Seminggu telah berlalu semenjak Tari melihat kejadian tidak menyenangkan itu. Selama seminggu belakangan pula, ia tidak bertemu dengan Ryan. Sebentar lagi mereka akan dihadapkan dengan ulangan semester ganjil. Belum lagi para guru yang seakan berlomba untuk memberikan tugas. Mungkin itu sebabnya Tari bisa sejenak melupakan Ryan. Ia terlalu sibuk berkutat dengan tugasnya. Perpustakaan masih menjadi tempat favoritnya untuk menghabiskan waktu istirahat.
Ketika kembali ke kelasnya setelah menghabiskan waktu di perpustakaan, Tari mendapati sebuah kotak makan kecil ada di atas mejanya. Terdapat kertas kecil yang diletakkan di bawah kotak tersebut.
‘ASYIK BELAJAR SIH BOLEH SAJA. TAPI JANGAN LUPA MAKAN, YA.’
Tari tersenyum memandang tulisan di secarik kertas tersebut. Ia pun membuka kotak di atas meja dan mulai mengunyah sandwich yang ada di dalamnya.
***
Pak Budi baru saja keluar dari kelas XII IPA 2. Disusul kemudian oleh para murid yang mulai melangkah ke luar kelas menuju kantin. Jam istirahat. Tari masih duduk di bangkunya, merapikan buku kimia yang masih memenuhi mejanya. Di sampingnya, Natasya terlihat mengacak-acak rambutnya sendiri sambil mencorat-coret kertas.
“Arghhh!!” teriak Natasya.
“Pelajaran baru aja selesai tapi kamu sudah mau buat tugas yang dikasi Pak Budi?”
“Hah?” Natasya terlihat bingung. “Memangnya ada tugas, ya?”
Tari hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Padahal sejak tadi Natasya ada di sebelahnya. Tapi, ia sama sekali tidak mendengar bahwa Pak Budi memberikan tugas yang harus dikumpulkan minggu depan.
“Kalau nggak bingung ngerjain tugas, terus kamu lagi ngapain?”
“Aku lagi bingung, nih. Sebentar lagi kan ulangan.”
“Lalu?”
“Itu berarti kan liburan sudah dekat,” sahut Natasya bersemangat.
Tari hanya melongo. “Hah?”
“Aku lagi sibuk ngerencanain liburan nanti. Kamu punya rekomendasi tempat yang bagus, nggak?”
“Jadi, kamu dari tadi bingung karena belum tahu mau ke mana waktu liburan nanti?” tanya Tari tak percaya.
“Iya,” sahut Natasya mantap. “Kamu juga harus mikirin rencana liburanmu mulai dari sekarang. Kalau nggak, kamu bakalan menyesal begitu liburan berakhir. Kalau udah kayak gitu, jangan salahin aku karena aku udah ngasi peringatan.”
Tari cuma bisa melongo mendengar jawaban temannya yang ajaib itu. Natasya memang selalu seperti itu. Dalam kepalanya hanya ada hal-hal yang menyenangkan. Terkadang, Tari merasa iri pada Natasya. Seandainya ia bisa seperti temannya ini. Melakukan segala hal yang diinginkan. Hidupnya pasti akan lebih mudah. Sayangnya, ia tidak bisa. Contohnya saja saat ini. Ia sengaja diam di dalam kelasnya pada jam istirahat. Menunggu sosok Ryan datang menghampiri. Sebenarnya, Tari ingin menghampiri Ryan ke kelas sebelah namun ia mengurungkan niat tersebut. Belakangan ini, mereka tidak pernah berkomunikasi sedikit pun. Tari sengaja diam saja. Mungkin Ryan juga sedang sibuk. Setidaknya, kotak makan siang yang ditinggalkan Ryan kemarin menunjukkan bahwa ia masih perhatian pada Tari. Tari pun mencoba tetap berpikiran positif.
***
Ryan berdiri di pojok perpustakaan sambil membaca majalah olahraga. Beberapa minggu belakangan, Ryan selalu datang ke perpustakaan. Walaupun perpustakaan bukan merupakan tempat kesukaannya, ia tetap bersedia menghabiskan waktu istirahatnya di sini. Semua itu karena Tari. Selama ini, Ryan diam-diam meniru kebiasaan Tari untuk menghabiskan waktu istirahat di perpustakaan. Ia selalu diam di pojokan sambil memerhatikan wajah serius Tari saat sedang mengerjakan tugas. Ryan tidak ingin mengganggu pacarnya itu. Ia ingin memberikan Tari kebebasan. Ia pun tidak ingin mengganggu waktu belajar Tari dengan hal-hal yang tidak penting. Ia tahu benar bahwa Tari tidak senang diganggu. Ryan paham betul bahwa pacarnya itu sangat istimewa. Ia punya cita-cita yang tinggi. Gadis dengan segudang ilmu pengetahuan itu bersedia menerima cintanya, bagi Ryan itu saja sudah cukup.
Ryan masih tetap membalikkan lembar demi lembar majalah di hadapannya. Sesekali ia melirik ke arah meja yang biasa diduduki Tari. Tari tak ada di sana. Aneh. Sudah lebih dari sepuluh menit Ryan menunggu tapi yang ditunggu tak kunjung menampakkan batang hidungnya.
TETTT… TETTTTT…
Ryan menarik napas panjang. Jam istirahat telah usai.
“Bagaimana mungkin aku menjalani hari ini tanpa melihatmu?” batin Ryan.
***
Satu minggu yang melelahkan akhirnya telah usai. Terdengar teriakan riuh seluruh siswa ketika akhirnya satu minggu yang penuh dengan jadwal ulangan akhirnya telah terlewati.
“Akhirnya… BEBAS!!!” teriak Natasya keras.
Tari hanya tersenyum melihat wajah girang temannya itu.
“Ayo kita rayain kebebasan ini,” kata Natasya tiba-tiba.
“Hah?”
“Kita harus ngerayainnya! Bayangin aja gimana belakangan ini kamu sibuk belajar dan ngafalin semua rumus fisika, fungsi organ tubuh, sampe senyawa-senyawa kimia. Kamu nggak ngerasa jenuh? Kita harus menyegarkan kembali otak kita sebelum terlambat. Pokoknya, kita harus ngerayain akhir dari satu minggu paling menyiksa ini!” kata Natasya mantap.
“Kamu terlalu berlebihan, deh.”
“Aku nggak berlebihan. Ini serius. Cepat hubungi Ryan. Ayo kita bersenang-senang.”
Tari terlihat sedikit ragu. Entah sudah berapa lama ia tidak berkomunikasi dengan Ryan. Ia bahkan tidak melihat Ryan akhir-akhir ini. Padahal, kelas mereka bersebelahan!
“Kenapa diem aja? Ayo, buruan!” desak Natasya.
Tari masih ragu. Ia bingung. Penjelasan apa yang harus dikatakannya pada Natasya. Lama ia menatap layar ponselnya.
“Lama amat, deh.”
Natasya langsung meraih ponsel Tari dan menekan tombol hijau. Panggilan tersambung.
Tari hanya bisa pasrah. Ia memang tidak pernah bisa menang melawan Natasya.
“Halo,” samar-samar Tari bisa mendengar suara Ryan di ujung sana.
“Hai, darling. Lagi di mana? Aku sama Tari ada di dekat aula, nih. Ayo kita bersenang-senang.”
Tari hanya bisa menunggu sampai Natasya bisa menyeret Ryan untuk muncul di hadapannya. Sebenarnya, ia juga ingin bertemu dengan Ryan. Saat ini juga.
“Apa maksudmu? Ayolah…” Natasya masih sibuk membujuk Ryan. “Ya udah, deh… Mau bagaimana lagi? Oke, ya… yaa… Bye.”
Natasya mengembalikan ponsel Tari. “Sejak kapan sih, pacarmu itu jadi nggak asyik gini?” omel Natasya. “Kapan lagi coba kita bisa jalan bertiga. Sebentar lagi kan aku mau liburan...”
“Apa katanya? Dia nggak bisa ikut?” tanya Tari penasaran.
“Dia udah ada janji sama teman-temannya. Mantan anak-anak basket,” ucap Natasya kesal.
Tari tidak bisa menutupi raut kecewa di wajahnya.
“Janji dengan mantan anak-anak basket,” ulang Tari pelan.
Segala pikiran buruk berkelana di otaknya. Sudah lama mereka tidak bertemu dan sekalinya diajak kumpul, Ryan lebih mementingkan janjinya dengan teman-teman basketnya?
Lagi-lagi terbayang pemandangan kala Ryan tampak asyik bercakap-cakap dengan anggota pemandu sorak. Apakah Ryan kini lebih tertarik menghabiskan waktu dengan gadis-gadis centil itu dibandingkan dengan dirinya? Tari menggeleng-gelengkan kepalanya. Berusaha mengusir pikiran negatif yang ada di benaknya. Mencoba meyakinkan diri bahwa Ryan tidak mungkin mengkhianati hubungan mereka.
“Kamu tidak akan mengkhianatiku, kan?” bisik Tari pelan.
Bayu tengah duduk di salah satu sudut galeri. Ia tengah menyapu kanvas di depannya dengan berbagai warna. Kuasnya menari-nari di udara. Tangannya dengan lincah menggerak-gerakkan kuas tersebut. Ia pun berhenti ketika kanvas di hadapannya sudah penuh dengan warna. Ia tersenyum puas begitu melihat hasil lukisannya tersebut.“Apa yang sedang kamu lukis kali ini?” terdengar suara yang tak asing mendekatinya.Bayu pun memperlihatkan lukisannya. Terlihat gambar sembilan ekor ikan koi yang berenang dengan riang di dalam kolam. “Nggak terlalu spesial, ya?”“Hmm… sepertinya begitu. Lukisan sembilan ekor ikan koi emang bisa dibilang udah banyak di pasaran.”Bayu menatap sumber suara. Tidak percaya orang di sampingnya tersebut tega berkata seperti itu.“Hei, kenapa kamu jujur sekali sih kali ini? Bukannya di saat seperti ini kamu harusnya mencari kata-kata yang lebih bagus untuk memuji lukisanku?” ujar Ba
Sepuluh tahun yang lalu…Sudah lebih dari seminggu Shinta tidak melihat kehadiran Bayu di sekolah. Ia sangat merindukan sosok Bayu yang mampu menyejukkan relung hatinya. Membuat hatinya berdesir. Karena tidak tahan lagi, ia pun akhirnya memberanikan diri untuk bertanya pada teman satu kelas Bayu.“Bayu kecelakaan…” kata Indra, ketua kelas Bayu. Shinta terkejut mendengarnya. Dada Shinta terasa sangat sesak mendengar kabar tentang kecelakaan yang menimpa Bayu tersebut.“Kakinya cedera…” kata-kata Indra tersebut terdengar bagai petir di siang bolong.Shinta menggeleng-gelengkan kepalanya. Dirinya ingin menolak apa yang baru saja didengarnya itu.“Aa.. aappaa maksudmu?” tanya Shinta, tidak percaya dengan hal yang baru saja didengarnya.“Aku dengar kabar dari wali kelas kalau sekarang Bayu perlu bantuan tongkat untuk menyangga tubuhnya.”‘Kakinya cedera. …ton
“Kamu tahu, nggak? Aku bagaikan ada di surga!” kata Natasya menggebu-gebu. Ia menggeser letak ponsel di telinganya. Ia pun menceritakan berbagai hal menarik yang dialaminya. Ia sedang liburan! Deretan pertokoan dan restoran trendi, makanan khas yang telah membuatnya tak henti-henti meneteskan air mata karena tingkat kepedasannya, dan tentu saja pemandangan pantai yang sangat menakjubkan. Semua hal itu ia ceritakan pada Tari. Sengaja dilakukannya untuk menyadarkan sahabatnya itu bahwa liburan adalah waktu yang terlalu berharga untuk dilewatkan begitu saja.“Apa? Aku nggak berlebihan, kok! Serius!” ujarnya ketika mendengar tanggapan dari seberang sana. “Oh, ya. Jangan kaget kalau waktu aku pulang nanti kulitku kelihatan semakin gosong, ya. Satu hari kemarin aku berjemur di pantai. Banyak bule di sini, lho… Aku bahkan sempat lupa kalau masih ada di Indonesia. Maklum, saking banyaknya bule di sini.”“Hhmmm…nggak. Belu
Sekali lagi, Bayu memandang lukisan yang baru saja selesai dibuatnya. Terlukis cahaya kemerahan yang diakibatkan oleh tenggelamnya sang mentari di ufuk barat. Setelah merasa puas memandangi hasil karyanya, Bayu bergegas merapikan alat lukisnya. Hari ini hanya Bayu yang ada di galeri. Shinta sudah pulang sejak tadi siang karena harus menemani ibunya yang sedang tidak enak badan.Setelah mengunci pintu galeri, dengan perlahan Bayu melangkah menuju sepeda motornya yang terparkir di pojokan galeri tersebut. Bayu tidak langsung mengendarai motornya menuju rumah. Ia bermaksud mampir ke rumah Shinta untuk membesuk ibu Shinta yang sudah dianggapnya seperti ibunya sendiri.Bayu menyusuri jalanan di depannya dengan ditemani oleh suara jangkrik. Jalan di depannya tampak gelap. Tidak ada lampu penerang jalan. Lampu penerang jalan hanya ada di sekitar jalan utama. Bagi Bayu, itu bukan masalah. Ia sudah cukup mampu melihat jalan di depannya dengan lampu kendaraannya sendiri. Lagi pu
Shinta melihat pantulan wajahnya di cermin. Kantung matanya tampak semakin tebal. Ia tidak bisa tidur dengan nyenyak semalaman. Bukan hanya dikarenakan harus menjaga ibunya yang sedang sakit, ia juga terus terbayang oleh Bayu. Shinta merasa tidak tenang meninggalkan Bayu sendirian. Hari ini pun, tampaknya ia belum bisa membantu Bayu untuk bekerja di galeri.Shinta meraih ponselnya. Berniat untuk menghubungi Bayu.“Halo,” sahut suara di ujung telepon.“Bayu? Ini aku, Shinta.”Shinta tak dapat menutupi bahwa dirinya merasa senang saat mendengar suara Bayu. ‘Oh, betapa aku rindu suara ini,’ batin Shinta.“Ada apa, S
Hari kelima liburan semester. Tari masih mengurung diri di kamar. Matanya tidak bisa lepas dari layar ponselnya. Ponsel itu tak kunjung berdering. Tari merasa kesepian. Natasya yang biasanya rajin menelepon untuk memamerkan kesenangan pengalaman liburannya pun hari ini tiada kabar. Tentu saja bukan telepon dari Natasya yang sebenarnya Tari nanti-nantikan. Hanya saja, bila temannya yang berisik itu menelepon, setidaknya ia tidak akan merasa kesepian seperti sekarang ini. Setidaknya, ia bisa melupakan sejenak kenyataan bahwa belakangan ini Ryan sama sekali tidak menghubunginya.Tari sudah tidak tahan lagi. Sedikit ragu, ia pun menyentuh layar ponselnya.Tutt… tutt… tutt…Orang di seberang sana tidak menjawab telepon darinya. Tari pasrah. Untuk kesekian kalinya, ia hanya bisa membenamkan wajahnya ke dalam bantal.***“Sudah cukup. Mari kita istirahat dulu.”Albert mengajak Ryan dan Randy beristirahat sejenak. Me
“Kakak mau ke mana? Kok tega ninggalin aku sendiri? Nggak takut aku hilang? Diculik? Lagian, kalau nanti ada yang datang ke sini aku harus bagaimana? Mau tanggung jawab kalau nanti semua lukisan di galeri ini dicuri?”Natasya langsung mencecari Bayu dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut setelah tahu bahwa Bayu akan meninggalkannya seorang diri di galeri. Bayu berniat menjenguk ibu Shinta. Tentu saja ia tidak berniat untuk mengajak Natasya ke sana. Ibu Shinta sedang sakit. Bisa dibayangkan kalau Natasya yang bersuara cempreng itu ikut dengan Bayu, bisa-bisa ibu Shinta tidak dapat beristirahat dengan tenang. Bayu jelas tidak ingin hal itu terjadi.“Aku kan sudah bilang, mau menjenguk ibunya teman. Kamu tidak kenal dia, jadi nggak ada gunanya kamu ikut,” jelas Bayu. “Lagi pula, kamu kan sudah dewasa. Nggak akan mungkin menghilang semudah itu,” ujar Bayu lagi. “Satu lagi, dengan suaramu yang seperti itu, para penculik pasti akan be
Krriiuuukkk… krrriiiiukkkk…Natasya dapat mendengar dengan jelas jeritan cacing-cacing di perutnya. Sudah hampir satu jam perutnya memberontak minta diisi. Apa daya, saat ini tidak ada makanan di rumah Bayu.Sejak sepuluh menit lalu, Natasya terus memelototi nasi di hadapannya. Berharap ada keajaiban sehingga nasi tersebut bisa berubah. Setidaknya menjadi nasi goreng. Lebih baik lagi jika berubah jadi nasi goreng ayam. Nasi goreng yang enak.Sadar bahwa keinginannya itu tidak mungkin terwujud, Natasya tidak punya pilihan selain mengambil tindakan nyata. Disendoknya nasi tersebut lalu diletakkannya di penggorengan. Tidak lupa ia memasukkan garam dan bumbu-bumbuan.Selama lima menit ia terus mengaduk aduk penggorengan di hadapannya. Saking semangatnya ia mengaduk, hampir setengah dari isi penggorengan tersebut kini memenuhi kompor di depannya. Natasya seolah tidak peduli. Ia hanya perlu mengisi kekosongan perutnya agar cacing di perutnya terse
Natasya sibuk memasukkan barang-barang miliknya ke dalam koper. Entah kenapa kopernya itu seperti mau meledak saat satu per satu barangnya ia masukkan. Padahal, sebelumnya koper itu masih memiliki banyak ruang kosong.“Beresin yang bener. Jangan sampai ada barangmu yang tertinggal.”“Iya, Kak Bayu yang cerewet.”Natasya sudah lelah mendengar Bayu yang sejak siang tadi terus menceramahinya. Menyuruhnya memasukkan semua benda miliknya agar tidak ada yang tertinggal. Agar tidak membuat repot Bayu di kemudian hari. Agar Bayu tidak perlu bersusah payah mengirimkannya jika memang ada barang penting yang tertinggal.“Kakak pasti bakalan kangen aku, deh. Besok kan aku sudah balik ke Bandung.”“Nggak akan. Justru aku bahagia. Akhirnya besok aku akan mendapat kedamaian. Nggak ada lagi suara berisik yang mengganggu telingaku.”“Kalau Kakak kangen, jangan ragu untuk menghubungiku, ya.”&
“Aku ikut!” ujar Tari akhirnya.“Hmm… Kamu yakin?”“Ya. Aku mau ikut kamu latihan.”Tari sendiri tidak paham kenapa kata-kata tersebut bisa keluar dari mulutnya. Saat ini, ia sedang menerima telepon dari Ryan. Pacarnya itu baru saja mengatakan bahwa ia akan pergi ke sekolah untuk latihan basket.Sejak dua hari yang lalu, Ryan tiba-tiba rajin menghubungi Tari. Tari merasa hal itu dilakukan Ryan karena sadar telah melakukan kesalahan, tidak memberikan kabar sama sekali selama liburan. Tari sendiri tidak ingin memperpanjang kasus menghilangnya Ryan dari radarnya selama liburan tersebut. Sesuai dengan saran Natasya, ia memutuskan untuk turut aktif menjaga keharmonisan hubungan mereka. Bagaimana caranya? Ia akan berada di dekat Ryan. Tidak akan dibiarkannya gadis lain dengan leluasa bermesra-mesraan ria dengan pacarnya itu.“Jangan diam aja. Kamu harus tunjukin ke mereka kalau kamu pacar Ryan!”,
Keesokan paginya, Bayu duduk berhadapan dengan Natasya. Mereka berada di meja depan galeri Bayu.“Sampai kapan kamu akan menangis seperti itu?”Natasya tidak menjawab pertanyaan Bayu. Ia masih saja sesenggukan sambil berulang kali menghapus air matanya.Bayu hanya dapat menghela napas melihat pemandangan di depannya.“Berhenti menangis!”Bukannya berhenti, gadis di hadapannya malah menangis semakin keras.“Aku nggak akan tertipu olehmu. Meskipun kamu menangis seperti itu, kamu pikir aku nggak akan marah setelah semua perbuatanmu semalam?” tanya Bayu sambil menunjuk ke arah ruangannya. “Walaupun kamu menangis seperti itu, pintu ruang kerjaku nggak akan kembali seperti semula,” lanjut Bayu lagi.Mendengar perkataan Bayu tersebut, Natasya langsung teringat akan perbuatannya kemarin. Ia telah menghancurkan pintu ruang kerja Bayu. Pintu yang menjadi penghalang bagi orang-orang untuk masuk ke
Krriiuuukkk… krrriiiiukkkk…Natasya dapat mendengar dengan jelas jeritan cacing-cacing di perutnya. Sudah hampir satu jam perutnya memberontak minta diisi. Apa daya, saat ini tidak ada makanan di rumah Bayu.Sejak sepuluh menit lalu, Natasya terus memelototi nasi di hadapannya. Berharap ada keajaiban sehingga nasi tersebut bisa berubah. Setidaknya menjadi nasi goreng. Lebih baik lagi jika berubah jadi nasi goreng ayam. Nasi goreng yang enak.Sadar bahwa keinginannya itu tidak mungkin terwujud, Natasya tidak punya pilihan selain mengambil tindakan nyata. Disendoknya nasi tersebut lalu diletakkannya di penggorengan. Tidak lupa ia memasukkan garam dan bumbu-bumbuan.Selama lima menit ia terus mengaduk aduk penggorengan di hadapannya. Saking semangatnya ia mengaduk, hampir setengah dari isi penggorengan tersebut kini memenuhi kompor di depannya. Natasya seolah tidak peduli. Ia hanya perlu mengisi kekosongan perutnya agar cacing di perutnya terse
“Kakak mau ke mana? Kok tega ninggalin aku sendiri? Nggak takut aku hilang? Diculik? Lagian, kalau nanti ada yang datang ke sini aku harus bagaimana? Mau tanggung jawab kalau nanti semua lukisan di galeri ini dicuri?”Natasya langsung mencecari Bayu dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut setelah tahu bahwa Bayu akan meninggalkannya seorang diri di galeri. Bayu berniat menjenguk ibu Shinta. Tentu saja ia tidak berniat untuk mengajak Natasya ke sana. Ibu Shinta sedang sakit. Bisa dibayangkan kalau Natasya yang bersuara cempreng itu ikut dengan Bayu, bisa-bisa ibu Shinta tidak dapat beristirahat dengan tenang. Bayu jelas tidak ingin hal itu terjadi.“Aku kan sudah bilang, mau menjenguk ibunya teman. Kamu tidak kenal dia, jadi nggak ada gunanya kamu ikut,” jelas Bayu. “Lagi pula, kamu kan sudah dewasa. Nggak akan mungkin menghilang semudah itu,” ujar Bayu lagi. “Satu lagi, dengan suaramu yang seperti itu, para penculik pasti akan be
Hari kelima liburan semester. Tari masih mengurung diri di kamar. Matanya tidak bisa lepas dari layar ponselnya. Ponsel itu tak kunjung berdering. Tari merasa kesepian. Natasya yang biasanya rajin menelepon untuk memamerkan kesenangan pengalaman liburannya pun hari ini tiada kabar. Tentu saja bukan telepon dari Natasya yang sebenarnya Tari nanti-nantikan. Hanya saja, bila temannya yang berisik itu menelepon, setidaknya ia tidak akan merasa kesepian seperti sekarang ini. Setidaknya, ia bisa melupakan sejenak kenyataan bahwa belakangan ini Ryan sama sekali tidak menghubunginya.Tari sudah tidak tahan lagi. Sedikit ragu, ia pun menyentuh layar ponselnya.Tutt… tutt… tutt…Orang di seberang sana tidak menjawab telepon darinya. Tari pasrah. Untuk kesekian kalinya, ia hanya bisa membenamkan wajahnya ke dalam bantal.***“Sudah cukup. Mari kita istirahat dulu.”Albert mengajak Ryan dan Randy beristirahat sejenak. Me
Shinta melihat pantulan wajahnya di cermin. Kantung matanya tampak semakin tebal. Ia tidak bisa tidur dengan nyenyak semalaman. Bukan hanya dikarenakan harus menjaga ibunya yang sedang sakit, ia juga terus terbayang oleh Bayu. Shinta merasa tidak tenang meninggalkan Bayu sendirian. Hari ini pun, tampaknya ia belum bisa membantu Bayu untuk bekerja di galeri.Shinta meraih ponselnya. Berniat untuk menghubungi Bayu.“Halo,” sahut suara di ujung telepon.“Bayu? Ini aku, Shinta.”Shinta tak dapat menutupi bahwa dirinya merasa senang saat mendengar suara Bayu. ‘Oh, betapa aku rindu suara ini,’ batin Shinta.“Ada apa, S
Sekali lagi, Bayu memandang lukisan yang baru saja selesai dibuatnya. Terlukis cahaya kemerahan yang diakibatkan oleh tenggelamnya sang mentari di ufuk barat. Setelah merasa puas memandangi hasil karyanya, Bayu bergegas merapikan alat lukisnya. Hari ini hanya Bayu yang ada di galeri. Shinta sudah pulang sejak tadi siang karena harus menemani ibunya yang sedang tidak enak badan.Setelah mengunci pintu galeri, dengan perlahan Bayu melangkah menuju sepeda motornya yang terparkir di pojokan galeri tersebut. Bayu tidak langsung mengendarai motornya menuju rumah. Ia bermaksud mampir ke rumah Shinta untuk membesuk ibu Shinta yang sudah dianggapnya seperti ibunya sendiri.Bayu menyusuri jalanan di depannya dengan ditemani oleh suara jangkrik. Jalan di depannya tampak gelap. Tidak ada lampu penerang jalan. Lampu penerang jalan hanya ada di sekitar jalan utama. Bagi Bayu, itu bukan masalah. Ia sudah cukup mampu melihat jalan di depannya dengan lampu kendaraannya sendiri. Lagi pu
“Kamu tahu, nggak? Aku bagaikan ada di surga!” kata Natasya menggebu-gebu. Ia menggeser letak ponsel di telinganya. Ia pun menceritakan berbagai hal menarik yang dialaminya. Ia sedang liburan! Deretan pertokoan dan restoran trendi, makanan khas yang telah membuatnya tak henti-henti meneteskan air mata karena tingkat kepedasannya, dan tentu saja pemandangan pantai yang sangat menakjubkan. Semua hal itu ia ceritakan pada Tari. Sengaja dilakukannya untuk menyadarkan sahabatnya itu bahwa liburan adalah waktu yang terlalu berharga untuk dilewatkan begitu saja.“Apa? Aku nggak berlebihan, kok! Serius!” ujarnya ketika mendengar tanggapan dari seberang sana. “Oh, ya. Jangan kaget kalau waktu aku pulang nanti kulitku kelihatan semakin gosong, ya. Satu hari kemarin aku berjemur di pantai. Banyak bule di sini, lho… Aku bahkan sempat lupa kalau masih ada di Indonesia. Maklum, saking banyaknya bule di sini.”“Hhmmm…nggak. Belu