“Kamu tahu, nggak? Aku bagaikan ada di surga!” kata Natasya menggebu-gebu. Ia menggeser letak ponsel di telinganya. Ia pun menceritakan berbagai hal menarik yang dialaminya. Ia sedang liburan! Deretan pertokoan dan restoran trendi, makanan khas yang telah membuatnya tak henti-henti meneteskan air mata karena tingkat kepedasannya, dan tentu saja pemandangan pantai yang sangat menakjubkan. Semua hal itu ia ceritakan pada Tari. Sengaja dilakukannya untuk menyadarkan sahabatnya itu bahwa liburan adalah waktu yang terlalu berharga untuk dilewatkan begitu saja.
“Apa? Aku nggak berlebihan, kok! Serius!” ujarnya ketika mendengar tanggapan dari seberang sana. “Oh, ya. Jangan kaget kalau waktu aku pulang nanti kulitku kelihatan semakin gosong, ya. Satu hari kemarin aku berjemur di pantai. Banyak bule di sini, lho… Aku bahkan sempat lupa kalau masih ada di Indonesia. Maklum, saking banyaknya bule di sini.”
“Hhmmm…nggak. Belum berminat. Aku masih doyan cowok lokal, kok. Bicara soal cowok, aku jadi kepikiran untuk cari gebetan di sini,” Natasya tiba-tiba terkikik ketika sadar akan perkataannya tadi. Walaupun memiliki paras yang cukup menggoda dan berkepribadian menarik, sampai saat ini ia belum juga memiliki gandengan. Bukan karena tidak ada yang mendekatinya, hanya saja belum ada yang benar-benar berhasil merebut hatinya.
“Hahaha… lihat aja nanti. Aku pasti bakal ngenalin kamu sama cowok yang lebih menarik daripada si Ryan-mu itu. Hihihi…”
“Maaf, Mba. Kita sudah sampai di hotel,” kata sopir taksi yang ditumpangi Natasya.
“Oh, iya. Terima kasih sudah mengingatkan, Pak,” kata Natasya pada sang sopir.
“Eh, udahan dulu, ya. Aku udah sampai di hotel, nih. Nanti aku hubungi lagi. Daaahhh…” ujar Natasya kemudian memutus komunikasi dengan Tari.
Natasya pun beranjak ke luar dari taksi. Sang sopir taksi membantunya membawa barang-barang hingga sampai ke meja penerimaan tamu. Setelah mengurus keperluan untuk check in, lima belas menit kemudian Natasya pun diantar menuju ke salah satu kamar oleh salah seorang staf hotel.
Setelah staf hotel tersebut pergi, Natasya pun langsung membanting tubuhnya ke atas ranjang. “Aaahhh… nyamannya….” Ranjang berkelambu tersebut terasa sangat nyaman. Tak heran jika Natasya langsung tak sadarkan diri begitu tubuhnya mendarat di atas ranjang tersebut.
***
Tari sedang mengurung diri di kamar sambil membaca buku biologi ketika ponselnya berdering. Ryan? Dengan cepat disambarnya ponsel yang terletak di ranjangnya tersebut. Ia tidak dapat menutupi raut kecewanya ketika dilihatnya nama di layar ponselnya itu. Natasya. Padahal, ia sangat berharap bahwa Ryanlah yang menghubunginya.
“Halo,” sahutnya kemudian. Suara nyaring Natasya langsung terdengar. Ia sedikit menjauhkan ponsel tersebut dari telinganya. Tari yakin, seandainya diletakkan begitu saja di atas ranjang, tanpa menggunakan speaker pun suara Natasya pasti akan tetap terdengar.
Tari terdiam mendengar cerita Natasya mengenai liburannya. Natasya pasti telah bersenang-senang di sana. Hal itu terdengar jelas dari suaranya yang menggebu-gebu.
“Kamu sedikit berlebihan, deh…” sahut Tari menanggapi cerita Natasya. Ditanggapi demikian, orang di seberang sana rupanya tidak terima. Masih saja dilanjutkannya cerita mengenai pengalaman liburannya itu. Tari heran, baru dua hari berlibur, Natasya sudah punya segudang cerita. Anak itu pasti tidak ingin menyia-nyiakan setiap detiknya di sana.
Tari mengerutkan keningnya ketika mendengar cerita Natasya yang bertemu para bule. Walaupun Natasya tidak mau mengaku, Tari yakin pasti Natasya telah tebar pesona ke para bule tersebut. “Jadi, kamu berniat buat ngerayu bule-bule itu?” Orang yang diajak bicara di seberang sana malah terkikik keras. “Dasar!” batin Tari.
Tari tidak terlalu mendengarkan cerita Natasya selanjutnya. Hingga kemudian, didengarnya Natasya berkata, “…Aku pasti bakal ngenalin kamu sama cowok yang lebih menarik daripada si Ryan-mu itu …”
Tari langsung membeku. Berbagai pikiran aneh berkecamuk di benaknya. Matanya mulai berkaca-kaca. Yang lebih menarik dari Ryan? Tidak ada. Bagi Tari, Ryan adalah satu-satunya. Tapi bagi Ryan? Ryan pasti telah bertemu dengan jutaan gadis yang lebih menarik daripada Tari. Mungkinkah selama ini Ryan hanya bermain-main dengan Tari? Apa yang harus kulakukan jika dia sudah bosan denganku?
***
Natasya berulang kali mengejapkan mata. Alangkah terkejutnya ia melihat jam tangannya. Pukul empat sore! Natasya langsung bangkit dari ranjang ketika menyadari hal yang telah terjadi.
“Bagaimana ini? Aku ketiduran!” teriaknya seorang diri. Langsung diambil tasnya dan bergegas ke luar kamar. Liburannya akan jadi percuma bila ia hanya terlelap di atas kasur. Ia ke sini bukan untuk menjadi putri tidur. Ia jauh-jauh datang ke mari untuk mengeksplorasi Pulau Dewata. Setelah dua hari belakangan sibuk mendatangi pantai serta tempat-tempat stylish dan modern di wilayah selatan, ia memutuskan untuk beranjak ke Ubud yang terkenal dengan keindahan terasering serta kekentalan budayanya.
Natasya merasa telah memilih hotel yang tepat. Bagaimana tidak? Letaknya sangat strategis. Sangat sempurna untuk dirinya yang memang berencana untuk berjalan-jalan.
Ia menyusuri jalan setapak di depannya. Di kanan dan kiri jalan, berjajar pertokoan yang menjual pakaian serta pernak-pernik lucu. Sepanjang mata memandang, ia melihat banyak wisatawan mancanegara. Dibandingkan dengan di wilayah selatan, di sini ia lebih banyak melihat turis berwajah oriental.
Setelah lelah berjalan, ia memutuskan untuk beristirahat sejenak di bawah pohon yang cukup rindang. Ia menyelonjorkan kakinya yang mulai terasa pegal. Belum puas beristirahat, tidak jauh dari tempatnya duduk ia melihat satu ekor… dua ekor … tiga ekor … Tidak. Lebih. Entah berapa ekor monyet yang sedang bergerombol di hadapannya. Memperebutkan kacang yang diberikan oleh sepasang bule yang berada tidak jauh di depannya. Setelah kacang tersebut habis, salah satu monyet melihat ke arahnya. Ya, Natasya dapat merasakan kedua bola mata binatang berekor tersebut melihat ke arahnya. Dengan kikuk, Natasya perlahan berdiri. Ia paling tidak suka dengan binatang. Apalagi binatang berekor tersebut.
“Tidak! Jangan mendekat, Nak,” ujar Natasya ke arah seekor monyet yang mulai mendekatinya. Seakan tidak mau kalah, teman-teman si monyet juga memandangnya dengan tatapan garang.
Natasya mulai mendeteksi keadaan berbahaya tersebut.
“Aaarrrgggghhhh!!!”
Teriakan Natasya cukup keras sehingga mampu menarik perhatian orang-orang di sekitar tempat itu. Ia langsung beranjak dari tempatnya. Berlari sekuat tenaga menuju hotel.
***
Sudah dua hari berlalu semenjak insiden hendak diterkamnya Natasya oleh sekumpulan monyet. Selama dua hari tersebut, Natasya hanya mengurung diri di kamar. Ia kapok berjalan-jalan sendirian. Ia baru tahu bahwa di dekat hotelnya terdapat objek wisata bernama Monkey Forest. Jika saja ia lebih teliti sebelum memesan hotel, ia pasti ogah menginap di hotel itu. Masih jelas terbayang dalam benaknya tatapan menakutkan dari sepasang mata monyet yang seperti hendak memakannya hidup-hidup. Natasya langsung bergidik ngeri membayangkannya. Bulu kuduknya berdiri.
Meskipun kedua matanya mampu dimanjakan dengan pemandangan yang terlihat dari jendela kamar hotel, Natasya tetap membulatkan tekad untuk check out dari hotel tersebut. Ia masih ingin mengungkap keindahan dari pulau indah ini yang masih belum diketahuinya.
Sebuah taksi terparkir di depan hotel. Taksi itu sudah siap mengantarkan Natasya pergi dari hotel tersebut. Setelah mengurus segala keperluan untuk check out, Natasya segera masuk ke dalam taksi. Takut jika ada seekor monyet secara tiba-tiba muncul di depan matanya.
Taksi tersebut melaju melewati persawahan yang menghijau. Natasya membuka jendela, membiarkan semilir angin menerpa wajahnya. Udara segar memenuhi sekeliling Natasya. Rasanya benar-benar damai. Belum puas Natasya merasakan kedamaian tersebut, ia merasakan bahwa taksi yang ia tumpangi tersebut bergerak secara tidak wajar. Sang sopir segera turun untuk memeriksanya. Benar saja. Ternyata ban mobil taksi tersebut kempes. Bisa dipastikan bahwa mereka tidak akan dapat menemukan bengkel di dekat tempatnya berada saat ini. Natasya hanya dapat menghela napas. Ia memutuskan untuk turun dari taksi. Ia lebih memilih untuk berjalan sambil menikmati keindahan pemandangan di sekitarnya.
“Siapa tahu di tengah jalan ada yang berbaik hati menawarkan tumpangan padaku?” pikirnya.
Natasya terus berjalan menyusuri jalanan yang terbentang di hadapannya sambil sesekali mengambil gambar dengan kamera ponselnya. Entah berapa lama ia telah berjalan sambil menyeret koper serta menggendong ranselnya. Hari mulai gelap dan kakinya sudah terasa pegal.
“Di mana ini?”
Natasya akhirnya sadar bahwa ia tersesat!
***
Sekali lagi, Bayu memandang lukisan yang baru saja selesai dibuatnya. Terlukis cahaya kemerahan yang diakibatkan oleh tenggelamnya sang mentari di ufuk barat. Setelah merasa puas memandangi hasil karyanya, Bayu bergegas merapikan alat lukisnya. Hari ini hanya Bayu yang ada di galeri. Shinta sudah pulang sejak tadi siang karena harus menemani ibunya yang sedang tidak enak badan.Setelah mengunci pintu galeri, dengan perlahan Bayu melangkah menuju sepeda motornya yang terparkir di pojokan galeri tersebut. Bayu tidak langsung mengendarai motornya menuju rumah. Ia bermaksud mampir ke rumah Shinta untuk membesuk ibu Shinta yang sudah dianggapnya seperti ibunya sendiri.Bayu menyusuri jalanan di depannya dengan ditemani oleh suara jangkrik. Jalan di depannya tampak gelap. Tidak ada lampu penerang jalan. Lampu penerang jalan hanya ada di sekitar jalan utama. Bagi Bayu, itu bukan masalah. Ia sudah cukup mampu melihat jalan di depannya dengan lampu kendaraannya sendiri. Lagi pu
Shinta melihat pantulan wajahnya di cermin. Kantung matanya tampak semakin tebal. Ia tidak bisa tidur dengan nyenyak semalaman. Bukan hanya dikarenakan harus menjaga ibunya yang sedang sakit, ia juga terus terbayang oleh Bayu. Shinta merasa tidak tenang meninggalkan Bayu sendirian. Hari ini pun, tampaknya ia belum bisa membantu Bayu untuk bekerja di galeri.Shinta meraih ponselnya. Berniat untuk menghubungi Bayu.“Halo,” sahut suara di ujung telepon.“Bayu? Ini aku, Shinta.”Shinta tak dapat menutupi bahwa dirinya merasa senang saat mendengar suara Bayu. ‘Oh, betapa aku rindu suara ini,’ batin Shinta.“Ada apa, S
Hari kelima liburan semester. Tari masih mengurung diri di kamar. Matanya tidak bisa lepas dari layar ponselnya. Ponsel itu tak kunjung berdering. Tari merasa kesepian. Natasya yang biasanya rajin menelepon untuk memamerkan kesenangan pengalaman liburannya pun hari ini tiada kabar. Tentu saja bukan telepon dari Natasya yang sebenarnya Tari nanti-nantikan. Hanya saja, bila temannya yang berisik itu menelepon, setidaknya ia tidak akan merasa kesepian seperti sekarang ini. Setidaknya, ia bisa melupakan sejenak kenyataan bahwa belakangan ini Ryan sama sekali tidak menghubunginya.Tari sudah tidak tahan lagi. Sedikit ragu, ia pun menyentuh layar ponselnya.Tutt… tutt… tutt…Orang di seberang sana tidak menjawab telepon darinya. Tari pasrah. Untuk kesekian kalinya, ia hanya bisa membenamkan wajahnya ke dalam bantal.***“Sudah cukup. Mari kita istirahat dulu.”Albert mengajak Ryan dan Randy beristirahat sejenak. Me
“Kakak mau ke mana? Kok tega ninggalin aku sendiri? Nggak takut aku hilang? Diculik? Lagian, kalau nanti ada yang datang ke sini aku harus bagaimana? Mau tanggung jawab kalau nanti semua lukisan di galeri ini dicuri?”Natasya langsung mencecari Bayu dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut setelah tahu bahwa Bayu akan meninggalkannya seorang diri di galeri. Bayu berniat menjenguk ibu Shinta. Tentu saja ia tidak berniat untuk mengajak Natasya ke sana. Ibu Shinta sedang sakit. Bisa dibayangkan kalau Natasya yang bersuara cempreng itu ikut dengan Bayu, bisa-bisa ibu Shinta tidak dapat beristirahat dengan tenang. Bayu jelas tidak ingin hal itu terjadi.“Aku kan sudah bilang, mau menjenguk ibunya teman. Kamu tidak kenal dia, jadi nggak ada gunanya kamu ikut,” jelas Bayu. “Lagi pula, kamu kan sudah dewasa. Nggak akan mungkin menghilang semudah itu,” ujar Bayu lagi. “Satu lagi, dengan suaramu yang seperti itu, para penculik pasti akan be
Krriiuuukkk… krrriiiiukkkk…Natasya dapat mendengar dengan jelas jeritan cacing-cacing di perutnya. Sudah hampir satu jam perutnya memberontak minta diisi. Apa daya, saat ini tidak ada makanan di rumah Bayu.Sejak sepuluh menit lalu, Natasya terus memelototi nasi di hadapannya. Berharap ada keajaiban sehingga nasi tersebut bisa berubah. Setidaknya menjadi nasi goreng. Lebih baik lagi jika berubah jadi nasi goreng ayam. Nasi goreng yang enak.Sadar bahwa keinginannya itu tidak mungkin terwujud, Natasya tidak punya pilihan selain mengambil tindakan nyata. Disendoknya nasi tersebut lalu diletakkannya di penggorengan. Tidak lupa ia memasukkan garam dan bumbu-bumbuan.Selama lima menit ia terus mengaduk aduk penggorengan di hadapannya. Saking semangatnya ia mengaduk, hampir setengah dari isi penggorengan tersebut kini memenuhi kompor di depannya. Natasya seolah tidak peduli. Ia hanya perlu mengisi kekosongan perutnya agar cacing di perutnya terse
Keesokan paginya, Bayu duduk berhadapan dengan Natasya. Mereka berada di meja depan galeri Bayu.“Sampai kapan kamu akan menangis seperti itu?”Natasya tidak menjawab pertanyaan Bayu. Ia masih saja sesenggukan sambil berulang kali menghapus air matanya.Bayu hanya dapat menghela napas melihat pemandangan di depannya.“Berhenti menangis!”Bukannya berhenti, gadis di hadapannya malah menangis semakin keras.“Aku nggak akan tertipu olehmu. Meskipun kamu menangis seperti itu, kamu pikir aku nggak akan marah setelah semua perbuatanmu semalam?” tanya Bayu sambil menunjuk ke arah ruangannya. “Walaupun kamu menangis seperti itu, pintu ruang kerjaku nggak akan kembali seperti semula,” lanjut Bayu lagi.Mendengar perkataan Bayu tersebut, Natasya langsung teringat akan perbuatannya kemarin. Ia telah menghancurkan pintu ruang kerja Bayu. Pintu yang menjadi penghalang bagi orang-orang untuk masuk ke
“Aku ikut!” ujar Tari akhirnya.“Hmm… Kamu yakin?”“Ya. Aku mau ikut kamu latihan.”Tari sendiri tidak paham kenapa kata-kata tersebut bisa keluar dari mulutnya. Saat ini, ia sedang menerima telepon dari Ryan. Pacarnya itu baru saja mengatakan bahwa ia akan pergi ke sekolah untuk latihan basket.Sejak dua hari yang lalu, Ryan tiba-tiba rajin menghubungi Tari. Tari merasa hal itu dilakukan Ryan karena sadar telah melakukan kesalahan, tidak memberikan kabar sama sekali selama liburan. Tari sendiri tidak ingin memperpanjang kasus menghilangnya Ryan dari radarnya selama liburan tersebut. Sesuai dengan saran Natasya, ia memutuskan untuk turut aktif menjaga keharmonisan hubungan mereka. Bagaimana caranya? Ia akan berada di dekat Ryan. Tidak akan dibiarkannya gadis lain dengan leluasa bermesra-mesraan ria dengan pacarnya itu.“Jangan diam aja. Kamu harus tunjukin ke mereka kalau kamu pacar Ryan!”,
Natasya sibuk memasukkan barang-barang miliknya ke dalam koper. Entah kenapa kopernya itu seperti mau meledak saat satu per satu barangnya ia masukkan. Padahal, sebelumnya koper itu masih memiliki banyak ruang kosong.“Beresin yang bener. Jangan sampai ada barangmu yang tertinggal.”“Iya, Kak Bayu yang cerewet.”Natasya sudah lelah mendengar Bayu yang sejak siang tadi terus menceramahinya. Menyuruhnya memasukkan semua benda miliknya agar tidak ada yang tertinggal. Agar tidak membuat repot Bayu di kemudian hari. Agar Bayu tidak perlu bersusah payah mengirimkannya jika memang ada barang penting yang tertinggal.“Kakak pasti bakalan kangen aku, deh. Besok kan aku sudah balik ke Bandung.”“Nggak akan. Justru aku bahagia. Akhirnya besok aku akan mendapat kedamaian. Nggak ada lagi suara berisik yang mengganggu telingaku.”“Kalau Kakak kangen, jangan ragu untuk menghubungiku, ya.”&
Natasya sibuk memasukkan barang-barang miliknya ke dalam koper. Entah kenapa kopernya itu seperti mau meledak saat satu per satu barangnya ia masukkan. Padahal, sebelumnya koper itu masih memiliki banyak ruang kosong.“Beresin yang bener. Jangan sampai ada barangmu yang tertinggal.”“Iya, Kak Bayu yang cerewet.”Natasya sudah lelah mendengar Bayu yang sejak siang tadi terus menceramahinya. Menyuruhnya memasukkan semua benda miliknya agar tidak ada yang tertinggal. Agar tidak membuat repot Bayu di kemudian hari. Agar Bayu tidak perlu bersusah payah mengirimkannya jika memang ada barang penting yang tertinggal.“Kakak pasti bakalan kangen aku, deh. Besok kan aku sudah balik ke Bandung.”“Nggak akan. Justru aku bahagia. Akhirnya besok aku akan mendapat kedamaian. Nggak ada lagi suara berisik yang mengganggu telingaku.”“Kalau Kakak kangen, jangan ragu untuk menghubungiku, ya.”&
“Aku ikut!” ujar Tari akhirnya.“Hmm… Kamu yakin?”“Ya. Aku mau ikut kamu latihan.”Tari sendiri tidak paham kenapa kata-kata tersebut bisa keluar dari mulutnya. Saat ini, ia sedang menerima telepon dari Ryan. Pacarnya itu baru saja mengatakan bahwa ia akan pergi ke sekolah untuk latihan basket.Sejak dua hari yang lalu, Ryan tiba-tiba rajin menghubungi Tari. Tari merasa hal itu dilakukan Ryan karena sadar telah melakukan kesalahan, tidak memberikan kabar sama sekali selama liburan. Tari sendiri tidak ingin memperpanjang kasus menghilangnya Ryan dari radarnya selama liburan tersebut. Sesuai dengan saran Natasya, ia memutuskan untuk turut aktif menjaga keharmonisan hubungan mereka. Bagaimana caranya? Ia akan berada di dekat Ryan. Tidak akan dibiarkannya gadis lain dengan leluasa bermesra-mesraan ria dengan pacarnya itu.“Jangan diam aja. Kamu harus tunjukin ke mereka kalau kamu pacar Ryan!”,
Keesokan paginya, Bayu duduk berhadapan dengan Natasya. Mereka berada di meja depan galeri Bayu.“Sampai kapan kamu akan menangis seperti itu?”Natasya tidak menjawab pertanyaan Bayu. Ia masih saja sesenggukan sambil berulang kali menghapus air matanya.Bayu hanya dapat menghela napas melihat pemandangan di depannya.“Berhenti menangis!”Bukannya berhenti, gadis di hadapannya malah menangis semakin keras.“Aku nggak akan tertipu olehmu. Meskipun kamu menangis seperti itu, kamu pikir aku nggak akan marah setelah semua perbuatanmu semalam?” tanya Bayu sambil menunjuk ke arah ruangannya. “Walaupun kamu menangis seperti itu, pintu ruang kerjaku nggak akan kembali seperti semula,” lanjut Bayu lagi.Mendengar perkataan Bayu tersebut, Natasya langsung teringat akan perbuatannya kemarin. Ia telah menghancurkan pintu ruang kerja Bayu. Pintu yang menjadi penghalang bagi orang-orang untuk masuk ke
Krriiuuukkk… krrriiiiukkkk…Natasya dapat mendengar dengan jelas jeritan cacing-cacing di perutnya. Sudah hampir satu jam perutnya memberontak minta diisi. Apa daya, saat ini tidak ada makanan di rumah Bayu.Sejak sepuluh menit lalu, Natasya terus memelototi nasi di hadapannya. Berharap ada keajaiban sehingga nasi tersebut bisa berubah. Setidaknya menjadi nasi goreng. Lebih baik lagi jika berubah jadi nasi goreng ayam. Nasi goreng yang enak.Sadar bahwa keinginannya itu tidak mungkin terwujud, Natasya tidak punya pilihan selain mengambil tindakan nyata. Disendoknya nasi tersebut lalu diletakkannya di penggorengan. Tidak lupa ia memasukkan garam dan bumbu-bumbuan.Selama lima menit ia terus mengaduk aduk penggorengan di hadapannya. Saking semangatnya ia mengaduk, hampir setengah dari isi penggorengan tersebut kini memenuhi kompor di depannya. Natasya seolah tidak peduli. Ia hanya perlu mengisi kekosongan perutnya agar cacing di perutnya terse
“Kakak mau ke mana? Kok tega ninggalin aku sendiri? Nggak takut aku hilang? Diculik? Lagian, kalau nanti ada yang datang ke sini aku harus bagaimana? Mau tanggung jawab kalau nanti semua lukisan di galeri ini dicuri?”Natasya langsung mencecari Bayu dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut setelah tahu bahwa Bayu akan meninggalkannya seorang diri di galeri. Bayu berniat menjenguk ibu Shinta. Tentu saja ia tidak berniat untuk mengajak Natasya ke sana. Ibu Shinta sedang sakit. Bisa dibayangkan kalau Natasya yang bersuara cempreng itu ikut dengan Bayu, bisa-bisa ibu Shinta tidak dapat beristirahat dengan tenang. Bayu jelas tidak ingin hal itu terjadi.“Aku kan sudah bilang, mau menjenguk ibunya teman. Kamu tidak kenal dia, jadi nggak ada gunanya kamu ikut,” jelas Bayu. “Lagi pula, kamu kan sudah dewasa. Nggak akan mungkin menghilang semudah itu,” ujar Bayu lagi. “Satu lagi, dengan suaramu yang seperti itu, para penculik pasti akan be
Hari kelima liburan semester. Tari masih mengurung diri di kamar. Matanya tidak bisa lepas dari layar ponselnya. Ponsel itu tak kunjung berdering. Tari merasa kesepian. Natasya yang biasanya rajin menelepon untuk memamerkan kesenangan pengalaman liburannya pun hari ini tiada kabar. Tentu saja bukan telepon dari Natasya yang sebenarnya Tari nanti-nantikan. Hanya saja, bila temannya yang berisik itu menelepon, setidaknya ia tidak akan merasa kesepian seperti sekarang ini. Setidaknya, ia bisa melupakan sejenak kenyataan bahwa belakangan ini Ryan sama sekali tidak menghubunginya.Tari sudah tidak tahan lagi. Sedikit ragu, ia pun menyentuh layar ponselnya.Tutt… tutt… tutt…Orang di seberang sana tidak menjawab telepon darinya. Tari pasrah. Untuk kesekian kalinya, ia hanya bisa membenamkan wajahnya ke dalam bantal.***“Sudah cukup. Mari kita istirahat dulu.”Albert mengajak Ryan dan Randy beristirahat sejenak. Me
Shinta melihat pantulan wajahnya di cermin. Kantung matanya tampak semakin tebal. Ia tidak bisa tidur dengan nyenyak semalaman. Bukan hanya dikarenakan harus menjaga ibunya yang sedang sakit, ia juga terus terbayang oleh Bayu. Shinta merasa tidak tenang meninggalkan Bayu sendirian. Hari ini pun, tampaknya ia belum bisa membantu Bayu untuk bekerja di galeri.Shinta meraih ponselnya. Berniat untuk menghubungi Bayu.“Halo,” sahut suara di ujung telepon.“Bayu? Ini aku, Shinta.”Shinta tak dapat menutupi bahwa dirinya merasa senang saat mendengar suara Bayu. ‘Oh, betapa aku rindu suara ini,’ batin Shinta.“Ada apa, S
Sekali lagi, Bayu memandang lukisan yang baru saja selesai dibuatnya. Terlukis cahaya kemerahan yang diakibatkan oleh tenggelamnya sang mentari di ufuk barat. Setelah merasa puas memandangi hasil karyanya, Bayu bergegas merapikan alat lukisnya. Hari ini hanya Bayu yang ada di galeri. Shinta sudah pulang sejak tadi siang karena harus menemani ibunya yang sedang tidak enak badan.Setelah mengunci pintu galeri, dengan perlahan Bayu melangkah menuju sepeda motornya yang terparkir di pojokan galeri tersebut. Bayu tidak langsung mengendarai motornya menuju rumah. Ia bermaksud mampir ke rumah Shinta untuk membesuk ibu Shinta yang sudah dianggapnya seperti ibunya sendiri.Bayu menyusuri jalanan di depannya dengan ditemani oleh suara jangkrik. Jalan di depannya tampak gelap. Tidak ada lampu penerang jalan. Lampu penerang jalan hanya ada di sekitar jalan utama. Bagi Bayu, itu bukan masalah. Ia sudah cukup mampu melihat jalan di depannya dengan lampu kendaraannya sendiri. Lagi pu
“Kamu tahu, nggak? Aku bagaikan ada di surga!” kata Natasya menggebu-gebu. Ia menggeser letak ponsel di telinganya. Ia pun menceritakan berbagai hal menarik yang dialaminya. Ia sedang liburan! Deretan pertokoan dan restoran trendi, makanan khas yang telah membuatnya tak henti-henti meneteskan air mata karena tingkat kepedasannya, dan tentu saja pemandangan pantai yang sangat menakjubkan. Semua hal itu ia ceritakan pada Tari. Sengaja dilakukannya untuk menyadarkan sahabatnya itu bahwa liburan adalah waktu yang terlalu berharga untuk dilewatkan begitu saja.“Apa? Aku nggak berlebihan, kok! Serius!” ujarnya ketika mendengar tanggapan dari seberang sana. “Oh, ya. Jangan kaget kalau waktu aku pulang nanti kulitku kelihatan semakin gosong, ya. Satu hari kemarin aku berjemur di pantai. Banyak bule di sini, lho… Aku bahkan sempat lupa kalau masih ada di Indonesia. Maklum, saking banyaknya bule di sini.”“Hhmmm…nggak. Belu