“Dasar lambat! Ayo, cepat!”
Ctash!
“Ba … baik, Tuan.”
“Lebih cepat lagi! Dasar anak pemalas!”
Tungkai yang gemetar melangkah terseok-seok. Rantai dengan bola logam di kedua kaki tidak beralas memberatkan langkah, ditambah sebuah karung yang memperparah sampai raga membungkuk.
Aksi tidak menyenangkan mata tersebut tertangkap pelupuk mata Shaw. Ia berbelok ke sana. Bold yang sedikit terkejut sigap mengikuti. Kedua orang yang mengganggu pemandangan Shaw itu menghentikan diri dan menoleh pada kehadiran yang tak diundang.
Terlihat jelaslah oleh Shaw, seorang anak berkulit sawo matang lagi kurus yang terlihat begitu tersiksa, tetapi berusaha tidak menunjukkan. Di hadapan samping kiri Shaw, seorang pria dewasa yang Shaw taksir usianya sekitar 40-50 tahun.
“Siapa kau?” Sang pria dewasa bertanya setelah mengamati Shaw dari atas ke bawah, lalu pandangannya berganti pada Bold yang baru datang.
Mengetahui yang mendatanginya adalah prajurit elite tersohor, sang pria mematung di tempat. Pikirannya menerka apakah perlakuannya terhadap sang anak tadi adalah masalah.
Wajah Shaw sekilas terangkat ke atas, menatap langit yang cerah dengan matahari yang sudah di atas kepala, lalu tertunduk menatap kedua kaki sang anak. Samar terlihat garis lepuh di bawah samping telapak kakinya.
Otak dan hati Shaw gemas berkomentar, “Ini pasti bukan kali pertama.”
“Siapa Tuan? Siapa anak itu?” Alih-alih merespon pertanyaan dengan jawaban, Shaw justru merespon dengan pertanyaan lagi seraya turun dari kuda.
Merasa kaku oleh kehadiran Bold, sang pria berdeham.
“Nama saya Eroth Stedd. Dia budak saya.” Kehati-hatian jelas terdengar dari suara Eroth.
“Apa dia melakukan kesalahan? Mengapa kakinya dirantai dengan bola logam dan tanpa alas kaki?”
“Dia membuat roti gosong dan dapur berantakan, juga tidak menyelesaikan memotong kayu dan membuat kayu-kayunya kembali basah oleh embun.” Sang pria menjadi lebih gugup.
Jika alasannya lebih masuk akal seperti karena mencuri, melakukan hal buruk lainnya sampai merusak nama baik dan merugikan orang mungkin lebih wajar. Di Zanwan pun tak jarang menerapkan hukum sepadan seperti pencuri dipotong tangannya, pengumpat dan penghina petinggi desa diberi racun penghilang suara, dan sebagainya. Terkadang juga hukumannya lebih kejam lagi. Namun, ini? Hanya karena menggosongkan roti, membuat dapur berantakan, dan tidak menyelesaikan memotong kayu. Shaw tidak mengerti lagi.
Geram terasa dalam batinnya, Shaw tahan agar tidak meledak. Ia menghirup udara dan mengembuskannya pelan, berusaha menjaga ketenangannya.
“Jika ada yang ingin membelinya, berapa patokan yang Tuan akan tetapkan?”
Kaget terlihat pada wajah Eroth, budaknya, juga Bold. Eroth menimang-nimang, lalu mulutnya bergerak, memberikan angka 100 ribu untuk harga budaknya. Ia menaikkan 10 kali lipat dari harga budak di pasaran.
Harga budak di Zanwan terkesan murah memang, tetapi terbilang cukup mahal sebab mayoritas penduduknya, terutama di distrik Acilav, masih hidup dengan cara tradisional. Keluarga Eroth juga tengah butuh uang banyak untuk persiapan kembali ke rumah yang mereka tinggalkan di barat Zanwan karena mengungsi.
Shaw melepas ransel yang ia gendong, mengeluarkan sebuah kantung kecil berwarna merah. Ia mengambil sepuluh lembar uang darinya, kemudian menyodorkannya pada Eroth yang mengambilnya ragu-ragu dan masih dengan ekspresi terkejut. Setelah menghitung, Eroth memasukkan uangnya ke saku dan mengeluarkan kunci, lalu berjongkok dan melepas rantai di kedua kaki anak yang kini resmi jadi mantan budaknya.
“Lepaskan karung yang kau panggul dan kemarilah,” kata Shaw, menutup kembali ransel dan menggendongnya.
“Tuan ….” Shaw kembali menatap Eroth.
“Roti yang gosong masih bisa dimakan. Oleskan madu jika terasa pahit. Dapur yang berantakan juga bisa dibersihkan lagi. Kayu yang basah pun bisa dikeringkan lagi dengan dijemur, tetapi sebuah nyawa ….”
Shaw mengangkat jari telunjuk tangan kanannya, menggoyangkannya ke kanan dan kiri sebagai tanda 'tidak'.
“Sebuah nyawa tidak akan bisa dikembalikan sekali saja ia hilang. Jika Tuan tidak bisa melihat dia sebagai seseorang yang layak untuk diperlakukan dengan baik, cobalah lihat dia sebagai manusia yang berhak dihargai.” Shaw berkata dengan nada tenang yang terdengar lembut di telinga.
“Saya mengerti.”
Eroth menunduk dalam, sama sekali tidak membantah. Reaksi menurut yang ia tunjukkan bagai mengatakan bahwa ia terhipnotis oleh kata-kata Shaw dan pembawaannya.
“Kami pamit, Tuan.”
Kuda kembali ditunggangi. Dari atas, tangan Shaw terulur pada sang anak, memintanya naik.
Amarah yang sempat bersembunyi kembali lagi seusai kuda melaju menjauh. Namun, seakan-akan terkikis juga, tidak lagi membubung dengan emosi yang sama. Eroth, sedikit kesadaran muncul dalam dirinya.
Merasa hari makin panas, Shaw melirik sedikit ke belakang, meminta sang anak berpegangan padanya agar tidak jatuh karena ia mempercepat laju kuda.
Area penghujung selatan adalah yang paling sederhana di Zanwan. Perumahan dan penduduknya adalah yang paling sedikit dibandingkan area lain di sana. Di bagian ujung terdapat banyak pasang tenda pengungsian para keluarga yang rumahnya rusak maupun hancur di daerah barat Zanwan. Keluarga Eroth adalah salah satunya.
“Sebentar lagi kita berhenti. Tetap berpegangan padaku dan jangan sampai jatuh, ya,” kata Shaw agak lantang.
Sang anak mengangguk kecil di belakang Shaw.
Terasa oleh Shaw, anak di belakang berantuk dengan punggungnya. Mematuhi ucapan Shaw, kedua tangan anak itu akhirnya bertengger mencengkeram bagian pakaian Shaw di kanan kiri, area pinggang.
Memasuki hutan, siang yang terik menjadi terasa sore. Makin dalam, suasana makin gelap sebab sinar matahari tidak sepenuhnya masuk. Samar gemericik air makin lama makin terdengar hingga sungai terlihat oleh mata. Shaw mengarahkan kuda ke sana, lalu berhenti di tepian.
“Nah, kita berhenti di sini. Bold, tolong ... bisakah bantu dia turun?”
Tanpa perlu mengucap dua kali, Bold turun dari kuda, membantu sang anak turun. Shaw melompat setelahnya.
“Haaaahhhh ... segarnyaa!”
Shaw memejam, menghirup udara sesaat sebelum tungkainya melangkah mendekati sungai, berjongkok dan memasukkan tangan ke dalam air.
“Oh, iya!”
Selesai membasuh muka, Shaw hampiri sang anak yang terduduk memeluk siku. Dikeluarkannya kotak makan dari ransel, menyodorkannya pada sang anak.
“Ini, makanlah.”
Kotak makan yang Shaw sodorkan berisi kentang rebus yang diiris tipis bercampur salmon bakar. Botol air ditaruh pula di tengah-tengah mereka.
“Te ... ri ... ma ... ka ... sih ...,” ucap sang anak, pelan, kepalanya menunduk.
Shaw tersenyum.
“Apa kita akan bermalam di sini?” Bold mendekat seusai menalikan kedua kuda.
Shaw melirik Bold, lalu menatap sekeliling.
“Bagaimana kalau melanjutkan perjalanan?”
“Bisa.” Bold mengangguk. “Kurasa cukup waktu untuk keluar dari hutan sebelum hari gelap. Kita bisa bermalam di perbukitan.”
“Baiklah, kita bermalam di sana. Makan, Bold.”
Satu kotak makan dengan isi yang sama disodorkan pada Bold. Shaw membagi serta sendok untuk mereka bertiga makan.
“Terima kasih.”
Shaw mengangguk singkat dan mengambil kotak makannya. Bekal yang dibawakan Gracie memang lebih banyak. Nenek Shaw itu tahu persis kalau Shaw mungkin saja akan membaginya dengan orang lain yang ditemui di perjalanan.
“Siapa namamu?” tanya Shaw, menoleh pada sang anak. Baru Shaw tahu, anak di sampingnya itu makan sangat pelan, bahkan lebih terkesan elegan.
“Mi ... val ... Rei ... thel ...,” jawab sang anak, masih dengan suara pelan dan menunduk.
“Mival Reithel. Namamu bagus. Usiamu berapa?”
“De ... la ... pan ... ta ... hun ....”
“Delapan tahun, ya? Kau tinggi untuk anak seusiamu. Benar, 'kan, Bold?” Shaw melirik Bold.
“Hum, dan kuat.”
Mival yang mendengarnya tidak merespon selain mengucap terima kasih.
“Baiklah. Makanlah dengan lahap. Tidak perlu sungkan.”
Shaw mengusap kepala Mival sesaat dan melanjutkan makan. Mival yang mendapat usapan di kepala terdiam sejenak, terkejut, tetapi lebih cepat menguasai diri.
Matahari sudah melewati atas kepala. Shaw, Bold, dan Mival masih terduduk menunggu makanan di perut mereka turun lebih dahulu. Usai mencuci dan memasukkan kembali dua kotak makan, Shaw mengambil air sungai dengan satu kotak lain dan kembali. Ia berjongkok di depan Mival yang memasang wajah bingung.
“Boleh kulihat telapak kakimu?” Shaw menatap lembut.
Mival masih bingung, tetapi membiarkan Shaw mendapat inginnya.
Benar perkiraan Shaw. Telapak kaki Mival melepuh dan mengelupas. Di beberapa bagian bahkan sampai ke lapisan dalam.
Shaw mengeluarkan kotak obat dari ransel, mengambil kain kecil dan menyelupkannya ke air di kotak makan, kemudian mengoleskannya ke kaki Mival.
“Kalau aku boleh tahu, kenapa kau bisa menjadi budak Tuan Eroth?”
Mival tertegun dengan perlakuan Shaw. Ia ingin menarik kakinya, tetapi tidak ingin melawan. Pada akhirnya, ia membiarkan Shaw mengobati kakinya.
“Orangtuaku mendapat hukuman mati beberapa tahun lalu karena terlibat perselisihan dengan salah seorang petinggi desa.” Suara Mival lebih stabil, tidak lagi sepelan tadi. “Aku dijual sebagai budak di pasar sebagai ganti hukuman mati karena katanya aku masih terlalu kecil.”
“Lalu Eroth membelimu?” Itu Bold, ikut penasaran.
Mival mengangguk.
“Apa kau selalu diperlakukan seperti tadi setiap hari?” tanya Bold lagi.
Mival mengangguk lagi.
“Tuan Eroth memiliki anak lelaki sebayaku. Anak itu seperti membenciku. Dia selalu menggangguku, selalu membuat ulah dan menuduhku pelakunya. Tuan Eroth memberiku makan sehari sekali saat siang, tapi anak itu kadang mengambil makananku dan menumpahkan atau membuangnya di tempat lain.” Suara mival mulai menyendu. Seketika ia teringat pada orang tuanya.
“Kalau aku melakukan kesalahan sedikit saja, aku tidak akan mendapat makan hari itu atau esoknya. Rantai dengan bola logam akan dipasangkan di kedua kakiku, lalu aku akan disuruh memanggul sekarung sayuran, jagung, buah, atau pasir kalau Tuan Eroth sedang sangat marah.”
Tidak disadari Mival, air matanya berderai.
“Di mana rumahmu? Apa kau punya anggota keluarga lain? Paman atau Bibi misalnya?” Shaw bertanya.
“Dulu di distrik Aloclya. Aku dan orangtuaku tidak dianggap bagian dari keluarga besar lagi saat hukuman itu ditetapkan. Rumah kami disita petinggi desa.”
“Pasti sangat berat. Kau sangat tangguh bisa melewatinya dan bertahan sampai hari ini. Terima kasih, Mival. Kau benar-benar hebat!” Tulus Shaw memuji.
Mival tersenyum, tetapi di saat yang sama, air matanya makin berambai.
“Aku … rindu orangtuaku.”
Luka di telapak kaki Mival selesai diobati dan dibalut perban. Shaw melepas sandal yang ia kenakan, memakaikannya ke kaki Mival.“Kau anak yang kuat, Mival. Kau sangat tangguh!” puji Shaw, menepuk pelan betis Mival dua kali seraya tersenyum cerah.“Sebentar ….”Shaw mencuci tangan juga kotak makannya ke sungai, kemudian memasukkan kotak makan ke dalam ransel setelahnya dan kembali.Mival merasa pipinya basah. Ia mengangkat tangan, mengusap dengan jemarinya. Ketika air matanya berderai lagi dan lagi, Mival menutup matanya dengan punggung tangan kanan.Shaw duduk di tempatnya, menatap Mival di samping dengan senyum dan membawa anak delapan tahun itu ke dalam dekapan.“Kau hebat, Mival. Orang lain belum tentu bisa bertahan sampai sekarang sepertimu,” ujar Shaw lirih.Bold terdiam memperhatikan. Ia masih belum terbiasa membuka diri dan memeluk orang lain.“Masa depanmu pasti cerah. Kau tidak boleh putus asa. Semuanya akan membaik,” tutur Shaw lembut sambil mengusap-usap punggung Mival. Ana
Laci dibuka, Bailey mengambil pena dan buku catatan berukuran kecil, lantas menuliskan rentetan kejadian yang ia ingat sejak beberapa hari sebelum penyerangan, saat perang, nama-nama yang ia curigai beserta alasannya, orang yang mengusulkan dan mendesak penundaan hukuman mati di rapat, dan laporan-laporan yang masih ia ingat beserta nama-nama pelapornya. Selesainya, pena ia taruh dan melanjutkan membaca.“Dua prajurit itu, terkadang aku melihat mereka berjaga di area tahanan tetua. Maksudku, para orang tua, jeruji-jeruji di lorong yang kau lewati saat Shaw dihukum. Terkadang aku hanya melihat satu dari mereka, terkadang keduanya. Kalau dipikir-pikir, bukankah seharusnya mereka tidak sesering itu berjaga di tempat yang sama? Bukankah begitu peraturannya? Setidaknya itu yang kutahu dari seorang prajurit yang pernah kutanyai.”“Hum, memang begitu.” Bailey membenarkan, menulis lagi di buku catatan.“Aku juga pernah mendengar mereka membicarakan tahanan-tahanan tetua itu. Kalau kau lupa tah
Lampu-lampu ruangan telah menyala, kontras dengan gelap yang terpampang di luar jendela. Baru Bailey sadari kalau hari sudah malam. Ia pergi ke dapur. Pelayan dan koki di sana menengok dengan desir kejut menjalar.“Tu … Tuan Muda, apa yang Anda lakukan di sini? Anda membutuhkan sesuatu?” Itu Dexter sang koki. Ia meletakkan piring berisi olahan ayam di meja dan menghampiri Bailey sembari mengelap tangan. Para pelayan menundukkan pandangan sekilas dan melanjutkan kegiatan.“Aku haus,” jawab Bailey, mengambil gelas.“Ah, sebentar, biar saya ambilkan.”Dexter bergegas mengambil gelas, tetapi langkahnya terhenti karena Bailey sudah lebih dulu mengisi gelasnya.“Tidak usah, Dexter, terima kasih. Ini hanya air putih,” ujar Bailey seraya mengangkat gelas berisi air putih di tangan.Sambil membawa gelas, Bailey keluar dapur, mendudukkan diri di kursinya, membiarkan para pelayan menghidangkan makan malam di meja dengan gugup. Tentu saja gugup. Belum tepat jam makan malam, tetapi tuan muda mereka
“Perapian sudah siap!”“Woaaahhhh, Bold hebat! Cepat sekali!”Mata berbinar Mival terarah lurus pada Bold dan perapian di depan prajurit jagur itu. Mival belum pernah membuat api secepat itu, apalagi di malam hari yang udaranya dingin. Meski memakai pemantik pun, Mival belum bisa secepat Bold menyalakan api dan membuatnya menjadi api unggun kecil.“Hmm ... bekal yang Nenek siapkan cukup banyak, tapi tidak dengan jenisnya. Jadi, makanan kita malam ini sama seperti tadi siang dan ini cukup sampai besok malam, tapi minumnya kurasa akan lebih cepat habis.”Shaw menghampiri Bold dan Mival di dekat perapian, meletakkan ransel, dan mengeluarkan tiga kotak makan serta botol minum.“Tidak masalah. Masih ada buah-buahan, 'kan? Kalau kurang, kita bisa mencarinya. Di hutan luar desa ada banyak pohon buah. Ikan pun melimpah di sungai.” Bold menenangkan.“A … apa itu?”Mival yang asyik menyimak tidak sengaja melihat benda berwarna putih di ketinggian.Shaw dan Bold mengikuti arah pandang Mival dan m
“Hmm ... lantas, satu halnya lagi?”Ascal tidak ingin menahan Bexter lebih lama karena hari sudah sangat larut, pun tahu besok asistennya itu akan siaga dengan jadwalnya di pagi buta. Mengenal dan bersama cukup lama membuat Ascal sangat paham bagaimana seorang Bexter Larson. Ascal ingin Bexter mendapat cukup istirahat agar tubuhnya prima, juga agar dapat bekerja dengan maksimal.Bexter yang memahami respon Ascal pun tidak membuka lebih banyak bahasan. Ia mengeluarkan sebuah kotak kayu kecil dari saku dan menaruhnya di meja.“Ini, Tuan.”Ascal meraih kotak itu dan membukanya. Ada sebuah robekan syal berwarna marun dan secarik kertas di dalamnya.“Itu adalah kotak yang saya temukan di saku perompak yang terakhir itu.”Ascal mengambil secarik kertas, membaca tulisan yang tertera di sana.“Little Shark of Zanwan & bloody night of Viking?” Kening Ascal mengernyit, menatap Bexter. “Interaksi antara para viking ini dengan penduduk Zanwan yang kuingat hanya dua. Beberapa hari lalu dan saat per
Tanah yang lembab membuat tapal kuda berjejak cukup dalam diakibatkan oleh hentakan yang kuat. Perlu kehati-hatian ekstra agar kuda tidak terjerembab ataupun terpeleset dan jatuh. Semak dan rerumputan yang makin tinggi tersebab kawasan yang sangat jarang disentuh manusia itu tidak menjadi penghalang bagi Shaw dan Bold untuk mempercepat laju kuda mereka. Keduanya memilih area tanah yang lebih datar dengan rerumputan yang lebih rendah dan kering agar kuda dapat melaju lebih cepat.Mereka berhasil mencapai jarak 3/4 busur panah dari kaki gunung di titik mereka memanjat tebing, terus melajukan kuda sampai mencapai penuh ujung busur; sejajar dengan titik saat mereka memanjat tebing.Pandangan dan pendengaran ditajamkan sembari terus menghentak kuda. Pepohonan yang lebat dengan jarak cukup rapat membuat pemandangan sekitar tampak seperti potongan gambar dengan kecepatan kuda mereka.“Arah jam sebelas!” Shaw berseru begitu melihat sang sosok memacu kudanya ke selatan di arah jam sebelas.Bold
Apalah yang bisa semesta lakukan ketika hati masih terpaut pada orang yang sama meski raga telah terpisahkan? Jarak yang teramat jauh membentang, beribu ruang dan pintu kokoh jadi penghalang, pun waktu yang meragu beri kesempatan, disempurnakan takdir yang seakan-akan lelah untuk kembali pertemukan.Apalah yang bisa semesta lakukan ketika jiwa yang merindu menolak untuk berhenti mengaum? Ketika rasa dalam kalbu yang bergejolak menimbulkan gelombang ombak, menolak untuk berhenti meraung.Adakah setitik harapan itu masih hidup? Sekecil kesempatan pun 'kan diterima, lebih dari cukup untuk menarik dua sudut bibir melengkung ke atas.Adakah benang merah itu masih terikat? Setipis benang layang pun tidak masalah, cukup untuk membuat nadi tetap dalam iramanya, menari di hamparan ladang bunga bertemankan kupu-kupu, capung, dan burung-burung.Rangkaian aksara di buku yang terbuka tidak lebih dari pengalih atensi orang lain, barangkali ada yang melihat, sementara ingatan tak jeranya kembali memu
Di gua, Shaw, Bold, dan Mival menerima tawaran sang sosok untuk menginap.“Apa itu?” Shaw bergumam pelan dengan mata yang masih terpejam.Suara gesekan benda menjadi satu-satunya yang terdengar di dalam gua, meriuh sampai ke kamar yang ditempati Shaw.Mereka mengobrol sampai sore dan sang tuan rumah menyarankan Shaw, Bold, dan Mival untuk bermalam ketika ketiganya pamit untuk melanjutkan perjalanan.Shaw mengernyit mendengar suara yang kembali menyelusup ke pendengarannya. Merasa sudah terjaga dan sulit tidur lagi, Shaw membuka mata, mengusapnya sekali, lalu beranjak dari peraduan. Ia telusuri asal suara yang didengar, membawa langkah ke lorong gelap yang tidak begitu lebar, menurun ke ruangan bawah. Barulah ia tahu bahwa lantai gua yang ia pijak sebelumnya bukan benar-benar lantai dasar karena masih ada lantai lain di bawahnya. Itu seperti ruangan bawah tanah.Tuan rumah terlihat duduk di kursi paling dekat dinding. Ada lentera minyak, diletakkan di tengah meja persegi dengan beberapa
Kilau cahaya pohon dan jalan memandu Bailey ke kaki gunung sisi utara, melewati area yang Bailey datangi tempo lalu bersama Shaw dan yang lain pada malam operasi penambangan ilegal. Semak belukar lebih tinggi, lalu ketika Bailey sampai di timur, menuju belokan ke tenggara, kilau cahaya kemerahan berkelap-kelip di depan.Bailey segera menghentikan laju kudanya.“Profesor bilang warna lain selain hitam dan putih akan cenderung samar, tapi merah itu terlalu jelas,” gumam Bailey.Menggeser fokus tatapannya, Bailey menemukan lebih banyak siluet merah dengan haki yang menguar di dalam sebuah gua. Bailey mengamati sekitar lebih jeli. Terlihat oleh matanya dinding seperti kubah di atas.Bailey menyalurkan hakinya ke kuda, tetapi tetap menyamarkannya, kemudian membuat kuda berderap pelan dan santai. Sang kuda bagai berjalan di atas angin; tidak ada suara yang terdengar tiap kali kakinya memijak.Mendekati gua, Bailey turun dari kuda. Ia ikatkan tali kuda ke sebuah pohon, kemudian melanjutkan d
Aaban mengangguk, kemudian beralih tatap pada prajurit yang tadi membawakan kuda.“Buka gerbangnya.”Sang prajurit mengangguk patuh, kemudian berlari menuju pos jaga di sisi salah satu gerbang. Model pos agak tinggi dari permukaan tanah, jadi, ia mendongak dan berseru pada prajurit yang berada di pos.“Buka gerbangnyaaaa!”Prajurit di pos segera menjalankan perintah. Engsel gerbang segera berbunyi, lalu gerbang berderit, perlahan terbuka seiring Bailey menunggangi kuda.“Hati-hati, Tuan Muda!” kata Aaban.Bailey mengangguk. “Aku pergi.”Prajurit yang berseru pada prajurit di gerbang menyingkir, kembali ke sisi Aaban. Bailey menghentak tali kuda, melewati gerbang begitu gerbang terbuka lebar.“Tuan Muda sangat berani dan cerdik,” celetuk prajurit di sisi Aaban. Ia memandangi kepergian Bailey dengan binar takjub di matanya.“Dia putra pemimpin Zanwan. Keberanian dan kecerdikan akan bagus untuk menjadi bagian dari dirinya,” kata Aaban sambil memandangi Bailey yang menjauh, membelah padan
Matahari telah terbenam di ufuk barat. Malam telah bertakhta. Dinginnya udara menerpa Zanwan sedingin suasana di meja makan mansion Hunt.“Wilton, di mana Bailey?” Jillian bertanya.Piring-piring masih terisi, belum habis setengah hidangan di atasnya. Satu kursi di meja makan, kursi yang biasa diduduki Bailey, kini kosong. Wilton berdiri di belakang samping kursi tersebut.Pelayan mengatakan Bailey tidak ada di kamarnya beberapa saat lalu. Sebentar sebelum duduk ke kursinya, Jillian pun mengecek kamar Bailey, hanya menemukan ruangan kosong. Sampai Ascal tiba, Bailey belum juga muncul. Tak ayal Ascal memanggil Wilton.“Tuan Muda ….” Wilton bicara serupa suara bisikan di keramaian, nyaris tidak terdengar saking lirihnya.Jillian mengerjap. Ia melirik Wilton sambil makan. Wilton terus menunduk, bahkan tidak kunjung menyelesaikan bicaranya. Ascal berganti melontarkan tanya tanpa menoleh.“Wilton, di mana Bailey?”“Tuan Muda pergi ….” Wilton masih serupa anak kecil yang bersembunyi.“Wilto
Bailey manggut-manggut. “Aku tidak mengira kalian akan mengajukan pertanyaan semacam itu, bahkan tidak mengira kalian akan pernah menghiraukan hal semacam itu. Terima kasih, kurasa.”Senyum terukir di hati Bailey. Sebuah kabar gembira bagai menggema di dalam dirinya. Begitu pula yang dirasakan Otto dan Milo. Bailey menyambut baik, tentu itu kabar besar yang membahagiakan. Sekali lagi, perkiraan mereka salah. Sepertinya Bailey tidak mendengar pembicaraan mereka di kelas atau mungkin mendengar, tetapi tidak mempermasalahkan, dan itu membuat kegembiraan mereka kian bertambah.“Sanjungan lebih pantas untukmu,” kata Milo.Bailey merespon itu dengan senyum kecil. Otto dan Milo mengerjap, segera berpikir apakah mereka salah lihat. Namun, mereka dapati bahwa mereka tidak salah lihat. Bailey memang tersenyum. Senyum itu, Bailey tujukan kepada mereka.“Aku mulai dari pertanyaan pertama, ya,” kata Bailey, kemudian menghirup udara sejenak.Otto dan Milo mengangguk dan memasang telinga baik-baik.
“Kau mendengarnya?” Otto bertanya dengan wajah memucat. Suaranya amat pelan sampai nyaris tidak terdengar.Milo mengangguk kecil dalam gerakan patah-patah dan sarat keraguan. Ekspresi pada wajahnya tidak jauh berbeda.Kepala mereka kemudian bergerak bersamaan, berpaling tatap ke baris terdepan, lalu mereka melihat Bailey beranjak dari duduknya, pergi keluar.“Apa Tuan Muda mendengar pembicaraan kita?” Milo bertanya dalam suara lebih rendah, serupa bisik-bisik yang mungkin saja akan hanyut terbawa angin.Otto menggeleng. Bukan jawaban meyakinkan, hanya harapan bahwa itu adalah kenyataan yang terjadi.“Kalau benar, semesta mungkin tidak akan berpihak pada kita setelah ini,” kata Otto.Cemas menyerang Otto. Kalau Bailey benar mendengar pembicaraan mereka, apakah kali ini Bailey akan tersinggung? Kesal? Emosi dan apa pun yang lebih buruk?“Kurasa kita sebaiknya bergegas?” Milo melirik Otto.“Itu keputusan paling baik.” Otto berdiri.Milo memasukkan buku catatan yang baru sebentar ia baca
“Katakan saja,” ucap Bailey di sela makannya.Bailey tahu dua anak lelaki ini takkan mendatanginya kalau hanya untuk makan. Ada meja-meja kosong lain yang siap untuk ditempati, pun keduanya belum pernah begitu pada Bailey sepanjang sejarah bersekolah walau satu kelas dengan Bailey.“Kami … agak … penasaran. Apa Tuan Muda akan mendaftar untuk turnamen?” Otto Atrius yang duduk di sebelah Milo bertanya. Bibir merah cerahnya berulang kali mengatup dan terbuka setelah pertanyaan diajukan. Otaknya berpikir apakah pertanyaan itu sudah pas atau tidak.“Turnamen umum, maksudmu?” tanya Bailey.Otto mengangguk. “Kami dengar-dengar tahun ini murid yang terpilih untuk mewakili sekolah boleh mendaftar turnamen umum. Kami juga baca informasinya di mading pagi ini.”“Kalau terpilih mewakili sekolah, lalu mendaftar di turnamen umum dan ternyata lolos dalam keduanya ke final, terlebih keluar sebagai juara di peringkat satu, akan otomatis mendapat tiket emas dan bonus berlipat.” Milo turut bicara setela
“Ayah dan Ibu bawa apa? Itu terlihat banyak sekali!” Shaw mengamati tas-tas belanjaan dengan antusias. Salah satu isi yang tertangkap matanya adalah pakaian.“Oh, ini untuk putra Ibu yang paling manis!” Suara wanita menjawab.“Asyik! Pakaian, ya?” tanya Shaw.“Betul. Ada mainan juga!” Suara pria yang bicara.“Horeeee … mainan!” Shaw berseru gembira. Kebahagiaan meluap-luap pada suaranya.Di atas kaca, Shaw gemetar. Ia tidak mengira danau kaca keyakinan akan menampilkan momen seperti itu. Ia kira itu hanya akan berkisar perjalanannya, rencananya dengan Bailey, tantangan yang dihadapi dalam upaya mewujudkan impian tentang Zanwan. Namun, apa yang ia dengar sepenuhnya berbeda. Sama sekali tidak ada dalam bayangannya. Tidak sedikit pun.Mata Shaw bergetar. Air makin banyak di sana, lalu tumpah kala Shaw dengar suara yang sangat familier.“Shaw, jangan melompat-lompat tinggi begitu.” Itu suara Spencer, terdengar riang dan penuh kasih.“Shaw gembira sekali sepertinya.” Gracie menyusul bicara
“Ini danaunya.”Shaw sampai di ujung hutan lain setelah dari hutan sunyi dan melewati padang rumput. Di hadapannya membentang danau jernih yang berkilau, besar dan luas yang tidak mampu Shaw ukur dengan pasti. Ia perkirakan luasnya sama atau bahkan melebihi lapangan alun-alun distrik Acilav.“Sampai di danau itu, cara paling cepat untuk melewatinya adalah membelahnya. Menyeberanginya,” kata Fu dalam pesannya sebelum berpisah. “Jangan terkecoh dengan ukurannya yang kau mungkin kira tidak seberapa luas; masih sangat mungkin untuk dilewati dengan mengitarinya. Terkadang dalam waktu dan untuk alasan yang tidak terduga, setelah melihat wujudnya, begitu kau berjalan, mencoba memutari danau untuk sampai di seberang, di sisi lain, kau akan dapati bahwa ujung danau bahkan tidak kautemukan. Semua yang kaulihat mungkin hanya akan menjadi hamparan air. Tidak ada lagi pepohonan, tidak ada lagi daratan selain tempat kau berpijak dan sekitar.”Shaw berjinjit, mencoba menjangkau seberang danau dengan
“Ada rencana untuk keluar lagi di sisa hari ini, Tuan Muda?” Wilton bertanya seturunnya ia dari kuda, memegangi tali setelah Bailey turun. Mereka baru sampai di mansion, pulang dari sekolah.“Kurasa tidak. Sepertinya aku akan habiskan waktu di meja belajar.”“Baik. Saya akan ada di pos malam ini kalau Tuan Muda butuh sesuatu.”“Ya. Aku masuk, ya. Terima kasih untuk hari ini, Wilton.”Bailey pergi, masuk ke mansion. Wilton mengiringi kepergian Bailey dengan anggukan penuh hormat. Bibirnya melengkung membentuk senyum. Usai Bailey tidak lagi terlihat, Wilton membawa kuda ke kandang.Sampai kamar, Bailey menyalakan penerangan, melepaskan ransel, dan bersih-bersih. Ia melanjutkan dengan menekuri buku-buku mata pelajaran sampai pelayan memanggil namanya dari luar pintu.Makan malam tiba, Bailey berseri-seri menemukan Jillian di meja makan. Canda tawa Jillian serupa bunga-bunga di musim semi dan keceriaan Bariela adalah penyempurna. Jillian telah kembali dengan warna cerahnya, tidak lagi ber