"Dasar lambat! Ayo cepat!"
Ctash!
"Ba-baik, Tuan."
"Lebih cepat lagi!! Dasar anak pemalas!!"
Tungkai yang gemetar melangkah sembari terseok-seok. Kentara sekali dipaksa tetap tegak. Rantai dengan bola logam di kedua kaki tak beralas membuat langkahnya semakin payah, ditambah sebuah karung yang nampak berat sebab daksa terlihat sampai membungkuk membuat usahanya bak bunuh diri.
Aksi tak menyenangkan mata tersebut tertangkap pelupuk mata Shaw. Membuatnya segera berbelok menghampiri. Bold yang sedikit terkejut sigap mengikuti. Kedua orang yang mengganggu pemandangan Shaw itu menghentikan diri dan menoleh pada kehadiran yang tak diundang.
Terlihat jelaslah oleh Shaw, seorang anak berkulit sawo matang lagi kurus yang terlihat begitu tersiksa namun berusaha tak menunjukkan. Lalu di hadapan samping kirinya, seorang pria dewasa yang Shaw taksir usianya sekitar 40-50 tahun.
"Siapa kau?" Sang pria dewasa bertanya setelah mengamati Shaw dari atas ke bawah. Lalu pandangannya berganti pada Bold yang baru datang. Mengetahui yang menghampirinya adalah prajurit elite tersohor, sang pria mematung di tempat. Pikirannya menerka apakah perlakuannya terhadap sang anak tadi adalah masalah.
Wajah Shaw sedetik terangkat ke atas, menatap nabastala yang cerah dengan matahari yang sudah hampir di atas kepala. Lalu tertunduk menatap pada kedua kaki sang anak. Samar terlihat garis lepuh di bawah samping telapak kakinya. Kemudian otak dan hati Shaw gemas berkomentar, 'ini pasti bukan kali pertama.'
"Siapa Tuan? Dan siapa anak itu?" Alih-alih merespon pertanyaan dengan jawaban, Shaw justru merespon dengan pertanyaan lagi seraya turun dari kuda.
Merasa kaku oleh kehadiran Bold, sang pria berdehem lalu menjawab.
"Nama saya Eroth Stedd. Dan dia adalah budak saya." Kehati-hatian jelas terdengar dari suaranya."Apa dia melakukan kesalahan? Mengapa kakinya dirantai dengan bola logam dan tanpa alas kaki?" Shaw bertanya lagi.
"Dia membuat roti gosong dan dapur berantakan, juga tidak menyelesaikan memotong kayu dan membuat kayu-kayunya kembali basah oleh embun." Sang pria menjawab dengan lebih gugup.
Jika alasannya lebih masuk akal seperti karena mencuri, melakukan hal buruk lainnya sampai merusak nama baik dan merugikan orang mungkin lebih wajar. Karena di Zanwan pun tak jarang menerapkan hukum sepadan. Seperti pencuri dipotong tangannya, pengumpat dan penghina petinggi desa diberi racun penghilang suara, dan sebagainya. Terkadang juga hukumannya lebih kejam lagi. Namun ini? Hanya karena menggosongkan roti, membuat dapur berantakan, dan tidak menyelesaikan memotong kayu. Shaw tidak mengerti lagi.
Geram terasa dalam batinnya, Shaw tahan agar tak tumpah. Ia mengambil napas halus dan menghembuskannya pelan. Berusaha menjaga ketenangannya.
"Jika ada yang ingin membelinya, berapa patokan yang Tuan akan tetapkan?"
Raut muka terkejut terlihat pada wajah Eroth, budaknya, juga Bold. Eroth menimang-nimang ... lalu mulutnya bergerak; memberikan angka $10 untuk harga budaknya. Ia menaikkan 10 kali lipat dari harga budak di pasaran.
Harga budak di Zanwan terkesan murah, memang, tapi terbilang cukup mahal sebab mayoritas penduduknya --terutama di distrik Acilav-- masih hidup dengan cara tradisional. Keluarga Eroth juga tengah butuh uang banyak untuk persiapan kembali ke rumah yang mereka tinggalkan di barat Zanwan untuk mengungsi.
Shaw melepas ransel yang ia gendong, mengeluarkan sebuah kantung kecil berwarna merah. Membukanya dan mengambil uang lembaran sebanyak sepuluh lembar darinya, kemudian menyodorkannya pada Eroth yang mengambilnya ragu-ragu dan masih dengan wajah terkejut. Setelah menghitung, Eroth memasukkan uangnya ke saku lalu mengeluarkan kunci; berjongkok dan melepas rantai di kedua kaki anak yang kini jadi mantan budaknya.
"Lepaskan karung yang kau panggul dan kemarilah," ujar Shaw. Menutup kembali ransel dan menggendongnya.
"Tuan," Shaw kembali menatap Eroth.
"Roti yang gosong masih bisa dimakan ... oleskan madu jika terasa pahit. Dapur yang berantakan juga bisa dibersihkan lagi. Kayu yang basah pun bisa dikeringkan lagi dengan dijemur. Tapi, sebuah nyawa ...--"
Shaw mengangkat jari telunjuk tangan kanannya; menggoyangkannya ke kanan dan kiri sebagai tanda 'tidak'.
"... sebuah nyawa tidak akan bisa dikembalikan sekali saja ia hilang. Jika Tuan tidak bisa melihat dia sebagai seseorang yang layak untuk diperlakukan dengan baik, maka cobalah lihat dia sebagai seorang manusia yang berhak dihargai." Shaw berujar dengan nada tenang yang terdengar lembut di telinga.
"Saya mengerti." Eroth menunduk dalam seakan terhipnotis oleh kata-kata Shaw dan pembawaannya. Perlahan ia mengerti maksud dari perkataan yang terlontar untuk dirinya.
"Kami pamit, Tuan."
Kuda kembali ditunggangi. Dari atas, tangan Shaw terulur pada sang anak; memintanya naik.
Keberangan yang sempat bersembunyi kini kembali lagi seusai kuda melaju menjauh. Namun pula seakan terkikis, tak lagi membumbung dengan emosi yang sama. Eroth, sedikit kesadaran muncul dalam dirinya.
Merasa hari semakin panas, Shaw melajukan kudanya lebih cepat. Namun sebelum itu, ia melirik sedikit ke belakang, meminta sang anak berpegangan padanya agar tak jatuh.
Area penghujung selatan adalah yang paling sederhana di Zanwan. Perumahan dan penduduknya adalah yang paling sedikit dibanding area lain di desa itu. Di bagian ujung, terdapat banyak pasang tenda pengungsian para keluarga yang rumahnya rusak maupun hancur di daerah barat Zanwan. Dan Eroth adalah salah satunya.
"Sebentar lagi kita berhenti. Tetap berpegangan padaku dan jangan sampai jatuh, yaa ...." kata Shaw. Sang anak mengangguk kecil di belakang.
Terasa oleh Shaw, anak di belakang berantuk dengan punggungnya. Mematuhi ucapan Shaw, kedua tangan anak itu akhirnya bertengger mencengkeram bagian pakaian Shaw di kanan kiri; area pinggang.
Memasuki hutan, siang yang terik menjadi terasa sore. Semakin dalam, suasana semakin gelap tersebab sinar matahari yang tak sepenuhnya masuk. Samar gemericik air semakin lama semakin terdengar hingga sungai terlihat oleh mata. Shaw mengarahkan kuda ke sana, lalu berhenti di tepian.
"Nah, kita berhenti di sini. Bold, tolong ... bisakah bantu dia turun?"
Tanpa perlu mengucap dua kali, Bold turun dari kuda dan mendekat; membantu sang anak turun. Shaw melompat setelahnya.
"Haaaahhhh ... segarnyaa ....!!"
Shaw memejamkan mata; menghirup udara sesaat sebelum tungkainya melangkah mendekati sungai, berjongkok dan memasukkan tangan ke dalam air.
"Oh iya--"
Selesai membasuh muka, Shaw kembali. Menghampiri sang anak yang terduduk memeluk siku. Dikeluarkannya kotak makan dari ransel dan menyodorkannya pada sang anak yang masih belum Shaw ketahui namanya.
"Ini, makanlah." Shaw memberi satu kotak makan berisi kentang rebus yang diiris tipis bercampur salmon bakar. Botol air ditaruh pula di tengah-tengah mereka.
"Te ... ri ... ma ... ka ... sih ...," ucap sang anak pelan dan kepala menunduk. Shaw tersenyum melihatnya.
"Apa kita akan bermalam di sini?" Bold mendekat seusai menalikan kedua kekang kuda.
Shaw menoleh sekilas, lalu menatap sekeliling.
"Bagaimana jika melanjutkan perjalanan?""Bisa." Bold mengangguk. "Kurasa cukup waktu untuk keluar dari hutan sebelum hari gelap, dan kita bisa bermalam di perbukitan."
"Baiklah, kita bermalam di sana. Makan, Bold." Satu kotak makan dengan isi yang sama disodorkan pada Bold.
"Terima kasih."
Shaw mengangguk singkat dan mengambil kotak makannya. Bekal yang dibawakan Gracie, memang, lebih banyak. Sebab, nenek Shaw itu tahu persis jika Shaw mungkin saja akan membaginya dengan orang lain yang ditemui di perjalanan.
"Siapa namamu?" tanya Shaw. Menoleh pada sang anak. Baru Shaw tahu jika anak di sampingnya itu makan dengan sangat pelan ... bahkan lebih terkesan elegan.
"Mi ... val ... Rei ... thel ...," jawab sang anak. Masih dengan suara pelan dan menunduk.
"Mival Reithel. Namamu bagus. Usiamu berapa?"
"De ... la ... pan ... ta ... hun ...."
"Delapan tahun, ya? Kau tinggi untuk anak seusiamu. Benar, 'kan, Bold?" Shaw melirik Bold.
"Hum. Dan kuat." Bold menambahkan. Mival yang mendengarnya kehabisan kata-kata tak merespon selain mengucap terima kasih.
"Baiklah ... makanlah dengan lahap. Tidak perlu sungkan." Shaw mengusap kepala Mival sesaat lalu kembali makan. Mival yang mendapat usapan di kepala terdiam sejenak, terkejut tapi lebih cepat menguasai diri.
Matahari sudah melewati atas kepala. Shaw, Bold, dan Mival masih terduduk menunggu makanan di perut mereka turun lebih dulu. Usai mencuci dan memasukkan kembali dua kotak makan, Shaw mengambil air sungai dengan satu kotak lain dan kembali. Ia berjongkok di depan Mival yang memasang wajah bingung.
"Boleh kulihat telapak kakimu?" Shaw menatap lembut. Mival masih bingung tapi memberikan kakinya, membiarkan Shaw mendapat inginnya.
Benar perkiraan Shaw. Telapak kaki Mival melepuh dan mengelupas. Di beberapa bagian bahkan sampai ke lapisan dalam. Dikeluarkannya kotak obat dari ransel, mengambil kain kecil dan menyelupkannya ke air di kotak makan, kemudian mengoleskannya ke kaki Mival.
"Kenapa kau bisa menjadi budak Tuan Eroth?" tanya Shaw mengalihkan perhatian Mival dari kakinya, agar tak merasakan sakit yang teramat.
Mival tertegun dengan perlakuan Shaw. Ia ingin menarik kakinya namun tak ingin membantah. Pada akhirnya, ia membiarkan Shaw mengobati kakinya.
"Orangtuaku mendapat hukuman mati beberapa tahun lalu, karena terlibat perselisihan dengan salah seorang petinggi desa ...," jawab Mival lebih tenang. Tidak lagi sepelan tadi. "Dan aku dijual sebagai budak di pasar .... Sebagai ganti hukuman mati karena aku masih kecil," lanjutnya.
"Lalu Eroth membelimu?" Itu Bold. Ikut penasaran. Mival mengangguk.
"Apa kau selalu diperlakukan seperti tadi setiap hari?" tanya Bold lagi. Mival mengangguk lagi.
"Tuan Eroth memiliki anak lelaki sebayaku ... dan anak itu seperti membenciku. Dia selalu menggangguku ... selalu membuat ulah dan menuduhku pelakunya. Tuan Eroth memberiku makan sehari sekali saat siang, tapi anak itu kadang mengambil makananku ... dan menumpahkan atau membuangnya di tempat lain." Suara mival mulai menyendu. Seketika ia teringat pada orang tuanya.
".... Jika aku melakukan kesalahan sedikit saja, maka aku tidak akan mendapat makan hari itu atau esoknya. Dan aku akan dipasangkan rantai dengan bola logam di kedua kakiku ... lalu, aku akan disuruh memanggul sekarung sayuran, jagung, buah, atau pasir jika Tuan Eroth sedang sangat marah." Tak disadari Mival, air matanya berderai.
Hidup Mival berubah drastis semenjak orang tuanya tiada dan ia menjadi budak. Mival rindu orang tuanya.
Luka di telapak kaki Mival selesai diobati dan dibalut dengan perban. Shaw lalu melepas sandal yang ia kenakan dan memakaikannya ke kedua kaki Mival."Kau anak yang kuat, Mival. Kau sangat tangguh!" puji Shaw. Menepuk pelan kaki Mival dua kali seraya tersenyum cerah."Sebentar," ucap Shaw. Berdiri dan mencuci tangan juga kotak makannya ke sungai, kemudian memasukkan kotak makan ke dalam ransel setelahnya dan kembali.Mival merasa pipinya basah. Ia mengangkat tangan dan mengusap dengan jemarinya. Tapi ketika air matanya berderai lagi dan lagi, Mival menutup matanya dengan punggung tangan kanan.Shaw duduk di tempatnya, menatap Mival di samping dengan senyum dan membawa anak 8 tahun itu ke dalam dekapan."Kau hebat, Mival. Orang lain belum tentu bisa bertahan sampai sekarang sepertimu," ujar Shaw lirih.Bold terdiam memperhatikan. Ia masih belum terbiasa membuka diri dan memeluk orang lain."Masa depanmu pasti cerah. Kau tidak boleh
Laci dibuka, Bailey mengambil pena dan buku catatan berukuran kecil, lantas menuliskan rentetan kejadian yang ia ingat sejak beberapa hari sebelum penyerangan, saat perang, nama-nama yang ia curigai beserta alasannya, orang yang mengusulkan dan mendesak penundaan hukuman mati di rapat, dan laporan-laporan yang masih ia ingat serta nama-nama pelapornya. Selesainya, pena ia taruh dan melanjutkan membaca.“Dua prajurit itu, terkadang aku melihat mereka berjaga di area tahanan tetua. Maksudku, para orang tua ... jeruji-jeruji di lorong yang kau lewati saat Shaw dihukum. Terkadang aku hanya melihat satu dari mereka, terkadang keduanya. Kalau dipikir-pikir, bukankah seharusnya mereka tidak sesering itu berjaga di tempat yang sama? Bukankah begitu peraturannya? Setidaknya itu yang kutahu dari seorang prajurit yang pernah kutanyai.’’'Hum, memang begitu.' Bailey membenarkan. Menulis lagi di buku catatan.“Aku juga pernah mendengar m
Lampu-lampu ruangan telah menyala, kontras dengan gelap terpajang di luar jendela. Baru Bailey sadari kalau hari sudah malam. Ia melangkah ke dapur, membuat pelayan dan koki di sana menengok dengan desir kejut menjalar seketika."T-tuan Muda, apa yang Anda lakukan di sini? Anda membutuhkan sesuatu?" Itu Dexter, sang koki. Menaruh piring berisi olahan ayam di meja dan menghampiri Bailey sembari mengelap tangan. Para pelayan menundukkan pandangan dan melanjutkan kegiatan."Aku haus," jawab Bailey. Mengambil gelas."Ah, sebentar, biar saya ambilkan." Dexter bergegas mengambil gelas, namun langkahnya terhenti karena Bailey sudah lebih dulu mengisi gelasnya."Tidak usah, Dexter ... terima kasih. Ini hanya air putih," ujar Bailey seraya mengangkat gelas berisi air putih di tangan. Setelahnya, Bailey berjalan keluar dapur lalu mendudukkan diri di kursinya, membiarkan para pelayan menghidangkan makan malam di meja dengan gugup. Tentu saja gugup, bel
"Perapian sudah siap!""Woaaahhhh ... Bold hebat!! Cepat sekalii ...." Mata berbinar Mival terarah lurus pada Bold dan perapian di depan prajurit jagur itu. Mival belum pernah membuat api secepat itu, apalagi di malam hari yang udaranya dingin. Meski memakai pemantik pun, dirinya belum bisa secepat Bold menyalakan api dan membuatnya menjadi api unggun kecil."Hmm ... bekal yang Nenek siapkan cukup banyak, tapi tidak dengan jenisnya. Jadi makanan kita malam ini sama seperti tadi siang, dan ini cukup sampai besok malam. Tapi minumnya kurasa akan lebih cepat habis." Shaw menghampiri Bold dan Mival di dekat perapian, meletakkan ranselnya dan mengeluarkan tiga kotak makan serta botol minum."Tidak masalah. Masih ada buah-buahan, 'kan? Kalau kurang, kita bisa mencarinya. Di hutan luar desa ada banyak pohon buah. Ikan pun melimpah di sungai." Bold menenangkan."A-apa itu?" Mival yang asik menyimak tak sengaja melihat benda berwarna putih di ketingg
"Hmm ... lantas, satu halnya lagi?"Ascal tak ingin menahan Bexter lebih lama karena hari sudah sangat larut. Pun tahu kalau besok asistennya itu akan siaga dengan jadwalnya di pagi buta. Mengenal dan bersama cukup lama membuat Ascal sangat paham bagaimana seorang Bexter Larson. Dan Ascal ingin Bexter mendapat cukup istirahat agar tubuhnya prima, juga agar dapat bekerja dengan maksimal.Bexter yang memahami respon Ascal pun tak membuka lebih banyak bahasan. Ia mengeluarkan sebuah kotak kayu kecil dari saku dan menaruhnya di meja."Ini, Tuan."Ascal meraih kotak itu dan membukanya. Ada sebuah robekan syal berwarna maroon dan secarik kertas di dalamnya."Itu adalah kotak yang saya temukan di saku perompak yang terakhir itu."Ascal mengambil secarik kertas dan membaca tulisan yang tertera di sana."Little shark of Zanwan & bloody night of Viking?" Kening Ascal mengernyit; menatap Bexter. "Interaksi antara para Vik
Tanah yang lembab membuat setiap tapal kuda berjejak cukup dalam diakibatkan oleh hentakan yang kuat. Perlu kehati-hatian ekstra agar kuda tidak terjerembab ataupun terpeleset dan jatuh. Semak dan rerumputan yang semakin tinggi tersebab kawasan yang sangat jarang disentuh manusia itu tak menjadi penghalang Shaw dan Bold untuk mempercepat laju kuda mereka. Keduanya memilih area tanah yang lebih datar dengan rerumputan yang lebih rendah dan kering agar kuda dapat melaju lebih cepat.Kini mereka berhasil mencapai jarak 3/4 busur panah dari kaki gunung di titik mereka memanjat tebing, terus melajukan kuda sampai mencapai penuh ujung busur; sejajar dengan titik saat mereka memanjat tebing.Pandangan dan pendengaran ditajamkan sembari terus menghentak kuda. Pepohonan yang lebat dengan jarak cukup rapat membuat pemandangan sekitar tampak seperti potongan puzzle dengan kecepatan kuda mereka."Arah jam sebelas!!" Shaw berseru begitu melihat sang sosok memac
Apalah yang bisa semesta lakukan? Ketika hati masih terpaut pada orang yang sama, meski raga telah terpisahkan. Jarak yang teramat jauh membentang, beribu ruang dan pintu kokoh menjadi penghalang, pun waktu yang meragu beri kesempatan, disempurnakan takdir yang seakan lelah untuk kembali pertemukan.Apalah yang bisa semesta lakukan? Ketika atma yang merindu menolak untuk berhenti mengaum, ketika rasa dalam kalbu yang bergejolak menimbulkan gelombang ombak menolak untuk berhenti meraung.Adakah setitik harapan itu masih hidup? Sekecil kesempatan pun 'kan diterima, lebih dari cukup untuk menarik dua sudut bibir melengkung ke atas. Adakah benang merah itu masih terikat? Setipis benang layang pun tak masalah. Cukup untuk membuat nadi tetap dalam iramanya, menari di hamparan ladang bunga ... bertemankan kupu-kupu, capung, dan burung-burung.Rangkaian aksara di buku yang terbuka tak lebih dari pengalih atensi orang lain; barangkali ada yang melihat. Seme
"Apa itu?" Shaw bergumam pelan dengan mata yang masih terpejam.Suara gesekan benda menjadi satu-satunya yang terdengar di dalam gua, ke kamar yang ditempatinya. Mereka mengobrol sampai sore, dan sang tuan rumah menyarankan Shaw, Bold, dan Mival untuk bermalam ketika ketiganya pamit untuk melanjutkan perjalanan.Shaw mengerutkan kening, mendengar suara yang kembali menyelusup ke pendengarannya. Merasa sudah terjaga dan sulit tidur lagi, Shaw membuka mata; mengusapnya sekali dan beranjak dari peraduan. Ia telusuri asal suara yang didengar, membawa langkah ke lorong gelap yang tak begitu lebar, menurun; ke ruangan bawah. Barulah ia tahu bahwa lantai gua yang ia pijak sebelumnya bukan benar-benar lantai dasar karena masih ada lantai lain di bawahnya, seperti ruangan bawah tanah.Tuan rumah terlihat duduk di kursi paling dekat dinding. Ada lentera minyak yang diletakkan di tengah meja persegi, dan beberapa benda di sekitar lentera."Ini bukan wa
Atmosfer terasa lebih ramah. Irama dari ranting-ranting dan dahan oleh angin terdengar lebih wajar dibandingkan tadi. Shaw makin yakin, semua karena Morth. Atmosfer, halusinasi, entah apa lagi yang Morth sebabkan. Satu pertanyaan besar dalam benak Shaw, siapa Morth sesungguhnya? Mengapa seisi jenggala sunyi hingga seluruh penjurunya seakan-akan berada di bawah kaki tangan Morth?“Kau pikirkan aku?” Morth tiba-tiba bertanya. Rupanya ia mengekori Shaw.Huh? Apa Morth juga bisa membaca pikiran?Shaw menengok ke belakang, langkahnya melambat. “Jangan katakan kau dapat menembus kepala orang.”“Kau banyak bertanya, belum tuntas seluruhnya.” Morth mensejajarkan diri. Sejenak, ia melihat Shaw dari atas ke bawah. “Orang keras kepala seperti kau tentu akan merenungkannya. Aku benar, bukan?”“Kita baru saling tahu beberapa saat lalu dan kau yakin sekali dengan kata-katamu. Antara kau pandai menilai atau hanya pandai berasumsi.” Shaw menggeleng. Pandangan ia tujukan ke depan.Morth menyentuh leng
Tanduk. Hal pertama yang dilihat oleh Shaw dari sumber suara adalah tanduk, tersembunyi di antara dedaunan semak belukar setinggi pinggang orang dewasa.Shaw mengernyit, kemudian bergumam lirih, nyaris tak bersuara, "Itu seperti tanduk rusa."Sepasang mata semerah darah terlihat dari celah dedaunan. Shaw menelan ludah. Ia tahu betul itu bukan mata hewan biasa, apalagi manusia. Tidak ada satu pun penduduk desa yang pernah ditemuinya memiliki mata seperti itu.Mungkinkah ini yang Fu maksud? Apapun itu, merasakan haki tidak biasa dari sang sosok misterius membuat Shaw merasa dirinya tidak boleh berlama-lama.Diliputi kewaspadaan dan dengan suara tercekat, ia berucap dalam hati, "Aku harus segera pergi dari sini."Tanpa melakukan pergerakan yang kentara serta dengan posisi kepala yang masih sama, tatapan Shaw menyisir sekitar; memastikan tidak ada keanehan lain. Ia yang semula berjongkok pun perlahan berdiri sepelan mungkin. Namun, bak lelah bermain petak umpet, ransel yang Shaw gendong m
"Tetap tidak bisa! Terlalu berbahaya. Kau kan tahu lebih baik daripada aku, Tibate." Fu mengangkat kepala, menatap lurus Tibate dan Baldor. Ini bukan waktu yang tepat, pikir Fu. "Lagi pula aku bisa menjaga diri. Akan kupanggil kalian jika hal buruk terjadi dan aku tidak bisa mengatasinya.""Kau bisa tinggal, Fu. Aku akan melanjutkan perjalananku seorang diri," sela Shaw, angkat bicara setelah menimang-nimang."Tidak―""Aku juga akan meninggalkan kudaku di sini." Shaw menepuk pundak Fu. Ia serius ingin Fu tinggal. "Bold bilang ada danau dan tebing. Jadi, aku tidak bisa membawa kudaku. Selain itu, kau bisa mengawasi keadaan hutan dan mengabariku. Kau juga terluka, Fu. Jangan bersikeras seolah kau baik-baik saja. Bagaimanapun kau juga masih anak-anak."Ini adalah tugas Shaw. Sejak awal, Shaw memulainya sendiri, dan ia harus melanjutkannya sendiri. Shaw tidak ingin merepotkan.Fu berdecak, tidak terima, tetapi juga tidak menyangkal ataupun menyanggah. Bertemu Baldor dan Tibate membuatnya
Pria berjanggut memperhatikan sambil mengusap-usap janggut dan kumisnya. Saat otaknya mengingat sesuatu tentang Fu, matanya seketika melebar."Kau ingin aku mencincangmu, hah?!" Tibate berseru.Setelah ikan bakarnya rusak, sekarang dirinya yang nyaris terbakar. Pria plontos itu tidak terima.Tibate menghentak tanah dengan kakinya, bergantian kaki kanan dan kaki kiri. Pegangannya pada gagang pedang semakin erat dan erat.Fu melompat mundur, mengambil sikap siaga dan meningkatkan kewaspadaannya. Ia siap dengan apapun yang akan Tibate lakukan untuk membalasnya.Sebelum Tibate menyerang balik, pria berjanggut yang masih menggenggam keranjang bambu itu berjalan ke depan Tibate, lalu berdiri memunggungi Fu dan Shaw."Kau mau dikutuk atau sudah bosan hidup?!" tanyanya."Apa maksudmu? Kalau kau hanya ingin aku berhenti memberi anak itu pelajaran, sebaiknya kau minggir!" balas Tibate."Kau tahu kau sedang berhadapan dengan siapa? Kau tidak berencana mengingkari janjimu pada Jenderal Besar, 'ka
"Apa kau sedang bercanda?" Tibate mendengus kasar. Ia tampak tidak suka.Pria plontos itu tahu dirinya sudah hidup lama, tetapi bukan berarti ingatannya menua. Ia tahu ingatannya masih berfungsi dengan sangat baik. Ia sangat meyakini itu."Aku tidak bercanda," sanggah Fu, berkacak pinggang. "Kau memberitahukannya sendiri padaku saat aku memberimu buah persik. Kalau kau masih tidak ingat, berarti ada yang salah dengan ingatanmu," imbuhnya.Buah persik?Tibate mengerutkan kening. Ia merasa tidak asing, tetapi tidak mengingat apapun."Sudahlah. Lebih baik kalian pulang sekarang, dan akan kuanggap ini tidak pernah terjadi," ujar Tibate seraya memasang wajah serius."Tidak bisa!" Shaw berseru. "Aku harus pergi ke tenggara!""Ya. Kami tidak bisa kembali ke desa saat ini," Fu menimpali.Tibate memukulkan ujung pedangnya ke tanah, menimbulkan gelombang angin yang kencang. Dedaunan dan batu kerikil tersapu, begitu pun Fu dan Shaw yang ikut terpental."Aduh ...." Shaw mengerang, berusaha bangun
Menjelang pagi, suara kehidupan awal sekali menggaung. Beberapa penduduk desa sudah mulai melakukan aktivitas mereka. Sebagian di dalam rumah, sebagian di luar rumah.Satu di antara manusia yang telah lepas dari peraduannya adalah Wilton. Ia bertugas pagi kali ini."Selalu rajin, ya." Zander berkomentar. Kuda-kuda di kandang bersuara antusias saat Zander memberi mereka makan."Tidak juga. Aku hanya tidur cukup nyenyak semalam, dan tubuhku merasa lebih segar saat aku bangun. Jadi, ya, mungkin lebih bersemangat," sahut Wilson seraya terkekeh kecil."Padahal kau hanya tidur sebentar, 'kan, semalam," Celetuk Zander. Tangannya cekatan melipat karung-karung rumput yang sudah kosong.Wilton tersenyum cerah menanggapinya. Ia memeras kain yang dipakai untuk mengelap kuda yang akan ia pakai untuk mengantar Bailey ke sekolah."Sebentar pun tetap saja namanya tidur, Zan," kata Wilton, keluar dari kandang sambil membawa kain basah dan ember hitam kecil."Ya, tidak salah."Suara derap kaki nyaring
"Ada yang menarik perhatianmu, Vid? Aku sampai mengantuk menunggumu." Bailey menimpali."Ah, maaf maaf .... Tadi ada yang harus kulakukan. Ada sesuatu! Jadi, aku kembali lebih lama," ujar Avidius seraya tersenyum canggung.Avidius adalah cucu Barid. Ia satu sekolah dengan Leonere."Sesuatu apa?" Leonere bertanya.Avidius, remaja berkulit putih kemerahan dengan senyum manis dan lesung pipi itu mengeluarkan sebuah kain merah dari saku pakaian di balik jubahnya. Saat kain dibuka, Leonere dan Bailey membulatkan mata melihat benda yang terpampang di sana."Bukankah itu—" Kata-kata Leonere terhenti. Ia mendekat tergesa dan memegang benda yang ditunjukkan Avidius. "Ini kan ....""Dari mana kau menemukan itu?" tanya Bailey yang juga mendekat.Avidius melirik ke arah belakang sesaat, memastikan sekitarnya aman. Senyumnya pudar seketika."Dari hutan barat laut. Aku menemukannya tadi," bisik Avidius, tampak serius.Bailey dan Leonere tercengang lalu saling menatap. Pikiran keduanya seolah tersam
"Tidak ada yang gratis," sahut Fu seraya menyeringai tipis.Shaw berdecak. "Kubayar dengan manisan.""Apa itu? Tidak cukup! Informasiku sangat mahal, kau tahu.""Ck, kubayar dengan makanan lain. Kau bebas memintanya, dan aku akan membuatkannya untukmu," tawar Shaw.Fu menyeringai penuh kemenangan kini. Sebuah siasat terlintas di benaknya."Bisa dipertimbangkan," kata Fu. Sesaat kemudian seringai di wajahnya hilang, berganti raut serius. "Kurangi kecepatan kudanya. Melewati batang pohon besar di depan itu, buat kudanya berjalan biasa.""Huh? Oke."Shaw percaya pada Fu. Ia mengikuti instruksi Fu tanpa ragu.Pohon-pohon besar yang dimaksud Fu berada 20 meter dari mereka. Warna pohonnya gelap, seolah melambangkan sesuatu yang misterius dan tampak mati. Pepohonan itu seakan telah terbakar. Meski begitu, dedaunannya sangat rimbun.Melewati dua pohon besar tersebut, kuda memasuki jenggala yang lebih gelap dan sunyi dari sebelumnya. Sekeliling tampak benar-benar gelap dengan aura yang terasa
"Ya sudah." Eroth menghela napas.Selain belajar bersikap baik pada budaknya, Eroth pun belajar untuk tidak memaksakan kehendak. Ya, itu sungguhan, bukan sandiwara yang dibuat-buat.Di depan mereka, Aaban mendengarkan dalam diam. Komandan itu sibuk dengan pikirannya.Menjelang ujung dari jenggala ketiga, Fu tiba-tiba berujar. Suaranya terdengar serius di telinga Shaw."Berhenti, Shaw."Shaw menghentikan laju kuda dan melirik Fu. "Ada apa?""Kita ambil jalan lain," tukas Fu."Kenapa? Ada apa dengan jalan ini?""Ada sesuatu di depan. Hakinya tidak jauh berbeda dengan Kaye dan teman-temannya.""Ha?"Shaw menatap lurus, lalu memejamkan mata. Ia mencoba merasakan haki di depan, tetapi tidak merasakan atau melihat apapun."Aku tidak merasakan apapun," kata Shaw seraya membuka mata.Fu berdecak dan memegang kedua pundak Shaw. Aliran haki mengalir dari tangannya."Coba lihat lagi," kata Fu. Shaw mengiyakan.Bayangan sosok berjumlah lebih dari 10 terlihat di kejauhan di depan, dengan haki yang