"Kau anak yang kuat, Mival. Kau sangat tangguh!" puji Shaw. Menepuk pelan kaki Mival dua kali seraya tersenyum cerah.
"Sebentar," ucap Shaw. Berdiri dan mencuci tangan juga kotak makannya ke sungai, kemudian memasukkan kotak makan ke dalam ransel setelahnya dan kembali.
Mival merasa pipinya basah. Ia mengangkat tangan dan mengusap dengan jemarinya. Tapi ketika air matanya berderai lagi dan lagi, Mival menutup matanya dengan punggung tangan kanan.
Shaw duduk di tempatnya, menatap Mival di samping dengan senyum dan membawa anak 8 tahun itu ke dalam dekapan.
"Kau hebat, Mival. Orang lain belum tentu bisa bertahan sampai sekarang sepertimu," ujar Shaw lirih.Bold terdiam memperhatikan. Ia masih belum terbiasa membuka diri dan memeluk orang lain.
"Masa depanmu pasti cerah. Kau tidak boleh putus asa. Semuanya akan membaik," tutur Shaw lembut. Mengusap-usap punggung Mival, membuat anak itu menumpahkan tangisnya.
"Kau tidak sendirian ... ada aku dan Bold di sini," tutur Shaw lagi. Lalu sudah, hening setelahnya. Hanya isak tangis Mival yang terdengar. Tersedu-sedu ia.
Shaw membayangkan jika dirinya adalah Mival. Membayangkan kakek dan neneknya tiada, membayangkan setiap hari mendapat hukuman dan tidak ada seorangpun yang bisa diajak berbagi cerita. Gelap. Shaw segera menepis semua bayang itu.
Merasa lebih lega, Mival melepas pelukan Shaw dan mengusap matanya sekali lagi. Tangan Bold terulur; mengusap kepala Mival.
"Kau pernah berpikir tidak lebih beruntung dari orang lain?" tanya Bold. Mival mengangguk pelan. Bold tersenyum dan kembali membuka suara, "Ketahuilah ... kau justru lebih beruntung dari beberapa orang lain itu," katanya. Mengundang tanya di benak Mival yang kini menatapnya.
"Semua luka, rasa sakit, dan pengalaman pahit yang pernah kau alami akan mendewasakanmu. Suatu hari nanti, kau akan bersyukur karena pernah mengalami itu ... juga mengetahui kau memilih tetap berjuang daripada menyerah dan berputus asa. Kau beruntung ... karena semua yang kau alami itu akan menjadi bekalmu untuk bersikap lebih baik kepada orang lain, karena kau tahu bagaimana rasanya disakiti. Tidak semua orang bisa seperti itu." Bold mengusap sisa air mata di wajah Mival dengan masih tersenyum. Bahkan senyumnya mengembang lebih hangat dan lebih lebar. Shaw mengerjap beberapa kali memastikan dirinya tidak salah lihat.
"Terima kasih ...." Mival mengangguk. Meski belum mengerti maksud perkataan Bold sepenuhnya, tapi ia tahu bahwa Bold bermaksud baik. Dan itu sudah menghangatkan hatinya. Mival akan mengingat kata-kata Bold. Jika sudah lebih dewasa nanti, Mival pasti akan lebih memahaminya. Yakin Mival.
"Ayo, kita harus melanjutkan perjalanan ... hari mulai sore." Shaw berujar. Bold membantu Mival berdiri dan kembali menunggangi kuda di belakang Shaw.
Jalan yang mulai menanjak membuat Mival berpegangan lebih erat. Tubuhnya sudah lebih bertenaga, duka laranya sudah lebih ringan terasa. Mival mengukir senyum samar sembari menikmati pemandangan sekitar.
"Sore, Tuan Muda."
"Sore, Zander."
Zander, penjaga gerbang mansion Hunt yang bertugas jaga itu menutup kembali gerbang setelah Bailey masuk.
Sapaan prajurit lain yang berjaga di depan pintu utama pun terdengar oleh telinga ... disusul sapaan dari Jill yang membelokkan tungkai Bailey, mendekat ke sofa di ruang tengah. Celotehan riang Bariela pun ikut menyambut di sana.
"Baallee ... baallee ...," seru Bariela. Riang. Menggerak-gerakkan tangannya seperti ingin menggapai Bailey.
"Bagaimana sekolahmu hari ini?" Jill bertanya.
"Baik, seperti biasa," jawab Bailey. Berjongkok dan memainkan tangan Bariela yang duduk di pangkuan Jill, membuat balita berpipi tembam itu tertawa-tawa.
"Pergilah bersihkan dirimu lalu makan ... ibu ingin bicara nanti."
"Bicara sekarang saja, Bu."
"Tidak, nanti saja."
"Ya sudah ... aku ke kamar dulu. Dadah, Riel ...." Bailey menggerakkan tangan adiknya sekali lagi, lalu bangkit dan berlalu ke kamar. Tangan Bariela terulur lagi dengan jemari bergerak seperti tak ingin Bailey pergi.
"Baallee ... baallee ...."
Tas digendongan langsung Bailey taruh di tempatnya, kemudian mengeluarkan buku-buku dan menaruhnya di meja. Tungkai melangkah lagi untuk membersihkan diri. Saat sedang mengeringkan rambut dengan handuk di depan cermin seusai mandi, otaknya tak sengaja teringat akan anak panah yang ia dapatkan beberapa waktu lalu.
Handuk ia sampirkan di tempatnya, lalu memindahkan kursi meja belajar ke depan lemari dan naik. Tangan kanannya menjeremba ke atas lemari; mengambil anak panah. Setelahnya, kursi diposisikan ke tempat semula. Bailey duduk dan memutar-mutar anak panah di tangan.
Di ekor anak panah, Bailey menemukan huruf-huruf kecil yang tersusun membentuk kalimat, 'Buka anak panahnya.'
Kerut di dahi menjadi jawaban kalimat tersebut, namun tetap Bailey putar-putar lagi anak panahnya, sampai mata melihat garis tipis memutar di sekitar ekor anak panah. Dan saat Bailey memegang kedua sisi anak panah lalu menariknya, anak panah itu terbelah menjadi dua dengan lubang di dalam bagian sisi yang panjang; badan anak panah.
Sebuah gulungan kertas terlihat. Bailey mengambil jarum dari laci dan mengorek lubang anak panah untuk mengambil gulungan kertasnya. Setelah dapat, Bailey menaruh lagi jarum ke tempatnya lalu membuka gulungan kertasnya. Di sana, terpampang deretan tulisan yang banyak dan panjang.
"Heran. Diameter anak panahnya sekecil ini tapi bisa memuat kertas yang panjang. Gulungannya rapi sekali." Bailey menilai. Menaruh anak panah juga menyandarkan kertas dan tangannya di meja.
"Dan kenapa ada nomor-nomornya? Apa ini urutan yang harus kubaca? Sepertinya begitu." Bailey bergumam lirih. Memperhatikan keseluruhan pesan yang tertulis. "Kenapa juga ada coretan-coretan? Ada kata-kata yang diganti dan ditambah, jadi tidak rapi ... tapi masih bisa dibaca. Ini seperti disiapkan sejak lama," imbuhnya. Menyisir pesan sampai ke tulisan terakhir lalu kembali ke awal dan mulai membaca.
“Jika kau membaca surat ini, maka itu artinya aku telah mati, benar-benar mati.’’
Pesan pertama mengingatkan Bailey pada perompak pemberi surat yang ia pegang sekarang. Orang itu benar-benar berpikir jauh. Menurut Bailey.
“Dan jika kau membaca surat ini, maka itu artinya kau masih hidup dan baik-baik saja.’’
'Benar.' Bailey menjawab dalam hati.
“Dan aku merasa senang. Karena itu artinya usahaku tidak sia-sia.’’
Bailey tersenyum getir, geleng-geleng kepala tidak percaya.
“Sebelumnya aku ingin meminta maaf karena telah melukai lehermu, Tuan Muda .... Ah, di sini kupanggil Bailey saja, yaa ... hehe ...--’’
Bailey memegang lehernya yang dibalut perban sebentar.
'Jadi yang itu juga sudah dia rencanakan,' batin Bailey ber-waw. Lalu kepalanya mengangguk mengiyakan saat membaca panggilan yang digunakan untuknya.“... itu kulakukan agar hukuman mati segera dijatuhkan padaku. Hehe.’’
Mata Bailey membulat. Terkejut dan terkejut.
'Apa-apaan dia ini? Pakai terkekeh pula!'“Tidak usah terkejut begitu, Bailey. Ahahah .... Oh-! Kau pasti ingin tahu kenapa, 'kan?’’
Mata Bailey membulat lagi, lalu ia mengangguk ragu.
'Sekarang aku merasa seperti sedang berbicara dengan seorang peramal.'“Itu karena teman-temanku yang datang bersamaku ke pulau ini mati satu persatu, huhuhu .... Aku tidak ingin sendirian. Sedih, sakit, rindu, dan rasa bersalah akan menghantuiku setiap waktu. Dulu, awalnya aku yakin cepat atau lambat akan bebas dan menjalani hidup lagi. Tapi semuanya berubah, saat aku mendengar percakapan dua prajurit beberapa hari setelah aku dan teman-temanku dipindah ke dungeon lantai bawah bagian dalam.’’
Bailey tiba-tiba saja merasa sesak membacanya. Ia menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Lalu keningnya berkerut. 'Percakapan dua prajurit?'
“Aku tahu, aku akan mati sebelum bebas dari pulau ini ... teman-temanku juga. Dua prajurit itu yang mengatakannya. aku pernah mendengarnya secara langsung. Mereka mungkin sedang berjaga saat itu, dan tidak menyadari kalau aku mendengar pembicaraan mereka, memperhatikan mereka. Mungkin karena ruanganku gelap, dan aku juga duduk bersandar pada tembok terdalam. Tapi, yang membuatku bingung adalah ... mereka seperti sedang membicarakan sebuah rahasia. Terlihat mencurigakan. Kau ingin tahu apa yang mereka katakan?’’
Seketika Bailey berasa bersalah. Matanya mulai berembun. Padahal bukan dirinya yang membunuh teman-teman sosok misterius itu. Baik saat peristiwa di bukit batu timur kemarin lalu, maupun di dungeon saat sebelum-sebelumnya. Lagi, kening Bailey berkerut saat membaca bagian dua prajurit, dan ia mengangguk lagi.
'Kalau benar begitu, artinya aku harus menyelidiki prajurit yang berjaga di dungeon. Terutama prajurit yang dia maksud.'Tok tok!
Suara ketukan pintu mengalihkan perhatian Bailey, membuat wajahnya terangkat sedikit.
"Tuan Muda, Nyonya Besar menyuruh Anda makan." Itu suara Myriam sang kepala pelayan.
"Aku akan makan nanti. Tolong beritahukan pada ibu untuk tidak menungguku. Terima kasih," jelas Bailey dengan suara lebih keras agar terdengar ke luar pintu kamarnya.
"Baik." Satu kata yang menjadi balasan Myriam membuat fokus Bailey kembali ke surat. Sedangkan Myriam langsung berlalu dari depan pintu karena tahu Bailey tak akan mengatakan apapun lagi setelah mengucapkan terima kasih.
"Sampai di mana tadi?" Bailey bertanya pada diri sendiri. "Oh, ini." serunya dengan suara pelan dan melanjutkan membaca.
“Mereka mengatakan, 'Tuan sengaja mengajukan usul dan mendesak petinggi lain di rapat itu agar menunda hukuman mati bagi para perompak yang masih hidup, dalihnya agar dapat mengorek informasi tentang mereka dan dunia luar. Padahal sebenarnya karena ingin menjadikan mereka alat untuk melancarkan rencananya.' ... begitu yang mereka katakan.’’
'Mencurigakan! Tuan yang mereka maksud sudah pasti bukan ayah. Sebagaimanapun ayah, dia takkan bersikap seperti itu. Ayah bekerja keras untuk Zanwan. Dan pasti bukan ketua prajurit dungeon itu juga ... meski kemungkinan kedua bisa dicurigai karena aku tidak sering bertemu maupun dekat dengan mereka. Aku tidak tahu apa yang mereka lakukan dan bagaimana mereka di belakangku.' Bailey meracau dalam hati.
Ingatannya kembali pada laporan yang sampai ke telinganya, dari ketua prajurit yang berjaga di hari Bailey mendapat serangan. Ketua prajurit itu mengatakan bahwa tidak ada prajurit yang berkhianat. Baik prajurit yang berjaga di hari itu, maupun di beberapa hari sebelumnya. Ketua tim pasukan elite yang membantu dalam pencarian dan penyelidikan di area distrik dan perbatasan, juga memeriksa prajurit yang berjaga di perbatasan dan para jagawana pun mengatakan demikian. Tidak menemukan apapun.
"Kalau begitu, berarti, memang, ada orang dalam. Karena jika tidak, maka akar masalah dan dalang sebenarnya pasti akan muncul ke permukaan. Pencarian itu benar-benar dari sudut ke sudut ... bahkan menyebar ke perbatasan desa sampai ke tepian pulau. Dan lagi, ayah memerintahkan intel pasukan elite untuk menyelidiki diam-diam. Tapi juga tidak mendapatkan apa-apa. Rasanya sulit dipercaya mereka lolos," gumam Bailey.
Laci dibuka, Bailey mengambil pena dan buku catatan berukuran kecil, lantas menuliskan rentetan kejadian yang ia ingat sejak beberapa hari sebelum penyerangan, saat perang, nama-nama yang ia curigai beserta alasannya, orang yang mengusulkan dan mendesak penundaan hukuman mati di rapat, dan laporan-laporan yang masih ia ingat serta nama-nama pelapornya. Selesainya, pena ia taruh dan melanjutkan membaca.“Dua prajurit itu, terkadang aku melihat mereka berjaga di area tahanan tetua. Maksudku, para orang tua ... jeruji-jeruji di lorong yang kau lewati saat Shaw dihukum. Terkadang aku hanya melihat satu dari mereka, terkadang keduanya. Kalau dipikir-pikir, bukankah seharusnya mereka tidak sesering itu berjaga di tempat yang sama? Bukankah begitu peraturannya? Setidaknya itu yang kutahu dari seorang prajurit yang pernah kutanyai.’’'Hum, memang begitu.' Bailey membenarkan. Menulis lagi di buku catatan.“Aku juga pernah mendengar m
Lampu-lampu ruangan telah menyala, kontras dengan gelap terpajang di luar jendela. Baru Bailey sadari kalau hari sudah malam. Ia melangkah ke dapur, membuat pelayan dan koki di sana menengok dengan desir kejut menjalar seketika."T-tuan Muda, apa yang Anda lakukan di sini? Anda membutuhkan sesuatu?" Itu Dexter, sang koki. Menaruh piring berisi olahan ayam di meja dan menghampiri Bailey sembari mengelap tangan. Para pelayan menundukkan pandangan dan melanjutkan kegiatan."Aku haus," jawab Bailey. Mengambil gelas."Ah, sebentar, biar saya ambilkan." Dexter bergegas mengambil gelas, namun langkahnya terhenti karena Bailey sudah lebih dulu mengisi gelasnya."Tidak usah, Dexter ... terima kasih. Ini hanya air putih," ujar Bailey seraya mengangkat gelas berisi air putih di tangan. Setelahnya, Bailey berjalan keluar dapur lalu mendudukkan diri di kursinya, membiarkan para pelayan menghidangkan makan malam di meja dengan gugup. Tentu saja gugup, bel
"Perapian sudah siap!""Woaaahhhh ... Bold hebat!! Cepat sekalii ...." Mata berbinar Mival terarah lurus pada Bold dan perapian di depan prajurit jagur itu. Mival belum pernah membuat api secepat itu, apalagi di malam hari yang udaranya dingin. Meski memakai pemantik pun, dirinya belum bisa secepat Bold menyalakan api dan membuatnya menjadi api unggun kecil."Hmm ... bekal yang Nenek siapkan cukup banyak, tapi tidak dengan jenisnya. Jadi makanan kita malam ini sama seperti tadi siang, dan ini cukup sampai besok malam. Tapi minumnya kurasa akan lebih cepat habis." Shaw menghampiri Bold dan Mival di dekat perapian, meletakkan ranselnya dan mengeluarkan tiga kotak makan serta botol minum."Tidak masalah. Masih ada buah-buahan, 'kan? Kalau kurang, kita bisa mencarinya. Di hutan luar desa ada banyak pohon buah. Ikan pun melimpah di sungai." Bold menenangkan."A-apa itu?" Mival yang asik menyimak tak sengaja melihat benda berwarna putih di ketingg
"Hmm ... lantas, satu halnya lagi?"Ascal tak ingin menahan Bexter lebih lama karena hari sudah sangat larut. Pun tahu kalau besok asistennya itu akan siaga dengan jadwalnya di pagi buta. Mengenal dan bersama cukup lama membuat Ascal sangat paham bagaimana seorang Bexter Larson. Dan Ascal ingin Bexter mendapat cukup istirahat agar tubuhnya prima, juga agar dapat bekerja dengan maksimal.Bexter yang memahami respon Ascal pun tak membuka lebih banyak bahasan. Ia mengeluarkan sebuah kotak kayu kecil dari saku dan menaruhnya di meja."Ini, Tuan."Ascal meraih kotak itu dan membukanya. Ada sebuah robekan syal berwarna maroon dan secarik kertas di dalamnya."Itu adalah kotak yang saya temukan di saku perompak yang terakhir itu."Ascal mengambil secarik kertas dan membaca tulisan yang tertera di sana."Little shark of Zanwan & bloody night of Viking?" Kening Ascal mengernyit; menatap Bexter. "Interaksi antara para Vik
Tanah yang lembab membuat setiap tapal kuda berjejak cukup dalam diakibatkan oleh hentakan yang kuat. Perlu kehati-hatian ekstra agar kuda tidak terjerembab ataupun terpeleset dan jatuh. Semak dan rerumputan yang semakin tinggi tersebab kawasan yang sangat jarang disentuh manusia itu tak menjadi penghalang Shaw dan Bold untuk mempercepat laju kuda mereka. Keduanya memilih area tanah yang lebih datar dengan rerumputan yang lebih rendah dan kering agar kuda dapat melaju lebih cepat.Kini mereka berhasil mencapai jarak 3/4 busur panah dari kaki gunung di titik mereka memanjat tebing, terus melajukan kuda sampai mencapai penuh ujung busur; sejajar dengan titik saat mereka memanjat tebing.Pandangan dan pendengaran ditajamkan sembari terus menghentak kuda. Pepohonan yang lebat dengan jarak cukup rapat membuat pemandangan sekitar tampak seperti potongan puzzle dengan kecepatan kuda mereka."Arah jam sebelas!!" Shaw berseru begitu melihat sang sosok memac
Apalah yang bisa semesta lakukan? Ketika hati masih terpaut pada orang yang sama, meski raga telah terpisahkan. Jarak yang teramat jauh membentang, beribu ruang dan pintu kokoh menjadi penghalang, pun waktu yang meragu beri kesempatan, disempurnakan takdir yang seakan lelah untuk kembali pertemukan.Apalah yang bisa semesta lakukan? Ketika atma yang merindu menolak untuk berhenti mengaum, ketika rasa dalam kalbu yang bergejolak menimbulkan gelombang ombak menolak untuk berhenti meraung.Adakah setitik harapan itu masih hidup? Sekecil kesempatan pun 'kan diterima, lebih dari cukup untuk menarik dua sudut bibir melengkung ke atas. Adakah benang merah itu masih terikat? Setipis benang layang pun tak masalah. Cukup untuk membuat nadi tetap dalam iramanya, menari di hamparan ladang bunga ... bertemankan kupu-kupu, capung, dan burung-burung.Rangkaian aksara di buku yang terbuka tak lebih dari pengalih atensi orang lain; barangkali ada yang melihat. Seme
"Apa itu?" Shaw bergumam pelan dengan mata yang masih terpejam.Suara gesekan benda menjadi satu-satunya yang terdengar di dalam gua, ke kamar yang ditempatinya. Mereka mengobrol sampai sore, dan sang tuan rumah menyarankan Shaw, Bold, dan Mival untuk bermalam ketika ketiganya pamit untuk melanjutkan perjalanan.Shaw mengerutkan kening, mendengar suara yang kembali menyelusup ke pendengarannya. Merasa sudah terjaga dan sulit tidur lagi, Shaw membuka mata; mengusapnya sekali dan beranjak dari peraduan. Ia telusuri asal suara yang didengar, membawa langkah ke lorong gelap yang tak begitu lebar, menurun; ke ruangan bawah. Barulah ia tahu bahwa lantai gua yang ia pijak sebelumnya bukan benar-benar lantai dasar karena masih ada lantai lain di bawahnya, seperti ruangan bawah tanah.Tuan rumah terlihat duduk di kursi paling dekat dinding. Ada lentera minyak yang diletakkan di tengah meja persegi, dan beberapa benda di sekitar lentera."Ini bukan wa
"Bold!?"Salah seorang jagawana refleks menyebut nama Bold saat lampu menyorot kedatangan sang prajurit jagur. Lampu sorot yang dinyalakan lebih redup daripada lampu sorot yang digunakan saat malam hari, sebab hanya sebagai penerang pembantu ... karena hutan yang lebat membuat sekitar lebih gelap meskipun malam telah lewat.Jagawana lain yang berkutat dengan penerangan mereka pun mengarahkan pandang ke depan menara, melihat sang prajurit jagur datang mendekat. Serentak, mereka memberi hormat, sebab posisi dan jabatan mereka berada di bawah Bold."Tidak perlu formal, bersikap biasa saja ... aku hanya mampir sebentar," ujar Bold seraya menaik-turunkan telapak tangannya melihat para jagawana dengan posisi sigap dan tampak lebih tegang.Sang ketua tim jagawana yang bertugas turun dari atas menara, menyambut Bold dan mempersilakan prajurit jagur itu duduk di kursi pos samping menara; tempat para jagawana beristirahat. Pandangannya ia arahkan pula
Atmosfer terasa lebih ramah. Irama dari ranting-ranting dan dahan oleh angin terdengar lebih wajar dibandingkan tadi. Shaw makin yakin, semua karena Morth. Atmosfer, halusinasi, entah apa lagi yang Morth sebabkan. Satu pertanyaan besar dalam benak Shaw, siapa Morth sesungguhnya? Mengapa seisi jenggala sunyi hingga seluruh penjurunya seakan-akan berada di bawah kaki tangan Morth?“Kau pikirkan aku?” Morth tiba-tiba bertanya. Rupanya ia mengekori Shaw.Huh? Apa Morth juga bisa membaca pikiran?Shaw menengok ke belakang, langkahnya melambat. “Jangan katakan kau dapat menembus kepala orang.”“Kau banyak bertanya, belum tuntas seluruhnya.” Morth mensejajarkan diri. Sejenak, ia melihat Shaw dari atas ke bawah. “Orang keras kepala seperti kau tentu akan merenungkannya. Aku benar, bukan?”“Kita baru saling tahu beberapa saat lalu dan kau yakin sekali dengan kata-katamu. Antara kau pandai menilai atau hanya pandai berasumsi.” Shaw menggeleng. Pandangan ia tujukan ke depan.Morth menyentuh leng
Tanduk. Hal pertama yang dilihat oleh Shaw dari sumber suara adalah tanduk, tersembunyi di antara dedaunan semak belukar setinggi pinggang orang dewasa.Shaw mengernyit, kemudian bergumam lirih, nyaris tak bersuara, "Itu seperti tanduk rusa."Sepasang mata semerah darah terlihat dari celah dedaunan. Shaw menelan ludah. Ia tahu betul itu bukan mata hewan biasa, apalagi manusia. Tidak ada satu pun penduduk desa yang pernah ditemuinya memiliki mata seperti itu.Mungkinkah ini yang Fu maksud? Apapun itu, merasakan haki tidak biasa dari sang sosok misterius membuat Shaw merasa dirinya tidak boleh berlama-lama.Diliputi kewaspadaan dan dengan suara tercekat, ia berucap dalam hati, "Aku harus segera pergi dari sini."Tanpa melakukan pergerakan yang kentara serta dengan posisi kepala yang masih sama, tatapan Shaw menyisir sekitar; memastikan tidak ada keanehan lain. Ia yang semula berjongkok pun perlahan berdiri sepelan mungkin. Namun, bak lelah bermain petak umpet, ransel yang Shaw gendong m
"Tetap tidak bisa! Terlalu berbahaya. Kau kan tahu lebih baik daripada aku, Tibate." Fu mengangkat kepala, menatap lurus Tibate dan Baldor. Ini bukan waktu yang tepat, pikir Fu. "Lagi pula aku bisa menjaga diri. Akan kupanggil kalian jika hal buruk terjadi dan aku tidak bisa mengatasinya.""Kau bisa tinggal, Fu. Aku akan melanjutkan perjalananku seorang diri," sela Shaw, angkat bicara setelah menimang-nimang."Tidak―""Aku juga akan meninggalkan kudaku di sini." Shaw menepuk pundak Fu. Ia serius ingin Fu tinggal. "Bold bilang ada danau dan tebing. Jadi, aku tidak bisa membawa kudaku. Selain itu, kau bisa mengawasi keadaan hutan dan mengabariku. Kau juga terluka, Fu. Jangan bersikeras seolah kau baik-baik saja. Bagaimanapun kau juga masih anak-anak."Ini adalah tugas Shaw. Sejak awal, Shaw memulainya sendiri, dan ia harus melanjutkannya sendiri. Shaw tidak ingin merepotkan.Fu berdecak, tidak terima, tetapi juga tidak menyangkal ataupun menyanggah. Bertemu Baldor dan Tibate membuatnya
Pria berjanggut memperhatikan sambil mengusap-usap janggut dan kumisnya. Saat otaknya mengingat sesuatu tentang Fu, matanya seketika melebar."Kau ingin aku mencincangmu, hah?!" Tibate berseru.Setelah ikan bakarnya rusak, sekarang dirinya yang nyaris terbakar. Pria plontos itu tidak terima.Tibate menghentak tanah dengan kakinya, bergantian kaki kanan dan kaki kiri. Pegangannya pada gagang pedang semakin erat dan erat.Fu melompat mundur, mengambil sikap siaga dan meningkatkan kewaspadaannya. Ia siap dengan apapun yang akan Tibate lakukan untuk membalasnya.Sebelum Tibate menyerang balik, pria berjanggut yang masih menggenggam keranjang bambu itu berjalan ke depan Tibate, lalu berdiri memunggungi Fu dan Shaw."Kau mau dikutuk atau sudah bosan hidup?!" tanyanya."Apa maksudmu? Kalau kau hanya ingin aku berhenti memberi anak itu pelajaran, sebaiknya kau minggir!" balas Tibate."Kau tahu kau sedang berhadapan dengan siapa? Kau tidak berencana mengingkari janjimu pada Jenderal Besar, 'ka
"Apa kau sedang bercanda?" Tibate mendengus kasar. Ia tampak tidak suka.Pria plontos itu tahu dirinya sudah hidup lama, tetapi bukan berarti ingatannya menua. Ia tahu ingatannya masih berfungsi dengan sangat baik. Ia sangat meyakini itu."Aku tidak bercanda," sanggah Fu, berkacak pinggang. "Kau memberitahukannya sendiri padaku saat aku memberimu buah persik. Kalau kau masih tidak ingat, berarti ada yang salah dengan ingatanmu," imbuhnya.Buah persik?Tibate mengerutkan kening. Ia merasa tidak asing, tetapi tidak mengingat apapun."Sudahlah. Lebih baik kalian pulang sekarang, dan akan kuanggap ini tidak pernah terjadi," ujar Tibate seraya memasang wajah serius."Tidak bisa!" Shaw berseru. "Aku harus pergi ke tenggara!""Ya. Kami tidak bisa kembali ke desa saat ini," Fu menimpali.Tibate memukulkan ujung pedangnya ke tanah, menimbulkan gelombang angin yang kencang. Dedaunan dan batu kerikil tersapu, begitu pun Fu dan Shaw yang ikut terpental."Aduh ...." Shaw mengerang, berusaha bangun
Menjelang pagi, suara kehidupan awal sekali menggaung. Beberapa penduduk desa sudah mulai melakukan aktivitas mereka. Sebagian di dalam rumah, sebagian di luar rumah.Satu di antara manusia yang telah lepas dari peraduannya adalah Wilton. Ia bertugas pagi kali ini."Selalu rajin, ya." Zander berkomentar. Kuda-kuda di kandang bersuara antusias saat Zander memberi mereka makan."Tidak juga. Aku hanya tidur cukup nyenyak semalam, dan tubuhku merasa lebih segar saat aku bangun. Jadi, ya, mungkin lebih bersemangat," sahut Wilson seraya terkekeh kecil."Padahal kau hanya tidur sebentar, 'kan, semalam," Celetuk Zander. Tangannya cekatan melipat karung-karung rumput yang sudah kosong.Wilton tersenyum cerah menanggapinya. Ia memeras kain yang dipakai untuk mengelap kuda yang akan ia pakai untuk mengantar Bailey ke sekolah."Sebentar pun tetap saja namanya tidur, Zan," kata Wilton, keluar dari kandang sambil membawa kain basah dan ember hitam kecil."Ya, tidak salah."Suara derap kaki nyaring
"Ada yang menarik perhatianmu, Vid? Aku sampai mengantuk menunggumu." Bailey menimpali."Ah, maaf maaf .... Tadi ada yang harus kulakukan. Ada sesuatu! Jadi, aku kembali lebih lama," ujar Avidius seraya tersenyum canggung.Avidius adalah cucu Barid. Ia satu sekolah dengan Leonere."Sesuatu apa?" Leonere bertanya.Avidius, remaja berkulit putih kemerahan dengan senyum manis dan lesung pipi itu mengeluarkan sebuah kain merah dari saku pakaian di balik jubahnya. Saat kain dibuka, Leonere dan Bailey membulatkan mata melihat benda yang terpampang di sana."Bukankah itu—" Kata-kata Leonere terhenti. Ia mendekat tergesa dan memegang benda yang ditunjukkan Avidius. "Ini kan ....""Dari mana kau menemukan itu?" tanya Bailey yang juga mendekat.Avidius melirik ke arah belakang sesaat, memastikan sekitarnya aman. Senyumnya pudar seketika."Dari hutan barat laut. Aku menemukannya tadi," bisik Avidius, tampak serius.Bailey dan Leonere tercengang lalu saling menatap. Pikiran keduanya seolah tersam
"Tidak ada yang gratis," sahut Fu seraya menyeringai tipis.Shaw berdecak. "Kubayar dengan manisan.""Apa itu? Tidak cukup! Informasiku sangat mahal, kau tahu.""Ck, kubayar dengan makanan lain. Kau bebas memintanya, dan aku akan membuatkannya untukmu," tawar Shaw.Fu menyeringai penuh kemenangan kini. Sebuah siasat terlintas di benaknya."Bisa dipertimbangkan," kata Fu. Sesaat kemudian seringai di wajahnya hilang, berganti raut serius. "Kurangi kecepatan kudanya. Melewati batang pohon besar di depan itu, buat kudanya berjalan biasa.""Huh? Oke."Shaw percaya pada Fu. Ia mengikuti instruksi Fu tanpa ragu.Pohon-pohon besar yang dimaksud Fu berada 20 meter dari mereka. Warna pohonnya gelap, seolah melambangkan sesuatu yang misterius dan tampak mati. Pepohonan itu seakan telah terbakar. Meski begitu, dedaunannya sangat rimbun.Melewati dua pohon besar tersebut, kuda memasuki jenggala yang lebih gelap dan sunyi dari sebelumnya. Sekeliling tampak benar-benar gelap dengan aura yang terasa
"Ya sudah." Eroth menghela napas.Selain belajar bersikap baik pada budaknya, Eroth pun belajar untuk tidak memaksakan kehendak. Ya, itu sungguhan, bukan sandiwara yang dibuat-buat.Di depan mereka, Aaban mendengarkan dalam diam. Komandan itu sibuk dengan pikirannya.Menjelang ujung dari jenggala ketiga, Fu tiba-tiba berujar. Suaranya terdengar serius di telinga Shaw."Berhenti, Shaw."Shaw menghentikan laju kuda dan melirik Fu. "Ada apa?""Kita ambil jalan lain," tukas Fu."Kenapa? Ada apa dengan jalan ini?""Ada sesuatu di depan. Hakinya tidak jauh berbeda dengan Kaye dan teman-temannya.""Ha?"Shaw menatap lurus, lalu memejamkan mata. Ia mencoba merasakan haki di depan, tetapi tidak merasakan atau melihat apapun."Aku tidak merasakan apapun," kata Shaw seraya membuka mata.Fu berdecak dan memegang kedua pundak Shaw. Aliran haki mengalir dari tangannya."Coba lihat lagi," kata Fu. Shaw mengiyakan.Bayangan sosok berjumlah lebih dari 10 terlihat di kejauhan di depan, dengan haki yang