Hari ketiga magang, Bagas bakal ditempatkan di tim sales Pak Agung. Masih pagi, kantor masih sepi, dia sudah diwanti-wanti oleh Doni si senior magang.
“Lo kudu ati-ati di tim Pak Agung,” kata Doni ke Bagas. “Ati-ati bosen maksudnya.”
“Hah, kenapa?” tanya Bagas.
“Pak Agung tuh ketat banget, males ngurusin anak magang. Paling juga lo bakal disuruh fotokopi, itu udah bagus gak dicuekin.”
“Lho kok? Emang kerjaan anak magang gitu doang?”
“Gue udah dua bulan di sini, paling banter disuruh ngerapihin data di sheet doang kalau ikut tim dia. Sabar-sabar aja, kayaknya lo bakal ikut tim Pak Agung seminggu ke depan.”
“Emang gak ada kerjaan diminta ikut jualan gitu? Turun ke lapangan?” tanya Bagas.
“Ada sih, tapi di tim lain. Tim Pak Reno tuh paling asyik, anak magang beneran kerja.”
“Tapi kita …”
“Pagi semua,” seperti biasa, Mas Ardi datang menyela.
“Sip hari ini bagi tugas ya, sesuai kemarin. Bagas dan Silvi gabung tim Pak Agung dulu ya. Masih hari pertama, jadi mungkin gak akan banyak kerja dulu,” kata Mas Ardi. “Yuk mencar!”
Sesuai instruksi, Bagas dan Silvi bergabung dengan tim Pak Agung. Divisi sales terdiri dari beberapa tim, setiap tim terdiri dari beberapa anggota. Kali ini Bagas bergabung dengan tim Pak Agung, salah satu sales senior.
Ada satu ruangan besar terbuka dengan cubicle terkelompok untuk masing-masing tim. Suasana kantor sudah ramai di pagi hari, ada beberapa tim siap turun ke lapangan. Bagas dan Silvi berjalan bersama ke lokasi tim Pak Agung.
“Pagi pak,” kata Silvi. “Kami anak magang, saya Silvi, ini Bagas. Hari ini kami diarahkan ikut tim Pak Agung.”
Silvi bicara dari area samping meja terluar. Meja Pak Agung ada di area paling dalam, sekitar 6-7 pegawai lain tampak sibuk dengan urusannya masing-masing. 10 detik berlalu, hening tidak ada yang menanggapi.
“Selamat pagi pak,” giliran Bagas bicara. “Kami izin melakukan tugas magang di sini, mohon bantuannya.”
“Masuk aja,” kata salah satu pegawai muda. “Langsung ke sana,” sambungnya sambil menunjuk meja Pak Agung.
“Eh … makasih Mas,” jawab Silvi.
Keduanya berjalan mendekat, Bagas dan Silvi. Pak Agung tampak fokus menatap layar laptop, segelas kopi masih beruap terletak di samping kanan. Jarinya mengetuk-ngetuk meja.
“Permisi pak, kami berdua anak magang,” ujar Bagas. “Kata Mas Ardi kami dapat tugas di tim Pak agung.”
Pak Agung mengangkat kepala, belum buka suara. Dia menatap Bagas dan Silvi lekat-lekat. Tatapan tajam, seolah-olah perang mental. Silvi harus memalingkan muka.
“Anak magang ya,” Pak Agung akhirnya bersuara. “Hmm, padahal saya sudah bilang gak perlu.”
“Iya pak, kami …” Silvi belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Pak Agung kembali menyela.
“Saya tegaskan sama kalian berdua, sebenarnya saya gak suka dengan anak magang.” ucapan Pak Agung pedas diikuti keheningan panjang.
“Tapi, kata Mas Ardi, kami …”
“Ya, ya, ya, saya tahu. Ini keputusan perusahaan, saya sudah berusaha menolak, tapi ya gimana lagi,” Pak Agung kembali menyela.”
Percakapan ini singkat, tapi menandai awal yang buruk bagi Bagas dan Silvi. Mereka baru mulai magang, tapi sepertinya seminggu ke depan akan panjang.
“Oke, tempat kalian berdua di situ,” kata Pak Agung sambil menunjuk dua meja kosong di pojokan. “Saya gak peduli kalian mau ngapain, asal jangan sampai ganggu kerja tim saya.”
“Kami gak diberi pekerjaan pak?” tanya Bagas memberanikan diri.
“Emang kamu bisa apa? Udah sana, saya mau kerja.”
Bagas dan Silvi saling menoleh, menatap heran wajah satu sama lain. Silvi akhirnya memberi kode untuk bergerak ke meja mereka yang ditunjuk Pak Agung.
“Jangan cari masalah,” kata Silvi. “Udah ikut aja, kita masih baru.”
“Iya deh, tapi masak kayak gitu sama anak magang.”
“Udah, yang penting laporan kita kelar kan. Inget kata Mas Doni.”
Bagas dan Silvi akhirnya duduk di meja kosong di sudut. Silvi di sisi luar, Bagas di sisi dalam dekat dengan para pegawai. 10 menit mereka duduk bingung apa yang harus dilakukan, sampai akhirnya salah satu pegawai bicara.
“Eh, lo yang kemarin bikin heboh kantor ya,” katanya menunjuk Bagas. “Lo pake datengin chef segala, anak orang kaya lo ya.”
“Enggak mas aku …”
“Udah santai aja, gue nyantai kok. Lo anak magang kan, butuh kerjaan dong?”
“Iya mas, kalau ada.”
“Nah sip,” katanya seraya menyerahkan setumpuk dokumen ke Bagas. “Nih, fotokopi ya, masing-masing dua lembar. Mesin fotokopi ada di belakang sana.”
Sudah dua hari Bagas dan Silvi magang di tim Pak Agung, ini hari ketiga, hari Jumat. Dua hari kemarin Bagas dan Silvi masih belum mendapatkan pekerjaan layak, paling banter fotokopi.Hari ini, keduanya kembali datang paling pagi. Bagas dan Silvi sudah di depan laptop masing-masing, meski tidak ada yang dikerjakan. Tak lama, Pak Agung datang.“Pagi pak,” kata Bagas dan Silvi.“Yo,” jawab Pak Agung.Salam mereka terhenti di situ. Dua hari kemarin Pak Agung nyaris tak pernah bicara dengan Bagas dan Silvi. Hanya para pegawai yang bicara, itu pun untuk menyuruh.“Namamu siapa,” tanya Pak Agung sambil menunjuk Silvi.“Eh … saya Silvi pak.
University of Oxford, Inggris, Juli 2017 Kelas pagi itu berjalan molor, kepala Bagas nyaris meletup setelah dua jam mempelajari angka-angka. “Allright, i’ll get going guys,” ujar Bagas ke teman-teman seperjuangannya di Economics and Management. Sudah tiga tahun lebih Bagas menempuh pendidikan di Inggris. Dia harus meninggalkan keluarganya di Belgia, paling tidak meninggalkan ibunya. Ayahnya berbeda, masih di Indonesia dan fokus berbisnis, jarang berkumpul dengan keluarga. Bagas keluar dari fakultas dan berjalan menuju lapangan, ingin keluar kampus. Sudah bertahun-tahun, tapi bangunan tua Oxford tidak pernah berhenti membuatnya kagum. “Bagas …” terdengar suara pria tua. Bagas menole
Jumat selalu terasa lebih cepat. Bagas dan Edwin keluar kantor bersama. Setelah lama memendam rasa penasaran, Edwin akhirnya bertanya. “Gue gak pernah liat lo pake motor atau mobil,” katanya. “Lo ke kantor naik apa?” “Jalan, gue tinggal di apartemen deket sini,” jawab Bagas. “Wah keren, bener orang kaya lo ye. Emang di mana?” Bagas menyebut nama salah satu apartemen paling mahal di Jakarta, Keraton Residence. Edwin tentu tidak bisa menahan diri. “Gila lo ya! Itu sewa apartemen mahal banget,” Edwin lagi-lagi dibuat terkejut “Duit dari mana lo, wah curiga gue.” “Eh, masa mahal?” tanya Bagas. “Disewain Kakek sih, katanya apartemen biasa, gue tinggal masuk aja.”
“Bosen gue Win,” kata Bagas, minumannya habis lebih cepat. “Lo suka main game? Bisa main game?” “Bisa,” jawab Edwin. “Suka gue, lumayan.” “Main yuk, PS4 aja kali ya.” “Oke yuk, main di mana?” “Di sinilah, itu gue ada TV.” “Lha TV doang di Pos Satpam juga ada. PS-nya mana maksud gue.” “Beli dulu lah, bentar.” Bagas mengeluarkan hapenya, tampak mengetik sesuatu. Edwin masih asyik dengan es kopi yang belum juga habis. Dia kembali menyinggung obrolan mereka tadi. “Lo diselametin Silvi ya kemarin,” buka Edwin. “Iya sih kayaknya, tapi emang s
Sepekan berlalu. Bagas sudah menuntaskan pekan pertama bersama Silvi bersama tim Pak Agung. Tidak ada kejadian apa pun. Bagas memilih menahan diri setelah ditarik Silvi. Sekarang, pekan kedua, Bagas berkelompok bersama Edwin di bawah tim Pak Evan. Tentu saja Edwin masih mengulangi pertanyaan yang sama setelah seminggu. “Gas! Sarah gimana kabar? Dia cantik banget anjir,” kata Edwin pagi itu. “Biasa aja,” jawab Bagas. “Lah, sakit mata lo. Seumuran kita dia Gas?” “Iya kayaknya, gue juga baru kenal.” “Lho baru kenal kok kayak udah akrab banget?” “Emang rada heboh gitu orangnya, gak ngerti juga gue. Lo tanya melulu.”
Bagas dan Edwin turun ke lapangan, sama seperti pekan sebelumnya. Mereka mengikuti salah satu tim sales, Mas Yusa. Meski turun lapangan, sebenarnya tidak banyak yang dilakukan Bagas dan Edwin, hanya mengamati cara kerja sales senior.“Gue hari ini mau nyamperin 3 distributor gede, mayan lah kalian ikut biar ada pengalaman,” ujar Mas Yusa, mereka sudah dalam perjalanan dengan mobil kantor.“Oke siap mas, ke mana aja?” jawab Edwin.“Dua ada di Jaktim, satu lagi di Bekasi,” jawab Mas Yusa. “Lumayan jauh sih, ya bisa seharian lah kita.”“Bekasi itu apa?” tanya Bagas.“Lha kocak lo gas,” Edwin menjawab.Tim Pak Eva
Keesokan harinya, kembali ke kantor, Edwin masih sangat penasaran dengan Bagas. Kali ini sikap Edwin sedikit berubah, tidak sesantai biasanya. Dia benar-benar terganggu dengan kemungkinan bahwa Bagas adalah cucu konglomerat perusahaan tempatnya magang.Kecurigaan Edwin semakin kuat setelah menghubungkan benang merah antara fakta-fakta yang terjadi sejauh ini. Sejak awal Bagas sudah membuat heboh ketika mendatangkan chef lengkap beserta dapurnya hanya untuk makan siang.Hanya orang super-kaya yang bisa melakukan hal-hal aneh seperti itu. Sebelumnya keanehan Bagas tampak biasa, sekarang Edwin mulai menanam rasa curiga.“Lo,” kata Edwin menunjuk Bagas. “Lo utang penjelasan ke gue.”Pagi itu keduanya datang lebih awal di ruang magang. Dua senior
Jakarta, April 2018 Hari Senin, aktivitas di kantor Djerami super sibuk seperti biasa, khususnya tim sales. Kedatangan tiga anak magang pagi itu sedikit mengganggu alur kerja tim. “Oke, kalian bertiga anak magang itu ya. Bagus gak ada yang telat, ikut gue sekarang,” kata seorang pegawai muda. Keempatnya berbaris memasuki ruangan besar dengan bilik kerja berbaris. Setiap pegawai tampak sibuk, entah dengan telepon atau terpaku menatap layar. Mereka memasuki satu ruangan kecil berkaca di sudut. “Yuk masuk. Ini ruangan khusus anak magang. Itu ada dua senior kalian, sebelumnya lima, yang tiga udah lulus. Nah ketambahan kalian jadi lima lagi. Kenalin, gue Ardi, yang ngurus kalian,” katanya. Belum sempat salah satu dari tiga anak maga
Keesokan harinya, kembali ke kantor, Edwin masih sangat penasaran dengan Bagas. Kali ini sikap Edwin sedikit berubah, tidak sesantai biasanya. Dia benar-benar terganggu dengan kemungkinan bahwa Bagas adalah cucu konglomerat perusahaan tempatnya magang.Kecurigaan Edwin semakin kuat setelah menghubungkan benang merah antara fakta-fakta yang terjadi sejauh ini. Sejak awal Bagas sudah membuat heboh ketika mendatangkan chef lengkap beserta dapurnya hanya untuk makan siang.Hanya orang super-kaya yang bisa melakukan hal-hal aneh seperti itu. Sebelumnya keanehan Bagas tampak biasa, sekarang Edwin mulai menanam rasa curiga.“Lo,” kata Edwin menunjuk Bagas. “Lo utang penjelasan ke gue.”Pagi itu keduanya datang lebih awal di ruang magang. Dua senior
Bagas dan Edwin turun ke lapangan, sama seperti pekan sebelumnya. Mereka mengikuti salah satu tim sales, Mas Yusa. Meski turun lapangan, sebenarnya tidak banyak yang dilakukan Bagas dan Edwin, hanya mengamati cara kerja sales senior.“Gue hari ini mau nyamperin 3 distributor gede, mayan lah kalian ikut biar ada pengalaman,” ujar Mas Yusa, mereka sudah dalam perjalanan dengan mobil kantor.“Oke siap mas, ke mana aja?” jawab Edwin.“Dua ada di Jaktim, satu lagi di Bekasi,” jawab Mas Yusa. “Lumayan jauh sih, ya bisa seharian lah kita.”“Bekasi itu apa?” tanya Bagas.“Lha kocak lo gas,” Edwin menjawab.Tim Pak Eva
Sepekan berlalu. Bagas sudah menuntaskan pekan pertama bersama Silvi bersama tim Pak Agung. Tidak ada kejadian apa pun. Bagas memilih menahan diri setelah ditarik Silvi. Sekarang, pekan kedua, Bagas berkelompok bersama Edwin di bawah tim Pak Evan. Tentu saja Edwin masih mengulangi pertanyaan yang sama setelah seminggu. “Gas! Sarah gimana kabar? Dia cantik banget anjir,” kata Edwin pagi itu. “Biasa aja,” jawab Bagas. “Lah, sakit mata lo. Seumuran kita dia Gas?” “Iya kayaknya, gue juga baru kenal.” “Lho baru kenal kok kayak udah akrab banget?” “Emang rada heboh gitu orangnya, gak ngerti juga gue. Lo tanya melulu.”
“Bosen gue Win,” kata Bagas, minumannya habis lebih cepat. “Lo suka main game? Bisa main game?” “Bisa,” jawab Edwin. “Suka gue, lumayan.” “Main yuk, PS4 aja kali ya.” “Oke yuk, main di mana?” “Di sinilah, itu gue ada TV.” “Lha TV doang di Pos Satpam juga ada. PS-nya mana maksud gue.” “Beli dulu lah, bentar.” Bagas mengeluarkan hapenya, tampak mengetik sesuatu. Edwin masih asyik dengan es kopi yang belum juga habis. Dia kembali menyinggung obrolan mereka tadi. “Lo diselametin Silvi ya kemarin,” buka Edwin. “Iya sih kayaknya, tapi emang s
Jumat selalu terasa lebih cepat. Bagas dan Edwin keluar kantor bersama. Setelah lama memendam rasa penasaran, Edwin akhirnya bertanya. “Gue gak pernah liat lo pake motor atau mobil,” katanya. “Lo ke kantor naik apa?” “Jalan, gue tinggal di apartemen deket sini,” jawab Bagas. “Wah keren, bener orang kaya lo ye. Emang di mana?” Bagas menyebut nama salah satu apartemen paling mahal di Jakarta, Keraton Residence. Edwin tentu tidak bisa menahan diri. “Gila lo ya! Itu sewa apartemen mahal banget,” Edwin lagi-lagi dibuat terkejut “Duit dari mana lo, wah curiga gue.” “Eh, masa mahal?” tanya Bagas. “Disewain Kakek sih, katanya apartemen biasa, gue tinggal masuk aja.”
University of Oxford, Inggris, Juli 2017 Kelas pagi itu berjalan molor, kepala Bagas nyaris meletup setelah dua jam mempelajari angka-angka. “Allright, i’ll get going guys,” ujar Bagas ke teman-teman seperjuangannya di Economics and Management. Sudah tiga tahun lebih Bagas menempuh pendidikan di Inggris. Dia harus meninggalkan keluarganya di Belgia, paling tidak meninggalkan ibunya. Ayahnya berbeda, masih di Indonesia dan fokus berbisnis, jarang berkumpul dengan keluarga. Bagas keluar dari fakultas dan berjalan menuju lapangan, ingin keluar kampus. Sudah bertahun-tahun, tapi bangunan tua Oxford tidak pernah berhenti membuatnya kagum. “Bagas …” terdengar suara pria tua. Bagas menole
Sudah dua hari Bagas dan Silvi magang di tim Pak Agung, ini hari ketiga, hari Jumat. Dua hari kemarin Bagas dan Silvi masih belum mendapatkan pekerjaan layak, paling banter fotokopi.Hari ini, keduanya kembali datang paling pagi. Bagas dan Silvi sudah di depan laptop masing-masing, meski tidak ada yang dikerjakan. Tak lama, Pak Agung datang.“Pagi pak,” kata Bagas dan Silvi.“Yo,” jawab Pak Agung.Salam mereka terhenti di situ. Dua hari kemarin Pak Agung nyaris tak pernah bicara dengan Bagas dan Silvi. Hanya para pegawai yang bicara, itu pun untuk menyuruh.“Namamu siapa,” tanya Pak Agung sambil menunjuk Silvi.“Eh … saya Silvi pak.
Hari ketiga magang, Bagas bakal ditempatkan di tim sales Pak Agung. Masih pagi, kantor masih sepi, dia sudah diwanti-wanti oleh Doni si senior magang.“Lo kudu ati-ati di tim Pak Agung,” kata Doni ke Bagas. “Ati-ati bosen maksudnya.”“Hah, kenapa?” tanya Bagas.“Pak Agung tuh ketat banget, males ngurusin anak magang. Paling juga lo bakal disuruh fotokopi, itu udah bagus gak dicuekin.”“Lho kok? Emang kerjaan anak magang gitu doang?”“Gue udah dua bulan di sini, paling banter disuruh ngerapihin data di sheet doang kalau ikut tim dia. Sabar-sabar aja, kayaknya lo bakal ikut tim
Kantor pusat Djerami masih heboh setelah kemarin salah satu anak Magang membuat kejutan dengan mendatangkan chef dan dapur dadakan. Betapa tidak, biaya untuk mendatangkan layanan seperti itu jelas sangat mahal.Anehnya, si pelaku, Bagas, tidak merasa yang dia lakukan aneh. Bahkan dia tidak tahu kalau harganya mahal.“Lo gila ya, masa datengin chef lengkap sama dapur-dapurnya. Kan gue cuma bilang bisa delivery,” kata Edwin pagi itu.“Eh, emg kalian gak pernah?” tanya Bagas.“Ya enggak lah woi, habis berapa duit itu. Emang lo anak orang kaya ya?”“Cuma 10 juta kok. Emang mahal?”Pertanyaan Bagas membuat 4 anak magang lain di temp