"Bentuknya seperti peti. Kau tahu ini apa, Bold?"
Benda di tangan disodorkan pada Bold agar bisa melihat lebih jelas.
"Kurasa, memang, peti. Ada tempat kunci, lihatlah." Bold menunjuk pada satu lubang kecil di tengah benda itu.
"Tapi tidak ada kuncinya."
"Mungkin Kakek dan Nenekmu tahu."
"Hmm ... benar juga." Shaw menanggapi dengan lesu perkataan Bold barusan. Kakek dan neneknya mungkin tahu, tapi masalahnya adalah ... apakah mereka akan memberikan kunci itu padanya jika mereka tahu dan memilikinya? Sisi muara pikiran buruk dan cemas menghinggapi isi kepala Shaw; gundah ia dibuatnya.
"Eeeehhhh ... kenapa masih di situ?" Satu dari dua yang baru saja dibicarakan datang. Panjang umur Gracie yang muncul dari pintu, mencari keduanya. "Ayo masuk, hari sudah gelap," ujarnya lagi.
Shaw dan Bold saling berpandangan sesaat, lalu berjalan mengikuti Gracie.
"Nah, ada satu kamar lagi yang kosong, sudah Nenek bersihkan. Bold bisa tidur di situ."
"Bold tidur di kamarku saja, Nek. Ranjangnya lebih besar dan kasurnya lebih empuk."
"Ya sudah, kalian atur saja bagaimana baiknya."
Gracie membereskan meja dan area dapur seusai makan malam, kemudian menghampiri untuk mengecup kening Shaw dan mengusap kepalanya.
"Selamat malam."
Spencer pun melakukan hal yang sama seperti istrinya; mengecup kening Shaw dan mengusap kepalanya setelah selesai membaluri luka Shaw. Keduanya masuk ke kamar mereka bersamaan.
"Biar saya saja yang tidur di kamar itu, Tuan tetaplah tidur di kamar Tuan." Bold akhirnya membuka suara setelah sedari tadi hanya mendengarkan. Shaw mendengus kesal dan mengubah posisi duduk menjadi menghadap Bold sepenuhnya. Sejenak ia menghirup napas dalam dan menghembuskannya sedikit kasar.
"Bold, dengarkan aku. Pertama ...--"
Shaw mengangkat jari telunjuk tangan kanannya.
"... aku sudah teramat sangat sering tidur di sana," tukasnya. Menekan kata 'teramat sangat sering'. "Bisa dibilang aku sangat jarang dan hampir tidak pernah tidur di kamar sebelah karena kamar itu selalu dikunci dan kuncinya bukan aku yang pegang. Kedua ...--"
Shaw mengangkat jari tengah tangan kanannya.
"... tidurku tidak banyak bergerak karena lukaku masih belum sembuh. Jadi kau tidur di kamarku saja. Ketiga ...--"
Shaw mengangkat jari manis tangan kanannya dan menampilkan wajah kesal.
"... hentikan sikapmu yang seperti itu! Sudah kukatakan aku tidak menyukai perubahanmu ... jadi bersikaplah seperti biasanya. Aku lebih suka begitu."
Bold menghela napas. Mungkin karena Shaw masih anak-anak dan tidak terbiasa, jadi justru tidak suka ketika orang lain bersikap demikian padanya. Pikirnya. Padahal lumrahnya orang dewasa di Zanwan akan biasa saja atau bahkan senang jika ada orang yang mau menjadikan mereka sebagai tuan atau majikan. Terlebih oleh Bold yang notabene prajurit tersohor di Zanwan. Baik distrik Aloclya maupun distrik Acilav, kedua penduduknya sudah tak asing dengan nama Bold. Pun dengan keterampilan prajurit jagur itu.
"Ya sudah ... cepatlah tidur .... Malam semakin larut." Bold mengalah. Merasa akan percuma saja menjelaskan, karena anak seusia Shaw lebih membutuhkan seorang teman dibandingkan seorang budak.
Shaw mengangguk. Turun dari ranjang kayu dan berjalan ke kamar. Ia berhenti di ambang pintu; menoleh pada Bold.
"Selamat malam, Bold. Tidurlah yang nyenyak. Besok kita akan melakukan perjalanan panjang," ujarnya seraya tersenyum.
Untuk ke sekian kali, sekaligus yang terakhir di hari ini karena tak lama lagi pergantian hari, Bold termenung. Terdiam kehabisan kata-kata. Memandangi awang-awang dalam bisu, membiarkan sang malam menyelimuti. Yang dirasakannya, sudah lama ... sekali, Bold tidak tinggal bersama sebuah keluarga seperti sekarang. Berada di dalam sebuah keluarga yang hangat. Bold bahkan sudah menyerah untuk merasakan itu lagi, memilih fokus latihan dan latihan. Pun tak pernah terlintas akan mengalaminya lagi, karena ia tahu benar ia bukan seseorang yang mudah terbuka dan bergaul.
Mata terpejam dalam bahagia kalbu, jernih pikiran dan ringan beban di pundak membuat senyum tergurat lebih lebar. Beberapa bulir air mata hasil perpaduan rindu, bahagia, dan haru menjadi penutup terjaganya sebelum hari berganti.
Dan jika saja ada rasa yang bisa dibeli selain cokelat, strawberry, dan vanilla, maka para pencari kebahagiaan akan bersuka hati menukar harta mereka dengan rasa bahagia. Ketentraman dan ketenangan yang sukar dirasa pun akan masuk ke dalam daftar jajaran yang paling dicari. Maka bersyukurlah jika hal itu kesemuanya masih dalam dekap, sebab tak semua orang seberuntung itu untuk memilikinya. Entah siapa yang salah .... Mereka kah yang dulu terlalu egois dan membudak diri pada ambisi tanpa peduli benar salah, atau semesta dan waktu kah yang berkata bagian mereka telah cukup untuk sementara.
Pagi harinya, awal sekali Shaw sudah terbangun. Ia tidur lebih cepat semalam, merasa kamar dan tempat tidurnya begitu hangat dan nyaman.
"Ayo, makan yang banyak, ya!"
Rumput-rumput segar teronggok di kotak kayu persegi rendah 1x1 meter setinggi 10 cm dengan bagian atas terbuka. Shaw membagi sama rata rumput di kedua kotak, agar kedua kuda mendapat makan yang sama banyak dan tidak merasa Shaw berat sebelah.
Tak peduli apa, Shaw selalu meyakini bahwa hewan-hewan memiliki perasaan yang juga bisa sensitif, mengingat hal-hal kecil yang justru seringkali terlewatkan oleh beberapa manusia.
"Shaw, minum dulu tehnya selagi hangat!" Gracie berseru dari dapur, terlihat mencuri pandang dari jendela berjeruji di sana.
"Iya, Nek." Satu kali lagi rumput dikeluarkan dari karung; ditaruh ke kedua kotak makan kuda. Kemudian Shaw beranjak mengambil dua ember diisi air; menaruhnya di masing-masing sisi kayu persegi. Lalu beranjak lagi menuju sebuah tiang bambu yang kokoh di belakang beberapa meter dari kuda; memastikan tali kekang terikat kuat dan masuk ke dapur setelahnya.
"Sudah hampir dingin," gumam Shaw. Menjatuhkan diri di kursi meja makan dan meminum tehnya.
Derit pintu depan terdengar, memunculkan Spencer dan Bold dari baliknya. Pagi-pagi pula Bold sudah bangun, mengantar Spencer ke pasar ... teringin mencari daging atau ikan.
"Lihat apa yang Kakek bawa!" Spencer berseru semangat, mengangkat ikan salmon sepanjang lengan orang dewasa.
"Wooaaahhhh ... besar sekali, Kek!!" Shaw turun dari kursi dan berlari mengampiri Spencer, melihat ikan itu dari dekat. "Kakek dapat di mana?"
"Dari pedagang di pasar. Kebetulan ada yang baru pulang melaut, hasil tangkapannya banyak. Dan dia memberikan ini pada Kakek cuma-cuma ... katanya sebagai tanda terima kasih karena dulu Kakek membantunya membuat kapal."
"Ooh ... yang dulu itu? Kakek membantunya cuma-cuma juga, 'kan? Kata Kakek orang itu sedang tidak punya uang."
"Benar."
Spencer berjalan ke tempat pencucian baju. Satu area berukuran 2x2 meter dekat kamar mandi dengan dua keran yang tingginya satu meter dari lantai.
"Dia sangat ingin melaut, karena perairan Zanwan kaya akan sumber daya alam bawah laut terutama ikan. Meski harus melalui proses cukup panjang dan memakan waktu untuk mengurus izinnya, dia tetap bersikeras. Sampai akhirnya mendapat izin untuk melaut dan mendapatkan banyak ikan setiap kali pulang," tutur Spencer. Membersihkan ikan kemudian memotong-motongnya; dibantu Bold.
"Begitu yaa ...." Shaw mengangguk. Matanya beralih pada Bold. "Waaahhh ... kau pandai memotong ikan, Bold! Sejak kapan?" Shaw masih saja mengekor. Berjongkok di luar area pencucian; menatap dengan antusias dan wajah berseri.
"Aku dulu biasa memotong ikan ... pernah ikut melaut juga," jawab Bold dengan suara datar tanpa menoleh. Sibuk menggerakkan pisau membelah ikan bersama Spencer.
"Kalau kata Nenek ... Bold itu petualang sejati. Pengalamannya banyak meski usianya masih muda. Dia sudah mencoba banyak hal sejak kecil sebelum berakhir di pasukan elite." Gracie menimpali. Memindahkan sayur dari panci ke mangkuk berukuran sedang.
Shaw menganga, mengedipkan mata dua kali lalu mengembalikan pandangan ke depan.
"Benarkah?""Benar. Dulu Kakek sering melihat Bold berjualan di pasar, bercocok tanam di ladang, menggembalakan kambing di bukit, mencari panasea di luar bukit, membantu konstruksi pembangunan, dan masih banyak lagi. Bold rajin lagi pekerja keras," puji Spencer.
Shaw menganga lagi dibuatnya. 'Kalau begitu, Bold tahu cukup banyak tentang Zanwan. Setidaknya geografisnya,' benak Shaw.
Bagian salmon yang selesai dipotong-potong dan telah mencapai satu rantang penuh dicuci bersih, lalu dibuat olahan daging bakar berbalut bumbu rempah untuk dibawa Shaw dan Bold sebagai bekal, agar tahan lama. Buah-buahan pun tak luput dimasukkan ke dalam ransel untuk bekal. Karena perjalanan mencari panasea ke luar desa secepat-cepatnya memakan waktu 2 hari.
Spencer dan Gracie mengantar ke luar dari pintu dapur karena kuda masih di tempat makannya.
"Bekal sudah Nenek masukkan semua di ransel. Nanti makan kalau sudah waktunya makan ... jangan terlambat. Mengerti?"
Gracie merapikan pakaian Shaw, termasuk topi yang dikenakannya. Shaw hanya melempar anggukan patuh dengan jawaban singkat.
"Mengerti, Nek.""Bold, nanti tolong bantu Shaw untuk mengganti obatnya yaa ... Nenek juga sudah masukkan semua obatnya di ransel."
"Baik."
Spencer mendekat, mengambil tempat di samping Gracie.
"Pesan Kakek cuma tiga, menambahkan dari Nenek. Jaga diri baik-baik, jaga sikap, dan berhati-hati. Adapun manikam itu jika dijatuhkan ke dalam limbahan sekalipun, niscaya tidak hilang cahayanya. Maksudnya ... seseorang yang asalnya baik, jika ia miskin sekalipun, menjadi suruhan, bawahan, atau budak orang, maka tabiatnya, kelakuannya, dan budi bahasanya akan tetap baik. Etika yang baik dan bagus adalah kualitas yang tidak akan pernah kadaluwarsa. Maka dari itu, kalian harus bisa menjaga sikap. Mengontrol emosi dan mengendalikan diri. Mengerti, 'kan maksud Kakek?""Mengerti, Kek," jawab Shaw. Mengangguk. Mendekat lalu menghambur memeluk Gracie, bergilir dengan Spencer. Sementara Bold hanya mengangguk dan diam di tempat.
Bold melangkah ketika Spencer memintanya mendekat, lalu menahan napas saat kakek Shaw itu mendekap dengan erat. Berganti dengan Gracie.
"Kami pergi dulu!" pamit Shaw. Memutar balik kuda dan menghentaknya ke pekarangan depan lalu menjauh; menuju distrik Acilav.
Di luar desa bagian timur dan utara didominasi hamparan padang rumput. Tidak banyak panasea di sana. Sedangkan sisi barat yang cukup melimpah panaseanya sengaja Shaw hindari untuk dituju lebih dulu, sebab bisa mendatangkan curiga orang lain dan para jagawana. Karena itu, Shaw dan Bold memutuskan memulai perjalanan dari selatan. Daerah satu-satunya di mana terdapat ancala tertinggi dan terbesar di Zanwan, air terjun juga sungai, pun jenggala yang lebat.
Tapal kuda nyaring penuh semangat menghentak jalanan. Anilanya sejukkan semua yang sudah memulai beraktivitas di luar rumah, berpadu dengan hangatnya sinar matahari pagi. Menghembuskan helaian rambut Shaw dan Bold; membuatnya menari-nari.
'Dari caramu berkuda, kau bisa menjadi seorang panglima di kemudian hari. Hanya jika kau menapaki jalan itu.' Bold membatin. Menatap Shaw dari belakang. Memacu kudanya mengimbangi kecepatan Shaw.
"Dasar lambat! Ayo cepat!"Ctash!"Ba-baik, Tuan.""Lebih cepat lagi!! Dasar anak pemalas!!"Tungkai yang gemetar melangkah sembari terseok-seok. Kentara sekali dipaksa tetap tegak. Rantai dengan bola logam di kedua kaki tak beralas membuat langkahnya semakin payah, ditambah sebuah karung yang nampak berat sebab daksa terlihat sampai membungkuk membuat usahanya bak bunuh diri.Aksi tak menyenangkan mata tersebut tertangkap pelupuk mata Shaw. Membuatnya segera berbelok menghampiri. Bold yang sedikit terkejut sigap mengikuti. Kedua orang yang mengganggu pemandangan Shaw itu menghentikan diri dan menoleh pada kehadiran yang tak diundang.Terlihat jelaslah oleh Shaw, seorang anak berkulit sawo matang lagi kurus yang terlihat begitu tersiksa namun berusaha tak menunjukkan. Lalu di hadapan samping kirinya, seorang pria dewasa yang Shaw taksir usianya sekitar 40-50 tahun."Siapa kau?" Sang pria dewasa bertanya setelah mengamati
Luka di telapak kaki Mival selesai diobati dan dibalut dengan perban. Shaw lalu melepas sandal yang ia kenakan dan memakaikannya ke kedua kaki Mival."Kau anak yang kuat, Mival. Kau sangat tangguh!" puji Shaw. Menepuk pelan kaki Mival dua kali seraya tersenyum cerah."Sebentar," ucap Shaw. Berdiri dan mencuci tangan juga kotak makannya ke sungai, kemudian memasukkan kotak makan ke dalam ransel setelahnya dan kembali.Mival merasa pipinya basah. Ia mengangkat tangan dan mengusap dengan jemarinya. Tapi ketika air matanya berderai lagi dan lagi, Mival menutup matanya dengan punggung tangan kanan.Shaw duduk di tempatnya, menatap Mival di samping dengan senyum dan membawa anak 8 tahun itu ke dalam dekapan."Kau hebat, Mival. Orang lain belum tentu bisa bertahan sampai sekarang sepertimu," ujar Shaw lirih.Bold terdiam memperhatikan. Ia masih belum terbiasa membuka diri dan memeluk orang lain."Masa depanmu pasti cerah. Kau tidak boleh
Laci dibuka, Bailey mengambil pena dan buku catatan berukuran kecil, lantas menuliskan rentetan kejadian yang ia ingat sejak beberapa hari sebelum penyerangan, saat perang, nama-nama yang ia curigai beserta alasannya, orang yang mengusulkan dan mendesak penundaan hukuman mati di rapat, dan laporan-laporan yang masih ia ingat serta nama-nama pelapornya. Selesainya, pena ia taruh dan melanjutkan membaca.“Dua prajurit itu, terkadang aku melihat mereka berjaga di area tahanan tetua. Maksudku, para orang tua ... jeruji-jeruji di lorong yang kau lewati saat Shaw dihukum. Terkadang aku hanya melihat satu dari mereka, terkadang keduanya. Kalau dipikir-pikir, bukankah seharusnya mereka tidak sesering itu berjaga di tempat yang sama? Bukankah begitu peraturannya? Setidaknya itu yang kutahu dari seorang prajurit yang pernah kutanyai.’’'Hum, memang begitu.' Bailey membenarkan. Menulis lagi di buku catatan.“Aku juga pernah mendengar m
Lampu-lampu ruangan telah menyala, kontras dengan gelap terpajang di luar jendela. Baru Bailey sadari kalau hari sudah malam. Ia melangkah ke dapur, membuat pelayan dan koki di sana menengok dengan desir kejut menjalar seketika."T-tuan Muda, apa yang Anda lakukan di sini? Anda membutuhkan sesuatu?" Itu Dexter, sang koki. Menaruh piring berisi olahan ayam di meja dan menghampiri Bailey sembari mengelap tangan. Para pelayan menundukkan pandangan dan melanjutkan kegiatan."Aku haus," jawab Bailey. Mengambil gelas."Ah, sebentar, biar saya ambilkan." Dexter bergegas mengambil gelas, namun langkahnya terhenti karena Bailey sudah lebih dulu mengisi gelasnya."Tidak usah, Dexter ... terima kasih. Ini hanya air putih," ujar Bailey seraya mengangkat gelas berisi air putih di tangan. Setelahnya, Bailey berjalan keluar dapur lalu mendudukkan diri di kursinya, membiarkan para pelayan menghidangkan makan malam di meja dengan gugup. Tentu saja gugup, bel
"Perapian sudah siap!""Woaaahhhh ... Bold hebat!! Cepat sekalii ...." Mata berbinar Mival terarah lurus pada Bold dan perapian di depan prajurit jagur itu. Mival belum pernah membuat api secepat itu, apalagi di malam hari yang udaranya dingin. Meski memakai pemantik pun, dirinya belum bisa secepat Bold menyalakan api dan membuatnya menjadi api unggun kecil."Hmm ... bekal yang Nenek siapkan cukup banyak, tapi tidak dengan jenisnya. Jadi makanan kita malam ini sama seperti tadi siang, dan ini cukup sampai besok malam. Tapi minumnya kurasa akan lebih cepat habis." Shaw menghampiri Bold dan Mival di dekat perapian, meletakkan ranselnya dan mengeluarkan tiga kotak makan serta botol minum."Tidak masalah. Masih ada buah-buahan, 'kan? Kalau kurang, kita bisa mencarinya. Di hutan luar desa ada banyak pohon buah. Ikan pun melimpah di sungai." Bold menenangkan."A-apa itu?" Mival yang asik menyimak tak sengaja melihat benda berwarna putih di ketingg
"Hmm ... lantas, satu halnya lagi?"Ascal tak ingin menahan Bexter lebih lama karena hari sudah sangat larut. Pun tahu kalau besok asistennya itu akan siaga dengan jadwalnya di pagi buta. Mengenal dan bersama cukup lama membuat Ascal sangat paham bagaimana seorang Bexter Larson. Dan Ascal ingin Bexter mendapat cukup istirahat agar tubuhnya prima, juga agar dapat bekerja dengan maksimal.Bexter yang memahami respon Ascal pun tak membuka lebih banyak bahasan. Ia mengeluarkan sebuah kotak kayu kecil dari saku dan menaruhnya di meja."Ini, Tuan."Ascal meraih kotak itu dan membukanya. Ada sebuah robekan syal berwarna maroon dan secarik kertas di dalamnya."Itu adalah kotak yang saya temukan di saku perompak yang terakhir itu."Ascal mengambil secarik kertas dan membaca tulisan yang tertera di sana."Little shark of Zanwan & bloody night of Viking?" Kening Ascal mengernyit; menatap Bexter. "Interaksi antara para Vik
Tanah yang lembab membuat setiap tapal kuda berjejak cukup dalam diakibatkan oleh hentakan yang kuat. Perlu kehati-hatian ekstra agar kuda tidak terjerembab ataupun terpeleset dan jatuh. Semak dan rerumputan yang semakin tinggi tersebab kawasan yang sangat jarang disentuh manusia itu tak menjadi penghalang Shaw dan Bold untuk mempercepat laju kuda mereka. Keduanya memilih area tanah yang lebih datar dengan rerumputan yang lebih rendah dan kering agar kuda dapat melaju lebih cepat.Kini mereka berhasil mencapai jarak 3/4 busur panah dari kaki gunung di titik mereka memanjat tebing, terus melajukan kuda sampai mencapai penuh ujung busur; sejajar dengan titik saat mereka memanjat tebing.Pandangan dan pendengaran ditajamkan sembari terus menghentak kuda. Pepohonan yang lebat dengan jarak cukup rapat membuat pemandangan sekitar tampak seperti potongan puzzle dengan kecepatan kuda mereka."Arah jam sebelas!!" Shaw berseru begitu melihat sang sosok memac
Apalah yang bisa semesta lakukan? Ketika hati masih terpaut pada orang yang sama, meski raga telah terpisahkan. Jarak yang teramat jauh membentang, beribu ruang dan pintu kokoh menjadi penghalang, pun waktu yang meragu beri kesempatan, disempurnakan takdir yang seakan lelah untuk kembali pertemukan.Apalah yang bisa semesta lakukan? Ketika atma yang merindu menolak untuk berhenti mengaum, ketika rasa dalam kalbu yang bergejolak menimbulkan gelombang ombak menolak untuk berhenti meraung.Adakah setitik harapan itu masih hidup? Sekecil kesempatan pun 'kan diterima, lebih dari cukup untuk menarik dua sudut bibir melengkung ke atas. Adakah benang merah itu masih terikat? Setipis benang layang pun tak masalah. Cukup untuk membuat nadi tetap dalam iramanya, menari di hamparan ladang bunga ... bertemankan kupu-kupu, capung, dan burung-burung.Rangkaian aksara di buku yang terbuka tak lebih dari pengalih atensi orang lain; barangkali ada yang melihat. Seme
Atmosfer terasa lebih ramah. Irama dari ranting-ranting dan dahan oleh angin terdengar lebih wajar dibandingkan tadi. Shaw makin yakin, semua karena Morth. Atmosfer, halusinasi, entah apa lagi yang Morth sebabkan. Satu pertanyaan besar dalam benak Shaw, siapa Morth sesungguhnya? Mengapa seisi jenggala sunyi hingga seluruh penjurunya seakan-akan berada di bawah kaki tangan Morth?“Kau pikirkan aku?” Morth tiba-tiba bertanya. Rupanya ia mengekori Shaw.Huh? Apa Morth juga bisa membaca pikiran?Shaw menengok ke belakang, langkahnya melambat. “Jangan katakan kau dapat menembus kepala orang.”“Kau banyak bertanya, belum tuntas seluruhnya.” Morth mensejajarkan diri. Sejenak, ia melihat Shaw dari atas ke bawah. “Orang keras kepala seperti kau tentu akan merenungkannya. Aku benar, bukan?”“Kita baru saling tahu beberapa saat lalu dan kau yakin sekali dengan kata-katamu. Antara kau pandai menilai atau hanya pandai berasumsi.” Shaw menggeleng. Pandangan ia tujukan ke depan.Morth menyentuh leng
Tanduk. Hal pertama yang dilihat oleh Shaw dari sumber suara adalah tanduk, tersembunyi di antara dedaunan semak belukar setinggi pinggang orang dewasa.Shaw mengernyit, kemudian bergumam lirih, nyaris tak bersuara, "Itu seperti tanduk rusa."Sepasang mata semerah darah terlihat dari celah dedaunan. Shaw menelan ludah. Ia tahu betul itu bukan mata hewan biasa, apalagi manusia. Tidak ada satu pun penduduk desa yang pernah ditemuinya memiliki mata seperti itu.Mungkinkah ini yang Fu maksud? Apapun itu, merasakan haki tidak biasa dari sang sosok misterius membuat Shaw merasa dirinya tidak boleh berlama-lama.Diliputi kewaspadaan dan dengan suara tercekat, ia berucap dalam hati, "Aku harus segera pergi dari sini."Tanpa melakukan pergerakan yang kentara serta dengan posisi kepala yang masih sama, tatapan Shaw menyisir sekitar; memastikan tidak ada keanehan lain. Ia yang semula berjongkok pun perlahan berdiri sepelan mungkin. Namun, bak lelah bermain petak umpet, ransel yang Shaw gendong m
"Tetap tidak bisa! Terlalu berbahaya. Kau kan tahu lebih baik daripada aku, Tibate." Fu mengangkat kepala, menatap lurus Tibate dan Baldor. Ini bukan waktu yang tepat, pikir Fu. "Lagi pula aku bisa menjaga diri. Akan kupanggil kalian jika hal buruk terjadi dan aku tidak bisa mengatasinya.""Kau bisa tinggal, Fu. Aku akan melanjutkan perjalananku seorang diri," sela Shaw, angkat bicara setelah menimang-nimang."Tidak―""Aku juga akan meninggalkan kudaku di sini." Shaw menepuk pundak Fu. Ia serius ingin Fu tinggal. "Bold bilang ada danau dan tebing. Jadi, aku tidak bisa membawa kudaku. Selain itu, kau bisa mengawasi keadaan hutan dan mengabariku. Kau juga terluka, Fu. Jangan bersikeras seolah kau baik-baik saja. Bagaimanapun kau juga masih anak-anak."Ini adalah tugas Shaw. Sejak awal, Shaw memulainya sendiri, dan ia harus melanjutkannya sendiri. Shaw tidak ingin merepotkan.Fu berdecak, tidak terima, tetapi juga tidak menyangkal ataupun menyanggah. Bertemu Baldor dan Tibate membuatnya
Pria berjanggut memperhatikan sambil mengusap-usap janggut dan kumisnya. Saat otaknya mengingat sesuatu tentang Fu, matanya seketika melebar."Kau ingin aku mencincangmu, hah?!" Tibate berseru.Setelah ikan bakarnya rusak, sekarang dirinya yang nyaris terbakar. Pria plontos itu tidak terima.Tibate menghentak tanah dengan kakinya, bergantian kaki kanan dan kaki kiri. Pegangannya pada gagang pedang semakin erat dan erat.Fu melompat mundur, mengambil sikap siaga dan meningkatkan kewaspadaannya. Ia siap dengan apapun yang akan Tibate lakukan untuk membalasnya.Sebelum Tibate menyerang balik, pria berjanggut yang masih menggenggam keranjang bambu itu berjalan ke depan Tibate, lalu berdiri memunggungi Fu dan Shaw."Kau mau dikutuk atau sudah bosan hidup?!" tanyanya."Apa maksudmu? Kalau kau hanya ingin aku berhenti memberi anak itu pelajaran, sebaiknya kau minggir!" balas Tibate."Kau tahu kau sedang berhadapan dengan siapa? Kau tidak berencana mengingkari janjimu pada Jenderal Besar, 'ka
"Apa kau sedang bercanda?" Tibate mendengus kasar. Ia tampak tidak suka.Pria plontos itu tahu dirinya sudah hidup lama, tetapi bukan berarti ingatannya menua. Ia tahu ingatannya masih berfungsi dengan sangat baik. Ia sangat meyakini itu."Aku tidak bercanda," sanggah Fu, berkacak pinggang. "Kau memberitahukannya sendiri padaku saat aku memberimu buah persik. Kalau kau masih tidak ingat, berarti ada yang salah dengan ingatanmu," imbuhnya.Buah persik?Tibate mengerutkan kening. Ia merasa tidak asing, tetapi tidak mengingat apapun."Sudahlah. Lebih baik kalian pulang sekarang, dan akan kuanggap ini tidak pernah terjadi," ujar Tibate seraya memasang wajah serius."Tidak bisa!" Shaw berseru. "Aku harus pergi ke tenggara!""Ya. Kami tidak bisa kembali ke desa saat ini," Fu menimpali.Tibate memukulkan ujung pedangnya ke tanah, menimbulkan gelombang angin yang kencang. Dedaunan dan batu kerikil tersapu, begitu pun Fu dan Shaw yang ikut terpental."Aduh ...." Shaw mengerang, berusaha bangun
Menjelang pagi, suara kehidupan awal sekali menggaung. Beberapa penduduk desa sudah mulai melakukan aktivitas mereka. Sebagian di dalam rumah, sebagian di luar rumah.Satu di antara manusia yang telah lepas dari peraduannya adalah Wilton. Ia bertugas pagi kali ini."Selalu rajin, ya." Zander berkomentar. Kuda-kuda di kandang bersuara antusias saat Zander memberi mereka makan."Tidak juga. Aku hanya tidur cukup nyenyak semalam, dan tubuhku merasa lebih segar saat aku bangun. Jadi, ya, mungkin lebih bersemangat," sahut Wilson seraya terkekeh kecil."Padahal kau hanya tidur sebentar, 'kan, semalam," Celetuk Zander. Tangannya cekatan melipat karung-karung rumput yang sudah kosong.Wilton tersenyum cerah menanggapinya. Ia memeras kain yang dipakai untuk mengelap kuda yang akan ia pakai untuk mengantar Bailey ke sekolah."Sebentar pun tetap saja namanya tidur, Zan," kata Wilton, keluar dari kandang sambil membawa kain basah dan ember hitam kecil."Ya, tidak salah."Suara derap kaki nyaring
"Ada yang menarik perhatianmu, Vid? Aku sampai mengantuk menunggumu." Bailey menimpali."Ah, maaf maaf .... Tadi ada yang harus kulakukan. Ada sesuatu! Jadi, aku kembali lebih lama," ujar Avidius seraya tersenyum canggung.Avidius adalah cucu Barid. Ia satu sekolah dengan Leonere."Sesuatu apa?" Leonere bertanya.Avidius, remaja berkulit putih kemerahan dengan senyum manis dan lesung pipi itu mengeluarkan sebuah kain merah dari saku pakaian di balik jubahnya. Saat kain dibuka, Leonere dan Bailey membulatkan mata melihat benda yang terpampang di sana."Bukankah itu—" Kata-kata Leonere terhenti. Ia mendekat tergesa dan memegang benda yang ditunjukkan Avidius. "Ini kan ....""Dari mana kau menemukan itu?" tanya Bailey yang juga mendekat.Avidius melirik ke arah belakang sesaat, memastikan sekitarnya aman. Senyumnya pudar seketika."Dari hutan barat laut. Aku menemukannya tadi," bisik Avidius, tampak serius.Bailey dan Leonere tercengang lalu saling menatap. Pikiran keduanya seolah tersam
"Tidak ada yang gratis," sahut Fu seraya menyeringai tipis.Shaw berdecak. "Kubayar dengan manisan.""Apa itu? Tidak cukup! Informasiku sangat mahal, kau tahu.""Ck, kubayar dengan makanan lain. Kau bebas memintanya, dan aku akan membuatkannya untukmu," tawar Shaw.Fu menyeringai penuh kemenangan kini. Sebuah siasat terlintas di benaknya."Bisa dipertimbangkan," kata Fu. Sesaat kemudian seringai di wajahnya hilang, berganti raut serius. "Kurangi kecepatan kudanya. Melewati batang pohon besar di depan itu, buat kudanya berjalan biasa.""Huh? Oke."Shaw percaya pada Fu. Ia mengikuti instruksi Fu tanpa ragu.Pohon-pohon besar yang dimaksud Fu berada 20 meter dari mereka. Warna pohonnya gelap, seolah melambangkan sesuatu yang misterius dan tampak mati. Pepohonan itu seakan telah terbakar. Meski begitu, dedaunannya sangat rimbun.Melewati dua pohon besar tersebut, kuda memasuki jenggala yang lebih gelap dan sunyi dari sebelumnya. Sekeliling tampak benar-benar gelap dengan aura yang terasa
"Ya sudah." Eroth menghela napas.Selain belajar bersikap baik pada budaknya, Eroth pun belajar untuk tidak memaksakan kehendak. Ya, itu sungguhan, bukan sandiwara yang dibuat-buat.Di depan mereka, Aaban mendengarkan dalam diam. Komandan itu sibuk dengan pikirannya.Menjelang ujung dari jenggala ketiga, Fu tiba-tiba berujar. Suaranya terdengar serius di telinga Shaw."Berhenti, Shaw."Shaw menghentikan laju kuda dan melirik Fu. "Ada apa?""Kita ambil jalan lain," tukas Fu."Kenapa? Ada apa dengan jalan ini?""Ada sesuatu di depan. Hakinya tidak jauh berbeda dengan Kaye dan teman-temannya.""Ha?"Shaw menatap lurus, lalu memejamkan mata. Ia mencoba merasakan haki di depan, tetapi tidak merasakan atau melihat apapun."Aku tidak merasakan apapun," kata Shaw seraya membuka mata.Fu berdecak dan memegang kedua pundak Shaw. Aliran haki mengalir dari tangannya."Coba lihat lagi," kata Fu. Shaw mengiyakan.Bayangan sosok berjumlah lebih dari 10 terlihat di kejauhan di depan, dengan haki yang