Lampu-lampu ruangan telah menyala, kontras dengan gelap yang terpampang di luar jendela. Baru Bailey sadari kalau hari sudah malam. Ia pergi ke dapur. Pelayan dan koki di sana menengok dengan desir kejut menjalar.
“Tu … Tuan Muda, apa yang Anda lakukan di sini? Anda membutuhkan sesuatu?” Itu Dexter sang koki. Ia meletakkan piring berisi olahan ayam di meja dan menghampiri Bailey sembari mengelap tangan. Para pelayan menundukkan pandangan sekilas dan melanjutkan kegiatan.
“Aku haus,” jawab Bailey, mengambil gelas.
“Ah, sebentar, biar saya ambilkan.”
Dexter bergegas mengambil gelas, tetapi langkahnya terhenti karena Bailey sudah lebih dulu mengisi gelasnya.
“Tidak usah, Dexter, terima kasih. Ini hanya air putih,” ujar Bailey seraya mengangkat gelas berisi air putih di tangan.
Sambil membawa gelas, Bailey keluar dapur, mendudukkan diri di kursinya, membiarkan para pelayan menghidangkan makan malam di meja dengan gugup. Tentu saja gugup. Belum tepat jam makan malam, tetapi tuan muda mereka sudah hadir.
Myriam datang dari pintu samping dengan dua pelayan di belakangnya membawa nampan kosong di tangan.
“Tuan Muda?”
Myriam menghampiri sementara dua pelayan berlalu ke dapur.
“Hmm?” Bailey menengok dengan mulut yang masih meminum air.
“Tuan Muda ingin makan sesuatu sambil menunggu makan malam?”
“Tidak.”
Bailey menaruh gelasnya.
“Baiklah. Saya permisi dahulu. Ada pelayan di dapur jika Anda membutuhkan sesuatu,” kata Myriam, undur diri ke dapur.
Tidak lama, Myriam kembali bersama dua pelayan tadi dengan nampan berisi makanan. Kedua tangan Myriam pun memegang satu nampan besar penuh makanan. Ketiganya pergi ke pintu samping yang tadi dilalui.
Satu hal yang terbilang sederhana, tetapi menurut para pelayan, prajurit, dan pekerja lain sangat istimewa di mansion Hunt adalah jam makan yang tidak dibedakan. Semua makan di jam yang sama dengan jam makan Ascal, istri, dan anak-anaknya. Tidak seperti kediaman lain yang biasanya para pekerja akan makan setelah tuan mereka makan. Hal sederhana ini menjadi salah satu alasan mengapa para pekerja betah mengabdikan diri di mansion Hunt, juga sekaligus suatu keberuntungan karena dapat mengetahui sisi lain dari keluarga sang pemimpin mutlak yang tidak tersorot mata di luar pagar.
Satu usapan terasa di kepala Bailey menyebabkan Bailey menegang lagi kala mengetahui pemilik tangan itu.
“Ayah,” ucap Bailey lirih.
“Makanya kalau disuruh makan itu cepat makan, jangan menunda-nunda.” Ascal menarik kursinya.
Pelayan makin gugup karena Ascal datang, tetapi juga lega karena datangnya di saat mereka hendak menaruh hidangan terakhir.
Bailey diam, mengerjap menatap gelasnya.
“Ayah barusan mengusap kepalaku? Oh, apa mungkin ini karena gulungan kertas di tanganku? Karena Ayah ingin mengetahuinya, tapi aku tidak memberikannya?” terka Bailey dalam pikirannya.
Bailey melepaskan genggaman pada buku dan gulungan kertas, membiarkannya di pangkuan saat melihat Ascal duduk.
Jillian muncul dari sisi lain, melongo melihat suami dan putranya di meja makan. Ia segera berpikir, “Bukankah tadi Ascal bilang melihat Bailey? Apa dia benar-benar melihat Bailey? Sepertinya begitu.”
Simpul senyum tercetak di paras Jillian, berpikir hubungan suami dan putranya membaik. Namun, obrolan hangat yang diharapkannya tidak terjadi. Jillian harus menelan pil pahit karena Ascal dan Bailey sama-sama tidak banyak bersuara.
“Ibu ingin bicara apa?”
Bailey menatap Jillian yang bengong, lalu berpindah menatap Bariela yang sibuk mengunyah disuapi Selise. Mulut penuh membuat pipi Bariela terlihat berkali lipat lebih tembam dan menggemaskan.
“Ah, itu ….” Jillian melirik Ascal dan mendapat anggukan dari suaminya, lalu menatap Bailey. “Ibu dan Ayah berharap kau mau meliburkan kegiatan rutin ke bukit timur selama Shaw pergi.”
Bailey berhenti mengunyah, menatap Jillian dengan alis terangkat, meminta penjelasan.
“Kau pasti masih ingat dengan penyerangan itu, 'kan? Ibu tidak ingin hal yang sama terjadi lagi,” terang Jillian.
Bailey diam dan melanjutkan makan.
Otaknya berpikir tentang surat dari perompak, lalu sebuah ide terlintas di kepalanya. Bailey menatap Jillian lagi dengan wajah datar, berpikir ia tidak boleh bersikap mencurigakan atau ayahnya akan benar-benar merebut gulungan kertasnya.
“Baiklah, tapi sebagai gantinya, aku ingin pergi ke mana pun yang aku mau, entah di distrik ini ataupun di distrik Acilav.”
Ascal menatap curiga, menaikkan satu alisnya. Ia menoleh pada Jillian saat merasa Jillian menatap dirinya.
“Setuju.” Itu Ascal, menyetujui permintaan Bailey. Dilihatnya Bailey menatap dirinya, kemudian mengukir senyum, berterima kasih dan kembali menatap ke depan, memakan makanannya dengan lahap.
“Tapi,” kata Ascal, memberi jeda.
Tangan Bailey yang memegang sendok dengan makanan berhenti di udara. Dalam hati, Ascal terkekeh, melanjutkan kata-katanya.
“Kau tidak boleh sendirian.”
Bailey mengerucutkan bibir.
“Aku akan mengajak Wilton.”
Jillian hanya diam, mendengarkan, dan tersenyum, membiarkan suami dan putranya mengakrabkan diri. Sesekali ia melirik Ascal dan Bailey bergantian untuk melihat ekspresi kedua orang itu.
Usai makan, Bailey kembali ke kamarnya.
“Baiklah, izin sudah kudapatkan!” Bailey bersorak dalam hati, mengunci pintu dan berjalan ke meja belajarnya.
Gulungan kertas dan buku catatan ia taruh, kemudian duduk, membuka gulungan dan membaca lanjutan pesannya.
“Bailey, kuberikan segala yang kubisa. Kukorbankan segala yang kupunya. Kuharap yang kulakukan ini benar. Tolong bersihkan nama kami, bangsaku. Semoga Tuhan memberimu petunjuk untuk mengungkap kebenaran dan meluruskan kesalahpahaman.”
Baru saja raut wajah Bailey berseri-seri karena mendapat izin dari Ascal, sudah berubah muram lagi. Ia memang ingin mengungkap semuanya, tetapi kemudian menyadari bahwa melakukan itu membutuhkan keberanian yang sangat besar. Bailey belum yakin akan hal itu.
“Aku benar-benar harus membicarakan ini dengan Shaw.”
“Beberapa dari kami memiliki keluarga yang kami tinggalkan di daratan berbeda. Jika kelak cahaya menyinari Zanwan dan kau mampu mencapai dunia luar, maukah kau menemui keluarga dari anggota kami yang telah tiada? Menyampaikan pada mereka tentang kematian kami? Agar mereka tak lagi berharap kepulangan kami ke rumah.”
“Aku tidak bisa berjanji, tapi akan kuusahakan.”
“Kau bisa pergi ke Glover Garden di Nagasaki, Jepang, saat musim semi. Jika takdir menghendaki, kau akan bertemu seorang wanita muda bernama Zenifa atau jika kau bertemu dengannya di tempat lain, beritahukan tentang pesanku. Dia akan memandumu. Kau akan tahu bahwa dia adalah Zenifa yang kumaksud saat kau bertemu dengannya. Hanya satu yang bisa kuberitahu tentangnya. Usianya denganmu tidak terpaut jauh.”
“Bagaimana aku bisa mengenali seseorang hanya dengan itu? Ada banyak orang dengan usia yang tidak terpaut jauh dariku. Haish!”
“Kau mungkin ingat cecunguk yang dibicarakan beberapa tahanan di dungeon hari itu. Kuyakin mereka terlibat dalam pembunuhan orang terkasih pemimpin kami atau mungkin justru salah satu dari mereka adalah dalangnya. Kuyakin juga mereka terlibat di banyak kejadian yang terjadi di Zanwan di masa lalu. Berhati-hatilah terhadap mereka.”
Bailey tidak menanggapi, lanjut membaca.
“Kudengar kau tak terlalu dekat dengan orang tuamu, tapi Bailey, lindungilah mereka karena mereka adalah pendukung revolusi Zanwan. Cecunguk itulah yang membuat mereka mengubur impian dan menghentikan pergerakan mereka. Itu yang kudengar dari tahanan dungeon lain.”
“Eh? Benarkah?”
Terlepas dari semua pesan yang sudah ia baca, pesan barusan adalah yang paling membuat Bailey tercengang. Bailey mengerjap beberapa kali dan membaca ulang pesan barusan.
“Satu lagi, jangan sampai cecunguk itu melihat wajah Shaw. Anak itu dan keluarganya bisa berada dalam bahaya jika para cecunguk itu tahu, bahkan termasuk orang tuamu. Kau bisa menanyakannya pada orang tuamu. Jika kau tidak mendapatkan jawabannya, datanglah ke dungeon. Tempat yang pernah kau lewati bersama Shaw. Tanyakan pada tahanan yang pernah kau dengar celotehnya karena mereka adalah teman dekat orang tuamu.”
“Aku tidak yakin akan mendapat jawaban dari Ayah dan Ibu. Jadi, sebaiknya aku pergi ke dungeon lebih dulu.”
Bailey mengambil satu lembar kertas kosong dari laci, menuliskan surat yang kemudian digulung dan dimasukkan ke dalam sebuah batang bambu kecil. Ia berdiri, mengambil burung merpati dari kandangnya dan mengikat bambu itu di kaki merpati yang kemudian terbang setelah jendela dibuka.
“Semoga kau belum pergi terlalu jauh, Shaw,” gumam Bailey, mengunci jendela dan kembali ke ruang belajar, lanjut membaca pesan.
“Dan jika kau bertanya mengapa aku bisa menulis begitu panjang, itu karena aku sudah menyiapkannya sejak lama. Kau tahu kapan rapat penentuan hukuman perompak yang masih hidup, 'kan? Ingat? Nah, kami dipindahkan ke dungeon lantai bawah bagian dalam begitu hasil rapat keluar. Masih ingat pesan yang kutulis di atas? Tentang prajurit yang mengatakan aku akan mati? Ingat waktu yang kutuliskan di situ saat kedua prajurit mengatakan itu? Lalu gabungkan dengan waktu saat hasil rapat keluar. Menemukan sesuatu?”
“Waktunya. Itu sudah cukup lama berlalu.”
Rapat besar diadakan setelah perang berakhir dan para perompak berhasil diatasi. Tepatnya setelah undangan tersebar untuk memastikan semua petinggi desa dan orang-orang berpengaruh di desa dapat mengatur jadwal sehingga bisa ikut hadir. Waktu berlangsung rapat pun hanya dalam satu hari.
“Waktunya sudah cukup lama berlalu? Tepat! Kau memang pintar! Nah, sudah selama itu pula mereka merencanakan sesuatu. Kau tahu apa hasil dari rencana yang dibuat sejak lama?”
“Rencana yang terstruktur dengan tingkat keakuratan dan keberhasilan tinggi.”
“Benar! Hasilnya adalah rencana yang tersusun rapi, terstruktur dengan sangat baik, tingkat keakuratan dan keberhasilannya tinggi, lalu, kau tahu apa artinya?”
Bailey membulatkan mata untuk kesekian kali.
“Apa orang ini memiliki kemampuan meramal atau bekerja sampingan sebagai peramal?”
Sejenak Bailey berpikir, menerka jawaban pertanyaan terakhir perompak.
“Artinya orang-orang di sekitarku dalam bahaya!”
“Benar sekali! Oh, kau benar-benar cerdas dan pintar! Mungkin karena itu Tuhan menakdirkanmu terlahir sebagai putra Tuan Ascal dan sebagai seorang penerus takhta. Hohoho! Jadi, karena itu, kau harus lebih waspada dan hati-hati. Perhatikan setiap pergerakan dan tindakanmu. Para cecunguk itu mungkin saja mengirimkan mata-mata untuk mengawasimu.”
Pening terasa, menggerakkan tangan Bailey ke pelipisnya, memijat area itu dengan kening mengerut.
“Ada satu orang dari bangsa kami yang ditempatkan di jeruji berbeda dan terpisah cukup jauh dari kami. Dia temanku, seorang gadis muda. Kau bisa menemuinya di area jeruji perempuan. Kuharap dia masih hidup dan jika kau menemukannya, keluarkan dia dari dungeon, bawa ke tempat yang jauh. Kau akan membutuhkan bantuannya. Namanya Emilie Fletcher. Dia cukup keras kepala dan sulit diajak bicara, apalagi pergi. Dia tidak mudah percaya pada orang lain. Panggil dia Elwanda, maka dia akan mendengarkanmu. Itu adalah nama kecilnya dan hanya sedikit orang yang tahu. Aku ingin dia membaca surat ini. Biarkan dia membacanya, maka dia akan percaya padamu.”
“Terakhir, kuberi tahu jubah hitam yang asli. Si misterius jubah hitam yang asli itu. Pertama, dia bisa melompat tinggi. Mengapa aku bisa berkata begitu? Karena dia yang menyelamatkanku dan beberapa temanku di hari perang itu. Kedua, dia bergerak cepat. Benar-benar cepat. Ketiga, permainan pedangnya juga sangat cepat dan halus sekali seperti sebuah aliran musik. Keempat, suaranya terdengar lebih ramah meskipun dingin. Kelima, kurasa dia melindungi keluarga Shaw. Di malam peperangan itu, aku mendengarnya berujar pada sosok bertopeng lainnya untuk pergi ke rumah Tuan Spencer dan mengecek keadaan mereka, juga meminta sosok bertopeng itu untuk berjaga di sana dan memastikan mereka aman, terutama anak kecilnya. Nah, memangnya ada anak kecil lain yang tinggal di rumah Tuan Spencer malam itu selain Shaw?”
“Tidak, tidak ada lagi anak kecil lain selain Shaw.”
“Itu saja. Simpan surat ini, jangan sampai orang lain membacanya. Pelayan dan prajurit di rumahmu, juga orang tuamu sekalipun. Untuk sementara, simpan untuk dirimu sendiri. Aku yakin kau akan melakukan sesuatu setelah membaca pesanku. Beritahukan pada orang tuamu dan orang-orang lain yang kau percayainya nanti saja kecuali pada Shaw. Mulutnya yang tetap rapat bahkan ketika cambukan menghujam punggungnya sudah menyebar dan menjadi rahasia umum di kalangan para tahanan. Dia bisa kau ajak berbagi, tapi ingat, ceritakan di saat yang tepat. Pastikan tak ada orang lain di sana selain kalian. Perhatikan sekitar termasuk pepohonan dan semak. Kau tahu kalau mata-mata sangat ahli bersembunyi, 'kan? Baiklah. Aku pamit. Terima kasih banyak. Aku tahu kau dan Shaw orang baik. Aku tidak menyesal melakukan ini. Tolong sampaikan juga terima kasihku pada Shaw. Yah, aku yakin anak itu akan mencari tahu kebenarannya, hahaha! Tolong sampaikan juga pada Tuan Ascal dan jubah hitam yang asli.”
“Baiklah, akan kusimpan. Semua informasi ini bisa kujadikan pegangan. Mungkin akan berguna suatu hari nanti.”
“Oh, hampir lupa! Jubah hitam yang asli itu anggap saja kacang kedelai sedangkan yang palsu itu kacang buncis. Kalau kau ingin tahu alasannya, jawabannya tidak ada. Aku tiba-tiba ingat itu saja. Aku suka makan kacang dan aku sudah lama tidak makan kacang. Kelak, kalau kau bisa pergi ke dunia luar Zanwan, cobalah makan olahan kedelai. Enak. Cari saja olahan kedelai yang bernama tempe. Itu enak! Terutama tempe yang digoreng kering! Enak sekali! Kalau kau tidak ingin memakannya, setidaknya makan itu untukku, ya? Kau harus mencobanya!”
“Oh, astaga, orang ini! Bagaimana dia bisa seceria ini saat dia tahu dia akan mati?! Aku tidak mengerti lagi!”
Bailey menghirup udara panjang dan dalam. Bacaannya kali ini lebih berat dari membaca buku sastra ataupun filosofi.
Buku catatan kembali dibuka, Bailey menuliskan lagi semua hal yang menghampiri kepalanya. Tidak lupa ia menyalin pesan sang perompak untuk berjaga-jaga akan kemungkinan buruk. Selesainya, semua Bailey menyimpan di tempat rahasianya, lalu pergi bersiap untuk tidur.
Di luar pintu, Ascal terdiam, tidak terdengar apa pun dari Bailey selain gumaman terakhirnya. Namun, itu cukup baginya untuk menyimpulkan bahwa memang ada sesuatu dengan anak panah dan gulungan kertasnya.
Ascal pergi ke ruangan kerjanya, mengambil sebuah buku dan menuliskan sesuatu di sana. Sebuah rencana.
“Perapian sudah siap!”“Woaaahhhh, Bold hebat! Cepat sekali!”Mata berbinar Mival terarah lurus pada Bold dan perapian di depan prajurit jagur itu. Mival belum pernah membuat api secepat itu, apalagi di malam hari yang udaranya dingin. Meski memakai pemantik pun, Mival belum bisa secepat Bold menyalakan api dan membuatnya menjadi api unggun kecil.“Hmm ... bekal yang Nenek siapkan cukup banyak, tapi tidak dengan jenisnya. Jadi, makanan kita malam ini sama seperti tadi siang dan ini cukup sampai besok malam, tapi minumnya kurasa akan lebih cepat habis.”Shaw menghampiri Bold dan Mival di dekat perapian, meletakkan ransel, dan mengeluarkan tiga kotak makan serta botol minum.“Tidak masalah. Masih ada buah-buahan, 'kan? Kalau kurang, kita bisa mencarinya. Di hutan luar desa ada banyak pohon buah. Ikan pun melimpah di sungai.” Bold menenangkan.“A … apa itu?”Mival yang asyik menyimak tidak sengaja melihat benda berwarna putih di ketinggian.Shaw dan Bold mengikuti arah pandang Mival dan m
“Hmm ... lantas, satu halnya lagi?”Ascal tidak ingin menahan Bexter lebih lama karena hari sudah sangat larut, pun tahu besok asistennya itu akan siaga dengan jadwalnya di pagi buta. Mengenal dan bersama cukup lama membuat Ascal sangat paham bagaimana seorang Bexter Larson. Ascal ingin Bexter mendapat cukup istirahat agar tubuhnya prima, juga agar dapat bekerja dengan maksimal.Bexter yang memahami respon Ascal pun tidak membuka lebih banyak bahasan. Ia mengeluarkan sebuah kotak kayu kecil dari saku dan menaruhnya di meja.“Ini, Tuan.”Ascal meraih kotak itu dan membukanya. Ada sebuah robekan syal berwarna marun dan secarik kertas di dalamnya.“Itu adalah kotak yang saya temukan di saku perompak yang terakhir itu.”Ascal mengambil secarik kertas, membaca tulisan yang tertera di sana.“Little Shark of Zanwan & bloody night of Viking?” Kening Ascal mengernyit, menatap Bexter. “Interaksi antara para viking ini dengan penduduk Zanwan yang kuingat hanya dua. Beberapa hari lalu dan saat per
Tanah yang lembab membuat tapal kuda berjejak cukup dalam diakibatkan oleh hentakan yang kuat. Perlu kehati-hatian ekstra agar kuda tidak terjerembab ataupun terpeleset dan jatuh. Semak dan rerumputan yang makin tinggi tersebab kawasan yang sangat jarang disentuh manusia itu tidak menjadi penghalang bagi Shaw dan Bold untuk mempercepat laju kuda mereka. Keduanya memilih area tanah yang lebih datar dengan rerumputan yang lebih rendah dan kering agar kuda dapat melaju lebih cepat.Mereka berhasil mencapai jarak 3/4 busur panah dari kaki gunung di titik mereka memanjat tebing, terus melajukan kuda sampai mencapai penuh ujung busur; sejajar dengan titik saat mereka memanjat tebing.Pandangan dan pendengaran ditajamkan sembari terus menghentak kuda. Pepohonan yang lebat dengan jarak cukup rapat membuat pemandangan sekitar tampak seperti potongan gambar dengan kecepatan kuda mereka.“Arah jam sebelas!” Shaw berseru begitu melihat sang sosok memacu kudanya ke selatan di arah jam sebelas.Bold
Apalah yang bisa semesta lakukan ketika hati masih terpaut pada orang yang sama meski raga telah terpisahkan? Jarak yang teramat jauh membentang, beribu ruang dan pintu kokoh jadi penghalang, pun waktu yang meragu beri kesempatan, disempurnakan takdir yang seakan-akan lelah untuk kembali pertemukan.Apalah yang bisa semesta lakukan ketika jiwa yang merindu menolak untuk berhenti mengaum? Ketika rasa dalam kalbu yang bergejolak menimbulkan gelombang ombak, menolak untuk berhenti meraung.Adakah setitik harapan itu masih hidup? Sekecil kesempatan pun 'kan diterima, lebih dari cukup untuk menarik dua sudut bibir melengkung ke atas.Adakah benang merah itu masih terikat? Setipis benang layang pun tidak masalah, cukup untuk membuat nadi tetap dalam iramanya, menari di hamparan ladang bunga bertemankan kupu-kupu, capung, dan burung-burung.Rangkaian aksara di buku yang terbuka tidak lebih dari pengalih atensi orang lain, barangkali ada yang melihat, sementara ingatan tak jeranya kembali memu
Di gua, Shaw, Bold, dan Mival menerima tawaran sang sosok untuk menginap.“Apa itu?” Shaw bergumam pelan dengan mata yang masih terpejam.Suara gesekan benda menjadi satu-satunya yang terdengar di dalam gua, meriuh sampai ke kamar yang ditempati Shaw.Mereka mengobrol sampai sore dan sang tuan rumah menyarankan Shaw, Bold, dan Mival untuk bermalam ketika ketiganya pamit untuk melanjutkan perjalanan.Shaw mengernyit mendengar suara yang kembali menyelusup ke pendengarannya. Merasa sudah terjaga dan sulit tidur lagi, Shaw membuka mata, mengusapnya sekali, lalu beranjak dari peraduan. Ia telusuri asal suara yang didengar, membawa langkah ke lorong gelap yang tidak begitu lebar, menurun ke ruangan bawah. Barulah ia tahu bahwa lantai gua yang ia pijak sebelumnya bukan benar-benar lantai dasar karena masih ada lantai lain di bawahnya. Itu seperti ruangan bawah tanah.Tuan rumah terlihat duduk di kursi paling dekat dinding. Ada lentera minyak, diletakkan di tengah meja persegi dengan beberapa
“Bold!?”Salah seorang jagawana refleks menyebut nama Bold saat lampu menyorot kedatangan sang prajurit jagur. Lampu sorot yang dinyalakan lebih redup daripada lampu sorot yang digunakan saat malam hari. Ini karena hanya sebagai penerang pembantu. Hutan yang lebat membuat sekitar lebih gelap meskipun malam telah lewat.Jagawana lain yang berkutat dengan penerangan mereka pun mengarahkan pandang ke depan menara, melihat sang prajurit jagur datang mendekat. Serentak, mereka memberi hormat sebab posisi dan jabatan mereka berada di bawah Bold.“Tidak perlu formal, bersikap biasa saja. Aku hanya mampir sebentar,” ujar Bold seraya menaik-turunkan telapak tangannya melihat para jagawana dengan posisi sigap dan tampak lebih tegang.Sang ketua tim jagawana yang bertugas turun dari atas menara, menyambut Bold, mempersilakan prajurit jagur itu duduk di kursi pos samping menara, tempat para jagawana beristirahat. Pandangannya ia arahkan pula pada dua anak yang ikut serta bersama Bold, lalu setenga
Atmosfer langka yang menyelimuti pos jagawana selama beberapa saat itu memudar; semua kembali seperti sedia kala seiring kepergian Shaw, Bold, dan Mival. Para jagawana kembali dengan ekspresi serius, datar, dan tenang mereka, menyorot setiap inci hutan dalam jangkauan jarak sesuai tugas yang diamanatkan.Matahari terus bergulir, tidak lama lagi mencapai titik 50° dari ufuk barat. Shaw, Bold, dan Mival melewati padang rumput di luar hutan, kemudian menanjak ke bukit rumput di timurnya, menurun dan melaju ke hutan di kaki bukit, kembali menyeberangi padang rumput lagi, lalu memasuki area perumahan penduduk yang tampak sudah jauh lebih baik dari sebelumnya.Mereka terus memacu cepat kuda yang ditunggangi, mengabaikan tatapan orang yang melihat. Risau menelisik hati Shaw membuatnya lebih bungkam lagi muram.“Kakeeek? Neneeek?” Suara Shaw membahana begitu ia tiba. Gelisah makin terasa mendapati panggilannya di seantero rumah dan pekarangan tak bersahut.“Tidak ada. Kakek dan Nenek tidak ada
Rantai telah terpasang sempurna di kaki dan tangan Spencer serta Gracie. Pecut cambuk telah dibersihkan, siap untuk dipakai lagi. Lantai ruangan pun telah bersih hingga menguarkan semerbaknya yang harum, mengalahkan amis anyir darah yang biasa menyelimuti. Semua dipersiapkan untuk hari ini setelah penantian sepuluh tahun lamanya.“Ada kata-kata terakhir?” tanya sang ketua prajurit dungeon. Namanya Dorn Starnar. Ia yang ditugasi Ascal perkara Spencer dan Gracie.“Tolong gantikan kami untuk merawat Shaw,” pinta Spencer lirih.“Shaw. Tolong jaga Shaw.” Gracie pun turut bicara. Sedih terasa pada suaranya.Tidak ada yang dipikirkan keduanya selain Shaw. Tentang hari ini, mereka telah bicarakan bersama sejak sepuluh tahun lalu. Keduanya siap untuk saling melepas satu sama lain, siap untuk bertemu kematian. Namun, keduanya belum siap untuk melepas Shaw. Keduanya belum siap untuk memberi kenyataan bahwa Shaw harus hidup seorang diri setelah hari ini.“Saya tidak bisa merawat Shaw, tetapi akan
Kilau cahaya pohon dan jalan memandu Bailey ke kaki gunung sisi utara, melewati area yang Bailey datangi tempo lalu bersama Shaw dan yang lain pada malam operasi penambangan ilegal. Semak belukar lebih tinggi, lalu ketika Bailey sampai di timur, menuju belokan ke tenggara, kilau cahaya kemerahan berkelap-kelip di depan.Bailey segera menghentikan laju kudanya.“Profesor bilang warna lain selain hitam dan putih akan cenderung samar, tapi merah itu terlalu jelas,” gumam Bailey.Menggeser fokus tatapannya, Bailey menemukan lebih banyak siluet merah dengan haki yang menguar di dalam sebuah gua. Bailey mengamati sekitar lebih jeli. Terlihat oleh matanya dinding seperti kubah di atas.Bailey menyalurkan hakinya ke kuda, tetapi tetap menyamarkannya, kemudian membuat kuda berderap pelan dan santai. Sang kuda bagai berjalan di atas angin; tidak ada suara yang terdengar tiap kali kakinya memijak.Mendekati gua, Bailey turun dari kuda. Ia ikatkan tali kuda ke sebuah pohon, kemudian melanjutkan d
Aaban mengangguk, kemudian beralih tatap pada prajurit yang tadi membawakan kuda.“Buka gerbangnya.”Sang prajurit mengangguk patuh, kemudian berlari menuju pos jaga di sisi salah satu gerbang. Model pos agak tinggi dari permukaan tanah, jadi, ia mendongak dan berseru pada prajurit yang berada di pos.“Buka gerbangnyaaaa!”Prajurit di pos segera menjalankan perintah. Engsel gerbang segera berbunyi, lalu gerbang berderit, perlahan terbuka seiring Bailey menunggangi kuda.“Hati-hati, Tuan Muda!” kata Aaban.Bailey mengangguk. “Aku pergi.”Prajurit yang berseru pada prajurit di gerbang menyingkir, kembali ke sisi Aaban. Bailey menghentak tali kuda, melewati gerbang begitu gerbang terbuka lebar.“Tuan Muda sangat berani dan cerdik,” celetuk prajurit di sisi Aaban. Ia memandangi kepergian Bailey dengan binar takjub di matanya.“Dia putra pemimpin Zanwan. Keberanian dan kecerdikan akan bagus untuk menjadi bagian dari dirinya,” kata Aaban sambil memandangi Bailey yang menjauh, membelah padan
Matahari telah terbenam di ufuk barat. Malam telah bertakhta. Dinginnya udara menerpa Zanwan sedingin suasana di meja makan mansion Hunt.“Wilton, di mana Bailey?” Jillian bertanya.Piring-piring masih terisi, belum habis setengah hidangan di atasnya. Satu kursi di meja makan, kursi yang biasa diduduki Bailey, kini kosong. Wilton berdiri di belakang samping kursi tersebut.Pelayan mengatakan Bailey tidak ada di kamarnya beberapa saat lalu. Sebentar sebelum duduk ke kursinya, Jillian pun mengecek kamar Bailey, hanya menemukan ruangan kosong. Sampai Ascal tiba, Bailey belum juga muncul. Tak ayal Ascal memanggil Wilton.“Tuan Muda ….” Wilton bicara serupa suara bisikan di keramaian, nyaris tidak terdengar saking lirihnya.Jillian mengerjap. Ia melirik Wilton sambil makan. Wilton terus menunduk, bahkan tidak kunjung menyelesaikan bicaranya. Ascal berganti melontarkan tanya tanpa menoleh.“Wilton, di mana Bailey?”“Tuan Muda pergi ….” Wilton masih serupa anak kecil yang bersembunyi.“Wilto
Bailey manggut-manggut. “Aku tidak mengira kalian akan mengajukan pertanyaan semacam itu, bahkan tidak mengira kalian akan pernah menghiraukan hal semacam itu. Terima kasih, kurasa.”Senyum terukir di hati Bailey. Sebuah kabar gembira bagai menggema di dalam dirinya. Begitu pula yang dirasakan Otto dan Milo. Bailey menyambut baik, tentu itu kabar besar yang membahagiakan. Sekali lagi, perkiraan mereka salah. Sepertinya Bailey tidak mendengar pembicaraan mereka di kelas atau mungkin mendengar, tetapi tidak mempermasalahkan, dan itu membuat kegembiraan mereka kian bertambah.“Sanjungan lebih pantas untukmu,” kata Milo.Bailey merespon itu dengan senyum kecil. Otto dan Milo mengerjap, segera berpikir apakah mereka salah lihat. Namun, mereka dapati bahwa mereka tidak salah lihat. Bailey memang tersenyum. Senyum itu, Bailey tujukan kepada mereka.“Aku mulai dari pertanyaan pertama, ya,” kata Bailey, kemudian menghirup udara sejenak.Otto dan Milo mengangguk dan memasang telinga baik-baik.
“Kau mendengarnya?” Otto bertanya dengan wajah memucat. Suaranya amat pelan sampai nyaris tidak terdengar.Milo mengangguk kecil dalam gerakan patah-patah dan sarat keraguan. Ekspresi pada wajahnya tidak jauh berbeda.Kepala mereka kemudian bergerak bersamaan, berpaling tatap ke baris terdepan, lalu mereka melihat Bailey beranjak dari duduknya, pergi keluar.“Apa Tuan Muda mendengar pembicaraan kita?” Milo bertanya dalam suara lebih rendah, serupa bisik-bisik yang mungkin saja akan hanyut terbawa angin.Otto menggeleng. Bukan jawaban meyakinkan, hanya harapan bahwa itu adalah kenyataan yang terjadi.“Kalau benar, semesta mungkin tidak akan berpihak pada kita setelah ini,” kata Otto.Cemas menyerang Otto. Kalau Bailey benar mendengar pembicaraan mereka, apakah kali ini Bailey akan tersinggung? Kesal? Emosi dan apa pun yang lebih buruk?“Kurasa kita sebaiknya bergegas?” Milo melirik Otto.“Itu keputusan paling baik.” Otto berdiri.Milo memasukkan buku catatan yang baru sebentar ia baca
“Katakan saja,” ucap Bailey di sela makannya.Bailey tahu dua anak lelaki ini takkan mendatanginya kalau hanya untuk makan. Ada meja-meja kosong lain yang siap untuk ditempati, pun keduanya belum pernah begitu pada Bailey sepanjang sejarah bersekolah walau satu kelas dengan Bailey.“Kami … agak … penasaran. Apa Tuan Muda akan mendaftar untuk turnamen?” Otto Atrius yang duduk di sebelah Milo bertanya. Bibir merah cerahnya berulang kali mengatup dan terbuka setelah pertanyaan diajukan. Otaknya berpikir apakah pertanyaan itu sudah pas atau tidak.“Turnamen umum, maksudmu?” tanya Bailey.Otto mengangguk. “Kami dengar-dengar tahun ini murid yang terpilih untuk mewakili sekolah boleh mendaftar turnamen umum. Kami juga baca informasinya di mading pagi ini.”“Kalau terpilih mewakili sekolah, lalu mendaftar di turnamen umum dan ternyata lolos dalam keduanya ke final, terlebih keluar sebagai juara di peringkat satu, akan otomatis mendapat tiket emas dan bonus berlipat.” Milo turut bicara setela
“Ayah dan Ibu bawa apa? Itu terlihat banyak sekali!” Shaw mengamati tas-tas belanjaan dengan antusias. Salah satu isi yang tertangkap matanya adalah pakaian.“Oh, ini untuk putra Ibu yang paling manis!” Suara wanita menjawab.“Asyik! Pakaian, ya?” tanya Shaw.“Betul. Ada mainan juga!” Suara pria yang bicara.“Horeeee … mainan!” Shaw berseru gembira. Kebahagiaan meluap-luap pada suaranya.Di atas kaca, Shaw gemetar. Ia tidak mengira danau kaca keyakinan akan menampilkan momen seperti itu. Ia kira itu hanya akan berkisar perjalanannya, rencananya dengan Bailey, tantangan yang dihadapi dalam upaya mewujudkan impian tentang Zanwan. Namun, apa yang ia dengar sepenuhnya berbeda. Sama sekali tidak ada dalam bayangannya. Tidak sedikit pun.Mata Shaw bergetar. Air makin banyak di sana, lalu tumpah kala Shaw dengar suara yang sangat familier.“Shaw, jangan melompat-lompat tinggi begitu.” Itu suara Spencer, terdengar riang dan penuh kasih.“Shaw gembira sekali sepertinya.” Gracie menyusul bicara
“Ini danaunya.”Shaw sampai di ujung hutan lain setelah dari hutan sunyi dan melewati padang rumput. Di hadapannya membentang danau jernih yang berkilau, besar dan luas yang tidak mampu Shaw ukur dengan pasti. Ia perkirakan luasnya sama atau bahkan melebihi lapangan alun-alun distrik Acilav.“Sampai di danau itu, cara paling cepat untuk melewatinya adalah membelahnya. Menyeberanginya,” kata Fu dalam pesannya sebelum berpisah. “Jangan terkecoh dengan ukurannya yang kau mungkin kira tidak seberapa luas; masih sangat mungkin untuk dilewati dengan mengitarinya. Terkadang dalam waktu dan untuk alasan yang tidak terduga, setelah melihat wujudnya, begitu kau berjalan, mencoba memutari danau untuk sampai di seberang, di sisi lain, kau akan dapati bahwa ujung danau bahkan tidak kautemukan. Semua yang kaulihat mungkin hanya akan menjadi hamparan air. Tidak ada lagi pepohonan, tidak ada lagi daratan selain tempat kau berpijak dan sekitar.”Shaw berjinjit, mencoba menjangkau seberang danau dengan
“Ada rencana untuk keluar lagi di sisa hari ini, Tuan Muda?” Wilton bertanya seturunnya ia dari kuda, memegangi tali setelah Bailey turun. Mereka baru sampai di mansion, pulang dari sekolah.“Kurasa tidak. Sepertinya aku akan habiskan waktu di meja belajar.”“Baik. Saya akan ada di pos malam ini kalau Tuan Muda butuh sesuatu.”“Ya. Aku masuk, ya. Terima kasih untuk hari ini, Wilton.”Bailey pergi, masuk ke mansion. Wilton mengiringi kepergian Bailey dengan anggukan penuh hormat. Bibirnya melengkung membentuk senyum. Usai Bailey tidak lagi terlihat, Wilton membawa kuda ke kandang.Sampai kamar, Bailey menyalakan penerangan, melepaskan ransel, dan bersih-bersih. Ia melanjutkan dengan menekuri buku-buku mata pelajaran sampai pelayan memanggil namanya dari luar pintu.Makan malam tiba, Bailey berseri-seri menemukan Jillian di meja makan. Canda tawa Jillian serupa bunga-bunga di musim semi dan keceriaan Bariela adalah penyempurna. Jillian telah kembali dengan warna cerahnya, tidak lagi ber