“Apakah Anda terluka, Tuan muda?” Bexter bertanya sambil memindai keadaan Bailey.
“Aku tidak apa-apa, Bexter, tapi kudaku sepertinya tidak bisa berdiri.”
Bailey melirik sosok misterius yang tersisa. Satu prajurit mengunci kedua tangan sosok tersebut dengan rantai. Sesaat mata keduanya bersirobok saat sang sosok didorong untuk berjalan, melewati Bailey. Keempat sosok lain yang sudah tidak bernyawa digendong di pundak oleh empat prajurit berbadan kekar.
“Biar prajurit membawa kudanya ke mansion nanti. Tuan muda, oh! Leher Anda terluka!”
Seruan Bexter memancing atensi prajurit lain dan dalam sekejap ketegangan tercipta. Satu dua dari mereka meneguk ludah, lainnya berusaha bersikap biasa.
Bailey meraba lehernya, melihat darah di tangannya dari luka itu.
“Hanya luka kecil, tidak usah khawatir. Cukup tidak memberitahukannya pada orang lain, maka ini tidak akan jadi masalah.”
Bailey tahu apa yang akan terjadi. Meskipun luka di lehernya cenderung tipis, tidak besar dan dalam, masalah tetap akan timbul.
“Tapi, Tuan Muda ….”
“Turuti kata-kataku kalau tidak ingin sesuatu terjadi pada kalian. Ayah mungkin akan mempertimbangkan dirimu, Bexter, tapi aku tidak jamin akan berlaku sama pada orang-orang yang datang bersamamu.”
“A ….”
Memang itu yang memenuhi pikiran Bexter. Ia merutuki diri karena terlambat datang. Hukuman pantas dijatuhkan untuknya. Di sisi lain, akan terlalu dalam sesal baginya kalau para prajurit yang datang bersamanya harus mengalami hal serupa atau mungkin lebih buruk.
“Baiklah. Maaf dan terima kasih, Tuan Muda.” Sepenuh hati Bexter mengatakannya.
Bexter lekas menunggangi kudanya.
“Silakan naik, Tuan Muda.”
Bailey menyarungkan pedang dan mengambil anak panah, lalu menaiki kuda yang ditunggangi Bexter.
Tatap khawatir Ascal menyambut begitu Bailey memasuki mansion. Hampir saja Bailey bertanya, 'Anda siapa?' karena terlalu terkejut dengan reaksi Ascal. Namun, tidak ada kata-kata yang keluar baik dari mulut Bailey maupun Ascal.
Melalui Jillian, Ascal melarang Bailey untuk pergi lebih jauh sementara waktu tersebab penyelidikan masih berlangsung. Sesudah penyelidikan selesai, memastikan tidak ada lagi tahanan yang kabur ataupun prajurit yang berkhianat, melalui Jillian pula Ascal mengizinkan Bailey pergi ke luar distrik Aloclya lagi karena Bailey terus merengek pada ibunya.
Terkadang Ascal berpikir bahwa mengizinkan Bailey tentang suatu hal adalah keputusan yang kurang tepat. Semua karena putranya itu akan datang lagi setelahnya dengan permintaan izin untuk hal yang lebih besar. Jillian akan selalu meledek tiap kali Ascal mengomel tentang itu. Seperti saat ini.
“Sudahlah ... biarkan saja. Kau dulu juga begitu dan kau sama tidak sukanya ketika keinginanmu dipersulit,” kata Jillian, berkomentar usai puas tertawa, duduk di depan meja rias seraya menyisir rambut. Berperantarakan cermin, mata Jillian sesekali melirik Ascal yang terduduk di peraduan sembari membaca buku.
“Kau selalu menggunakan itu,” balas Ascal tanpa menoleh.
“Aku tidak akan menggunakannya kalau itu tidak benar, tetapi faktanya selalu mengatakan iya. Bailey persis sepertimu dalam banyak hal. Kalau saja aku lupa bahwa kau sudah dewasa, aku pasti akan berpikir Bailey adalah dirimu setiap kali aku melihatnya.”
“Baiklah … baiklah, kuizinkan. Besok pagi kau sampaikanlah padanya.”
Ascal menutup buku, menaruhnya di nakas dan berbaring. Ia menatap Jillian yang berdiri dan berjalan menghampiri, lalu menjatuhkan diri di sebelahnya.
“Besok aku akan langsung ke dungeon. Tahanan itu masih tidak mau buka mulut. Ada beberapa hal yang ingin kutanyakan sendiri sebelum eksekusi jatuh padanya. Aku akan makan sekembalinya dari sana.”
Ascal menarik selimut sebatas dada dan memejam.
Jillian berbaring menghadap Ascal. Lekat-lekat ia tatap suaminya. Andai hatinya bisa bicara selantang mulut atau setidaknya bisa didengar orang lain, siapa pun, si pendengar pastilah akan sering mendengar senandung puisi kesedihan darinya.
Bukan Jillian menyesal atas keputusannya menikahi Ascal, ia tahu benar itu adalah keputusan yang tepat, menurutnya. Namun, pengandaian yang acapkali bertandang menjatuhkan dirinya lagi dan lagi pada titik sendu yang pahit.
Tidak jauh berbeda dengan Ascal, Jillian pun masih kerapkali melanglang ke masa lalu, menggemakan dua nama dalam hatinya bersama rindu dalam sayatan kepedihan. Tidak peduli betapapun indah kenangan yang diingat ketika menggaungkan dua nama itu, pada akhirnya Jillian selalu menangis.
Tidak ia tunjukkan di depan orang lain, tentu saja. Jillian harus terlihat tegar di depan orang lain, termasuk Ascal, walau air mata akan ia biarkan meluruh jika Ascal tidak melihatnya.
“Hao Yi ... Maru.” Jillian membatin, lirih nan sendu, membiarkan satu dua tetes air mata meluruh, kemudian ia memejam.
Rindu memanglah indah. Namun, terasa kejam bagi beberapa orang. Harap terobati dengan temu, fakta justru membawa pada bayang semu. Tidak bisa diraih, tidak jua bisa digenggam. Hanya bisa diingat dan ditangisi. Irama senandung yang syahdu lagi pilu membahana tanpa suara, mengguncang sukma yang makin meraung. Teringin diri mendekap raga sang pemilik rindu, tetapi hanya mampu menyentuh fatamorgana.
Pagi menjelang, rona Jillian telah kembali seperti sedia kala. Sesekali ia terkekeh menyaksikan Bailey menyantap sarapan. Kegiatan yang menunggu telah mempercepat tempo sarapan Bailey.
Usai sarapan, Bailey segera pergi ke kamarnya. Dalam sekejap ia sudah keluar lagi.
“Bu, aku pergi dulu.”
“Hum. Hati-hati!”
“Tentu!”
Satu pelukan singkat Bailey berikan pada Jillian, kemudian bergegas keluar melalui pintu samping rumah dan berlari ke kandang kuda.
Jillian beranjak ke samping rumah di sisi yang lain, menghampiri seseorang yang terduduk di salah satu dahan, tersembunyikan oleh rindangnya dedaunan dan cabang-cabang dahan lain.
“Ikuti!” titah Jillian lirih tanpa menoleh.
Seperti tidak ada apa-apa, Jillian memetik bunga lavender di taman dekat pohon itu. Sang sosok menunduk sesaat melihat Jillian mendekat, lalu mengangguk kecil mendengar titah yang diberikan padanya. Segera ia melompat dari dahan, keluar pagar secepat kilat.
Jillian membawa masuk bunga-bunga lavender yang ia petik, mencuci dan menaruhnya di beberapa vas bunga. Bunga-bunga yang ia cabut dari vas ia bawa keluar, meminta tukang kebun menaruhnya di tempat limbah untuk pupuk.
Sesudah itu, Jillian pergi ke gazebo di halaman belakang, menghampiri Selise dan putrinya. Ia mengambil alih Bariela, mendudukkannya di pangkuan agar Selise bisa pergi untuk sarapan.
“Ipuuu!”
Bariela memainkan pipi Jillian sambil meracau. Jillian menanggapinya dengan kekehan.
“Itu namanya bunga matahari.”
Jillian mengangkat tangan kanan Bariela, menunjuk pada hamparan bunga matahari di samping gazebo. Sekelumit kenangan terlintas di ingatan, Jillian terdiam.
“Kau tahu? Bunga matahari itu cocok untukmu,” ujar seorang remaja lelaki yang duduk di bawah pohon, menunjuk hamparan padang bunga matahari di depannya.
“Benarkah? Mengapa?” Remaja perempuan di sampingnya bertanya.
“Bunga matahari bisa membantu menangkal radiasi, membuat udara di sekitarnya menjadi lebih bersih. Sepertimu.” Sang remaja laki-laki mengulas senyum. “Kau selalu bisa membuat suasana menjadi cerah dan hangat. Kehadiranmu membawa atmosfer yang bagus hingga membuat orang-orang menemukan senyum mereka lagi.”
“Be … begitukah?" Remaja perempuan bertanya lagi dengan suara yang lebih pelan. Tersipu ia, menahan gugup seiring semburat merah muncul di kedua pipi.
“Nyonya, ini tehnya.”
Suara kepala pelayan menarik atensi Jillian. Tersadar ia dari lamunan.
“Eh? Ah, ya, terima kasih, Bibi.” Jillian tersenyum kikuk.
Myriam, sang kepala pelayan, memandang bingung pada reaksi dan pipi Jillian yang merona, tetapi kemudian mengerti ketika menyadari Jillian tengah duduk menghadap hamparan bunga matahari.
“Sama-sama, Nyonya. Kalau begitu saya permisi.”
Myriam menundukkan kepala sekilas. Tata krama bagai lem yang melekat padanya.
“Bibi Myr ….”
Panggilan Jillian mencegah Myriam yang hendak berbalik.
“Iya, Nyonya?”
“Apa Bailey sudah pergi? Bagaimana Ascal? Dia sudah pulang?”
“Tuan Muda baru saja pergi dan Tuan Besar sudah pulang. Tadi saya lihat pergi ke ruang kerjanya bersama Profesor Baldric.”
Jillian mengangguk. Myriam kembali pada aktivitasnya. Di detik berikutnya, Jillian tersadar kalau Bariela tidak lagi ada di pangkuannya, begitu pun di dalam gazebo.
“Bariela?!”
Jillian berdiri, mengedarkan mata ke sekeliling dengan panik. Tidak lama dari itu, ocehan Bariela terdengar.
“Mataali … mataali.”
Jillian hampiri sumber suara sambil memperhatikan tiap celah tangkai bunga di sekeliling, lalu dilihatnya Bariela terduduk dengan kedua tangan menyentuh-nyentuh bunga matahari.
“Oh, kau membuat Ibu khawatir.”
“Mataali … mataali.”
Jillian berjongkok, membiarkan dan menemani Bariela memainkan bunga matahari dan terus berceloteh. Baru ia gendong dan bawa Bariela ke gazebo saat merasa matahari sudah meninggi bersamaan Selise yang kembali dari kegiatan paginya.
“Ada sesuatu yang terjadi? Tidak biasanya kau pergi cukup lama dan kembali dengan wajah kusut.”
Jillian menyesap tehnya.
“Teresa meminta saya untuk menemaninya pulang sebentar, lalu saat hendak kembali, kami melihat kerumunan di alun-alun. Ternyata ada seseorang yang telah mendapat penggal kepala dan itu membuat saya mual karena sedang makan kue ketika tidak sengaja melihat kepala yang tergantung itu.”
“Kau makan kue sambil berdiri?”
Selise mengangguk lesu. Masih tercetak jelas di pikirannya, bayangan kepala yang digantung di alun-alun. Sesaat kemudian ia bergidik.
“Siapa suruh makan sambil berdiri.” Jillian berujar enteng, setengah menegur setelah meledek, lalu terkekeh melihat wajah Selise yang makin kusut.
Selise mengambil tempat di dekat Bariela. Kelopak bunga matahari berceceran di sekitar bocah itu. Ketiganya menghabiskan waktu di gazebo sampai matahari meninggi. Rengekan Bariela yang ingin buang air mengusaikan cerita panjang lebar Selise dan Jillian, juga mengakhiri waktu bersantai mereka di gazebo.
“Nyonya akan merajut lagi?” tanya Selise sambil menggendong Bariela, mengiringi langkah Jillian yang membawa peralatan menyulam di tangan.
“Hum. Kau mau belajar?”
“Bolehkah?” Binar antusias terpatri di wajah Selise saat ia bertanya.
“Tentu saja.”
Merasa bosan setelah makan siang dan tidak ada sesuatu pun terlintas di benak untuk melakukan apa, Jillian menghampiri peralatan rajutnya.
Di gazebo halaman samping mansion, Jillian mengajari Selise.
Pengalaman mengajar seseorang di masa lalu lebih memudahkan Jillian dalam mengarahkan Selise. Cermat ia memperhatikan gadis itu merajut sembari tangannya sesekali menepuk-nepuk pelan Bariela yang terlelap di tempat tidurnya. Sebuah kasur kecil lengkap dengan bantal dan selimut tergeletak di sebelah Jillian, diambil Selise kala Bariela mulai mengantuk.
“Rajutannya jangan terlalu rapat atau terlalu longgar. Samakan,” instruksi Jillian.
Selise mengangguk, fokus pada rajutannya yang sudah cukup panjang.
Merasa ada pergerakan, Jillian menoleh ke arah depan mansion. Tepat ketika itu, tatapannya bersirobok dengan sepasang mata dari wajah yang setengahnya tertutup serban. Jillian menyipit, menajamkan pandang, lalu terpaku beberapa saat, bahkan ketika mata itu sudah berpaling. Merasa familier, mata Jillian membulat sempurna di saat berikutnya.
Jillian berdiri, berlari ke depan mansion. Sayang, ia terlambat karena sang empunya mata sudah tidak di sana.
“Bu?”
Suara di belakang samping menyadarkan Jillian. Ia menoleh dan mendekat.
“Bailey, siapa yang memakai sorban itu?”
“Itu Shaw.”
“Shaw?” Jillian masih setengah terbengong.
“Iya. Ada apa, Bu? Ibu sampai berlari ke sini.”
“Tidak ....” Jillian mengerjap beberapa kali. “Tidak ada apa-apa. Masuklah, kau pasti lelah.”
Jillian mengulas senyum, mengusap kepala Bailey sebelum kembali ke gazebo. Sambil berjalan, sejenak ia memegangi dadanya, menggumamkan sebuah nama beriring debar yang tiba-tiba bergejolak.
“Hao Yi ….”
“Bentuknya seperti peti. Kau tahu ini apa, Bold?”Benda di tangannya Shaw sodorkan pada Bold agar dapat melihat lebih jelas. Mereka masih di gudang.“Kurasa memang peti. Ada tempat kunci, lihatlah.” Bold menunjuk satu lubang kecil di tengah benda itu.“Tapi tidak ada kuncinya.”“Mungkin kakek dan nenekmu tahu.”“Hmm ... benar juga.”Lesu Shaw menanggapi perkataan Bold barusan. Kakek dan neneknya mungkin tahu, tetapi masalahnya adalah apakah mereka akan memberikan kunci itu padanya jika mereka tahu dan memilikinya? Sisi muara pikiran buruk dan cemas menghinggapi isi kepala Shaw. Gundah ia dibuatnya.“Eeeehhhh ... kenapa masih di situ?”Satu dari dua yang baru saja dibicarakan datang. Panjang umur Gracie yang muncul dari pintu, mencari keduanya.“Ayo, masuk. Hari sudah gelap.”Shaw dan Bold saling berpandangan sesaat, lalu berjalan mengikuti Gracie.Bold agak canggung, tetapi perlakuan hangat kakek nenek Shaw perlahan mencairkannya. Ia bahkan ikut bersenda gurau saat makan malam bersama.
“Dasar lambat! Ayo, cepat!”Ctash!“Ba … baik, Tuan.”“Lebih cepat lagi! Dasar anak pemalas!”Tungkai yang gemetar melangkah terseok-seok. Rantai dengan bola logam di kedua kaki tidak beralas memberatkan langkah, ditambah sebuah karung yang memperparah sampai raga membungkuk.Aksi tidak menyenangkan mata tersebut tertangkap pelupuk mata Shaw. Ia berbelok ke sana. Bold yang sedikit terkejut sigap mengikuti. Kedua orang yang mengganggu pemandangan Shaw itu menghentikan diri dan menoleh pada kehadiran yang tak diundang.Terlihat jelaslah oleh Shaw, seorang anak berkulit sawo matang lagi kurus yang terlihat begitu tersiksa, tetapi berusaha tidak menunjukkan. Di hadapan samping kiri Shaw, seorang pria dewasa yang Shaw taksir usianya sekitar 40-50 tahun.“Siapa kau?” Sang pria dewasa bertanya setelah mengamati Shaw dari atas ke bawah, lalu pandangannya berganti pada Bold yang baru datang.Mengetahui yang mendatanginya adalah prajurit elite tersohor, sang pria mematung di tempat. Pikirannya m
Luka di telapak kaki Mival selesai diobati dan dibalut perban. Shaw melepas sandal yang ia kenakan, memakaikannya ke kaki Mival.“Kau anak yang kuat, Mival. Kau sangat tangguh!” puji Shaw, menepuk pelan betis Mival dua kali seraya tersenyum cerah.“Sebentar ….”Shaw mencuci tangan juga kotak makannya ke sungai, kemudian memasukkan kotak makan ke dalam ransel setelahnya dan kembali.Mival merasa pipinya basah. Ia mengangkat tangan, mengusap dengan jemarinya. Ketika air matanya berderai lagi dan lagi, Mival menutup matanya dengan punggung tangan kanan.Shaw duduk di tempatnya, menatap Mival di samping dengan senyum dan membawa anak delapan tahun itu ke dalam dekapan.“Kau hebat, Mival. Orang lain belum tentu bisa bertahan sampai sekarang sepertimu,” ujar Shaw lirih.Bold terdiam memperhatikan. Ia masih belum terbiasa membuka diri dan memeluk orang lain.“Masa depanmu pasti cerah. Kau tidak boleh putus asa. Semuanya akan membaik,” tutur Shaw lembut sambil mengusap-usap punggung Mival. Ana
Laci dibuka, Bailey mengambil pena dan buku catatan berukuran kecil, lantas menuliskan rentetan kejadian yang ia ingat sejak beberapa hari sebelum penyerangan, saat perang, nama-nama yang ia curigai beserta alasannya, orang yang mengusulkan dan mendesak penundaan hukuman mati di rapat, dan laporan-laporan yang masih ia ingat beserta nama-nama pelapornya. Selesainya, pena ia taruh dan melanjutkan membaca.“Dua prajurit itu, terkadang aku melihat mereka berjaga di area tahanan tetua. Maksudku, para orang tua, jeruji-jeruji di lorong yang kau lewati saat Shaw dihukum. Terkadang aku hanya melihat satu dari mereka, terkadang keduanya. Kalau dipikir-pikir, bukankah seharusnya mereka tidak sesering itu berjaga di tempat yang sama? Bukankah begitu peraturannya? Setidaknya itu yang kutahu dari seorang prajurit yang pernah kutanyai.”“Hum, memang begitu.” Bailey membenarkan, menulis lagi di buku catatan.“Aku juga pernah mendengar mereka membicarakan tahanan-tahanan tetua itu. Kalau kau lupa tah
Lampu-lampu ruangan telah menyala, kontras dengan gelap yang terpampang di luar jendela. Baru Bailey sadari kalau hari sudah malam. Ia pergi ke dapur. Pelayan dan koki di sana menengok dengan desir kejut menjalar.“Tu … Tuan Muda, apa yang Anda lakukan di sini? Anda membutuhkan sesuatu?” Itu Dexter sang koki. Ia meletakkan piring berisi olahan ayam di meja dan menghampiri Bailey sembari mengelap tangan. Para pelayan menundukkan pandangan sekilas dan melanjutkan kegiatan.“Aku haus,” jawab Bailey, mengambil gelas.“Ah, sebentar, biar saya ambilkan.”Dexter bergegas mengambil gelas, tetapi langkahnya terhenti karena Bailey sudah lebih dulu mengisi gelasnya.“Tidak usah, Dexter, terima kasih. Ini hanya air putih,” ujar Bailey seraya mengangkat gelas berisi air putih di tangan.Sambil membawa gelas, Bailey keluar dapur, mendudukkan diri di kursinya, membiarkan para pelayan menghidangkan makan malam di meja dengan gugup. Tentu saja gugup. Belum tepat jam makan malam, tetapi tuan muda mereka
“Perapian sudah siap!”“Woaaahhhh, Bold hebat! Cepat sekali!”Mata berbinar Mival terarah lurus pada Bold dan perapian di depan prajurit jagur itu. Mival belum pernah membuat api secepat itu, apalagi di malam hari yang udaranya dingin. Meski memakai pemantik pun, Mival belum bisa secepat Bold menyalakan api dan membuatnya menjadi api unggun kecil.“Hmm ... bekal yang Nenek siapkan cukup banyak, tapi tidak dengan jenisnya. Jadi, makanan kita malam ini sama seperti tadi siang dan ini cukup sampai besok malam, tapi minumnya kurasa akan lebih cepat habis.”Shaw menghampiri Bold dan Mival di dekat perapian, meletakkan ransel, dan mengeluarkan tiga kotak makan serta botol minum.“Tidak masalah. Masih ada buah-buahan, 'kan? Kalau kurang, kita bisa mencarinya. Di hutan luar desa ada banyak pohon buah. Ikan pun melimpah di sungai.” Bold menenangkan.“A … apa itu?”Mival yang asyik menyimak tidak sengaja melihat benda berwarna putih di ketinggian.Shaw dan Bold mengikuti arah pandang Mival dan m
“Hmm ... lantas, satu halnya lagi?”Ascal tidak ingin menahan Bexter lebih lama karena hari sudah sangat larut, pun tahu besok asistennya itu akan siaga dengan jadwalnya di pagi buta. Mengenal dan bersama cukup lama membuat Ascal sangat paham bagaimana seorang Bexter Larson. Ascal ingin Bexter mendapat cukup istirahat agar tubuhnya prima, juga agar dapat bekerja dengan maksimal.Bexter yang memahami respon Ascal pun tidak membuka lebih banyak bahasan. Ia mengeluarkan sebuah kotak kayu kecil dari saku dan menaruhnya di meja.“Ini, Tuan.”Ascal meraih kotak itu dan membukanya. Ada sebuah robekan syal berwarna marun dan secarik kertas di dalamnya.“Itu adalah kotak yang saya temukan di saku perompak yang terakhir itu.”Ascal mengambil secarik kertas, membaca tulisan yang tertera di sana.“Little Shark of Zanwan & bloody night of Viking?” Kening Ascal mengernyit, menatap Bexter. “Interaksi antara para viking ini dengan penduduk Zanwan yang kuingat hanya dua. Beberapa hari lalu dan saat per
Tanah yang lembab membuat tapal kuda berjejak cukup dalam diakibatkan oleh hentakan yang kuat. Perlu kehati-hatian ekstra agar kuda tidak terjerembab ataupun terpeleset dan jatuh. Semak dan rerumputan yang makin tinggi tersebab kawasan yang sangat jarang disentuh manusia itu tidak menjadi penghalang bagi Shaw dan Bold untuk mempercepat laju kuda mereka. Keduanya memilih area tanah yang lebih datar dengan rerumputan yang lebih rendah dan kering agar kuda dapat melaju lebih cepat.Mereka berhasil mencapai jarak 3/4 busur panah dari kaki gunung di titik mereka memanjat tebing, terus melajukan kuda sampai mencapai penuh ujung busur; sejajar dengan titik saat mereka memanjat tebing.Pandangan dan pendengaran ditajamkan sembari terus menghentak kuda. Pepohonan yang lebat dengan jarak cukup rapat membuat pemandangan sekitar tampak seperti potongan gambar dengan kecepatan kuda mereka.“Arah jam sebelas!” Shaw berseru begitu melihat sang sosok memacu kudanya ke selatan di arah jam sebelas.Bold
Kilau cahaya pohon dan jalan memandu Bailey ke kaki gunung sisi utara, melewati area yang Bailey datangi tempo lalu bersama Shaw dan yang lain pada malam operasi penambangan ilegal. Semak belukar lebih tinggi, lalu ketika Bailey sampai di timur, menuju belokan ke tenggara, kilau cahaya kemerahan berkelap-kelip di depan.Bailey segera menghentikan laju kudanya.“Profesor bilang warna lain selain hitam dan putih akan cenderung samar, tapi merah itu terlalu jelas,” gumam Bailey.Menggeser fokus tatapannya, Bailey menemukan lebih banyak siluet merah dengan haki yang menguar di dalam sebuah gua. Bailey mengamati sekitar lebih jeli. Terlihat oleh matanya dinding seperti kubah di atas.Bailey menyalurkan hakinya ke kuda, tetapi tetap menyamarkannya, kemudian membuat kuda berderap pelan dan santai. Sang kuda bagai berjalan di atas angin; tidak ada suara yang terdengar tiap kali kakinya memijak.Mendekati gua, Bailey turun dari kuda. Ia ikatkan tali kuda ke sebuah pohon, kemudian melanjutkan d
Aaban mengangguk, kemudian beralih tatap pada prajurit yang tadi membawakan kuda.“Buka gerbangnya.”Sang prajurit mengangguk patuh, kemudian berlari menuju pos jaga di sisi salah satu gerbang. Model pos agak tinggi dari permukaan tanah, jadi, ia mendongak dan berseru pada prajurit yang berada di pos.“Buka gerbangnyaaaa!”Prajurit di pos segera menjalankan perintah. Engsel gerbang segera berbunyi, lalu gerbang berderit, perlahan terbuka seiring Bailey menunggangi kuda.“Hati-hati, Tuan Muda!” kata Aaban.Bailey mengangguk. “Aku pergi.”Prajurit yang berseru pada prajurit di gerbang menyingkir, kembali ke sisi Aaban. Bailey menghentak tali kuda, melewati gerbang begitu gerbang terbuka lebar.“Tuan Muda sangat berani dan cerdik,” celetuk prajurit di sisi Aaban. Ia memandangi kepergian Bailey dengan binar takjub di matanya.“Dia putra pemimpin Zanwan. Keberanian dan kecerdikan akan bagus untuk menjadi bagian dari dirinya,” kata Aaban sambil memandangi Bailey yang menjauh, membelah padan
Matahari telah terbenam di ufuk barat. Malam telah bertakhta. Dinginnya udara menerpa Zanwan sedingin suasana di meja makan mansion Hunt.“Wilton, di mana Bailey?” Jillian bertanya.Piring-piring masih terisi, belum habis setengah hidangan di atasnya. Satu kursi di meja makan, kursi yang biasa diduduki Bailey, kini kosong. Wilton berdiri di belakang samping kursi tersebut.Pelayan mengatakan Bailey tidak ada di kamarnya beberapa saat lalu. Sebentar sebelum duduk ke kursinya, Jillian pun mengecek kamar Bailey, hanya menemukan ruangan kosong. Sampai Ascal tiba, Bailey belum juga muncul. Tak ayal Ascal memanggil Wilton.“Tuan Muda ….” Wilton bicara serupa suara bisikan di keramaian, nyaris tidak terdengar saking lirihnya.Jillian mengerjap. Ia melirik Wilton sambil makan. Wilton terus menunduk, bahkan tidak kunjung menyelesaikan bicaranya. Ascal berganti melontarkan tanya tanpa menoleh.“Wilton, di mana Bailey?”“Tuan Muda pergi ….” Wilton masih serupa anak kecil yang bersembunyi.“Wilto
Bailey manggut-manggut. “Aku tidak mengira kalian akan mengajukan pertanyaan semacam itu, bahkan tidak mengira kalian akan pernah menghiraukan hal semacam itu. Terima kasih, kurasa.”Senyum terukir di hati Bailey. Sebuah kabar gembira bagai menggema di dalam dirinya. Begitu pula yang dirasakan Otto dan Milo. Bailey menyambut baik, tentu itu kabar besar yang membahagiakan. Sekali lagi, perkiraan mereka salah. Sepertinya Bailey tidak mendengar pembicaraan mereka di kelas atau mungkin mendengar, tetapi tidak mempermasalahkan, dan itu membuat kegembiraan mereka kian bertambah.“Sanjungan lebih pantas untukmu,” kata Milo.Bailey merespon itu dengan senyum kecil. Otto dan Milo mengerjap, segera berpikir apakah mereka salah lihat. Namun, mereka dapati bahwa mereka tidak salah lihat. Bailey memang tersenyum. Senyum itu, Bailey tujukan kepada mereka.“Aku mulai dari pertanyaan pertama, ya,” kata Bailey, kemudian menghirup udara sejenak.Otto dan Milo mengangguk dan memasang telinga baik-baik.
“Kau mendengarnya?” Otto bertanya dengan wajah memucat. Suaranya amat pelan sampai nyaris tidak terdengar.Milo mengangguk kecil dalam gerakan patah-patah dan sarat keraguan. Ekspresi pada wajahnya tidak jauh berbeda.Kepala mereka kemudian bergerak bersamaan, berpaling tatap ke baris terdepan, lalu mereka melihat Bailey beranjak dari duduknya, pergi keluar.“Apa Tuan Muda mendengar pembicaraan kita?” Milo bertanya dalam suara lebih rendah, serupa bisik-bisik yang mungkin saja akan hanyut terbawa angin.Otto menggeleng. Bukan jawaban meyakinkan, hanya harapan bahwa itu adalah kenyataan yang terjadi.“Kalau benar, semesta mungkin tidak akan berpihak pada kita setelah ini,” kata Otto.Cemas menyerang Otto. Kalau Bailey benar mendengar pembicaraan mereka, apakah kali ini Bailey akan tersinggung? Kesal? Emosi dan apa pun yang lebih buruk?“Kurasa kita sebaiknya bergegas?” Milo melirik Otto.“Itu keputusan paling baik.” Otto berdiri.Milo memasukkan buku catatan yang baru sebentar ia baca
“Katakan saja,” ucap Bailey di sela makannya.Bailey tahu dua anak lelaki ini takkan mendatanginya kalau hanya untuk makan. Ada meja-meja kosong lain yang siap untuk ditempati, pun keduanya belum pernah begitu pada Bailey sepanjang sejarah bersekolah walau satu kelas dengan Bailey.“Kami … agak … penasaran. Apa Tuan Muda akan mendaftar untuk turnamen?” Otto Atrius yang duduk di sebelah Milo bertanya. Bibir merah cerahnya berulang kali mengatup dan terbuka setelah pertanyaan diajukan. Otaknya berpikir apakah pertanyaan itu sudah pas atau tidak.“Turnamen umum, maksudmu?” tanya Bailey.Otto mengangguk. “Kami dengar-dengar tahun ini murid yang terpilih untuk mewakili sekolah boleh mendaftar turnamen umum. Kami juga baca informasinya di mading pagi ini.”“Kalau terpilih mewakili sekolah, lalu mendaftar di turnamen umum dan ternyata lolos dalam keduanya ke final, terlebih keluar sebagai juara di peringkat satu, akan otomatis mendapat tiket emas dan bonus berlipat.” Milo turut bicara setela
“Ayah dan Ibu bawa apa? Itu terlihat banyak sekali!” Shaw mengamati tas-tas belanjaan dengan antusias. Salah satu isi yang tertangkap matanya adalah pakaian.“Oh, ini untuk putra Ibu yang paling manis!” Suara wanita menjawab.“Asyik! Pakaian, ya?” tanya Shaw.“Betul. Ada mainan juga!” Suara pria yang bicara.“Horeeee … mainan!” Shaw berseru gembira. Kebahagiaan meluap-luap pada suaranya.Di atas kaca, Shaw gemetar. Ia tidak mengira danau kaca keyakinan akan menampilkan momen seperti itu. Ia kira itu hanya akan berkisar perjalanannya, rencananya dengan Bailey, tantangan yang dihadapi dalam upaya mewujudkan impian tentang Zanwan. Namun, apa yang ia dengar sepenuhnya berbeda. Sama sekali tidak ada dalam bayangannya. Tidak sedikit pun.Mata Shaw bergetar. Air makin banyak di sana, lalu tumpah kala Shaw dengar suara yang sangat familier.“Shaw, jangan melompat-lompat tinggi begitu.” Itu suara Spencer, terdengar riang dan penuh kasih.“Shaw gembira sekali sepertinya.” Gracie menyusul bicara
“Ini danaunya.”Shaw sampai di ujung hutan lain setelah dari hutan sunyi dan melewati padang rumput. Di hadapannya membentang danau jernih yang berkilau, besar dan luas yang tidak mampu Shaw ukur dengan pasti. Ia perkirakan luasnya sama atau bahkan melebihi lapangan alun-alun distrik Acilav.“Sampai di danau itu, cara paling cepat untuk melewatinya adalah membelahnya. Menyeberanginya,” kata Fu dalam pesannya sebelum berpisah. “Jangan terkecoh dengan ukurannya yang kau mungkin kira tidak seberapa luas; masih sangat mungkin untuk dilewati dengan mengitarinya. Terkadang dalam waktu dan untuk alasan yang tidak terduga, setelah melihat wujudnya, begitu kau berjalan, mencoba memutari danau untuk sampai di seberang, di sisi lain, kau akan dapati bahwa ujung danau bahkan tidak kautemukan. Semua yang kaulihat mungkin hanya akan menjadi hamparan air. Tidak ada lagi pepohonan, tidak ada lagi daratan selain tempat kau berpijak dan sekitar.”Shaw berjinjit, mencoba menjangkau seberang danau dengan
“Ada rencana untuk keluar lagi di sisa hari ini, Tuan Muda?” Wilton bertanya seturunnya ia dari kuda, memegangi tali setelah Bailey turun. Mereka baru sampai di mansion, pulang dari sekolah.“Kurasa tidak. Sepertinya aku akan habiskan waktu di meja belajar.”“Baik. Saya akan ada di pos malam ini kalau Tuan Muda butuh sesuatu.”“Ya. Aku masuk, ya. Terima kasih untuk hari ini, Wilton.”Bailey pergi, masuk ke mansion. Wilton mengiringi kepergian Bailey dengan anggukan penuh hormat. Bibirnya melengkung membentuk senyum. Usai Bailey tidak lagi terlihat, Wilton membawa kuda ke kandang.Sampai kamar, Bailey menyalakan penerangan, melepaskan ransel, dan bersih-bersih. Ia melanjutkan dengan menekuri buku-buku mata pelajaran sampai pelayan memanggil namanya dari luar pintu.Makan malam tiba, Bailey berseri-seri menemukan Jillian di meja makan. Canda tawa Jillian serupa bunga-bunga di musim semi dan keceriaan Bariela adalah penyempurna. Jillian telah kembali dengan warna cerahnya, tidak lagi ber