempuh pendidikan di Inggris. Dia harus meninggalkan keluarganya di Belgia, paling tidak meninggalkan ibunya. Ayahnya berbeda, masih di Indonesia dan fokus berbisnis, jarang berkumpul dengan keluarga. Bagas keluar dari fakultas dan berjalan menuju lapangan, ingin keluar kampus. Sudah bertahun-tahun, tapi bangunan tua Oxford tidak pernah berhenti membuatnya kagum. “Bagas …” terdengar suara pria tua. Bagas menole
Sudah dua hari Bagas dan Silvi magang di tim Pak Agung, ini hari ketiga, hari Jumat. Dua hari kemarin Bagas dan Silvi masih belum mendapatkan pekerjaan layak, paling banter fotokopi.Hari ini, keduanya kembali datang paling pagi. Bagas dan Silvi sudah di depan laptop masing-masing, meski tidak ada yang dikerjakan. Tak lama, Pak Agung datang.“Pagi pak,” kata Bagas dan Silvi.“Yo,” jawab Pak Agung.Salam mereka terhenti di situ. Dua hari kemarin Pak Agung nyaris tak pernah bicara dengan Bagas dan Silvi. Hanya para pegawai yang bicara, itu pun untuk menyuruh.“Namamu siapa,” tanya Pak Agung sambil menunjuk Silvi.“Eh … saya Silvi pak.
Hari ketiga magang, Bagas bakal ditempatkan di tim sales Pak Agung. Masih pagi, kantor masih sepi, dia sudah diwanti-wanti oleh Doni si senior magang.“Lo kudu ati-ati di tim Pak Agung,” kata Doni ke Bagas. “Ati-ati bosen maksudnya.”“Hah, kenapa?” tanya Bagas.“Pak Agung tuh ketat banget, males ngurusin anak magang. Paling juga lo bakal disuruh fotokopi, itu udah bagus gak dicuekin.”“Lho kok? Emang kerjaan anak magang gitu doang?”“Gue udah dua bulan di sini, paling banter disuruh ngerapihin data di sheet doang kalau ikut tim dia. Sabar-sabar aja, kayaknya lo bakal ikut tim
Kantor pusat Djerami masih heboh setelah kemarin salah satu anak Magang membuat kejutan dengan mendatangkan chef dan dapur dadakan. Betapa tidak, biaya untuk mendatangkan layanan seperti itu jelas sangat mahal.Anehnya, si pelaku, Bagas, tidak merasa yang dia lakukan aneh. Bahkan dia tidak tahu kalau harganya mahal.“Lo gila ya, masa datengin chef lengkap sama dapur-dapurnya. Kan gue cuma bilang bisa delivery,” kata Edwin pagi itu.“Eh, emg kalian gak pernah?” tanya Bagas.“Ya enggak lah woi, habis berapa duit itu. Emang lo anak orang kaya ya?”“Cuma 10 juta kok. Emang mahal?”Pertanyaan Bagas membuat 4 anak magang lain di temp