Home / Lainnya / Jeruji Tanah Anarki / 17. Pesan dalam anak panah

Share

17. Pesan dalam anak panah

Author: Maula Faza
last update Last Updated: 2021-08-04 11:30:00

Luka di telapak kaki Mival selesai diobati dan dibalut perban. Shaw melepas sandal yang ia kenakan, memakaikannya ke kaki Mival.

“Kau anak yang kuat, Mival. Kau sangat tangguh!” puji Shaw, menepuk pelan betis Mival dua kali seraya tersenyum cerah.

“Sebentar ….”

Shaw mencuci tangan juga kotak makannya ke sungai, kemudian memasukkan kotak makan ke dalam ransel setelahnya dan kembali.

Mival merasa pipinya basah. Ia mengangkat tangan, mengusap dengan jemarinya. Ketika air matanya berderai lagi dan lagi, Mival menutup matanya dengan punggung tangan kanan.

Shaw duduk di tempatnya, menatap Mival di samping dengan senyum dan membawa anak delapan tahun itu ke dalam dekapan.

“Kau hebat, Mival. Orang lain belum tentu bisa bertahan sampai sekarang sepertimu,” ujar Shaw lirih.

Bold terdiam memperhatikan. Ia masih belum terbiasa membuka diri dan memeluk orang lain.

“Masa depanmu pasti cerah. Kau tidak boleh putus asa. Semuanya akan membaik,” tutur Shaw lembut sambil mengusap-usap punggung Mival. Anak itu kian menumpahkan tangisnya.

“Kau tidak sendirian. Ada aku dan Bold di sini,” tutur Shaw lagi, lalu sudah, hening setelahnya. Hanya isak tangis Mival yang terdengar. Tersedu-sedu ia.

Shaw membayangkan jika dirinya adalah Mival. Membayangkan kakek dan neneknya tiada, membayangkan tiap hari mendapat hukuman dan tidak ada seorang pun yang bisa diajak berbagi cerita. Gelap. Shaw segera menepis semua bayang itu.

Merasa lebih lega, Mival melepas pelukan Shaw dan mengusap matanya sekali lagi. Tangan Bold terulur, mengusap kepala Mival.

“Kau pernah berpikir tidak lebih beruntung dari orang lain?” tanya Bold.

Mival mengangguk pelan.

Bold tersenyum dan berkata, “Ketahuilah, kau justru lebih beruntung dari beberapa orang lain itu.”

Tidak mengerti, ucapan Bold mengundang tanya di benak Mival yang kini menatapnya.

“Semua luka, rasa sakit, dan pengalaman pahit yang pernah kau alami akan mendewasakanmu. Suatu hari nanti, kau akan bersyukur karena pernah mengalami itu, juga mengetahui kau memilih tetap berjuang daripada menyerah dan berputus asa. Kau beruntung karena semua yang kau alami akan menjadi bekalmu untuk bersikap lebih baik kepada orang lain. Kau tahu bagaimana rasanya disakiti. Tidak semua orang bisa seperti itu.”

Bold mengusap sisa air mata di wajah Mival dengan masih tersenyum, bahkan senyumnya mengembang lebih hangat dan lebih lebar. Shaw mengerjap beberapa kali, memastikan dirinya tidak salah lihat.

“Terima kasih ....” Mival mengangguk.

Meski belum mengerti maksud perkataan Bold sepenuhnya, tetapi Mival tahu Bold bermaksud baik dan itu sudah menghangatkan hatinya. Mival akan mengingat kata-kata Bold. Jika sudah lebih dewasa nanti, Mival pasti akan lebih memahaminya, yakin Mival.

“Ayo, kita harus melanjutkan perjalanan. Hari mulai sore,” kata Shaw.

Bold membantu Mival berdiri dan menunggangi kuda di belakang Shaw.

Jalan yang mulai menanjak membuat Mival berpegangan lebih erat. Tubuhnya sudah lebih bertenaga, duka laranya sudah lebih ringan terasa. Mival mengukir senyum samar sembari menikmati pemandangan sekitar.

Di tempat lain di waktu yang sama, Bailey baru pulang sekolah.

“Sore, Tuan Muda.”

“Sore, Zander.”

Zander, penjaga gerbang mansion Hunt yang bertugas jaga, menutup kembali gerbang setelah Bailey masuk.

Sapaan prajurit lain yang berjaga di depan pintu utama pun terdengar oleh telinga, disusul sapaan Jillian yang membelokkan tungkai Bailey, mendekat ke sofa di ruang tengah. Celotehan riang Bariela pun ikut menyambut di sana.

“Baallee ... baallee ….”

Bariela selalu riang. Semangat ia menggerak-gerakkan tangannya seperti ingin menggapai Bailey.

“Bagaimana sekolahmu hari ini?” Jillian bertanya.

“Baik seperti biasa.”

Bailey berjongkok, memainkan tangan Bariela yang terduduk di pangkuan Jillian. Sang balita berpipi tembam itu tertawa-tawa.

“Pergilah bersihkan dirimu, lalu segera makan. Ibu ingin bicara nanti.”

“Bicara sekarang saja, Bu.”

“Tidak, nanti saja.”

“Ya sudah, aku ke kamar dulu. Dadah, Iel ....”

Bailey menggerakkan tangan adiknya sekali lagi, lalu bangkit dan berlalu ke kamar. Tangan Bariela terulur lagi dengan jemari bergerak seperti tidak ingin Bailey pergi.

“Baallee ... baallee ....”

Ransel di gendongan langsung Bailey taruh di tempatnya, kemudian mengeluarkan buku-buku dan menaruhnya di meja. Tungkai melangkah lagi untuk membersihkan diri. Saat sedang mengeringkan rambut dengan handuk di depan cermin seusai mandi, otaknya tidak sengaja teringat akan anak panah yang ia dapatkan beberapa waktu lalu.

Handuk ia sampirkan di tempatnya, lalu memindahkan kursi meja belajar ke depan lemari dan naik. Tangan kanannya menjeremba ke atas lemari, mengambil anak panah. Setelahnya, kursi diposisikan ke tempat semula. Bailey duduk dan memutar-mutar anak panah di tangan.

Di ekor anak panah, Bailey menemukan huruf-huruf kecil yang tersusun membentuk kalimat ‘Buka anak panahnya’.

Kerut di dahi menjadi jawaban kalimat tersebut. Namun, tetap Bailey putar-putar lagi anak panahnya sampai mata melihat garis tipis memutar di sekitar ekor anak panah. Saat Bailey memegang kedua sisi anak panah dan menariknya, anak panah itu terbelah menjadi dua dengan lubang di dalam bagian sisi yang panjang, badan anak panah.

Sebuah gulungan kertas terlihat. Bailey mengambil jarum dari laci, mengorek lubang anak panah untuk mengambil gulungan kertasnya. Setelah dapat, Bailey menaruh lagi jarum ke tempatnya, lalu membuka gulungan kertas. Di sana, terpampang deretan tulisan yang banyak dan panjang.

“Heran. Diameter anak panahnya sekecil ini, tapi bisa memuat kertas yang panjang. Gulungannya rapi sekali.” Bailey menilai, menaruh anak panah juga menyandarkan kertas dan tangannya di meja.

“Kenapa ada nomor-nomornya? Apa ini urutan yang harus kubaca? Sepertinya begitu.” Bailey bergumam lirih, memperhatikan keseluruhan pesan yang tertulis. “Kenapa juga ada coretan-coretan? Ada kata-kata yang diganti dan ditambah, jadinya tidak rapi walau masih bisa dibaca. Ini seperti disiapkan sejak lama.”

Mata Bailey sekilas menyisir pesan sampai ke tulisan terakhir, lalu kembali ke awal dan mulai membaca.

“Kalau kau membaca surat ini, artinya aku telah mati, benar-benar mati.’’

Pesan pertama mengingatkan Bailey pada perompak pemberi surat yang ia pegang sekarang. Orang itu benar-benar berpikir jauh menurut Bailey.

“Dan kalau kau membaca surat ini, artinya kau masih hidup dan baik-baik saja.’’

“Benar,” jawab Bailey dalam hati.

“Aku merasa senang karena itu artinya usahaku tidak sia-sia.’’

Bailey tersenyum getir, geleng-geleng kepala tidak percaya.

“Sebelumnya aku ingin minta maaf karena telah melukai lehermu, Tuan Muda. Ah, di sini kupanggil Bailey saja, yaa, hehe ….’’

Bailey memegang lehernya sebentar.

“Jadi, itu juga sudah dia rencanakan.” Batin Bailey ber-waw. Ia mengangguk mengiyakan saat membaca panggilan yang digunakan untuknya.

“Itu kulakukan agar hukuman mati segera dijatuhkan padaku, hehe.’’

Mata Bailey membulat.

“Apa-apaan dia ini? Pakai terkekeh pula!”

“Tidak usah terkejut begitu, Bailey. Ahahah .... Oh! Kau pasti ingin tahu kenapa, 'kan?’’

Mata Bailey membulat lagi, lalu ia mengangguk ragu.

“Sekarang aku merasa seperti sedang bicara dengan seorang peramal.”

“Itu karena teman-temanku yang datang bersamaku ke pulau ini mati satu per satu, huhuhu .... Aku tidak ingin sendirian. Sedih, sakit, rindu, dan rasa bersalah akan menghantuiku setiap waktu. Dulu, awalnya aku yakin cepat atau lambat akan bebas dan menjalani hidup lagi, tapi semuanya berubah saat aku mendengar percakapan dua prajurit beberapa hari setelah aku dan teman-temanku dipindah ke dungeon lantai bawah bagian dalam.’’

Bailey tiba-tiba saja merasa sesak membacanya. Ia menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Keningnya berkerut kemudian.

“Percakapan dua prajurit?”

“Aku tahu, aku akan mati sebelum bebas dari pulau ini. Teman-temanku juga. Dua prajurit itu yang mengatakannya. Aku pernah mendengarnya secara langsung. Mereka mungkin sedang berjaga saat itu dan tidak menyadari kalau aku mendengar pembicaraan mereka, memperhatikan mereka. Mungkin karena ruanganku gelap dan aku juga duduk bersandar pada tembok terdalam, tapi yang membuatku bingung adalah mereka seperti sedang membicarakan sebuah rahasia. Terlihat mencurigakan. Kau ingin tahu apa yang mereka katakan?”

Tiba-tiba saja Bailey berasa bersalah. Matanya berembun, padahal bukan dirinya yang membunuh teman-teman sosok misterius itu baik saat peristiwa di bukit batu timur kemarin lalu maupun di dungeon saat sebelum-sebelumnya. Lagi, kening Bailey berkerut saat membaca bagian dua prajurit dan ia mengangguk lagi.

“Kalau benar begitu, artinya aku harus menyelidiki prajurit yang berjaga di dungeon, terutama prajurit yang dia maksud.”

Mencoba memikirkan siapa prajurit yang dimaksud, tiba-tiba ketukan pintu mengalihkan perhatian Bailey. Wajah Bailey terangkat sedikit.

“Tuan Muda, Nyonya Besar menyuruh Anda makan.” Itu suara Myriam sang kepala pelayan.

“Aku akan makan nanti. Tolong beritahukan pada Ibu untuk tidak menungguku. Terima kasih,” jelas Bailey dengan suara lebih keras agar terdengar ke luar pintu kamarnya.

“Baik.”

Satu kata yang menjadi balasan Myriam membuat fokus Bailey kembali ke surat sedangkan Myriam langsung berlalu dari depan pintu. Ia tahu Bailey tidak akan mengatakan apa pun lagi setelah mengucapkan terima kasih.

“Sampai di mana tadi?” Bailey bertanya pada diri sendiri. “Oh, ini.”

“Mereka mengatakan, ‘Tuan sengaja mengajukan usul dan mendesak petinggi lain di rapat itu agar menunda hukuman mati bagi para perompak yang masih hidup, dalihnya agar dapat mengorek informasi tentang mereka dan dunia luar, padahal sebenarnya karena ingin menjadikan mereka alat untuk melancarkan rencananya.’ begitu yang mereka katakan.’’

“Mencurigakan! Tuan yang mereka maksud sudah pasti bukan Ayah. Sebagaimanapun Ayah, dia takkan bersikap seperti itu. Ayah bekerja keras untuk Zanwan. Pasti bukan ketua prajurit dungeon itu juga meski kemungkinan kedua bisa dicurigai karena aku tidak sering bertemu maupun dekat dengan mereka. Aku tidak tahu apa yang mereka lakukan dan bagaimana mereka di belakangku.” Bailey berasumsi dalam hati.

Ingatan Bailey kembali pada laporan yang sampai ke telinganya dari ketua prajurit yang berjaga di hari Bailey mendapat serangan. Ketua prajurit itu mengatakan bahwa tidak ada prajurit yang berkhianat baik prajurit yang berjaga di hari itu maupun di beberapa hari sebelumnya. Ketua tim pasukan elite yang membantu dalam pencarian dan penyelidikan di area distrik dan perbatasan, juga memeriksa prajurit yang berjaga di perbatasan dan para jagawana, pun mengatakan demikian. Tidak menemukan apa pun.

“Kalau begitu, berarti memang ada orang dalam karena kalau tidak, akar masalah dan dalang sebenarnya pasti akan muncul ke permukaan. Pencarian itu benar-benar dari sudut ke sudut, bahkan menyebar ke perbatasan desa sampai ke tepian pulau. Lagi, Ayah memerintahkan intel pasukan elite untuk menyelidiki diam-diam, tapi juga tidak mendapatkan apa-apa. Rasanya sulit dipercaya mereka lolos,” gumam Bailey.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Maula Faza
Heee!!? komennya salah bab! *tepuk jidat*
goodnovel comment avatar
Maula Faza
Ayoo..... ada yang bisa memecahkan misteri huruf dan angkanya?
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Jeruji Tanah Anarki   18. Pesan dalam anak panah (2)

    Laci dibuka, Bailey mengambil pena dan buku catatan berukuran kecil, lantas menuliskan rentetan kejadian yang ia ingat sejak beberapa hari sebelum penyerangan, saat perang, nama-nama yang ia curigai beserta alasannya, orang yang mengusulkan dan mendesak penundaan hukuman mati di rapat, dan laporan-laporan yang masih ia ingat beserta nama-nama pelapornya. Selesainya, pena ia taruh dan melanjutkan membaca.“Dua prajurit itu, terkadang aku melihat mereka berjaga di area tahanan tetua. Maksudku, para orang tua, jeruji-jeruji di lorong yang kau lewati saat Shaw dihukum. Terkadang aku hanya melihat satu dari mereka, terkadang keduanya. Kalau dipikir-pikir, bukankah seharusnya mereka tidak sesering itu berjaga di tempat yang sama? Bukankah begitu peraturannya? Setidaknya itu yang kutahu dari seorang prajurit yang pernah kutanyai.”“Hum, memang begitu.” Bailey membenarkan, menulis lagi di buku catatan.“Aku juga pernah mendengar mereka membicarakan tahanan-tahanan tetua itu. Kalau kau lupa tah

    Last Updated : 2021-08-05
  • Jeruji Tanah Anarki   19. Pesan dalam anak panah (3)

    Lampu-lampu ruangan telah menyala, kontras dengan gelap yang terpampang di luar jendela. Baru Bailey sadari kalau hari sudah malam. Ia pergi ke dapur. Pelayan dan koki di sana menengok dengan desir kejut menjalar.“Tu … Tuan Muda, apa yang Anda lakukan di sini? Anda membutuhkan sesuatu?” Itu Dexter sang koki. Ia meletakkan piring berisi olahan ayam di meja dan menghampiri Bailey sembari mengelap tangan. Para pelayan menundukkan pandangan sekilas dan melanjutkan kegiatan.“Aku haus,” jawab Bailey, mengambil gelas.“Ah, sebentar, biar saya ambilkan.”Dexter bergegas mengambil gelas, tetapi langkahnya terhenti karena Bailey sudah lebih dulu mengisi gelasnya.“Tidak usah, Dexter, terima kasih. Ini hanya air putih,” ujar Bailey seraya mengangkat gelas berisi air putih di tangan.Sambil membawa gelas, Bailey keluar dapur, mendudukkan diri di kursinya, membiarkan para pelayan menghidangkan makan malam di meja dengan gugup. Tentu saja gugup. Belum tepat jam makan malam, tetapi tuan muda mereka

    Last Updated : 2021-08-06
  • Jeruji Tanah Anarki   20. Pedang berlumur darah

    “Perapian sudah siap!”“Woaaahhhh, Bold hebat! Cepat sekali!”Mata berbinar Mival terarah lurus pada Bold dan perapian di depan prajurit jagur itu. Mival belum pernah membuat api secepat itu, apalagi di malam hari yang udaranya dingin. Meski memakai pemantik pun, Mival belum bisa secepat Bold menyalakan api dan membuatnya menjadi api unggun kecil.“Hmm ... bekal yang Nenek siapkan cukup banyak, tapi tidak dengan jenisnya. Jadi, makanan kita malam ini sama seperti tadi siang dan ini cukup sampai besok malam, tapi minumnya kurasa akan lebih cepat habis.”Shaw menghampiri Bold dan Mival di dekat perapian, meletakkan ransel, dan mengeluarkan tiga kotak makan serta botol minum.“Tidak masalah. Masih ada buah-buahan, 'kan? Kalau kurang, kita bisa mencarinya. Di hutan luar desa ada banyak pohon buah. Ikan pun melimpah di sungai.” Bold menenangkan.“A … apa itu?”Mival yang asyik menyimak tidak sengaja melihat benda berwarna putih di ketinggian.Shaw dan Bold mengikuti arah pandang Mival dan m

    Last Updated : 2021-08-07
  • Jeruji Tanah Anarki   21. Gua tersembunyi di kaki gunung

    “Hmm ... lantas, satu halnya lagi?”Ascal tidak ingin menahan Bexter lebih lama karena hari sudah sangat larut, pun tahu besok asistennya itu akan siaga dengan jadwalnya di pagi buta. Mengenal dan bersama cukup lama membuat Ascal sangat paham bagaimana seorang Bexter Larson. Ascal ingin Bexter mendapat cukup istirahat agar tubuhnya prima, juga agar dapat bekerja dengan maksimal.Bexter yang memahami respon Ascal pun tidak membuka lebih banyak bahasan. Ia mengeluarkan sebuah kotak kayu kecil dari saku dan menaruhnya di meja.“Ini, Tuan.”Ascal meraih kotak itu dan membukanya. Ada sebuah robekan syal berwarna marun dan secarik kertas di dalamnya.“Itu adalah kotak yang saya temukan di saku perompak yang terakhir itu.”Ascal mengambil secarik kertas, membaca tulisan yang tertera di sana.“Little Shark of Zanwan & bloody night of Viking?” Kening Ascal mengernyit, menatap Bexter. “Interaksi antara para viking ini dengan penduduk Zanwan yang kuingat hanya dua. Beberapa hari lalu dan saat per

    Last Updated : 2021-08-09
  • Jeruji Tanah Anarki   22. Pengejaran

    Tanah yang lembab membuat tapal kuda berjejak cukup dalam diakibatkan oleh hentakan yang kuat. Perlu kehati-hatian ekstra agar kuda tidak terjerembab ataupun terpeleset dan jatuh. Semak dan rerumputan yang makin tinggi tersebab kawasan yang sangat jarang disentuh manusia itu tidak menjadi penghalang bagi Shaw dan Bold untuk mempercepat laju kuda mereka. Keduanya memilih area tanah yang lebih datar dengan rerumputan yang lebih rendah dan kering agar kuda dapat melaju lebih cepat.Mereka berhasil mencapai jarak 3/4 busur panah dari kaki gunung di titik mereka memanjat tebing, terus melajukan kuda sampai mencapai penuh ujung busur; sejajar dengan titik saat mereka memanjat tebing.Pandangan dan pendengaran ditajamkan sembari terus menghentak kuda. Pepohonan yang lebat dengan jarak cukup rapat membuat pemandangan sekitar tampak seperti potongan gambar dengan kecepatan kuda mereka.“Arah jam sebelas!” Shaw berseru begitu melihat sang sosok memacu kudanya ke selatan di arah jam sebelas.Bold

    Last Updated : 2021-08-11
  • Jeruji Tanah Anarki   23. Lukisan pembawa sendu

    Apalah yang bisa semesta lakukan ketika hati masih terpaut pada orang yang sama meski raga telah terpisahkan? Jarak yang teramat jauh membentang, beribu ruang dan pintu kokoh jadi penghalang, pun waktu yang meragu beri kesempatan, disempurnakan takdir yang seakan-akan lelah untuk kembali pertemukan.Apalah yang bisa semesta lakukan ketika jiwa yang merindu menolak untuk berhenti mengaum? Ketika rasa dalam kalbu yang bergejolak menimbulkan gelombang ombak, menolak untuk berhenti meraung.Adakah setitik harapan itu masih hidup? Sekecil kesempatan pun 'kan diterima, lebih dari cukup untuk menarik dua sudut bibir melengkung ke atas.Adakah benang merah itu masih terikat? Setipis benang layang pun tidak masalah, cukup untuk membuat nadi tetap dalam iramanya, menari di hamparan ladang bunga bertemankan kupu-kupu, capung, dan burung-burung.Rangkaian aksara di buku yang terbuka tidak lebih dari pengalih atensi orang lain, barangkali ada yang melihat, sementara ingatan tak jeranya kembali memu

    Last Updated : 2021-08-11
  • Jeruji Tanah Anarki   24. Kembali ke barat daya

    Di gua, Shaw, Bold, dan Mival menerima tawaran sang sosok untuk menginap.“Apa itu?” Shaw bergumam pelan dengan mata yang masih terpejam.Suara gesekan benda menjadi satu-satunya yang terdengar di dalam gua, meriuh sampai ke kamar yang ditempati Shaw.Mereka mengobrol sampai sore dan sang tuan rumah menyarankan Shaw, Bold, dan Mival untuk bermalam ketika ketiganya pamit untuk melanjutkan perjalanan.Shaw mengernyit mendengar suara yang kembali menyelusup ke pendengarannya. Merasa sudah terjaga dan sulit tidur lagi, Shaw membuka mata, mengusapnya sekali, lalu beranjak dari peraduan. Ia telusuri asal suara yang didengar, membawa langkah ke lorong gelap yang tidak begitu lebar, menurun ke ruangan bawah. Barulah ia tahu bahwa lantai gua yang ia pijak sebelumnya bukan benar-benar lantai dasar karena masih ada lantai lain di bawahnya. Itu seperti ruangan bawah tanah.Tuan rumah terlihat duduk di kursi paling dekat dinding. Ada lentera minyak, diletakkan di tengah meja persegi dengan beberapa

    Last Updated : 2021-08-12
  • Jeruji Tanah Anarki   25. Mengambil kotak sang tuan rumah

    “Bold!?”Salah seorang jagawana refleks menyebut nama Bold saat lampu menyorot kedatangan sang prajurit jagur. Lampu sorot yang dinyalakan lebih redup daripada lampu sorot yang digunakan saat malam hari. Ini karena hanya sebagai penerang pembantu. Hutan yang lebat membuat sekitar lebih gelap meskipun malam telah lewat.Jagawana lain yang berkutat dengan penerangan mereka pun mengarahkan pandang ke depan menara, melihat sang prajurit jagur datang mendekat. Serentak, mereka memberi hormat sebab posisi dan jabatan mereka berada di bawah Bold.“Tidak perlu formal, bersikap biasa saja. Aku hanya mampir sebentar,” ujar Bold seraya menaik-turunkan telapak tangannya melihat para jagawana dengan posisi sigap dan tampak lebih tegang.Sang ketua tim jagawana yang bertugas turun dari atas menara, menyambut Bold, mempersilakan prajurit jagur itu duduk di kursi pos samping menara, tempat para jagawana beristirahat. Pandangannya ia arahkan pula pada dua anak yang ikut serta bersama Bold, lalu setenga

    Last Updated : 2021-08-14

Latest chapter

  • Jeruji Tanah Anarki   102. Markas naga hibrid

    Kilau cahaya pohon dan jalan memandu Bailey ke kaki gunung sisi utara, melewati area yang Bailey datangi tempo lalu bersama Shaw dan yang lain pada malam operasi penambangan ilegal. Semak belukar lebih tinggi, lalu ketika Bailey sampai di timur, menuju belokan ke tenggara, kilau cahaya kemerahan berkelap-kelip di depan.Bailey segera menghentikan laju kudanya.“Profesor bilang warna lain selain hitam dan putih akan cenderung samar, tapi merah itu terlalu jelas,” gumam Bailey.Menggeser fokus tatapannya, Bailey menemukan lebih banyak siluet merah dengan haki yang menguar di dalam sebuah gua. Bailey mengamati sekitar lebih jeli. Terlihat oleh matanya dinding seperti kubah di atas.Bailey menyalurkan hakinya ke kuda, tetapi tetap menyamarkannya, kemudian membuat kuda berderap pelan dan santai. Sang kuda bagai berjalan di atas angin; tidak ada suara yang terdengar tiap kali kakinya memijak.Mendekati gua, Bailey turun dari kuda. Ia ikatkan tali kuda ke sebuah pohon, kemudian melanjutkan d

  • Jeruji Tanah Anarki   101. Monokrom

    Aaban mengangguk, kemudian beralih tatap pada prajurit yang tadi membawakan kuda.“Buka gerbangnya.”Sang prajurit mengangguk patuh, kemudian berlari menuju pos jaga di sisi salah satu gerbang. Model pos agak tinggi dari permukaan tanah, jadi, ia mendongak dan berseru pada prajurit yang berada di pos.“Buka gerbangnyaaaa!”Prajurit di pos segera menjalankan perintah. Engsel gerbang segera berbunyi, lalu gerbang berderit, perlahan terbuka seiring Bailey menunggangi kuda.“Hati-hati, Tuan Muda!” kata Aaban.Bailey mengangguk. “Aku pergi.”Prajurit yang berseru pada prajurit di gerbang menyingkir, kembali ke sisi Aaban. Bailey menghentak tali kuda, melewati gerbang begitu gerbang terbuka lebar.“Tuan Muda sangat berani dan cerdik,” celetuk prajurit di sisi Aaban. Ia memandangi kepergian Bailey dengan binar takjub di matanya.“Dia putra pemimpin Zanwan. Keberanian dan kecerdikan akan bagus untuk menjadi bagian dari dirinya,” kata Aaban sambil memandangi Bailey yang menjauh, membelah padan

  • Jeruji Tanah Anarki   100. Ancaman Jillian

    Matahari telah terbenam di ufuk barat. Malam telah bertakhta. Dinginnya udara menerpa Zanwan sedingin suasana di meja makan mansion Hunt.“Wilton, di mana Bailey?” Jillian bertanya.Piring-piring masih terisi, belum habis setengah hidangan di atasnya. Satu kursi di meja makan, kursi yang biasa diduduki Bailey, kini kosong. Wilton berdiri di belakang samping kursi tersebut.Pelayan mengatakan Bailey tidak ada di kamarnya beberapa saat lalu. Sebentar sebelum duduk ke kursinya, Jillian pun mengecek kamar Bailey, hanya menemukan ruangan kosong. Sampai Ascal tiba, Bailey belum juga muncul. Tak ayal Ascal memanggil Wilton.“Tuan Muda ….” Wilton bicara serupa suara bisikan di keramaian, nyaris tidak terdengar saking lirihnya.Jillian mengerjap. Ia melirik Wilton sambil makan. Wilton terus menunduk, bahkan tidak kunjung menyelesaikan bicaranya. Ascal berganti melontarkan tanya tanpa menoleh.“Wilton, di mana Bailey?”“Tuan Muda pergi ….” Wilton masih serupa anak kecil yang bersembunyi.“Wilto

  • Jeruji Tanah Anarki   99. Jawaban Bailey

    Bailey manggut-manggut. “Aku tidak mengira kalian akan mengajukan pertanyaan semacam itu, bahkan tidak mengira kalian akan pernah menghiraukan hal semacam itu. Terima kasih, kurasa.”Senyum terukir di hati Bailey. Sebuah kabar gembira bagai menggema di dalam dirinya. Begitu pula yang dirasakan Otto dan Milo. Bailey menyambut baik, tentu itu kabar besar yang membahagiakan. Sekali lagi, perkiraan mereka salah. Sepertinya Bailey tidak mendengar pembicaraan mereka di kelas atau mungkin mendengar, tetapi tidak mempermasalahkan, dan itu membuat kegembiraan mereka kian bertambah.“Sanjungan lebih pantas untukmu,” kata Milo.Bailey merespon itu dengan senyum kecil. Otto dan Milo mengerjap, segera berpikir apakah mereka salah lihat. Namun, mereka dapati bahwa mereka tidak salah lihat. Bailey memang tersenyum. Senyum itu, Bailey tujukan kepada mereka.“Aku mulai dari pertanyaan pertama, ya,” kata Bailey, kemudian menghirup udara sejenak.Otto dan Milo mengangguk dan memasang telinga baik-baik.

  • Jeruji Tanah Anarki   98. Pertanyaan Otto dan Milo

    “Kau mendengarnya?” Otto bertanya dengan wajah memucat. Suaranya amat pelan sampai nyaris tidak terdengar.Milo mengangguk kecil dalam gerakan patah-patah dan sarat keraguan. Ekspresi pada wajahnya tidak jauh berbeda.Kepala mereka kemudian bergerak bersamaan, berpaling tatap ke baris terdepan, lalu mereka melihat Bailey beranjak dari duduknya, pergi keluar.“Apa Tuan Muda mendengar pembicaraan kita?” Milo bertanya dalam suara lebih rendah, serupa bisik-bisik yang mungkin saja akan hanyut terbawa angin.Otto menggeleng. Bukan jawaban meyakinkan, hanya harapan bahwa itu adalah kenyataan yang terjadi.“Kalau benar, semesta mungkin tidak akan berpihak pada kita setelah ini,” kata Otto.Cemas menyerang Otto. Kalau Bailey benar mendengar pembicaraan mereka, apakah kali ini Bailey akan tersinggung? Kesal? Emosi dan apa pun yang lebih buruk?“Kurasa kita sebaiknya bergegas?” Milo melirik Otto.“Itu keputusan paling baik.” Otto berdiri.Milo memasukkan buku catatan yang baru sebentar ia baca

  • Jeruji Tanah Anarki   97. Temui aku di perpustakaan

    “Katakan saja,” ucap Bailey di sela makannya.Bailey tahu dua anak lelaki ini takkan mendatanginya kalau hanya untuk makan. Ada meja-meja kosong lain yang siap untuk ditempati, pun keduanya belum pernah begitu pada Bailey sepanjang sejarah bersekolah walau satu kelas dengan Bailey.“Kami … agak … penasaran. Apa Tuan Muda akan mendaftar untuk turnamen?” Otto Atrius yang duduk di sebelah Milo bertanya. Bibir merah cerahnya berulang kali mengatup dan terbuka setelah pertanyaan diajukan. Otaknya berpikir apakah pertanyaan itu sudah pas atau tidak.“Turnamen umum, maksudmu?” tanya Bailey.Otto mengangguk. “Kami dengar-dengar tahun ini murid yang terpilih untuk mewakili sekolah boleh mendaftar turnamen umum. Kami juga baca informasinya di mading pagi ini.”“Kalau terpilih mewakili sekolah, lalu mendaftar di turnamen umum dan ternyata lolos dalam keduanya ke final, terlebih keluar sebagai juara di peringkat satu, akan otomatis mendapat tiket emas dan bonus berlipat.” Milo turut bicara setela

  • Jeruji Tanah Anarki   96. Keluarga yang sempurna

    “Ayah dan Ibu bawa apa? Itu terlihat banyak sekali!” Shaw mengamati tas-tas belanjaan dengan antusias. Salah satu isi yang tertangkap matanya adalah pakaian.“Oh, ini untuk putra Ibu yang paling manis!” Suara wanita menjawab.“Asyik! Pakaian, ya?” tanya Shaw.“Betul. Ada mainan juga!” Suara pria yang bicara.“Horeeee … mainan!” Shaw berseru gembira. Kebahagiaan meluap-luap pada suaranya.Di atas kaca, Shaw gemetar. Ia tidak mengira danau kaca keyakinan akan menampilkan momen seperti itu. Ia kira itu hanya akan berkisar perjalanannya, rencananya dengan Bailey, tantangan yang dihadapi dalam upaya mewujudkan impian tentang Zanwan. Namun, apa yang ia dengar sepenuhnya berbeda. Sama sekali tidak ada dalam bayangannya. Tidak sedikit pun.Mata Shaw bergetar. Air makin banyak di sana, lalu tumpah kala Shaw dengar suara yang sangat familier.“Shaw, jangan melompat-lompat tinggi begitu.” Itu suara Spencer, terdengar riang dan penuh kasih.“Shaw gembira sekali sepertinya.” Gracie menyusul bicara

  • Jeruji Tanah Anarki   95. Kaca keyakinan

    “Ini danaunya.”Shaw sampai di ujung hutan lain setelah dari hutan sunyi dan melewati padang rumput. Di hadapannya membentang danau jernih yang berkilau, besar dan luas yang tidak mampu Shaw ukur dengan pasti. Ia perkirakan luasnya sama atau bahkan melebihi lapangan alun-alun distrik Acilav.“Sampai di danau itu, cara paling cepat untuk melewatinya adalah membelahnya. Menyeberanginya,” kata Fu dalam pesannya sebelum berpisah. “Jangan terkecoh dengan ukurannya yang kau mungkin kira tidak seberapa luas; masih sangat mungkin untuk dilewati dengan mengitarinya. Terkadang dalam waktu dan untuk alasan yang tidak terduga, setelah melihat wujudnya, begitu kau berjalan, mencoba memutari danau untuk sampai di seberang, di sisi lain, kau akan dapati bahwa ujung danau bahkan tidak kautemukan. Semua yang kaulihat mungkin hanya akan menjadi hamparan air. Tidak ada lagi pepohonan, tidak ada lagi daratan selain tempat kau berpijak dan sekitar.”Shaw berjinjit, mencoba menjangkau seberang danau dengan

  • Jeruji Tanah Anarki   94. Bakat alam

    “Ada rencana untuk keluar lagi di sisa hari ini, Tuan Muda?” Wilton bertanya seturunnya ia dari kuda, memegangi tali setelah Bailey turun. Mereka baru sampai di mansion, pulang dari sekolah.“Kurasa tidak. Sepertinya aku akan habiskan waktu di meja belajar.”“Baik. Saya akan ada di pos malam ini kalau Tuan Muda butuh sesuatu.”“Ya. Aku masuk, ya. Terima kasih untuk hari ini, Wilton.”Bailey pergi, masuk ke mansion. Wilton mengiringi kepergian Bailey dengan anggukan penuh hormat. Bibirnya melengkung membentuk senyum. Usai Bailey tidak lagi terlihat, Wilton membawa kuda ke kandang.Sampai kamar, Bailey menyalakan penerangan, melepaskan ransel, dan bersih-bersih. Ia melanjutkan dengan menekuri buku-buku mata pelajaran sampai pelayan memanggil namanya dari luar pintu.Makan malam tiba, Bailey berseri-seri menemukan Jillian di meja makan. Canda tawa Jillian serupa bunga-bunga di musim semi dan keceriaan Bariela adalah penyempurna. Jillian telah kembali dengan warna cerahnya, tidak lagi ber

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status