Laci dibuka, Bailey mengambil pena dan buku catatan berukuran kecil, lantas menuliskan rentetan kejadian yang ia ingat sejak beberapa hari sebelum penyerangan, saat perang, nama-nama yang ia curigai beserta alasannya, orang yang mengusulkan dan mendesak penundaan hukuman mati di rapat, dan laporan-laporan yang masih ia ingat beserta nama-nama pelapornya. Selesainya, pena ia taruh dan melanjutkan membaca.
“Dua prajurit itu, terkadang aku melihat mereka berjaga di area tahanan tetua. Maksudku, para orang tua, jeruji-jeruji di lorong yang kau lewati saat Shaw dihukum. Terkadang aku hanya melihat satu dari mereka, terkadang keduanya. Kalau dipikir-pikir, bukankah seharusnya mereka tidak sesering itu berjaga di tempat yang sama? Bukankah begitu peraturannya? Setidaknya itu yang kutahu dari seorang prajurit yang pernah kutanyai.”
“Hum, memang begitu.” Bailey membenarkan, menulis lagi di buku catatan.
“Aku juga pernah mendengar mereka membicarakan tahanan-tahanan tetua itu. Kalau kau lupa tahanan tetua yang kumaksud, baca lagi ke pesan sebelumnya, tapi kurasa kau tidak lupa, haha. Aku merasa mereka memiliki misi atau tugas tersembunyi selain dari tugas mereka sebagai prajurit penjaga dungeon. Mengawasi para tahanan tetua itu misalnya.”
“Memang tidak lupa. Barusan kubaca, bagaimana mungkin lupa? Ingatanku tidak seburuk itu.” Bailey mengerucutkan bibir.
“Kau tidak lupa, 'kan? Sudah kuduga, ahaha! Ah, iya, kau tahu? Ingat ini baik-baik. Sebenarnya penyerangan bangsaku, para Viking, kemarin lalu, tidak sepenuhnya dikarenakan keinginan untuk menjajah dan menguasai tanah kalian. Seharusnya orang-orang bisa menduganya. Kami adalah Viking, tempat kami di laut, bukan di daratan, bahkan rumah dan keluarga saja kami tinggalkan demi melaut, mencari penyambung hidup di lautan untuk dibawa pulang ke rumah, ke keluarga kami, ke daratan tanah air kami.”
“Begitu, yaa. Berarti, pasti ada alasan kuat di baliknya.”
“Penjarahan yang kami lakukan pun hanya pada mereka yang berhak menerimanya. Orang-orang sombong yang suka semena-mena. Yang satu ini, kau pasti bingung dan tidak mengerti. Jadi, tak perlu kubahas. Nah, kembali lagi. Mengapa kami harus bersusah payah membuang tenaga, mengambil risiko besar, bahkan mempertaruhkan nyawa kami untuk menjajah daratan lain? Adakah kau berpikir sampai situ, Bailey?”
“Hmm ... tidak. Aku tidak memikirkan itu sebelumnya,” jawab Bailey dalam hati lagi. “Tapi benar juga. Ini semakin menguatkan tebakanku kalau memang ada alasan kuat di balik tindakan mereka itu.”
Bailey tidak berpikir lebih jauh lagi dan fokus membaca pesan berikutnya. Mimik wajahnya menjadi lebih serius.
“Dan kau tahu? Sesungguhnya penyerangan bangsaku yang lalu adalah sebuah balas dendam dengan ambisi yang dilebihkan atas titah ketua kami yang telah hilang arah, buta mata hati juga akalnya tersebab kehilangan orang yang berharga, orang yang tewas di tangan orang Zanwan.”
Bailey diam. Otaknya berisik meriuh, menggapai perbatasan pulau dengan laut, mencoba mencari celah hubung antara penduduk Zanwan, selain para nelayan, dengan kawanan perompak bersebutkan Viking ini.
“Robekan syal berbahan halus di dekat jasad orang terkasih pemimpinku yang kuyakin berkualitas tinggi membawa curigaku pada petinggi desa Zanwan atau setidaknya penduduk kalangan atas distrik Alocya.”
“Syal berkualitas tinggi.” Bailey berpikir lagi.
“Aku belum pernah mendengar kasus atau sekadar desas-desus apa pun tentang hal ini. Lagipula, orang yang diizinkan melaut secara berkala dan paling sering adalah para nelayan pencari ikan. Itu pun didampingi prajurit perbatasan yang tidak hanya satu dua. Mungkinkah pembunuhan itu terjadi saat aku masih balita, bayi, atau sebelum aku lahir?” terka Bailey.
“Kalau benar, berarti ini adalah dendam lama dan berarti dalang pembunuhan itu sudah mengacau sejak lama pula. Kalau orang itu juga terlibat dalam masalah yang terjadi akhir-akhir ini, berarti orang itu masih hidup dan berkeliaran bebas.” Bailey manggut-manggut. Sekarang ia mengerti betapa rumitnya masalah di Zanwan.
“Aku adalah salah satu saksi atas pembunuhan itu. Masih kuingat wajahnya, tapi tak kuketahui identitasnya. Aku tidak tahu dia adalah orang suruhan atau akar pembunuhan itu sendiri. Yang jelas permainan pedangnya cukup bagus. Ia seorang pengguna dua pedang, tapi lebih banyak menggerakkan pedang di tangan kiri. Ada tato bergambar hiu kecil di tangan kirinya.”
Hanya ada dua kemungkinan besar jika orang itu adalah pengguna dua pedang dengan permainan yang bagus. Pertama, orang itu adalah lulusan akademi khusus, seorang terlatih dengan latar belakang keluarga petinggi desa. Kedua, orang itu adalah murid atau lulusan dari barak khusus yang menjadi rumah berlatih para calon pasukan elite. Tidak semua orang yang berlatih di sana lulus dan masuk menjadi pasukan elite Zanwan. Ada yang menjadi telik sandi, tangan kanan, juga pengawal petinggi desa.
Bailey membalik halaman buku catatan yang sudah penuh, mengambil pena dan menggerakkannya lagi, menuliskan semua riuh di kepala, kemudian melanjutkan membaca.
“Haaaahhhh …. Aku tidak sempat menghentikan aksi pembunuhan itu karena orang-orang mereka menghalangiku. Pembunuh itu tidak sendiri, ada orang lain yang bersamanya, tapi hanya menonton, juga beberapa orang yang sepertinya anak buah mereka. Saat itu aku juga tidak sendiri, ada Edvard bersamaku. Edvard Eidem. Kami mencoba menghentikan aksi mereka, tapi tidak berhasil karena kalah jumlah, kekuatan, dan kemampuan. Kami masih remaja sedangkan mereka orang dewasa.”
“Dokter Ed!? Mungkin aku harus menanyakan ini padanya nanti.”
“Tapi, Bailey, jangan kau coba untuk bertanya pada Edvard tentang hal ini! Setidaknya, tidak sampai kau yakin kau bisa mempercayainya.”
Bailey terdiam dalam bingung.
“Orang ini seperti benar-benar tahu isi pikiranku dan apa yang akan kulakukan. Oh, dan ada apa dengan Dokter Ed?”
“Edvard pasti kenal orang-orang itu karena mereka sama-sama berasal dari Zanwan dan tinggal di distrik Aloclya. Kalau kau ingin tahu, orang terkasih pemimpinku yang terbunuh oleh mereka adalah termasuk orang terdekat Edvard. Lebih dari itu, Edvard anggap sebagai kakaknya sendiri, tapi sejak hari itu, tak pernah lagi kulihat Ed sampai malam perang beberapa waktu silam. Aku melihat Ed berdiri bersama petinggi Zanwan, memerangi kami, padahal dia sangat tahu apa yang terjadi. Yang kukhawatirkan, Ed berubah pikiran dan bergabung bersama para pembunuh itu.”
“Baiklah, aku harus tetap hati-hati, tapi tentang Dokter Ed? Sulit dipercaya. Kalau Dokter Ed bergabung dengan mereka, artinya Dokter Ed adalah salah satu mata-mata mereka. Kalau benar, artinya Dokter Ed sudah mendapat sedikit banyak informasi, terlebih dari sini, berhubung hanya Dokter Ed orang luar mansion yang paling sering datang ke sini untuk memeriksa kesehatan Ayah, apalagi mereka terkadang membincangkan sesuatu.”
Bailey makin bingung. Apa yang ia dapatkan menyulitkannya untuk memilih siapa yang benar-benar bisa dipercaya, lalu Shaw muncul dalam ingatannya begitu saja. Bailey menghela napas. Berharap sekali ia pada hadirnya Shaw saat ini. Gundah batinnya. Ia taruh gulungan kertas di meja dan meraih pena juga buku catatannya, menuliskan semua yang ia baca dan hal-hal yang masuk lagi ke dalam pikirannya.
Di kamar lain, Ascal dan Jillian terlibat percakapan.
“Bailey sudah pulang?” Ascal bertanya sembari bercermin, merapikan pakaian kasualnya yang sebenarnya sudah rapi. Ia baru saja selesai mandi.
“Sedari sore. Sudah dua kali juga kusuruh dia makan. Yang terakhir, Bibi Myriam bilang Bailey akan makan nanti,” jawab Jillian sembari menutup buku yang usai dibaca dan menyimpannya ke rak.
“Kau tidak melihatnya?”
“Saat pulang sekolah, aku menyuruhnya membersihkan diri dan makan. Aku juga mengatakan ingin bicara dengannya nanti. Bailey sempat meminta bicaranya saat itu juga, tapi tak ku-iya-kan. Bailey menerimanya dan pergi ke kamar. Dia belum keluar lagi sampai sekarang,” jelas Jillian yang sekarang merapikan beberapa buku yang tergeletak di meja dekat rak buku.
“Menurutmu dia kenapa?” Ascal mendekat untuk mengambil sisir di meja rias Jillian, kembali lagi ke depan cermin lemari pakaian dan menyisir rambutnya.
“Aku tidak bisa menduganya, tapi mungkinkah karena Shaw pergi? Bailey memikirkan apa yang akan dia lakukan mulai besok?” Jillian mengangkat satu alisnya, melirik Ascal.
“Hmm ... biar kulihat.”
Ascal menaruh sisir dan keluar.
Mengetahui ketukan juga panggilannya tidak terjawab terus, Ascal langsung membuka pintu, lalu mematung sesaat ketika melihat ke dalam kamar, tepatnya melihat Bailey.
“Bailey?” Ascal mendekat dengan wajah datarnya.
Yang dipanggil terdiam membeku, terkejut bukan main. Bailey yang sedang menulis sembari menopang dagu, berpikir, sontak menghentikan penanya. Ia menelan ludah, merutuki diri yang lupa mengunci pintu dan terlalu larut sampai tidak mendengar ketukan juga suara panggilan yang seharusnya cukup keras untuk mendobrak fokusnya.
Bailey menaruh pena di samping buku catatan, melirik Ascal sekilas.
“Ya?”
Gegas Bailey menggulung surat dari perompak.
“Bukankah ibumu menyuruhmu makan?”
Perhatian Ascal tertarik pada kertas yang Bailey gulung, lalu anak panah yang tergeletak di meja. Ascal berhenti di depan meja.
“Aku akan makan nanti,” jawab Bailey singkat, memindahkan gulungan juga buku catatannya ke bawah meja dan menggenggamnya erat.
Ascal mengambil dua potong anak panah yang tergeletak, memperhatikan lamat-lamat. Bailey panas dingin. Ascal bergerak ke samping meja, Bailey memiringkan badannya dengan waspada.
“Boleh Ayah lihat kertas yang kau gulung?” tanya Ascal, berdiri di samping kursi Bailey.
Bailey menggeleng. “Tidak.”
“Ayah pinjam sebentar saja,” bujuk Ascal, mengulurkan tangan kanan.
“Tidak!” Bailey menggeleng lagi, memeluk gulungan kertas juga buku catatannya.
“Bailey ....”
“Tidak, Ayah. Tidak mau! Tidak boleh!” Bailey berdiri, mundur menjauh sedikit dari kursinya.
Curiga dengan anak panah berlubang dan kertas yang Bailey gulung, Ascal kembali mencoba membujuk putranya.
“Hanya sebentar. Ayah baca di sini, setelah itu langsung Ayah kembalikan padamu.”
“Tidak mau, Ayah. Jangan memaksaku.”
“Kau keras kepala sekali.”
Ascal menatap datar dan dingin. Ia yakin ada sesuatu dengan anak panah dan gulungan kertas itu.
“Ayah yang keras kepala!” Bailey menjawab tidak kalah dingin seiring kesal yang mencuat. “Tak bisakah Ayah berhenti memaksaku? Aku tidak menyukainya. Berhenti memaksaku tentang apa pun, Ayah. Jangan membuatku melangkah lebih jauh dari Ayah!”
Bailey berjalan menyamping melewati Ascal dengan kedua tangan menyembunyikan gulungan kertas serta buku catatan di belakang tubuhnya.
Ascal terhenyak, tidak bereaksi apa pun selain dengan tanpa ekspresi menatap kepergian Bailey.
“Anak itu!”
Lampu-lampu ruangan telah menyala, kontras dengan gelap yang terpampang di luar jendela. Baru Bailey sadari kalau hari sudah malam. Ia pergi ke dapur. Pelayan dan koki di sana menengok dengan desir kejut menjalar.“Tu … Tuan Muda, apa yang Anda lakukan di sini? Anda membutuhkan sesuatu?” Itu Dexter sang koki. Ia meletakkan piring berisi olahan ayam di meja dan menghampiri Bailey sembari mengelap tangan. Para pelayan menundukkan pandangan sekilas dan melanjutkan kegiatan.“Aku haus,” jawab Bailey, mengambil gelas.“Ah, sebentar, biar saya ambilkan.”Dexter bergegas mengambil gelas, tetapi langkahnya terhenti karena Bailey sudah lebih dulu mengisi gelasnya.“Tidak usah, Dexter, terima kasih. Ini hanya air putih,” ujar Bailey seraya mengangkat gelas berisi air putih di tangan.Sambil membawa gelas, Bailey keluar dapur, mendudukkan diri di kursinya, membiarkan para pelayan menghidangkan makan malam di meja dengan gugup. Tentu saja gugup. Belum tepat jam makan malam, tetapi tuan muda mereka
“Perapian sudah siap!”“Woaaahhhh, Bold hebat! Cepat sekali!”Mata berbinar Mival terarah lurus pada Bold dan perapian di depan prajurit jagur itu. Mival belum pernah membuat api secepat itu, apalagi di malam hari yang udaranya dingin. Meski memakai pemantik pun, Mival belum bisa secepat Bold menyalakan api dan membuatnya menjadi api unggun kecil.“Hmm ... bekal yang Nenek siapkan cukup banyak, tapi tidak dengan jenisnya. Jadi, makanan kita malam ini sama seperti tadi siang dan ini cukup sampai besok malam, tapi minumnya kurasa akan lebih cepat habis.”Shaw menghampiri Bold dan Mival di dekat perapian, meletakkan ransel, dan mengeluarkan tiga kotak makan serta botol minum.“Tidak masalah. Masih ada buah-buahan, 'kan? Kalau kurang, kita bisa mencarinya. Di hutan luar desa ada banyak pohon buah. Ikan pun melimpah di sungai.” Bold menenangkan.“A … apa itu?”Mival yang asyik menyimak tidak sengaja melihat benda berwarna putih di ketinggian.Shaw dan Bold mengikuti arah pandang Mival dan m
“Hmm ... lantas, satu halnya lagi?”Ascal tidak ingin menahan Bexter lebih lama karena hari sudah sangat larut, pun tahu besok asistennya itu akan siaga dengan jadwalnya di pagi buta. Mengenal dan bersama cukup lama membuat Ascal sangat paham bagaimana seorang Bexter Larson. Ascal ingin Bexter mendapat cukup istirahat agar tubuhnya prima, juga agar dapat bekerja dengan maksimal.Bexter yang memahami respon Ascal pun tidak membuka lebih banyak bahasan. Ia mengeluarkan sebuah kotak kayu kecil dari saku dan menaruhnya di meja.“Ini, Tuan.”Ascal meraih kotak itu dan membukanya. Ada sebuah robekan syal berwarna marun dan secarik kertas di dalamnya.“Itu adalah kotak yang saya temukan di saku perompak yang terakhir itu.”Ascal mengambil secarik kertas, membaca tulisan yang tertera di sana.“Little Shark of Zanwan & bloody night of Viking?” Kening Ascal mengernyit, menatap Bexter. “Interaksi antara para viking ini dengan penduduk Zanwan yang kuingat hanya dua. Beberapa hari lalu dan saat per
Tanah yang lembab membuat tapal kuda berjejak cukup dalam diakibatkan oleh hentakan yang kuat. Perlu kehati-hatian ekstra agar kuda tidak terjerembab ataupun terpeleset dan jatuh. Semak dan rerumputan yang makin tinggi tersebab kawasan yang sangat jarang disentuh manusia itu tidak menjadi penghalang bagi Shaw dan Bold untuk mempercepat laju kuda mereka. Keduanya memilih area tanah yang lebih datar dengan rerumputan yang lebih rendah dan kering agar kuda dapat melaju lebih cepat.Mereka berhasil mencapai jarak 3/4 busur panah dari kaki gunung di titik mereka memanjat tebing, terus melajukan kuda sampai mencapai penuh ujung busur; sejajar dengan titik saat mereka memanjat tebing.Pandangan dan pendengaran ditajamkan sembari terus menghentak kuda. Pepohonan yang lebat dengan jarak cukup rapat membuat pemandangan sekitar tampak seperti potongan gambar dengan kecepatan kuda mereka.“Arah jam sebelas!” Shaw berseru begitu melihat sang sosok memacu kudanya ke selatan di arah jam sebelas.Bold
Apalah yang bisa semesta lakukan ketika hati masih terpaut pada orang yang sama meski raga telah terpisahkan? Jarak yang teramat jauh membentang, beribu ruang dan pintu kokoh jadi penghalang, pun waktu yang meragu beri kesempatan, disempurnakan takdir yang seakan-akan lelah untuk kembali pertemukan.Apalah yang bisa semesta lakukan ketika jiwa yang merindu menolak untuk berhenti mengaum? Ketika rasa dalam kalbu yang bergejolak menimbulkan gelombang ombak, menolak untuk berhenti meraung.Adakah setitik harapan itu masih hidup? Sekecil kesempatan pun 'kan diterima, lebih dari cukup untuk menarik dua sudut bibir melengkung ke atas.Adakah benang merah itu masih terikat? Setipis benang layang pun tidak masalah, cukup untuk membuat nadi tetap dalam iramanya, menari di hamparan ladang bunga bertemankan kupu-kupu, capung, dan burung-burung.Rangkaian aksara di buku yang terbuka tidak lebih dari pengalih atensi orang lain, barangkali ada yang melihat, sementara ingatan tak jeranya kembali memu
Di gua, Shaw, Bold, dan Mival menerima tawaran sang sosok untuk menginap.“Apa itu?” Shaw bergumam pelan dengan mata yang masih terpejam.Suara gesekan benda menjadi satu-satunya yang terdengar di dalam gua, meriuh sampai ke kamar yang ditempati Shaw.Mereka mengobrol sampai sore dan sang tuan rumah menyarankan Shaw, Bold, dan Mival untuk bermalam ketika ketiganya pamit untuk melanjutkan perjalanan.Shaw mengernyit mendengar suara yang kembali menyelusup ke pendengarannya. Merasa sudah terjaga dan sulit tidur lagi, Shaw membuka mata, mengusapnya sekali, lalu beranjak dari peraduan. Ia telusuri asal suara yang didengar, membawa langkah ke lorong gelap yang tidak begitu lebar, menurun ke ruangan bawah. Barulah ia tahu bahwa lantai gua yang ia pijak sebelumnya bukan benar-benar lantai dasar karena masih ada lantai lain di bawahnya. Itu seperti ruangan bawah tanah.Tuan rumah terlihat duduk di kursi paling dekat dinding. Ada lentera minyak, diletakkan di tengah meja persegi dengan beberapa
“Bold!?”Salah seorang jagawana refleks menyebut nama Bold saat lampu menyorot kedatangan sang prajurit jagur. Lampu sorot yang dinyalakan lebih redup daripada lampu sorot yang digunakan saat malam hari. Ini karena hanya sebagai penerang pembantu. Hutan yang lebat membuat sekitar lebih gelap meskipun malam telah lewat.Jagawana lain yang berkutat dengan penerangan mereka pun mengarahkan pandang ke depan menara, melihat sang prajurit jagur datang mendekat. Serentak, mereka memberi hormat sebab posisi dan jabatan mereka berada di bawah Bold.“Tidak perlu formal, bersikap biasa saja. Aku hanya mampir sebentar,” ujar Bold seraya menaik-turunkan telapak tangannya melihat para jagawana dengan posisi sigap dan tampak lebih tegang.Sang ketua tim jagawana yang bertugas turun dari atas menara, menyambut Bold, mempersilakan prajurit jagur itu duduk di kursi pos samping menara, tempat para jagawana beristirahat. Pandangannya ia arahkan pula pada dua anak yang ikut serta bersama Bold, lalu setenga
Atmosfer langka yang menyelimuti pos jagawana selama beberapa saat itu memudar; semua kembali seperti sedia kala seiring kepergian Shaw, Bold, dan Mival. Para jagawana kembali dengan ekspresi serius, datar, dan tenang mereka, menyorot setiap inci hutan dalam jangkauan jarak sesuai tugas yang diamanatkan.Matahari terus bergulir, tidak lama lagi mencapai titik 50° dari ufuk barat. Shaw, Bold, dan Mival melewati padang rumput di luar hutan, kemudian menanjak ke bukit rumput di timurnya, menurun dan melaju ke hutan di kaki bukit, kembali menyeberangi padang rumput lagi, lalu memasuki area perumahan penduduk yang tampak sudah jauh lebih baik dari sebelumnya.Mereka terus memacu cepat kuda yang ditunggangi, mengabaikan tatapan orang yang melihat. Risau menelisik hati Shaw membuatnya lebih bungkam lagi muram.“Kakeeek? Neneeek?” Suara Shaw membahana begitu ia tiba. Gelisah makin terasa mendapati panggilannya di seantero rumah dan pekarangan tak bersahut.“Tidak ada. Kakek dan Nenek tidak ada
Kilau cahaya pohon dan jalan memandu Bailey ke kaki gunung sisi utara, melewati area yang Bailey datangi tempo lalu bersama Shaw dan yang lain pada malam operasi penambangan ilegal. Semak belukar lebih tinggi, lalu ketika Bailey sampai di timur, menuju belokan ke tenggara, kilau cahaya kemerahan berkelap-kelip di depan.Bailey segera menghentikan laju kudanya.“Profesor bilang warna lain selain hitam dan putih akan cenderung samar, tapi merah itu terlalu jelas,” gumam Bailey.Menggeser fokus tatapannya, Bailey menemukan lebih banyak siluet merah dengan haki yang menguar di dalam sebuah gua. Bailey mengamati sekitar lebih jeli. Terlihat oleh matanya dinding seperti kubah di atas.Bailey menyalurkan hakinya ke kuda, tetapi tetap menyamarkannya, kemudian membuat kuda berderap pelan dan santai. Sang kuda bagai berjalan di atas angin; tidak ada suara yang terdengar tiap kali kakinya memijak.Mendekati gua, Bailey turun dari kuda. Ia ikatkan tali kuda ke sebuah pohon, kemudian melanjutkan d
Aaban mengangguk, kemudian beralih tatap pada prajurit yang tadi membawakan kuda.“Buka gerbangnya.”Sang prajurit mengangguk patuh, kemudian berlari menuju pos jaga di sisi salah satu gerbang. Model pos agak tinggi dari permukaan tanah, jadi, ia mendongak dan berseru pada prajurit yang berada di pos.“Buka gerbangnyaaaa!”Prajurit di pos segera menjalankan perintah. Engsel gerbang segera berbunyi, lalu gerbang berderit, perlahan terbuka seiring Bailey menunggangi kuda.“Hati-hati, Tuan Muda!” kata Aaban.Bailey mengangguk. “Aku pergi.”Prajurit yang berseru pada prajurit di gerbang menyingkir, kembali ke sisi Aaban. Bailey menghentak tali kuda, melewati gerbang begitu gerbang terbuka lebar.“Tuan Muda sangat berani dan cerdik,” celetuk prajurit di sisi Aaban. Ia memandangi kepergian Bailey dengan binar takjub di matanya.“Dia putra pemimpin Zanwan. Keberanian dan kecerdikan akan bagus untuk menjadi bagian dari dirinya,” kata Aaban sambil memandangi Bailey yang menjauh, membelah padan
Matahari telah terbenam di ufuk barat. Malam telah bertakhta. Dinginnya udara menerpa Zanwan sedingin suasana di meja makan mansion Hunt.“Wilton, di mana Bailey?” Jillian bertanya.Piring-piring masih terisi, belum habis setengah hidangan di atasnya. Satu kursi di meja makan, kursi yang biasa diduduki Bailey, kini kosong. Wilton berdiri di belakang samping kursi tersebut.Pelayan mengatakan Bailey tidak ada di kamarnya beberapa saat lalu. Sebentar sebelum duduk ke kursinya, Jillian pun mengecek kamar Bailey, hanya menemukan ruangan kosong. Sampai Ascal tiba, Bailey belum juga muncul. Tak ayal Ascal memanggil Wilton.“Tuan Muda ….” Wilton bicara serupa suara bisikan di keramaian, nyaris tidak terdengar saking lirihnya.Jillian mengerjap. Ia melirik Wilton sambil makan. Wilton terus menunduk, bahkan tidak kunjung menyelesaikan bicaranya. Ascal berganti melontarkan tanya tanpa menoleh.“Wilton, di mana Bailey?”“Tuan Muda pergi ….” Wilton masih serupa anak kecil yang bersembunyi.“Wilto
Bailey manggut-manggut. “Aku tidak mengira kalian akan mengajukan pertanyaan semacam itu, bahkan tidak mengira kalian akan pernah menghiraukan hal semacam itu. Terima kasih, kurasa.”Senyum terukir di hati Bailey. Sebuah kabar gembira bagai menggema di dalam dirinya. Begitu pula yang dirasakan Otto dan Milo. Bailey menyambut baik, tentu itu kabar besar yang membahagiakan. Sekali lagi, perkiraan mereka salah. Sepertinya Bailey tidak mendengar pembicaraan mereka di kelas atau mungkin mendengar, tetapi tidak mempermasalahkan, dan itu membuat kegembiraan mereka kian bertambah.“Sanjungan lebih pantas untukmu,” kata Milo.Bailey merespon itu dengan senyum kecil. Otto dan Milo mengerjap, segera berpikir apakah mereka salah lihat. Namun, mereka dapati bahwa mereka tidak salah lihat. Bailey memang tersenyum. Senyum itu, Bailey tujukan kepada mereka.“Aku mulai dari pertanyaan pertama, ya,” kata Bailey, kemudian menghirup udara sejenak.Otto dan Milo mengangguk dan memasang telinga baik-baik.
“Kau mendengarnya?” Otto bertanya dengan wajah memucat. Suaranya amat pelan sampai nyaris tidak terdengar.Milo mengangguk kecil dalam gerakan patah-patah dan sarat keraguan. Ekspresi pada wajahnya tidak jauh berbeda.Kepala mereka kemudian bergerak bersamaan, berpaling tatap ke baris terdepan, lalu mereka melihat Bailey beranjak dari duduknya, pergi keluar.“Apa Tuan Muda mendengar pembicaraan kita?” Milo bertanya dalam suara lebih rendah, serupa bisik-bisik yang mungkin saja akan hanyut terbawa angin.Otto menggeleng. Bukan jawaban meyakinkan, hanya harapan bahwa itu adalah kenyataan yang terjadi.“Kalau benar, semesta mungkin tidak akan berpihak pada kita setelah ini,” kata Otto.Cemas menyerang Otto. Kalau Bailey benar mendengar pembicaraan mereka, apakah kali ini Bailey akan tersinggung? Kesal? Emosi dan apa pun yang lebih buruk?“Kurasa kita sebaiknya bergegas?” Milo melirik Otto.“Itu keputusan paling baik.” Otto berdiri.Milo memasukkan buku catatan yang baru sebentar ia baca
“Katakan saja,” ucap Bailey di sela makannya.Bailey tahu dua anak lelaki ini takkan mendatanginya kalau hanya untuk makan. Ada meja-meja kosong lain yang siap untuk ditempati, pun keduanya belum pernah begitu pada Bailey sepanjang sejarah bersekolah walau satu kelas dengan Bailey.“Kami … agak … penasaran. Apa Tuan Muda akan mendaftar untuk turnamen?” Otto Atrius yang duduk di sebelah Milo bertanya. Bibir merah cerahnya berulang kali mengatup dan terbuka setelah pertanyaan diajukan. Otaknya berpikir apakah pertanyaan itu sudah pas atau tidak.“Turnamen umum, maksudmu?” tanya Bailey.Otto mengangguk. “Kami dengar-dengar tahun ini murid yang terpilih untuk mewakili sekolah boleh mendaftar turnamen umum. Kami juga baca informasinya di mading pagi ini.”“Kalau terpilih mewakili sekolah, lalu mendaftar di turnamen umum dan ternyata lolos dalam keduanya ke final, terlebih keluar sebagai juara di peringkat satu, akan otomatis mendapat tiket emas dan bonus berlipat.” Milo turut bicara setela
“Ayah dan Ibu bawa apa? Itu terlihat banyak sekali!” Shaw mengamati tas-tas belanjaan dengan antusias. Salah satu isi yang tertangkap matanya adalah pakaian.“Oh, ini untuk putra Ibu yang paling manis!” Suara wanita menjawab.“Asyik! Pakaian, ya?” tanya Shaw.“Betul. Ada mainan juga!” Suara pria yang bicara.“Horeeee … mainan!” Shaw berseru gembira. Kebahagiaan meluap-luap pada suaranya.Di atas kaca, Shaw gemetar. Ia tidak mengira danau kaca keyakinan akan menampilkan momen seperti itu. Ia kira itu hanya akan berkisar perjalanannya, rencananya dengan Bailey, tantangan yang dihadapi dalam upaya mewujudkan impian tentang Zanwan. Namun, apa yang ia dengar sepenuhnya berbeda. Sama sekali tidak ada dalam bayangannya. Tidak sedikit pun.Mata Shaw bergetar. Air makin banyak di sana, lalu tumpah kala Shaw dengar suara yang sangat familier.“Shaw, jangan melompat-lompat tinggi begitu.” Itu suara Spencer, terdengar riang dan penuh kasih.“Shaw gembira sekali sepertinya.” Gracie menyusul bicara
“Ini danaunya.”Shaw sampai di ujung hutan lain setelah dari hutan sunyi dan melewati padang rumput. Di hadapannya membentang danau jernih yang berkilau, besar dan luas yang tidak mampu Shaw ukur dengan pasti. Ia perkirakan luasnya sama atau bahkan melebihi lapangan alun-alun distrik Acilav.“Sampai di danau itu, cara paling cepat untuk melewatinya adalah membelahnya. Menyeberanginya,” kata Fu dalam pesannya sebelum berpisah. “Jangan terkecoh dengan ukurannya yang kau mungkin kira tidak seberapa luas; masih sangat mungkin untuk dilewati dengan mengitarinya. Terkadang dalam waktu dan untuk alasan yang tidak terduga, setelah melihat wujudnya, begitu kau berjalan, mencoba memutari danau untuk sampai di seberang, di sisi lain, kau akan dapati bahwa ujung danau bahkan tidak kautemukan. Semua yang kaulihat mungkin hanya akan menjadi hamparan air. Tidak ada lagi pepohonan, tidak ada lagi daratan selain tempat kau berpijak dan sekitar.”Shaw berjinjit, mencoba menjangkau seberang danau dengan
“Ada rencana untuk keluar lagi di sisa hari ini, Tuan Muda?” Wilton bertanya seturunnya ia dari kuda, memegangi tali setelah Bailey turun. Mereka baru sampai di mansion, pulang dari sekolah.“Kurasa tidak. Sepertinya aku akan habiskan waktu di meja belajar.”“Baik. Saya akan ada di pos malam ini kalau Tuan Muda butuh sesuatu.”“Ya. Aku masuk, ya. Terima kasih untuk hari ini, Wilton.”Bailey pergi, masuk ke mansion. Wilton mengiringi kepergian Bailey dengan anggukan penuh hormat. Bibirnya melengkung membentuk senyum. Usai Bailey tidak lagi terlihat, Wilton membawa kuda ke kandang.Sampai kamar, Bailey menyalakan penerangan, melepaskan ransel, dan bersih-bersih. Ia melanjutkan dengan menekuri buku-buku mata pelajaran sampai pelayan memanggil namanya dari luar pintu.Makan malam tiba, Bailey berseri-seri menemukan Jillian di meja makan. Canda tawa Jillian serupa bunga-bunga di musim semi dan keceriaan Bariela adalah penyempurna. Jillian telah kembali dengan warna cerahnya, tidak lagi ber