Tari dan Bayu merupakan kakak beradik yang terlahir di keluarga sederhana. Mereka sekeluarga hidup bahagia dalam kehangatan hingga akhirnya kecelakaan yang menimpa Bayu menjadi awal dari terpecahnya keluarga mereka. Ayah dan ibu mereka bercerai dan keduanya pun hidup jauh terpisah. Sepuluh tahun berlalu, Tari yang ikut dengan sang ibu kini hidup dalam kekayaan lantaran sang ibu menikah dengan pria kaya. Di lain pihak, Bayu hidup sendirian lantaran sang ayah telah meninggal. Kakak beradik ini tanpa sengaja bertemu kembali. Selain itu, keduanya memiliki kisah cinta yang di dalamnya mengandung rahasia tak terduga.
Lihat lebih banyakSuara gamelan mengalun memenuhi setiap pelosok auditorium. Dari barisan kursi penonton, Tari tampak tidak dapat berhenti menggoyang-goyangkan tubuhnya. Gadis mungil berusia tujuh tahun tersebut terlihat berusaha mengikuti gerakan para penari yang bergerak dengan sangat lincah di atas pentas. Tidak ketinggalan, di sebelahnya kedua orang tuanya juga terlihat sibuk mengabadikan aksi para penari tersebut. Sang ayah sibuk merekam dan sang ibu membantu mengarahkan. Mereka seolah-olah tidak ingin sedikit pun melewatkan aksi dari sang penari.
āAyah, lebih ke kanan sedikit,ā seru sang ibu.
Sang ayah kemudian mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti. āSeandainya kita ada di barisan paling depan, kita pasti bisa mengambil gambar yang lebih bagus,ā gerutu sang ayah ketika beberapa kali menangkap kepala orang di depan yang menghalanginya mengambil video sang penari.
āMaaf, permisi. Bisa tolong Anda menggeser badan sedikit?ā pinta sang ibu dengan sopan saat penonton di depannya tiba-tiba berdiri untuk mengambil gambar.
Tari seolah tidak peduli dengan kedua orang tuanya yang sangat sibuk tersebut. Ketika satu per satu penari menghilang dari atas panggung diiringi dengan tepuk tangan para penonton, Tari seketika berdiri di atas bangkunya sambil berjingkat-jingkat senang.
Tidak lama berselang, orang tuanya pun mengajaknya untuk bergegas menuju belakang panggung. Mencari sosok penari yang sejak awal pertunjukan tadi sibuk direkamnya.
āKerja bagus, sayang,ā sang ibu langsung memeluk salah seorang penari tanpa ragu.
āIni baru anak kesayangan ayah,ā ucap sang ayah.
Tari mendekati sang penari tersebut lalu menyerahkan sebuket bunga yang sejak tadi dipegangnya.
āIni untuk Kakak.ā
āTerima kasihā¦ā kata sang penari sambil menggendong adik kesayangannya tersebut.
āKamu pasti lelah. Ayo cepat bersihkan riasanmu. Ibu bantu membawakan barang-barangmu ke mobil.ā
āBaik, Bu.ā
***
Suara ribut di dapur diikuti dengan aroma masakan yang menggiurkan membangunkan Tari dari tidur lelapnya. Ia pun bergegas meninggalkan kamarnya yang masih berantakan.
āHai, cantik. Tumben sudah bangun,ā sapa kakaknya seraya mengacak-acak rambut Tari yang masih berantakan karena baru bangun. Tari hanya diam saja diperlakukan seperti itu oleh kakaknya.
āWah, bau harum nasi goreng ayam buatan ibu!ā seru Tari mengabaikan kakaknya dan langsung berlari ke arah meja makan.
Mereka sekeluarga pun duduk melingkar di meja makan sembari menyantap makanan yang telah tersedia.
Keluarga Tari memang tidak bisa disebut sebagai keluarga berada, namun mereka tidak pernah melewatkan sarapan bersama di meja makan. Mereka termasuk keluarga sederhana yang setiap harinya diselimuti dengan kehangatan. Sang ayah mewarisi jiwa seni yang diturunkan oleh kakeknya, ia pandai mengukir dan memiliki sebuah galeri seni yang terletak tidak jauh dari rumah. Sang ibu merupakan guru musik yang saat ini mengajar di salah satu sekolah menengah pertama di lingkungannya. Sang kakak yang sejak lahir telah dikarunia oleh bakat seni, sangat piawai menari. Di usianya yang masih belia, ia telah menunjukkan kepiawaiannya dalam menari di hadapan walikota serta mendapat sanjungan dari gubernur. Ia selalu ikut serta dalam perlombaan tari. Tampak puluhan piala menghiasi ruang tamu mereka. Tak dapat dimungkiri bahwa ia adalah sosok membanggakan bagi keluarganya.
āTari, pelan-pelan saja makannya. Ayam tetangga tidak akan merebut makananmu, kok,ā komentar ibunya ketika melihat Tari tergesa-gesa menghabiskan makanannya.
āAakkuu.. nggggakk maaaauā¦. ditingggall.. kaakaaakkk..ā sahut Tari masih sambil berusaha menghabiskan makanan di mulutnya.
Kakaknya tersenyum melihat tingkah laku sang adik. āSudah, pelan-pelan saja. Aku tunggu, kok.ā
Masih dengan tergesa-gesa, Tari lantas menghabiskan suap demi suap makanannya. āTunggu aku, yaā¦.ā teriaknya seraya bergegas menuju kamar mandi.
Lima belas menit kemudian Tari keluar dari kamarnya. Ia berlari mendekati sang kakak, lengkap dengan seragam merah putihnya.
āAyo berangkat,ā kata kakaknya setelah selesai membenarkan dasi Tari yang sedikit miring.
Tari langsung duduk di boncengan sepeda kakaknya. Sepeda itu pun melaju menyusuri hamparan sawah yang menghijau, melewati beberapa tanjakan, hingga akhirnya sampai di gerbang sebuah sekolah dasar tempat Tari mengenyam ilmu.
Begitu Tari turun dari sepeda dan melambaikan tangan pada kakaknya, terlihat beberapa murid perempuan saling berbisik. āKeren sekaliā¦ā āBeruntung sekali dia!ā āAku juga mau dong dibonceng ke sekolah tiap hari.ā Begitulah kata puluhan pasang mata tersebut. Hal itu tentunya sudah biasa bagi Tari. Ia sudah terbiasa dengan tatapan iri kakak kelas dan teman-teman di sekolahnya. Bagaimana tidak, siapa pun pastinya akan merasa sangat beruntung memiliki sosok Bayu yang sangat tampan, sopan, baik hati, dan terkenal jago menari sebagai seorang kakak. Berkat karisma yang terpancar dari kakaknya tersebut, Tari pun menjadi dikenal di sekolahnya. Banyak yang ingin berteman dengannya walaupun Tari tahu bahwa kebanyakan dari temannya itu hanyalah ingin bertegur sapa dengan kakaknya saat sang kakak mengantar atau pun menjemputnya di sekolah. Setidaknya, aku punya hal yang patut dibanggakan. Kak Bayu.
***
Bayu duduk seorang diri di bangku taman sekolahnya sambil sibuk membaca buku yang ada dalam genggamannya. Sebenarnya, ia bukanlah seorang kutu buku yang setiap saat selalu terlihat sibuk berkutat dengan tumpukan buku-buku dengan kadar kesulitan setingkat bacaan Albert Einstein. Bayu hanya ingin menikmati waktu istirahatnya dengan tenang.
Bayu merupakan salah satu siswa yang termasuk dalam daftar siswa populer di sekolahnya. Sejak pertama kali menginjakkan kaki di sekolah menengah pertama ini hingga hampir setahun berlalu, banyak teman maupun kakak kelas yang menaruh perhatian terhadapnya. Meskipun begitu, kehidupannya di sekolah tidak dapat dikatakan berjalan dengan baik. Karena banyak siswi yang tertarik padanya, tak heran jika ia tidak mendapat sambutan positif dari para siswa di sekolahnya itu. Bisa dikatakan bahwa semakin banyak siswi yang memujanya, semakin banyak pula siswa yang ingin menikamnya dari belakang.
āHai, Bayu. Sendirian aja, nih,ā sapa Shinta, teman seangkatan yang berbeda kelas dengannya.
Bayu masih tak bergeming.
Seolah tidak ingin menyerah begitu saja, gadis itu pun terus mengutarakan ocehannya, mulai dari guru matematika yang tadi marah-marah di kelasnya karena banyak yang tidak mengerjakan tugas, pelajaran olahraga yang menurutnya terlalu berat, hingga kekagumannya pada pelajaran kesenian.
āPulang sekolah nanti kamu ada acara, nggak?ā tanya Shinta sambil mendekatkan wajahnya ke Bayu.
Merasa terkejut dengan tindakan Shinta yang sangat tiba-tiba, Bayu perlahan berusaha menjauh dari gadis itu.
āBagaimana? Ada waktu? Aku ingin mengajakmu nontonā¦ā
āMaaf, aku nggak bisa,ā potong Bayu cepat.
āHmmm⦠Bagaimana kalau Jumat depan, setelah pulang sekolahā¦ā
āMaaf, sepertinya aku nggak bisa,ā ucap Bayu lagi. āAku harus menjemput adikku sepulang sekolah,ā ujar Bayu tegas.
TEETTTT. TEETTTTT.
Bel masuk berbunyi.
Bayu pun meninggalkan Shinta yang terbengong-bengong sendirian.
***
Seperti biasa, siang itu Bayu bergegas mengayuh sepedanya menuju sekolah Tari. Bayu memerlukan waktu sekitar sepuluh menit bersepeda dari sekolahnya untuk sampai di sekolah Tari. Namun, karena jam pulang sekolah mereka berbeda, Tari harus menunggu selama setengah jam sebelum akhirnya Bayu datang menjemput. Hal itu bukan masalah bagi Tari karena tanpa diminta, banyak teman yang rela menemaninya untuk menunggu kemunculan Bayu.
Kriingg. Kriingg.
Bayu membunyikan bel sepedanya, memanggil Tari yang masih sibuk bercanda dengan teman-teman sebayanya.
āSudah lama menunggu?ā tanya Bayu ketika Tari mendekat.
Tari mengangguk. āHari ini aku pulang cepat karena bu guru lagi sibuk. Lihat yang sudah aku buat sambil menunggumu,ā ujar Tari seraya menunjukkan hasil prakaryanya pada Bayu dengan sangat antusias. Rupanya, sambil menunggu kedatangan Bayu, Tari dan teman-temannya sibuk mencorat-coret di buku gambar. āIni Kak Bayu,ā ucap Tari sambil menunjuk gambarnya. Terlihat gambar sosok orang yang mengenakan pakaian tari, mirip dengan penampilan Bayu saat terakhir kali menarikan tari tradisional.
āLala dan Nisa juga menggambar Kak Bayu,ā ujar Tari lagi. Ia pun meminta temannya untuk menunjukkan gambar mereka masing-masing. Bocah-bocah itu pun memperlihatkan gambar Bayu yang menaiki sepeda dan gambar Bayu yang sedang melambaikan tangan di depan gerbang sekolah.
āWah, bagus sekali. Gambar kalian sangat mirip denganku,ā puji Bayu pada Tari dan kedua temannya.
Bayu mengayuh sepedanya menjauh setelah mengucapkan salam perpisahan pada teman-teman Tari.
Tari duduk di belakang Bayu sambil berdendang gembira. Ia tak henti-hentinya menatap gambar yang tadi dibuatnya.
Sesampainya di rumah, Tari langsung berlari menuju ruang keluarga.
Lima menit kemudianā¦
āLagi ngapain?ā tanya Bayu ketika melihat adiknya sibuk sendiri.
āMajang gambarmu, Kak,ā sahutnya sambil meletakkan gambar yang telah dibuatnya di samping foto Bayu yang diambil orang tuanya saat pementasan Bayu terakhir kali.
Natasya sibuk memasukkan barang-barang miliknya ke dalam koper. Entah kenapa kopernya itu seperti mau meledak saat satu per satu barangnya ia masukkan. Padahal, sebelumnya koper itu masih memiliki banyak ruang kosong.“Beresin yang bener. Jangan sampai ada barangmu yang tertinggal.”“Iya, Kak Bayu yang cerewet.”Natasya sudah lelah mendengar Bayu yang sejak siang tadi terus menceramahinya. Menyuruhnya memasukkan semua benda miliknya agar tidak ada yang tertinggal. Agar tidak membuat repot Bayu di kemudian hari. Agar Bayu tidak perlu bersusah payah mengirimkannya jika memang ada barang penting yang tertinggal.“Kakak pasti bakalan kangen aku, deh. Besok kan aku sudah balik ke Bandung.”“Nggak akan. Justru aku bahagia. Akhirnya besok aku akan mendapat kedamaian. Nggak ada lagi suara berisik yang mengganggu telingaku.”“Kalau Kakak kangen, jangan ragu untuk menghubungiku, ya.”&
“Aku ikut!” ujar Tari akhirnya.“Hmm… Kamu yakin?”“Ya. Aku mau ikut kamu latihan.”Tari sendiri tidak paham kenapa kata-kata tersebut bisa keluar dari mulutnya. Saat ini, ia sedang menerima telepon dari Ryan. Pacarnya itu baru saja mengatakan bahwa ia akan pergi ke sekolah untuk latihan basket.Sejak dua hari yang lalu, Ryan tiba-tiba rajin menghubungi Tari. Tari merasa hal itu dilakukan Ryan karena sadar telah melakukan kesalahan, tidak memberikan kabar sama sekali selama liburan. Tari sendiri tidak ingin memperpanjang kasus menghilangnya Ryan dari radarnya selama liburan tersebut. Sesuai dengan saran Natasya, ia memutuskan untuk turut aktif menjaga keharmonisan hubungan mereka. Bagaimana caranya? Ia akan berada di dekat Ryan. Tidak akan dibiarkannya gadis lain dengan leluasa bermesra-mesraan ria dengan pacarnya itu.“Jangan diam aja. Kamu harus tunjukin ke mereka kalau kamu pacar Ryan!”,
Keesokan paginya, Bayu duduk berhadapan dengan Natasya. Mereka berada di meja depan galeri Bayu.“Sampai kapan kamu akan menangis seperti itu?”Natasya tidak menjawab pertanyaan Bayu. Ia masih saja sesenggukan sambil berulang kali menghapus air matanya.Bayu hanya dapat menghela napas melihat pemandangan di depannya.“Berhenti menangis!”Bukannya berhenti, gadis di hadapannya malah menangis semakin keras.“Aku nggak akan tertipu olehmu. Meskipun kamu menangis seperti itu, kamu pikir aku nggak akan marah setelah semua perbuatanmu semalam?” tanya Bayu sambil menunjuk ke arah ruangannya. “Walaupun kamu menangis seperti itu, pintu ruang kerjaku nggak akan kembali seperti semula,” lanjut Bayu lagi.Mendengar perkataan Bayu tersebut, Natasya langsung teringat akan perbuatannya kemarin. Ia telah menghancurkan pintu ruang kerja Bayu. Pintu yang menjadi penghalang bagi orang-orang untuk masuk ke
Krriiuuukkk… krrriiiiukkkk…Natasya dapat mendengar dengan jelas jeritan cacing-cacing di perutnya. Sudah hampir satu jam perutnya memberontak minta diisi. Apa daya, saat ini tidak ada makanan di rumah Bayu.Sejak sepuluh menit lalu, Natasya terus memelototi nasi di hadapannya. Berharap ada keajaiban sehingga nasi tersebut bisa berubah. Setidaknya menjadi nasi goreng. Lebih baik lagi jika berubah jadi nasi goreng ayam. Nasi goreng yang enak.Sadar bahwa keinginannya itu tidak mungkin terwujud, Natasya tidak punya pilihan selain mengambil tindakan nyata. Disendoknya nasi tersebut lalu diletakkannya di penggorengan. Tidak lupa ia memasukkan garam dan bumbu-bumbuan.Selama lima menit ia terus mengaduk aduk penggorengan di hadapannya. Saking semangatnya ia mengaduk, hampir setengah dari isi penggorengan tersebut kini memenuhi kompor di depannya. Natasya seolah tidak peduli. Ia hanya perlu mengisi kekosongan perutnya agar cacing di perutnya terse
“Kakak mau ke mana? Kok tega ninggalin aku sendiri? Nggak takut aku hilang? Diculik? Lagian, kalau nanti ada yang datang ke sini aku harus bagaimana? Mau tanggung jawab kalau nanti semua lukisan di galeri ini dicuri?”Natasya langsung mencecari Bayu dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut setelah tahu bahwa Bayu akan meninggalkannya seorang diri di galeri. Bayu berniat menjenguk ibu Shinta. Tentu saja ia tidak berniat untuk mengajak Natasya ke sana. Ibu Shinta sedang sakit. Bisa dibayangkan kalau Natasya yang bersuara cempreng itu ikut dengan Bayu, bisa-bisa ibu Shinta tidak dapat beristirahat dengan tenang. Bayu jelas tidak ingin hal itu terjadi.“Aku kan sudah bilang, mau menjenguk ibunya teman. Kamu tidak kenal dia, jadi nggak ada gunanya kamu ikut,” jelas Bayu. “Lagi pula, kamu kan sudah dewasa. Nggak akan mungkin menghilang semudah itu,” ujar Bayu lagi. “Satu lagi, dengan suaramu yang seperti itu, para penculik pasti akan be
Hari kelima liburan semester. Tari masih mengurung diri di kamar. Matanya tidak bisa lepas dari layar ponselnya. Ponsel itu tak kunjung berdering. Tari merasa kesepian. Natasya yang biasanya rajin menelepon untuk memamerkan kesenangan pengalaman liburannya pun hari ini tiada kabar. Tentu saja bukan telepon dari Natasya yang sebenarnya Tari nanti-nantikan. Hanya saja, bila temannya yang berisik itu menelepon, setidaknya ia tidak akan merasa kesepian seperti sekarang ini. Setidaknya, ia bisa melupakan sejenak kenyataan bahwa belakangan ini Ryan sama sekali tidak menghubunginya.Tari sudah tidak tahan lagi. Sedikit ragu, ia pun menyentuh layar ponselnya.Tutt… tutt… tutt…Orang di seberang sana tidak menjawab telepon darinya. Tari pasrah. Untuk kesekian kalinya, ia hanya bisa membenamkan wajahnya ke dalam bantal.***“Sudah cukup. Mari kita istirahat dulu.”Albert mengajak Ryan dan Randy beristirahat sejenak. Me
Shinta melihat pantulan wajahnya di cermin. Kantung matanya tampak semakin tebal. Ia tidak bisa tidur dengan nyenyak semalaman. Bukan hanya dikarenakan harus menjaga ibunya yang sedang sakit, ia juga terus terbayang oleh Bayu. Shinta merasa tidak tenang meninggalkan Bayu sendirian. Hari ini pun, tampaknya ia belum bisa membantu Bayu untuk bekerja di galeri.Shinta meraih ponselnya. Berniat untuk menghubungi Bayu.“Halo,” sahut suara di ujung telepon.“Bayu? Ini aku, Shinta.”Shinta tak dapat menutupi bahwa dirinya merasa senang saat mendengar suara Bayu. ‘Oh, betapa aku rindu suara ini,’ batin Shinta.“Ada apa, S
Sekali lagi, Bayu memandang lukisan yang baru saja selesai dibuatnya. Terlukis cahaya kemerahan yang diakibatkan oleh tenggelamnya sang mentari di ufuk barat. Setelah merasa puas memandangi hasil karyanya, Bayu bergegas merapikan alat lukisnya. Hari ini hanya Bayu yang ada di galeri. Shinta sudah pulang sejak tadi siang karena harus menemani ibunya yang sedang tidak enak badan.Setelah mengunci pintu galeri, dengan perlahan Bayu melangkah menuju sepeda motornya yang terparkir di pojokan galeri tersebut. Bayu tidak langsung mengendarai motornya menuju rumah. Ia bermaksud mampir ke rumah Shinta untuk membesuk ibu Shinta yang sudah dianggapnya seperti ibunya sendiri.Bayu menyusuri jalanan di depannya dengan ditemani oleh suara jangkrik. Jalan di depannya tampak gelap. Tidak ada lampu penerang jalan. Lampu penerang jalan hanya ada di sekitar jalan utama. Bagi Bayu, itu bukan masalah. Ia sudah cukup mampu melihat jalan di depannya dengan lampu kendaraannya sendiri. Lagi pu
“Kamu tahu, nggak? Aku bagaikan ada di surga!” kata Natasya menggebu-gebu. Ia menggeser letak ponsel di telinganya. Ia pun menceritakan berbagai hal menarik yang dialaminya. Ia sedang liburan! Deretan pertokoan dan restoran trendi, makanan khas yang telah membuatnya tak henti-henti meneteskan air mata karena tingkat kepedasannya, dan tentu saja pemandangan pantai yang sangat menakjubkan. Semua hal itu ia ceritakan pada Tari. Sengaja dilakukannya untuk menyadarkan sahabatnya itu bahwa liburan adalah waktu yang terlalu berharga untuk dilewatkan begitu saja.“Apa? Aku nggak berlebihan, kok! Serius!” ujarnya ketika mendengar tanggapan dari seberang sana. “Oh, ya. Jangan kaget kalau waktu aku pulang nanti kulitku kelihatan semakin gosong, ya. Satu hari kemarin aku berjemur di pantai. Banyak bule di sini, lho… Aku bahkan sempat lupa kalau masih ada di Indonesia. Maklum, saking banyaknya bule di sini.”“Hhmmm…nggak. Belu
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen