Laci dibuka, Bailey mengambil pena dan buku catatan berukuran kecil, lantas menuliskan rentetan kejadian yang ia ingat sejak beberapa hari sebelum penyerangan, saat perang, nama-nama yang ia curigai beserta alasannya, orang yang mengusulkan dan mendesak penundaan hukuman mati di rapat, dan laporan-laporan yang masih ia ingat serta nama-nama pelapornya. Selesainya, pena ia taruh dan melanjutkan membaca.
“Dua prajurit itu, terkadang aku melihat mereka berjaga di area tahanan tetua. Maksudku, para orang tua ... jeruji-jeruji di lorong yang kau lewati saat Shaw dihukum. Terkadang aku hanya melihat satu dari mereka, terkadang keduanya. Kalau dipikir-pikir, bukankah seharusnya mereka tidak sesering itu berjaga di tempat yang sama? Bukankah begitu peraturannya? Setidaknya itu yang kutahu dari seorang prajurit yang pernah kutanyai.’’
'Hum, memang begitu.' Bailey membenarkan. Menulis lagi di buku catatan.
“Aku juga pernah mendengar mereka membicarakan tahanan-tahanan tetua itu. Kalau kau lupa tahanan tetua yang kumaksud, baca lagi ke pesan sebelumnya. Tapi kurasa kau tidak lupa, haha .... Aku merasa mereka memiliki misi atau tugas tersembunyi selain dari tugas mereka sebagai prajurit penjaga dungeon. Mengawasi para tahanan tetua itu misalnya.’’
'Memang tidak lupa! Baru tadi kubaca, bagaimana mungkin lupa?! Ingatanku tidak seburuk itu.' Bailey memasang wajah cemberut.
“Kau tidak lupa, 'kan? Sudah kuduga. Hahaha .... Ah, iya, kau tahu? Ingat ini baik-baik. Sebenarnya penyerangan bangsaku, para Viking, kemarin lalu, tidak sepenuhnya dikarenakan keinginan untuk menjajah dan menguasai tanah kalian. Seharusnya orang-orang bisa menduganya .... Kami adalah Viking, tempat kami di laut dan bukannya di daratan. Bahkan rumah dan keluarga saja kami tinggalkan demi melaut, mencari penyambung hidup di lautan untuk dibawa pulang ke rumah, ke keluarga kami, ke daratan tanah air kami.’’
'Begitu, yaa .... Berarti, pasti ada alasan kuat di baliknya.'
“Penjarahan yang kami lakukan pun hanya pada mereka yang berhak menerimanya. Orang-orang sombong yang suka semena-mena. Yang satu ini, kau pasti bingung dan tidak mengerti. Jadi tak perlu kubahas. Nah, kembali lagi .... Lantas mengapa kami harus bersusah payah membuang tenaga, mengambil risiko besar, bahkan mempertaruhkan nyawa kami untuk menjajah daratan lain? Adakah kau berpikir sampai situ, Bailey?’’
'Hmm ... tidak. Aku tidak memikirkan itu sebelumnya,' jawab Bailey dalam hati lagi. 'Tapi benar juga. Ini semakin menguatkan tebakanku kalau, memang, ada alasan kuat di balik tindakan mereka itu.'
Bailey tidak berpikir lebih jauh lagi dan fokus membaca pesan berikutnya. Mimik wajahnya menjadi lebih serius.
“Dan kau tahu? Sesungguhnya penyerangan bangsaku yang lalu adalah sebuah balas dendam dengan ambisi yang dilebihkan atas titah ketua kami yang telah hilang arah, buta mata hati juga akalnya tersebab kehilangan orang yang berharga, yang tewas di tangan orang Zanwan.’’
Kini Bailey diam. Otaknya berisik meriuh; menggapai perbatasan pulau dengan laut, mencoba mencari celah hubung antara penduduk Zanwan --selain para nelayan-- dengan kawanan perompak bersebutkan Viking ini.
“Robekan syal berbahan halus di dekat jasad orang terkasih pemimpinku, yang kuyakin berkualitas tinggi, membawa curigaku pada petinggi desa Zanwan, atau, setidaknya penduduk kalangan atas, distrik Alocya.’’
'Syal berkualitas tinggi.' Bailey berpikir lagi.
'Aku belum pernah mendengar kasus atau sekadar desas-desus apapun tentang hal ini. Lagipula, orang yang diizinkan melaut secara berkala dan paling sering adalah para nelayan pencari ikan. Itupun didampingi prajurit perbatasan yang tidak hanya satu dua. Mungkinkah pembunuhan itu terjadi saat aku masih balita, bayi, atau sebelum aku lahir?' terka Bailey.
'Kalau benar, berarti ini adalah dendam lama. Dan berarti dalang pembunuhan itu sudah mengacau sejak lama pula. Dan kalau orang itu juga terlibat dalam masalah yang terjadi akhir-akhir ini, berarti orang itu masih hidup dan berkeliaran bebas.' Bailey menyimpulkan. Sekarang ia mengerti betapa rumitnya masalah di Zanwan.
“Aku adalah salah satu saksi atas pembunuhan itu. Masih kuingat wajahnya, tapi tak kuketahui identitasnya. Aku tidak tahu dia adalah orang suruhan atau akar pembunuhan itu sendiri, yang jelas permainan pedangnya cukup bagus. Ia seorang pengguna dua pedang, tapi lebih banyak menggerakkan pedang di tangan kiri. Ada tato bergambar hiu kecil di tangan kirinya.’’
Hanya ada dua kemungkinan besar jika orang itu adalah pengguna dua pedang dengan permainan yang bagus. Pertama, orang itu adalah lulusan akademis khusus, seorang terlatih dengan latar belakang keluarga petinggi desa. Kedua, orang itu adalah murid atau lulusan dari camp khusus yang menjadi rumah berlatih para calon pasukan elite. Tidak semua orang yang berlatih di sana lulus dan masuk menjadi pasukan elite Zanwan .... Ada yang menjadi telik sandi, tangan kanan, juga pengawal petinggi desa.
Bailey membalik halaman buku catatan yang sudah penuh lalu mengambil pena dan menggerakkannya lagi; menuliskan semua riuh di kepala kemudian kembali membaca.
“Haaaahhhh ... aku tidak sempat menghentikan aksi pembunuhan itu karena orang-orang mereka menghalangiku. Pembunuh itu tidak sendiri, ada orang lain yang bersamanya, namun hanya menonton. Juga beberapa orang yang sepertinya anak buah mereka. Saat itu aku juga tidak sendiri, ada Edvard bersamaku ... Edvard Eidem. Kami mencoba menghentikan aksi mereka tapi tidak berhasil karena kalah jumlah, kekuatan, dan kemampuan. Kami masih remaja sedangkan mereka orang dewasa.’’
'Dokter Ed!? ... mungkin aku harus menanyakan ini padanya nanti.'
“Tapi, Bailey ... jangan kau coba untuk bertanya pada Edvard tentang hal ini! Setidaknya, tidak sampai kau yakin kau bisa mempercayainya.’’
Bailey terdiam dalam bingung.
'Orang ini seperti benar-benar tahu isi pikiranku dan apa yang akan kulakukan,' batin Bailey. 'Dan, ada apa dengan Dokter Ed?'“Edvard pasti kenal orang-orang itu karena mereka sama-sama berasal dari Zanwan dan tinggal di distrik Aloclya. Jika kau ingin tahu, orang terkasih pemimpinku yang terbunuh oleh mereka adalah termasuk orang terdekat Edvard. Lebih dari itu, Edvard anggap sebagai kakaknya sendiri. Tapi sejak hari itu, tak pernah lagi kulihat Ed sampai malam perang beberapa waktu silam. Aku melihat Ed berdiri bersama petinggi Zanwan, memerangi kami ... padahal dia sangat tahu apa yang terjadi. Yang kukhawatirkan, Ed berubah pikiran dan bergabung bersama para pembunuh itu.’’
'Baiklah, aku harus tetap berhati-hati. Tapi tentang Dokter Ed? Sulit dipercaya jika yang dikatakannya adalah benar. Kalau Dokter Ed bergabung dengan mereka, artinya Dokter Ed adalah salah satu mata-mata mereka. Dan jikalau benar, artinya Dokter Ed sudah mendapat sedikit banyak informasi, terlebih dari sini. Berhubung hanya Dokter Ed-lah orang luar mansion yang paling sering datang ke sini, untuk memeriksa kesehatan ayah. Apalagi mereka terkadang membincangkan sesuatu.'
Bailey semakin bingung. Apa yang ia dapatkan membuatnya sulit untuk memilih siapa yang benar-benar bisa dipercaya. Lalu Shaw muncul dalam ingatannya begitu saja, membuat Bailey menghela napas. Berharap sekali ia jikalau Shaw ada bersamanya saat ini. Gundah batinnya. Ia taruh gulungan kertas di meja dan meraih pena juga buku catatannya, menuliskan semua yang ia baca dan hal-hal yang masuk lagi ke dalam pikirannya.
"Bailey sudah pulang?" Ascal bertanya sembari bercermin; merapikan pakaian kasualnya yang sebenarnya sudah rapi. Ia baru saja selesai mandi.
"Sedari sore. Sudah dua kali juga kusuruh dia makan ... yang terakhir, bibi Myriam bilang Bailey akan makan nanti," jawab Jill. Menutup buku yang usai dibaca dan menyimpannya ke rak.
"Kau tidak melihatnya?"
"Saat pulang sekolah, aku menyuruhnya membersihkan diri dan makan. Aku juga mengatakan ingin berbicara dengannya nanti. Dan Bailey sempat meminta bicaranya saat itu juga, tapi tak ku-iya-kan. Bailey menerimanya dan pergi ke kamar. Ia belum keluar lagi sampai sekarang," jelas Jill. Merapikan beberapa buku yang tergeletak di meja dekat rak buku.
"Menurutmu dia kenapa?" Ascal mendekat untuk mengambil sisir di meja rias Jill lalu kembali lagi ke depan cermin lemari pakaian dan menyisir rambutnya.
"Aku tidak bisa menduganya. Tapi mungkinkah karena Shaw pergi? Dan Bailey memikirkan apa yang akan ia lakukan mulai besok?" Jill mengangkat satu alisnya. Melirik Ascal.
"Hmm ... biar kulihat," ujar Ascal. Mendekat lagi untuk menaruh sisir dan berjalan keluar kamar.
Mengetahui ketukan juga panggilannya tak terjawab terus, Ascal langsung membuka pintu di detik berikutnya dan menutupnya lagi. Lalu mematung sesaat ketika ia berbalik dan menatap ke dalam kamar, tepatnya menatap Bailey.
"Bailey??" Ascal mendekat dengan wajah datarnya.
Yang dipanggil terdiam membeku, terkejut bukan main. Bailey yang tengah menulis sembari menopang dagu; berpikir, sontak menghentikan penanya. Ia menelan ludah, merutuki diri yang lupa mengunci pintu dan terlalu larut hingga tak mendengar ketukan juga suara panggilan yang seharusnya cukup keras untuk mendobrak fokusnya.
Bailey menaruh pena di samping buku catatan, lalu melirik Ascal sekilas. "Ya?" sahutnya seraya menggulung kembali surat dari perompak.
"Bukankah ibumu menyuruhmu makan?"
Perhatian Ascal tertarik pada kertas yang Bailey gulung, lalu anak panah yang tergeletak di meja. Ascal berhenti di depan meja.
"Aku akan makan nanti," jawab Bailey singkat. Membawa gulungan juga buku catatannya ke bawah meja dan menggenggamnya erat.
Ascal mengambil dua potong anak panah yang tergeletak, memperhatikan lamat-lamat yang membuat Bailey panas dingin. Lalu tungkainya bergerak ke samping meja, membuat Bailey memiringkan badannya dengan perasaan waswas.
"Boleh Ayah lihat kertas yang kau gulung?" tanya Ascal, berdiri di samping kursi Bailey.
"Tidak." Bailey mendongak dan menggeleng.
"Ayah pinjam sebentar saja," bujuk Ascal. Mengulurkan tangan kanan.
"Tidak!" Bailey menggeleng lagi dan memeluk gulungan kertas juga buku catatannya.
"Bailey ...."
"Tidak, Ayah ... tidak mau! Tidak boleh!" Bailey berdiri, mundur menjauh sedikit dari kursinya.
Curiga dengan anak panah berlubang dan kertas yang Bailey gulung, Ascal kembali mencoba membujuk puteranya.
"Hanya sebentar .... Ayah baca di sini, setelah itu langsung Ayah kembalikan padamu."
"Tidak mau, Ayah ... jangan memaksaku."
"Kau keras kepala sekali." Ascal menatap datar dan dingin. Ia yakin ada sesuatu dengan anak panah dan gulungan kertas itu.
"Ayah yang keras kepala!" Bailey menjawab tak kalah dingin seiring kesal yang mencuat. "Tak bisakah Ayah berhenti memaksaku? Aku tidak menyukainya. Berhenti memaksaku tentang apapun, Ayah ... jangan membuatku melangkah lebih jauh dari Ayah!" Bailey meluapkan emosinya. Berjalan menyamping melewati Ascal dengan kedua tangan menyembunyikan gulungan kertas juga buku catatan di belakang tubuhnya.
Ascal terhenyak, tak bereaksi apapun selain dengan tanpa ekspresi menatap kepergian Bailey.
"Anak itu ...!!"
Lampu-lampu ruangan telah menyala, kontras dengan gelap terpajang di luar jendela. Baru Bailey sadari kalau hari sudah malam. Ia melangkah ke dapur, membuat pelayan dan koki di sana menengok dengan desir kejut menjalar seketika."T-tuan Muda, apa yang Anda lakukan di sini? Anda membutuhkan sesuatu?" Itu Dexter, sang koki. Menaruh piring berisi olahan ayam di meja dan menghampiri Bailey sembari mengelap tangan. Para pelayan menundukkan pandangan dan melanjutkan kegiatan."Aku haus," jawab Bailey. Mengambil gelas."Ah, sebentar, biar saya ambilkan." Dexter bergegas mengambil gelas, namun langkahnya terhenti karena Bailey sudah lebih dulu mengisi gelasnya."Tidak usah, Dexter ... terima kasih. Ini hanya air putih," ujar Bailey seraya mengangkat gelas berisi air putih di tangan. Setelahnya, Bailey berjalan keluar dapur lalu mendudukkan diri di kursinya, membiarkan para pelayan menghidangkan makan malam di meja dengan gugup. Tentu saja gugup, bel
"Perapian sudah siap!""Woaaahhhh ... Bold hebat!! Cepat sekalii ...." Mata berbinar Mival terarah lurus pada Bold dan perapian di depan prajurit jagur itu. Mival belum pernah membuat api secepat itu, apalagi di malam hari yang udaranya dingin. Meski memakai pemantik pun, dirinya belum bisa secepat Bold menyalakan api dan membuatnya menjadi api unggun kecil."Hmm ... bekal yang Nenek siapkan cukup banyak, tapi tidak dengan jenisnya. Jadi makanan kita malam ini sama seperti tadi siang, dan ini cukup sampai besok malam. Tapi minumnya kurasa akan lebih cepat habis." Shaw menghampiri Bold dan Mival di dekat perapian, meletakkan ranselnya dan mengeluarkan tiga kotak makan serta botol minum."Tidak masalah. Masih ada buah-buahan, 'kan? Kalau kurang, kita bisa mencarinya. Di hutan luar desa ada banyak pohon buah. Ikan pun melimpah di sungai." Bold menenangkan."A-apa itu?" Mival yang asik menyimak tak sengaja melihat benda berwarna putih di ketingg
"Hmm ... lantas, satu halnya lagi?"Ascal tak ingin menahan Bexter lebih lama karena hari sudah sangat larut. Pun tahu kalau besok asistennya itu akan siaga dengan jadwalnya di pagi buta. Mengenal dan bersama cukup lama membuat Ascal sangat paham bagaimana seorang Bexter Larson. Dan Ascal ingin Bexter mendapat cukup istirahat agar tubuhnya prima, juga agar dapat bekerja dengan maksimal.Bexter yang memahami respon Ascal pun tak membuka lebih banyak bahasan. Ia mengeluarkan sebuah kotak kayu kecil dari saku dan menaruhnya di meja."Ini, Tuan."Ascal meraih kotak itu dan membukanya. Ada sebuah robekan syal berwarna maroon dan secarik kertas di dalamnya."Itu adalah kotak yang saya temukan di saku perompak yang terakhir itu."Ascal mengambil secarik kertas dan membaca tulisan yang tertera di sana."Little shark of Zanwan & bloody night of Viking?" Kening Ascal mengernyit; menatap Bexter. "Interaksi antara para Vik
Tanah yang lembab membuat setiap tapal kuda berjejak cukup dalam diakibatkan oleh hentakan yang kuat. Perlu kehati-hatian ekstra agar kuda tidak terjerembab ataupun terpeleset dan jatuh. Semak dan rerumputan yang semakin tinggi tersebab kawasan yang sangat jarang disentuh manusia itu tak menjadi penghalang Shaw dan Bold untuk mempercepat laju kuda mereka. Keduanya memilih area tanah yang lebih datar dengan rerumputan yang lebih rendah dan kering agar kuda dapat melaju lebih cepat.Kini mereka berhasil mencapai jarak 3/4 busur panah dari kaki gunung di titik mereka memanjat tebing, terus melajukan kuda sampai mencapai penuh ujung busur; sejajar dengan titik saat mereka memanjat tebing.Pandangan dan pendengaran ditajamkan sembari terus menghentak kuda. Pepohonan yang lebat dengan jarak cukup rapat membuat pemandangan sekitar tampak seperti potongan puzzle dengan kecepatan kuda mereka."Arah jam sebelas!!" Shaw berseru begitu melihat sang sosok memac
Apalah yang bisa semesta lakukan? Ketika hati masih terpaut pada orang yang sama, meski raga telah terpisahkan. Jarak yang teramat jauh membentang, beribu ruang dan pintu kokoh menjadi penghalang, pun waktu yang meragu beri kesempatan, disempurnakan takdir yang seakan lelah untuk kembali pertemukan.Apalah yang bisa semesta lakukan? Ketika atma yang merindu menolak untuk berhenti mengaum, ketika rasa dalam kalbu yang bergejolak menimbulkan gelombang ombak menolak untuk berhenti meraung.Adakah setitik harapan itu masih hidup? Sekecil kesempatan pun 'kan diterima, lebih dari cukup untuk menarik dua sudut bibir melengkung ke atas. Adakah benang merah itu masih terikat? Setipis benang layang pun tak masalah. Cukup untuk membuat nadi tetap dalam iramanya, menari di hamparan ladang bunga ... bertemankan kupu-kupu, capung, dan burung-burung.Rangkaian aksara di buku yang terbuka tak lebih dari pengalih atensi orang lain; barangkali ada yang melihat. Seme
"Apa itu?" Shaw bergumam pelan dengan mata yang masih terpejam.Suara gesekan benda menjadi satu-satunya yang terdengar di dalam gua, ke kamar yang ditempatinya. Mereka mengobrol sampai sore, dan sang tuan rumah menyarankan Shaw, Bold, dan Mival untuk bermalam ketika ketiganya pamit untuk melanjutkan perjalanan.Shaw mengerutkan kening, mendengar suara yang kembali menyelusup ke pendengarannya. Merasa sudah terjaga dan sulit tidur lagi, Shaw membuka mata; mengusapnya sekali dan beranjak dari peraduan. Ia telusuri asal suara yang didengar, membawa langkah ke lorong gelap yang tak begitu lebar, menurun; ke ruangan bawah. Barulah ia tahu bahwa lantai gua yang ia pijak sebelumnya bukan benar-benar lantai dasar karena masih ada lantai lain di bawahnya, seperti ruangan bawah tanah.Tuan rumah terlihat duduk di kursi paling dekat dinding. Ada lentera minyak yang diletakkan di tengah meja persegi, dan beberapa benda di sekitar lentera."Ini bukan wa
"Bold!?"Salah seorang jagawana refleks menyebut nama Bold saat lampu menyorot kedatangan sang prajurit jagur. Lampu sorot yang dinyalakan lebih redup daripada lampu sorot yang digunakan saat malam hari, sebab hanya sebagai penerang pembantu ... karena hutan yang lebat membuat sekitar lebih gelap meskipun malam telah lewat.Jagawana lain yang berkutat dengan penerangan mereka pun mengarahkan pandang ke depan menara, melihat sang prajurit jagur datang mendekat. Serentak, mereka memberi hormat, sebab posisi dan jabatan mereka berada di bawah Bold."Tidak perlu formal, bersikap biasa saja ... aku hanya mampir sebentar," ujar Bold seraya menaik-turunkan telapak tangannya melihat para jagawana dengan posisi sigap dan tampak lebih tegang.Sang ketua tim jagawana yang bertugas turun dari atas menara, menyambut Bold dan mempersilakan prajurit jagur itu duduk di kursi pos samping menara; tempat para jagawana beristirahat. Pandangannya ia arahkan pula
Afmosfer langka yang menyelimuti pos jagawana selama beberapa saat itu memudar; semua kembali seperti sedia kala seiring kepergian Shaw, Bold, dan Mival usai ketiganya pamit. Para jagawana kembali dengan ekspresi serius, datar, nan tenang mereka, menyorot setiap inchi jenggala dalam jangkauan jarak sesuai tugas yang diamanatkan.Matahari terus bergulir, tak lama lagi mencapat titik 50° dari ufuk barat. Shaw, Bold, dan Mival melewati padang rumput di luar jagawana yang tak begitu luas, kemudian menanjak ke bukit rumput di timurnya, menurun dan melaju ke jenggala di kaki bukit, kembali menyeberangi padang rumput lagi, lalu memasuki area perumahan penduduk yang tampak sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Renovasi di sana tidak lama lagi akan selesai.Mereka terus memacu cepat kuda yang ditunggangi, mengabaikan tatapan orang yang melihat mereka. Risau menelisik hati Shaw, membuatnya lebih bungkam lagi muram."Kakeeek? Neneeek?" Suara Shaw membaha
Atmosfer terasa lebih ramah. Irama dari ranting-ranting dan dahan oleh angin terdengar lebih wajar dibandingkan tadi. Shaw makin yakin, semua karena Morth. Atmosfer, halusinasi, entah apa lagi yang Morth sebabkan. Satu pertanyaan besar dalam benak Shaw, siapa Morth sesungguhnya? Mengapa seisi jenggala sunyi hingga seluruh penjurunya seakan-akan berada di bawah kaki tangan Morth?“Kau pikirkan aku?” Morth tiba-tiba bertanya. Rupanya ia mengekori Shaw.Huh? Apa Morth juga bisa membaca pikiran?Shaw menengok ke belakang, langkahnya melambat. “Jangan katakan kau dapat menembus kepala orang.”“Kau banyak bertanya, belum tuntas seluruhnya.” Morth mensejajarkan diri. Sejenak, ia melihat Shaw dari atas ke bawah. “Orang keras kepala seperti kau tentu akan merenungkannya. Aku benar, bukan?”“Kita baru saling tahu beberapa saat lalu dan kau yakin sekali dengan kata-katamu. Antara kau pandai menilai atau hanya pandai berasumsi.” Shaw menggeleng. Pandangan ia tujukan ke depan.Morth menyentuh leng
Tanduk. Hal pertama yang dilihat oleh Shaw dari sumber suara adalah tanduk, tersembunyi di antara dedaunan semak belukar setinggi pinggang orang dewasa.Shaw mengernyit, kemudian bergumam lirih, nyaris tak bersuara, "Itu seperti tanduk rusa."Sepasang mata semerah darah terlihat dari celah dedaunan. Shaw menelan ludah. Ia tahu betul itu bukan mata hewan biasa, apalagi manusia. Tidak ada satu pun penduduk desa yang pernah ditemuinya memiliki mata seperti itu.Mungkinkah ini yang Fu maksud? Apapun itu, merasakan haki tidak biasa dari sang sosok misterius membuat Shaw merasa dirinya tidak boleh berlama-lama.Diliputi kewaspadaan dan dengan suara tercekat, ia berucap dalam hati, "Aku harus segera pergi dari sini."Tanpa melakukan pergerakan yang kentara serta dengan posisi kepala yang masih sama, tatapan Shaw menyisir sekitar; memastikan tidak ada keanehan lain. Ia yang semula berjongkok pun perlahan berdiri sepelan mungkin. Namun, bak lelah bermain petak umpet, ransel yang Shaw gendong m
"Tetap tidak bisa! Terlalu berbahaya. Kau kan tahu lebih baik daripada aku, Tibate." Fu mengangkat kepala, menatap lurus Tibate dan Baldor. Ini bukan waktu yang tepat, pikir Fu. "Lagi pula aku bisa menjaga diri. Akan kupanggil kalian jika hal buruk terjadi dan aku tidak bisa mengatasinya.""Kau bisa tinggal, Fu. Aku akan melanjutkan perjalananku seorang diri," sela Shaw, angkat bicara setelah menimang-nimang."Tidak―""Aku juga akan meninggalkan kudaku di sini." Shaw menepuk pundak Fu. Ia serius ingin Fu tinggal. "Bold bilang ada danau dan tebing. Jadi, aku tidak bisa membawa kudaku. Selain itu, kau bisa mengawasi keadaan hutan dan mengabariku. Kau juga terluka, Fu. Jangan bersikeras seolah kau baik-baik saja. Bagaimanapun kau juga masih anak-anak."Ini adalah tugas Shaw. Sejak awal, Shaw memulainya sendiri, dan ia harus melanjutkannya sendiri. Shaw tidak ingin merepotkan.Fu berdecak, tidak terima, tetapi juga tidak menyangkal ataupun menyanggah. Bertemu Baldor dan Tibate membuatnya
Pria berjanggut memperhatikan sambil mengusap-usap janggut dan kumisnya. Saat otaknya mengingat sesuatu tentang Fu, matanya seketika melebar."Kau ingin aku mencincangmu, hah?!" Tibate berseru.Setelah ikan bakarnya rusak, sekarang dirinya yang nyaris terbakar. Pria plontos itu tidak terima.Tibate menghentak tanah dengan kakinya, bergantian kaki kanan dan kaki kiri. Pegangannya pada gagang pedang semakin erat dan erat.Fu melompat mundur, mengambil sikap siaga dan meningkatkan kewaspadaannya. Ia siap dengan apapun yang akan Tibate lakukan untuk membalasnya.Sebelum Tibate menyerang balik, pria berjanggut yang masih menggenggam keranjang bambu itu berjalan ke depan Tibate, lalu berdiri memunggungi Fu dan Shaw."Kau mau dikutuk atau sudah bosan hidup?!" tanyanya."Apa maksudmu? Kalau kau hanya ingin aku berhenti memberi anak itu pelajaran, sebaiknya kau minggir!" balas Tibate."Kau tahu kau sedang berhadapan dengan siapa? Kau tidak berencana mengingkari janjimu pada Jenderal Besar, 'ka
"Apa kau sedang bercanda?" Tibate mendengus kasar. Ia tampak tidak suka.Pria plontos itu tahu dirinya sudah hidup lama, tetapi bukan berarti ingatannya menua. Ia tahu ingatannya masih berfungsi dengan sangat baik. Ia sangat meyakini itu."Aku tidak bercanda," sanggah Fu, berkacak pinggang. "Kau memberitahukannya sendiri padaku saat aku memberimu buah persik. Kalau kau masih tidak ingat, berarti ada yang salah dengan ingatanmu," imbuhnya.Buah persik?Tibate mengerutkan kening. Ia merasa tidak asing, tetapi tidak mengingat apapun."Sudahlah. Lebih baik kalian pulang sekarang, dan akan kuanggap ini tidak pernah terjadi," ujar Tibate seraya memasang wajah serius."Tidak bisa!" Shaw berseru. "Aku harus pergi ke tenggara!""Ya. Kami tidak bisa kembali ke desa saat ini," Fu menimpali.Tibate memukulkan ujung pedangnya ke tanah, menimbulkan gelombang angin yang kencang. Dedaunan dan batu kerikil tersapu, begitu pun Fu dan Shaw yang ikut terpental."Aduh ...." Shaw mengerang, berusaha bangun
Menjelang pagi, suara kehidupan awal sekali menggaung. Beberapa penduduk desa sudah mulai melakukan aktivitas mereka. Sebagian di dalam rumah, sebagian di luar rumah.Satu di antara manusia yang telah lepas dari peraduannya adalah Wilton. Ia bertugas pagi kali ini."Selalu rajin, ya." Zander berkomentar. Kuda-kuda di kandang bersuara antusias saat Zander memberi mereka makan."Tidak juga. Aku hanya tidur cukup nyenyak semalam, dan tubuhku merasa lebih segar saat aku bangun. Jadi, ya, mungkin lebih bersemangat," sahut Wilson seraya terkekeh kecil."Padahal kau hanya tidur sebentar, 'kan, semalam," Celetuk Zander. Tangannya cekatan melipat karung-karung rumput yang sudah kosong.Wilton tersenyum cerah menanggapinya. Ia memeras kain yang dipakai untuk mengelap kuda yang akan ia pakai untuk mengantar Bailey ke sekolah."Sebentar pun tetap saja namanya tidur, Zan," kata Wilton, keluar dari kandang sambil membawa kain basah dan ember hitam kecil."Ya, tidak salah."Suara derap kaki nyaring
"Ada yang menarik perhatianmu, Vid? Aku sampai mengantuk menunggumu." Bailey menimpali."Ah, maaf maaf .... Tadi ada yang harus kulakukan. Ada sesuatu! Jadi, aku kembali lebih lama," ujar Avidius seraya tersenyum canggung.Avidius adalah cucu Barid. Ia satu sekolah dengan Leonere."Sesuatu apa?" Leonere bertanya.Avidius, remaja berkulit putih kemerahan dengan senyum manis dan lesung pipi itu mengeluarkan sebuah kain merah dari saku pakaian di balik jubahnya. Saat kain dibuka, Leonere dan Bailey membulatkan mata melihat benda yang terpampang di sana."Bukankah itu—" Kata-kata Leonere terhenti. Ia mendekat tergesa dan memegang benda yang ditunjukkan Avidius. "Ini kan ....""Dari mana kau menemukan itu?" tanya Bailey yang juga mendekat.Avidius melirik ke arah belakang sesaat, memastikan sekitarnya aman. Senyumnya pudar seketika."Dari hutan barat laut. Aku menemukannya tadi," bisik Avidius, tampak serius.Bailey dan Leonere tercengang lalu saling menatap. Pikiran keduanya seolah tersam
"Tidak ada yang gratis," sahut Fu seraya menyeringai tipis.Shaw berdecak. "Kubayar dengan manisan.""Apa itu? Tidak cukup! Informasiku sangat mahal, kau tahu.""Ck, kubayar dengan makanan lain. Kau bebas memintanya, dan aku akan membuatkannya untukmu," tawar Shaw.Fu menyeringai penuh kemenangan kini. Sebuah siasat terlintas di benaknya."Bisa dipertimbangkan," kata Fu. Sesaat kemudian seringai di wajahnya hilang, berganti raut serius. "Kurangi kecepatan kudanya. Melewati batang pohon besar di depan itu, buat kudanya berjalan biasa.""Huh? Oke."Shaw percaya pada Fu. Ia mengikuti instruksi Fu tanpa ragu.Pohon-pohon besar yang dimaksud Fu berada 20 meter dari mereka. Warna pohonnya gelap, seolah melambangkan sesuatu yang misterius dan tampak mati. Pepohonan itu seakan telah terbakar. Meski begitu, dedaunannya sangat rimbun.Melewati dua pohon besar tersebut, kuda memasuki jenggala yang lebih gelap dan sunyi dari sebelumnya. Sekeliling tampak benar-benar gelap dengan aura yang terasa
"Ya sudah." Eroth menghela napas.Selain belajar bersikap baik pada budaknya, Eroth pun belajar untuk tidak memaksakan kehendak. Ya, itu sungguhan, bukan sandiwara yang dibuat-buat.Di depan mereka, Aaban mendengarkan dalam diam. Komandan itu sibuk dengan pikirannya.Menjelang ujung dari jenggala ketiga, Fu tiba-tiba berujar. Suaranya terdengar serius di telinga Shaw."Berhenti, Shaw."Shaw menghentikan laju kuda dan melirik Fu. "Ada apa?""Kita ambil jalan lain," tukas Fu."Kenapa? Ada apa dengan jalan ini?""Ada sesuatu di depan. Hakinya tidak jauh berbeda dengan Kaye dan teman-temannya.""Ha?"Shaw menatap lurus, lalu memejamkan mata. Ia mencoba merasakan haki di depan, tetapi tidak merasakan atau melihat apapun."Aku tidak merasakan apapun," kata Shaw seraya membuka mata.Fu berdecak dan memegang kedua pundak Shaw. Aliran haki mengalir dari tangannya."Coba lihat lagi," kata Fu. Shaw mengiyakan.Bayangan sosok berjumlah lebih dari 10 terlihat di kejauhan di depan, dengan haki yang