“Bentuknya seperti peti. Kau tahu ini apa, Bold?”
Benda di tangannya Shaw sodorkan pada Bold agar dapat melihat lebih jelas. Mereka masih di gudang.
“Kurasa memang peti. Ada tempat kunci, lihatlah.” Bold menunjuk satu lubang kecil di tengah benda itu.
“Tapi tidak ada kuncinya.”
“Mungkin kakek dan nenekmu tahu.”
“Hmm ... benar juga.”
Lesu Shaw menanggapi perkataan Bold barusan. Kakek dan neneknya mungkin tahu, tetapi masalahnya adalah apakah mereka akan memberikan kunci itu padanya jika mereka tahu dan memilikinya? Sisi muara pikiran buruk dan cemas menghinggapi isi kepala Shaw. Gundah ia dibuatnya.
“Eeeehhhh ... kenapa masih di situ?”
Satu dari dua yang baru saja dibicarakan datang. Panjang umur Gracie yang muncul dari pintu, mencari keduanya.
“Ayo, masuk. Hari sudah gelap.”
Shaw dan Bold saling berpandangan sesaat, lalu berjalan mengikuti Gracie.
Bold agak canggung, tetapi perlakuan hangat kakek nenek Shaw perlahan mencairkannya. Ia bahkan ikut bersenda gurau saat makan malam bersama.
“Nah, ada satu kamar lagi yang kosong. Sudah Nenek bersihkan. Bold bisa tidur di sana,” kata Gracie sambil mengelap tangan usai mencuci piring dibantu Bold.
Shaw menelungkup di ranjang kayu, menerima pengobatan dari Spencer. Edvard telah mengajari sang kakek cara membaluri luka Shaw.
“Bold tidur di kamarku saja, Nek. Ranjangnya lebih besar dan kasurnya lebih empuk.”
“Ya sudah, kalian atur saja bagaimana baiknya.”
Gracie melirik meja dan area dapur sepintas lalu, memastikan semua telah bersih dan rapi, kemudian mengecup kening Shaw dan mengusap kepalanya.
“Selamat malam.”
Spencer yang sudah selesai membaluri luka Shaw pun melakukan hal yang sama seperti istrinya dan keduanya lekas masuk ke kamar mereka.
“Biar saya saja yang tidur di kamar itu. Tuan tetaplah tidur di kamar Tuan.” Bold akhirnya membuka suara setelah sedari tadi hanya menyimak.
Shaw mendengkus kesal, mengubah posisi duduk menjadi menghadap Bold sepenuhnya. Sejenak ia menghirup udara dalam dan mengembuskannya agak kasar.
“Bold, dengarkan aku. Pertama ….”
Shaw mengangkat jari telunjuk tangan kanannya.
“Aku sudah teramat sangat sering tidur di sana,” katanya, menekan saat mengucapkan 'teramat sangat sering'. “Bisa dibilang aku sangat jarang dan hampir tidak pernah tidur di kamar sebelah karena kamar itu selalu dikunci dan kuncinya bukan aku yang pegang. Kedua ….”
Shaw mengangkat jari tengah.
“Tidurku tidak banyak bergerak karena lukaku masih belum sembuh. Jadi, kau tidur di kamarku saja. Ketiga ….”
Shaw mengangkat jari manis dan menampilkan wajah kesal.
“Hentikan sikapmu yang seperti itu! Sudah kukatakan aku tidak menyukai perubahanmu. Jadi, bersikaplah seperti biasanya. Aku lebih suka begitu.”
Bold menghela napas. Mungkin karena Shaw masih anak-anak dan tidak terbiasa, jadi, justru tidak suka ketika orang lain bersikap demikian padanya.
Lumrahnya orang dewasa di Zanwan akan biasa saja dan bahkan senang jika ada yang mau menjadikan mereka sebagai tuan atau majikan, terlebih oleh Bold yang seorang prajurit tersohor di Zanwan. Baik distrik Aloclya maupun distrik Acilav, kedua penduduknya sudah tidak asing dengan nama Bold.
“Ya sudah, cepatlah tidur. Malam semakin larut.”
Bold mengalah, merasa akan percuma saja menjelaskan. Mau bagaimanapun, anak seusia Shaw, seperti Shaw, lebih membutuhkan seorang teman dibandingkan seorang budak.
Shaw mengangguk, turun dari ranjang kayu dan berjalan ke kamar. Ia berhenti di ambang pintu, menoleh pada Bold.
“Selamat malam, Bold. Tidurlah yang nyenyak. Besok kita akan melakukan perjalanan panjang,” ujar Shaw seraya tersenyum, lalu memasuki kamar.
Bold bergeming sesaat sebelum menyusul meninggalkan dapur, pergi ke kamar Shaw. Di pembaringan, ia mulai melamun.
Untuk ke sekian kali, sekaligus yang terakhir di hari ini karena tidak lama lagi pergantian hari, Bold termenung. Terdiam ia, kehabisan kata-kata, memandangi awang-awang dalam bisu, membiarkan sang malam menyelimuti. Yang dirasakannya, sudah lama sekali Bold tidak tinggal bersama sebuah keluarga seperti sekarang. Berada di dalam sebuah keluarga yang hangat. Bold bahkan sudah menyerah untuk merasakan itu lagi, memilih fokus latihan dan latihan, pun tidak pernah terlintas akan mengalaminya lagi karena ia tahu benar ia bukan seseorang yang mudah terbuka dan bergaul.
Mata terpejam dalam bahagia kalbu. Jernih pikiran dan ringan beban di pundak menyebabkan senyum tergurat lebih lebar. Beberapa bulir air mata hasil perpaduan rindu, bahagia, dan haru menjadi penutup terjaga Bold sebelum hari berganti.
Jika saja ada rasa yang bisa dibeli selain cokelat, stroberi, vanila, atau sejenisnya, para pencari kebahagiaan akan bersuka hati menukar harta mereka dengan rasa bahagia. Ketenteraman dan ketenangan yang sukar dirasa pun akan masuk ke dalam daftar jajaran yang paling dicari. Maka dari itu, bersyukurlah jika semua masih dalam dekap sebab tidak semua orang seberuntung itu untuk memilikinya. Entah siapa yang salah. Merekakah yang dulu terlalu egois dan membudak diri pada ambisi tanpa peduli benar salah, semesta dan waktukah yang berkata bagian mereka telah cukup untuk sementara.
Pagi harinya, awal sekali Shaw bangun. Ia tidur lebih cepat semalam, merasa kamar dan tempat tidurnya begitu hangat dan nyaman.
“Ayo, makan yang banyak, ya!”
Shaw sedang di halaman.
Rumput-rumput segar teronggok di kotak kayu persegi rendah 1x1 meter setinggi sepuluh sentimeter dengan bagian atas terbuka. Shaw membagi sama rata rumput di kedua kotak agar kedua kuda mendapat makan yang sama banyak dan tidak merasa Shaw berat sebelah.
Tidak peduli apa, Shaw selalu meyakini bahwa hewan-hewan memiliki perasaan yang juga bisa sensitif, dapat mengingat hal-hal kecil yang justru seringkali terlewatkan oleh beberapa manusia.
“Shaw, minum dulu tehnya selagi hangat!” Gracie berseru dari dapur, terlihat mencuri pandang dari jendela berjeruji di sana.
“Iya, Nek.”
Sekali lagi rumput dikeluarkan dari karung, ditaruh ke kedua kotak makan kuda. Selesai, Shaw beranjak mengambil dua ember diisi air, menaruhnya di masing-masing sisi kayu persegi. Ia lantas pergi lagi menuju sebuah tiang bambu yang kokoh beberapa meter di belakang kuda, memastikan tali kekang terikat kuat dan masuk ke dapur setelahnya.
“Sudah hampir dingin,” gumam Shaw, menjatuhkan diri di kursi meja makan dan meminum tehnya.
Derit pintu depan terdengar, muncul dari baliknya Spencer dan Bold. Pagi-pagi pula Bold sudah bangun, mengantar Spencer ke pasar yang teringin mencari daging atau ikan.
“Lihat apa yang Kakek bawa!” Spencer berseru semangat, mengangkat ikan salmon sepanjang lengan orang dewasa.
“Wooaaahhhh ... besar sekali, Kek!”
Shaw turun dari kursi dan berlari mengampiri Spencer, melihat ikan itu dari dekat.
“Kakek dapat di mana?”
“Dari pedagang di pasar. Kebetulan ada yang baru pulang melaut, hasil tangkapannya banyak dan dia memberikan ini pada Kakek cuma-cuma. Katanya sebagai tanda terima kasih karena dulu Kakek membantunya membuat kapal.”
“Ooh ... yang dulu itu? Kakek membantunya cuma-cuma juga, 'kan? Kata Kakek orang itu sedang tidak punya uang.”
“Benar.”
Spencer berjalan ke tempat pencucian baju. Satu area berukuran 2x2 meter dekat kamar mandi dengan dua keran yang tingginya satu meter dari lantai.
“Dia sangat ingin melaut karena perairan Zanwan kaya akan sumber daya alam bawah laut terutama ikan. Meski harus melalui proses cukup panjang dan memakan waktu untuk mengurus izinnya, dia tetap bersikeras. Bersyukur akhirnya mendapat izin untuk melaut dan mendapatkan banyak ikan setiap kali pulang,” tutur Spencer sambil membersihkan dan memotong ikan. Bold membantu.
“Begitu yaa ....” Shaw manggut-manggut. Matanya beralih pada Bold. “Waaahhh ... kau pandai memotong ikan, Bold! Sejak kapan?”
Shaw masih saja mengekor. Ia berjongkok di luar area pencucian, menatap antusias. Wajah Shaw berseri-seri.
“Aku dulu biasa memotong ikan. Pernah ikut melaut juga," jawab Bold dengan suara datar tanpa menoleh, sibuk menggerakkan pisau membelah ikan bersama Spencer.
“Kalau kata Nenek, Bold itu petualang sejati. Pengalamannya banyak meski usianya masih muda. Dia sudah mencoba banyak hal sejak kecil sebelum berakhir di pasukan elite,” kata Gracie, menimpali sambil memindahkan sayur dari panci ke mangkuk berukuran sedang.
Shaw menganga, mengedipkan mata dua kali, lalu mengembalikan pandangan ke depan.
“Benarkah?”
“Benar. Dulu Kakek sering melihat Bold berjualan di pasar, bercocok tanam di ladang, menggembalakan kambing di bukit, mencari panasea di luar bukit, membantu konstruksi pembangunan, dan masih banyak lagi. Bold rajin lagi pekerja keras,” puji Spencer.
Shaw menganga lagi dibuatnya. Ia berucap dalam pikirannya, “Kalau begitu, Bold mungkin tahu banyak tentang Zanwan. Setidaknya geografisnya.”
Bagian salmon yang selesai dipotong-potong dan telah mencapai satu rantang penuh dicuci bersih, lalu dibuat olahan daging bakar berbalut bumbu rempah untuk dibawa Shaw dan Bold sebagai bekal. Buah-buahan pun tidak luput dimasukkan ke dalam ransel untuk bekal. Bekal yang cukup banyak karena perjalanan mencari panasea ke luar desa secepat-cepatnya memakan waktu dua hari.
Siap pergi setelah makan siang, Spencer dan Gracie mengantar ke luar dari pintu dapur karena kuda masih di tempat makannya.
“Bekal sudah Nenek masukkan semua di ransel. Nanti makan kalau sudah waktunya makan. Jangan terlambat. Mengerti?”
Gracie merapikan pakaian Shaw termasuk topi yang dikenakannya. Shaw hanya melempar anggukan patuh dengan jawaban singkat.
“Mengerti, Nek, terima kasih.”
“Bold, nanti tolong bantu Shaw mengganti obat, ya. Nenek juga sudah masukkan obatnya di ransel.”
“Baik.”
Spencer mendekat, mengambil tempat di samping Gracie.
“Pesan Kakek cuma tiga, menambahkan dari Nenek. Jaga diri baik-baik, jaga sikap, dan berhati-hati. Adapun manikam itu jika dijatuhkan ke dalam limbahan sekalipun, niscaya tidak hilang cahayanya. Maksudnya, seseorang yang asalnya baik, jika ia sedang kekurangan atau miskin sekalipun, menjadi suruhan, bawahan, atau budak orang, maka tabiatnya, kelakuannya, dan budi bahasanya akan tetap baik. Tata krama adalah kualitas yang tidak akan pernah kedaluwarsa. Maka dari itu, kalian harus bisa menjaga sikap, mengontrol emosi, dan mengendalikan diri. Mengerti, 'kan, maksud Kakek?”
“Mengerti, Kek, terima kasih.”
Shaw memeluk Gracie, bergilir dengan Spencer sementara Bold bergeming.
Bold melangkah ketika Spencer memintanya mendekat, lalu menahan napas saat kakek Shaw itu mendekap erat, berganti dengan Gracie.
“Kami pergi dulu!”
Shaw memutar balik kuda dan menghentaknya ke pekarangan depan, lalu menjauh, menuju pemukiman distrik Acilav.
Dari distrik Acilav, luar desa bagian timur dan utara didominasi hamparan padang rumput. Tidak banyak panasea di sana. Adapun sisi barat yang cukup melimpah panaseanya sengaja Shaw hindari untuk dituju lebih dahulu sebab bisa mendatangkan curiga orang lain dan para jagawana. Karena itu, Shaw dan Bold memutuskan memulai perjalanan dari selatan, daerah satu-satunya di mana terdapat gunung tertinggi dan terbesar di Zanwan, air terjun, sungai, serta hutan yang lebat.
Tapal kuda nyaring penuh semangat menghentak jalanan. Anginnya sejukkan semua yang sudah memulai beraktivitas di luar rumah, berpadu dengan hangatnya sinar matahari pagi, mengembuskan helaian rambut Shaw dan Bold, membuatnya menari-nari.
“Dari caramu berkuda, kau bisa menjadi panglima di kemudian hari. Hanya jika kau menapaki jalan itu,” kata Bold dalam hati, memandang Shaw dari belakang.
“Dasar lambat! Ayo, cepat!”Ctash!“Ba … baik, Tuan.”“Lebih cepat lagi! Dasar anak pemalas!”Tungkai yang gemetar melangkah terseok-seok. Rantai dengan bola logam di kedua kaki tidak beralas memberatkan langkah, ditambah sebuah karung yang memperparah sampai raga membungkuk.Aksi tidak menyenangkan mata tersebut tertangkap pelupuk mata Shaw. Ia berbelok ke sana. Bold yang sedikit terkejut sigap mengikuti. Kedua orang yang mengganggu pemandangan Shaw itu menghentikan diri dan menoleh pada kehadiran yang tak diundang.Terlihat jelaslah oleh Shaw, seorang anak berkulit sawo matang lagi kurus yang terlihat begitu tersiksa, tetapi berusaha tidak menunjukkan. Di hadapan samping kiri Shaw, seorang pria dewasa yang Shaw taksir usianya sekitar 40-50 tahun.“Siapa kau?” Sang pria dewasa bertanya setelah mengamati Shaw dari atas ke bawah, lalu pandangannya berganti pada Bold yang baru datang.Mengetahui yang mendatanginya adalah prajurit elite tersohor, sang pria mematung di tempat. Pikirannya m
Luka di telapak kaki Mival selesai diobati dan dibalut perban. Shaw melepas sandal yang ia kenakan, memakaikannya ke kaki Mival.“Kau anak yang kuat, Mival. Kau sangat tangguh!” puji Shaw, menepuk pelan betis Mival dua kali seraya tersenyum cerah.“Sebentar ….”Shaw mencuci tangan juga kotak makannya ke sungai, kemudian memasukkan kotak makan ke dalam ransel setelahnya dan kembali.Mival merasa pipinya basah. Ia mengangkat tangan, mengusap dengan jemarinya. Ketika air matanya berderai lagi dan lagi, Mival menutup matanya dengan punggung tangan kanan.Shaw duduk di tempatnya, menatap Mival di samping dengan senyum dan membawa anak delapan tahun itu ke dalam dekapan.“Kau hebat, Mival. Orang lain belum tentu bisa bertahan sampai sekarang sepertimu,” ujar Shaw lirih.Bold terdiam memperhatikan. Ia masih belum terbiasa membuka diri dan memeluk orang lain.“Masa depanmu pasti cerah. Kau tidak boleh putus asa. Semuanya akan membaik,” tutur Shaw lembut sambil mengusap-usap punggung Mival. Ana
Laci dibuka, Bailey mengambil pena dan buku catatan berukuran kecil, lantas menuliskan rentetan kejadian yang ia ingat sejak beberapa hari sebelum penyerangan, saat perang, nama-nama yang ia curigai beserta alasannya, orang yang mengusulkan dan mendesak penundaan hukuman mati di rapat, dan laporan-laporan yang masih ia ingat beserta nama-nama pelapornya. Selesainya, pena ia taruh dan melanjutkan membaca.“Dua prajurit itu, terkadang aku melihat mereka berjaga di area tahanan tetua. Maksudku, para orang tua, jeruji-jeruji di lorong yang kau lewati saat Shaw dihukum. Terkadang aku hanya melihat satu dari mereka, terkadang keduanya. Kalau dipikir-pikir, bukankah seharusnya mereka tidak sesering itu berjaga di tempat yang sama? Bukankah begitu peraturannya? Setidaknya itu yang kutahu dari seorang prajurit yang pernah kutanyai.”“Hum, memang begitu.” Bailey membenarkan, menulis lagi di buku catatan.“Aku juga pernah mendengar mereka membicarakan tahanan-tahanan tetua itu. Kalau kau lupa tah
Lampu-lampu ruangan telah menyala, kontras dengan gelap yang terpampang di luar jendela. Baru Bailey sadari kalau hari sudah malam. Ia pergi ke dapur. Pelayan dan koki di sana menengok dengan desir kejut menjalar.“Tu … Tuan Muda, apa yang Anda lakukan di sini? Anda membutuhkan sesuatu?” Itu Dexter sang koki. Ia meletakkan piring berisi olahan ayam di meja dan menghampiri Bailey sembari mengelap tangan. Para pelayan menundukkan pandangan sekilas dan melanjutkan kegiatan.“Aku haus,” jawab Bailey, mengambil gelas.“Ah, sebentar, biar saya ambilkan.”Dexter bergegas mengambil gelas, tetapi langkahnya terhenti karena Bailey sudah lebih dulu mengisi gelasnya.“Tidak usah, Dexter, terima kasih. Ini hanya air putih,” ujar Bailey seraya mengangkat gelas berisi air putih di tangan.Sambil membawa gelas, Bailey keluar dapur, mendudukkan diri di kursinya, membiarkan para pelayan menghidangkan makan malam di meja dengan gugup. Tentu saja gugup. Belum tepat jam makan malam, tetapi tuan muda mereka
“Perapian sudah siap!”“Woaaahhhh, Bold hebat! Cepat sekali!”Mata berbinar Mival terarah lurus pada Bold dan perapian di depan prajurit jagur itu. Mival belum pernah membuat api secepat itu, apalagi di malam hari yang udaranya dingin. Meski memakai pemantik pun, Mival belum bisa secepat Bold menyalakan api dan membuatnya menjadi api unggun kecil.“Hmm ... bekal yang Nenek siapkan cukup banyak, tapi tidak dengan jenisnya. Jadi, makanan kita malam ini sama seperti tadi siang dan ini cukup sampai besok malam, tapi minumnya kurasa akan lebih cepat habis.”Shaw menghampiri Bold dan Mival di dekat perapian, meletakkan ransel, dan mengeluarkan tiga kotak makan serta botol minum.“Tidak masalah. Masih ada buah-buahan, 'kan? Kalau kurang, kita bisa mencarinya. Di hutan luar desa ada banyak pohon buah. Ikan pun melimpah di sungai.” Bold menenangkan.“A … apa itu?”Mival yang asyik menyimak tidak sengaja melihat benda berwarna putih di ketinggian.Shaw dan Bold mengikuti arah pandang Mival dan m
“Hmm ... lantas, satu halnya lagi?”Ascal tidak ingin menahan Bexter lebih lama karena hari sudah sangat larut, pun tahu besok asistennya itu akan siaga dengan jadwalnya di pagi buta. Mengenal dan bersama cukup lama membuat Ascal sangat paham bagaimana seorang Bexter Larson. Ascal ingin Bexter mendapat cukup istirahat agar tubuhnya prima, juga agar dapat bekerja dengan maksimal.Bexter yang memahami respon Ascal pun tidak membuka lebih banyak bahasan. Ia mengeluarkan sebuah kotak kayu kecil dari saku dan menaruhnya di meja.“Ini, Tuan.”Ascal meraih kotak itu dan membukanya. Ada sebuah robekan syal berwarna marun dan secarik kertas di dalamnya.“Itu adalah kotak yang saya temukan di saku perompak yang terakhir itu.”Ascal mengambil secarik kertas, membaca tulisan yang tertera di sana.“Little Shark of Zanwan & bloody night of Viking?” Kening Ascal mengernyit, menatap Bexter. “Interaksi antara para viking ini dengan penduduk Zanwan yang kuingat hanya dua. Beberapa hari lalu dan saat per
Tanah yang lembab membuat tapal kuda berjejak cukup dalam diakibatkan oleh hentakan yang kuat. Perlu kehati-hatian ekstra agar kuda tidak terjerembab ataupun terpeleset dan jatuh. Semak dan rerumputan yang makin tinggi tersebab kawasan yang sangat jarang disentuh manusia itu tidak menjadi penghalang bagi Shaw dan Bold untuk mempercepat laju kuda mereka. Keduanya memilih area tanah yang lebih datar dengan rerumputan yang lebih rendah dan kering agar kuda dapat melaju lebih cepat.Mereka berhasil mencapai jarak 3/4 busur panah dari kaki gunung di titik mereka memanjat tebing, terus melajukan kuda sampai mencapai penuh ujung busur; sejajar dengan titik saat mereka memanjat tebing.Pandangan dan pendengaran ditajamkan sembari terus menghentak kuda. Pepohonan yang lebat dengan jarak cukup rapat membuat pemandangan sekitar tampak seperti potongan gambar dengan kecepatan kuda mereka.“Arah jam sebelas!” Shaw berseru begitu melihat sang sosok memacu kudanya ke selatan di arah jam sebelas.Bold
Apalah yang bisa semesta lakukan ketika hati masih terpaut pada orang yang sama meski raga telah terpisahkan? Jarak yang teramat jauh membentang, beribu ruang dan pintu kokoh jadi penghalang, pun waktu yang meragu beri kesempatan, disempurnakan takdir yang seakan-akan lelah untuk kembali pertemukan.Apalah yang bisa semesta lakukan ketika jiwa yang merindu menolak untuk berhenti mengaum? Ketika rasa dalam kalbu yang bergejolak menimbulkan gelombang ombak, menolak untuk berhenti meraung.Adakah setitik harapan itu masih hidup? Sekecil kesempatan pun 'kan diterima, lebih dari cukup untuk menarik dua sudut bibir melengkung ke atas.Adakah benang merah itu masih terikat? Setipis benang layang pun tidak masalah, cukup untuk membuat nadi tetap dalam iramanya, menari di hamparan ladang bunga bertemankan kupu-kupu, capung, dan burung-burung.Rangkaian aksara di buku yang terbuka tidak lebih dari pengalih atensi orang lain, barangkali ada yang melihat, sementara ingatan tak jeranya kembali memu
Kilau cahaya pohon dan jalan memandu Bailey ke kaki gunung sisi utara, melewati area yang Bailey datangi tempo lalu bersama Shaw dan yang lain pada malam operasi penambangan ilegal. Semak belukar lebih tinggi, lalu ketika Bailey sampai di timur, menuju belokan ke tenggara, kilau cahaya kemerahan berkelap-kelip di depan.Bailey segera menghentikan laju kudanya.“Profesor bilang warna lain selain hitam dan putih akan cenderung samar, tapi merah itu terlalu jelas,” gumam Bailey.Menggeser fokus tatapannya, Bailey menemukan lebih banyak siluet merah dengan haki yang menguar di dalam sebuah gua. Bailey mengamati sekitar lebih jeli. Terlihat oleh matanya dinding seperti kubah di atas.Bailey menyalurkan hakinya ke kuda, tetapi tetap menyamarkannya, kemudian membuat kuda berderap pelan dan santai. Sang kuda bagai berjalan di atas angin; tidak ada suara yang terdengar tiap kali kakinya memijak.Mendekati gua, Bailey turun dari kuda. Ia ikatkan tali kuda ke sebuah pohon, kemudian melanjutkan d
Aaban mengangguk, kemudian beralih tatap pada prajurit yang tadi membawakan kuda.“Buka gerbangnya.”Sang prajurit mengangguk patuh, kemudian berlari menuju pos jaga di sisi salah satu gerbang. Model pos agak tinggi dari permukaan tanah, jadi, ia mendongak dan berseru pada prajurit yang berada di pos.“Buka gerbangnyaaaa!”Prajurit di pos segera menjalankan perintah. Engsel gerbang segera berbunyi, lalu gerbang berderit, perlahan terbuka seiring Bailey menunggangi kuda.“Hati-hati, Tuan Muda!” kata Aaban.Bailey mengangguk. “Aku pergi.”Prajurit yang berseru pada prajurit di gerbang menyingkir, kembali ke sisi Aaban. Bailey menghentak tali kuda, melewati gerbang begitu gerbang terbuka lebar.“Tuan Muda sangat berani dan cerdik,” celetuk prajurit di sisi Aaban. Ia memandangi kepergian Bailey dengan binar takjub di matanya.“Dia putra pemimpin Zanwan. Keberanian dan kecerdikan akan bagus untuk menjadi bagian dari dirinya,” kata Aaban sambil memandangi Bailey yang menjauh, membelah padan
Matahari telah terbenam di ufuk barat. Malam telah bertakhta. Dinginnya udara menerpa Zanwan sedingin suasana di meja makan mansion Hunt.“Wilton, di mana Bailey?” Jillian bertanya.Piring-piring masih terisi, belum habis setengah hidangan di atasnya. Satu kursi di meja makan, kursi yang biasa diduduki Bailey, kini kosong. Wilton berdiri di belakang samping kursi tersebut.Pelayan mengatakan Bailey tidak ada di kamarnya beberapa saat lalu. Sebentar sebelum duduk ke kursinya, Jillian pun mengecek kamar Bailey, hanya menemukan ruangan kosong. Sampai Ascal tiba, Bailey belum juga muncul. Tak ayal Ascal memanggil Wilton.“Tuan Muda ….” Wilton bicara serupa suara bisikan di keramaian, nyaris tidak terdengar saking lirihnya.Jillian mengerjap. Ia melirik Wilton sambil makan. Wilton terus menunduk, bahkan tidak kunjung menyelesaikan bicaranya. Ascal berganti melontarkan tanya tanpa menoleh.“Wilton, di mana Bailey?”“Tuan Muda pergi ….” Wilton masih serupa anak kecil yang bersembunyi.“Wilto
Bailey manggut-manggut. “Aku tidak mengira kalian akan mengajukan pertanyaan semacam itu, bahkan tidak mengira kalian akan pernah menghiraukan hal semacam itu. Terima kasih, kurasa.”Senyum terukir di hati Bailey. Sebuah kabar gembira bagai menggema di dalam dirinya. Begitu pula yang dirasakan Otto dan Milo. Bailey menyambut baik, tentu itu kabar besar yang membahagiakan. Sekali lagi, perkiraan mereka salah. Sepertinya Bailey tidak mendengar pembicaraan mereka di kelas atau mungkin mendengar, tetapi tidak mempermasalahkan, dan itu membuat kegembiraan mereka kian bertambah.“Sanjungan lebih pantas untukmu,” kata Milo.Bailey merespon itu dengan senyum kecil. Otto dan Milo mengerjap, segera berpikir apakah mereka salah lihat. Namun, mereka dapati bahwa mereka tidak salah lihat. Bailey memang tersenyum. Senyum itu, Bailey tujukan kepada mereka.“Aku mulai dari pertanyaan pertama, ya,” kata Bailey, kemudian menghirup udara sejenak.Otto dan Milo mengangguk dan memasang telinga baik-baik.
“Kau mendengarnya?” Otto bertanya dengan wajah memucat. Suaranya amat pelan sampai nyaris tidak terdengar.Milo mengangguk kecil dalam gerakan patah-patah dan sarat keraguan. Ekspresi pada wajahnya tidak jauh berbeda.Kepala mereka kemudian bergerak bersamaan, berpaling tatap ke baris terdepan, lalu mereka melihat Bailey beranjak dari duduknya, pergi keluar.“Apa Tuan Muda mendengar pembicaraan kita?” Milo bertanya dalam suara lebih rendah, serupa bisik-bisik yang mungkin saja akan hanyut terbawa angin.Otto menggeleng. Bukan jawaban meyakinkan, hanya harapan bahwa itu adalah kenyataan yang terjadi.“Kalau benar, semesta mungkin tidak akan berpihak pada kita setelah ini,” kata Otto.Cemas menyerang Otto. Kalau Bailey benar mendengar pembicaraan mereka, apakah kali ini Bailey akan tersinggung? Kesal? Emosi dan apa pun yang lebih buruk?“Kurasa kita sebaiknya bergegas?” Milo melirik Otto.“Itu keputusan paling baik.” Otto berdiri.Milo memasukkan buku catatan yang baru sebentar ia baca
“Katakan saja,” ucap Bailey di sela makannya.Bailey tahu dua anak lelaki ini takkan mendatanginya kalau hanya untuk makan. Ada meja-meja kosong lain yang siap untuk ditempati, pun keduanya belum pernah begitu pada Bailey sepanjang sejarah bersekolah walau satu kelas dengan Bailey.“Kami … agak … penasaran. Apa Tuan Muda akan mendaftar untuk turnamen?” Otto Atrius yang duduk di sebelah Milo bertanya. Bibir merah cerahnya berulang kali mengatup dan terbuka setelah pertanyaan diajukan. Otaknya berpikir apakah pertanyaan itu sudah pas atau tidak.“Turnamen umum, maksudmu?” tanya Bailey.Otto mengangguk. “Kami dengar-dengar tahun ini murid yang terpilih untuk mewakili sekolah boleh mendaftar turnamen umum. Kami juga baca informasinya di mading pagi ini.”“Kalau terpilih mewakili sekolah, lalu mendaftar di turnamen umum dan ternyata lolos dalam keduanya ke final, terlebih keluar sebagai juara di peringkat satu, akan otomatis mendapat tiket emas dan bonus berlipat.” Milo turut bicara setela
“Ayah dan Ibu bawa apa? Itu terlihat banyak sekali!” Shaw mengamati tas-tas belanjaan dengan antusias. Salah satu isi yang tertangkap matanya adalah pakaian.“Oh, ini untuk putra Ibu yang paling manis!” Suara wanita menjawab.“Asyik! Pakaian, ya?” tanya Shaw.“Betul. Ada mainan juga!” Suara pria yang bicara.“Horeeee … mainan!” Shaw berseru gembira. Kebahagiaan meluap-luap pada suaranya.Di atas kaca, Shaw gemetar. Ia tidak mengira danau kaca keyakinan akan menampilkan momen seperti itu. Ia kira itu hanya akan berkisar perjalanannya, rencananya dengan Bailey, tantangan yang dihadapi dalam upaya mewujudkan impian tentang Zanwan. Namun, apa yang ia dengar sepenuhnya berbeda. Sama sekali tidak ada dalam bayangannya. Tidak sedikit pun.Mata Shaw bergetar. Air makin banyak di sana, lalu tumpah kala Shaw dengar suara yang sangat familier.“Shaw, jangan melompat-lompat tinggi begitu.” Itu suara Spencer, terdengar riang dan penuh kasih.“Shaw gembira sekali sepertinya.” Gracie menyusul bicara
“Ini danaunya.”Shaw sampai di ujung hutan lain setelah dari hutan sunyi dan melewati padang rumput. Di hadapannya membentang danau jernih yang berkilau, besar dan luas yang tidak mampu Shaw ukur dengan pasti. Ia perkirakan luasnya sama atau bahkan melebihi lapangan alun-alun distrik Acilav.“Sampai di danau itu, cara paling cepat untuk melewatinya adalah membelahnya. Menyeberanginya,” kata Fu dalam pesannya sebelum berpisah. “Jangan terkecoh dengan ukurannya yang kau mungkin kira tidak seberapa luas; masih sangat mungkin untuk dilewati dengan mengitarinya. Terkadang dalam waktu dan untuk alasan yang tidak terduga, setelah melihat wujudnya, begitu kau berjalan, mencoba memutari danau untuk sampai di seberang, di sisi lain, kau akan dapati bahwa ujung danau bahkan tidak kautemukan. Semua yang kaulihat mungkin hanya akan menjadi hamparan air. Tidak ada lagi pepohonan, tidak ada lagi daratan selain tempat kau berpijak dan sekitar.”Shaw berjinjit, mencoba menjangkau seberang danau dengan
“Ada rencana untuk keluar lagi di sisa hari ini, Tuan Muda?” Wilton bertanya seturunnya ia dari kuda, memegangi tali setelah Bailey turun. Mereka baru sampai di mansion, pulang dari sekolah.“Kurasa tidak. Sepertinya aku akan habiskan waktu di meja belajar.”“Baik. Saya akan ada di pos malam ini kalau Tuan Muda butuh sesuatu.”“Ya. Aku masuk, ya. Terima kasih untuk hari ini, Wilton.”Bailey pergi, masuk ke mansion. Wilton mengiringi kepergian Bailey dengan anggukan penuh hormat. Bibirnya melengkung membentuk senyum. Usai Bailey tidak lagi terlihat, Wilton membawa kuda ke kandang.Sampai kamar, Bailey menyalakan penerangan, melepaskan ransel, dan bersih-bersih. Ia melanjutkan dengan menekuri buku-buku mata pelajaran sampai pelayan memanggil namanya dari luar pintu.Makan malam tiba, Bailey berseri-seri menemukan Jillian di meja makan. Canda tawa Jillian serupa bunga-bunga di musim semi dan keceriaan Bariela adalah penyempurna. Jillian telah kembali dengan warna cerahnya, tidak lagi ber