"Shaw. Namaku Shaw."
"Hanya Shaw?" tanya Baldric lagi. Shaw mengangguk.
"Hmm ... baiklah, silakan diminum." Baldric duduk. Mengambil gelas berisikan air jeruk manis dan meminumnya.
"Tuan Muda ... terima kasih sudah beranjang dan membawa Shaw serta."
"Hum. Jadi, kenapa Profesor ingin bertemu Shaw?" Bailey tidak bisa menahan diri lagi untuk tidak mengajukan pertanyaan yang muncul dalam benaknya sejak pagi.
"Saya hanya ingin melihat secara langsung. Ah, kalian pasti belum makan ... mari kita makan!"
Baldric berdiri, menggandeng tangan Bailey dan Shaw hingga keduanya mau tak mau berdiri mengikuti. Sedang Bold tetap diam di tempat. Dalam benaknya, Bold berpikir bahwa dirinya tidaklah pantas untuk ikut serta. Di ruang tamu, mereka semua bisa duduk dalam jajar dan tinggi kursi yang sama. Tapi di meja makan, itu adalah hal lain lagi ... tempat yang berbeda.
Baldric menolehkan kepala. Melempar senyum hangat pada Bold yang tak bergeming.
"Bold, ayo!"Ragu-ragu bukanlah karakter Bold. Namun semenjak bertemu Bailey dan Shaw, sifat itu tersemat padanya bagai sebuah nama. Napas kecil terhembus darinya, lalu ia melempar senyum; mengiyakan.
Ragu yang sempat hilang usai tungkai menegap dan melangkah, kembali menghampiri ketika ia sampai di meja makan. Mengagah bermacam hidangan yang belum pernah tersampaikan ke dalam perut maupun sekadar tercicip oleh lidah; terlalu mewah baginya.Jujur yang sederhana tak ia ingat lagi kapan terakhir kali terucap dalam hati. Namun hari ini akan menjadi sesuatu yang baru baginya. Bold tidak ingin melupakan hari ini. Angler terasa oleh atmanya, tentang bagaimana dirinya diterima tanpa tapi. Tentang bagaimana orang-orang di hadapannya membuka tangan ... tanpa peduli kasta, siapa dan dari mana dirinya berasal.
"Berhati-hatilah kalian .... Semoga kalian selalu dilindungi." Baldric mengiringi langkah dengan senyum. Kedua tangannya menjeremba; membawa Shaw ke dekapan. "Jaga dirimu baik-baik, Shaw." Lalu satu tangan kembali menjeremba pada Bailey, memberi tanda untuk mendekat. "Anda juga, Tuan Muda." ucapnya. Mengusap punggung Shaw dan Bailey.
Ingin hati memanggil dengan akrab, namun kehormatan harus tetap terjaga. Pun keamanan dirinya dan Bailey bisa terancam jika memaksa melakukannya. Semakin tidak sabar Baldric menunggu hari itu. Hari yang selalu ia percaya akan terjadi; Hari kebebasan Zanwan. Segala cara ia lakukan agar tetap sehat .... Berdo'a kendati tak ada pilih akan satu keyakinan dalam dirinya, berolahraga, bangun pagi, menjaga pola makan, menjaga emosi, dan lainnya. Demi hari itu. Teramat ingin ia saksikan sebelum maut menjemput.
Daksa kembali tegap, tungkai kembali melangkah. Kali ini Bold yang ia bawa ke dekapan. Membawa ribuan volt listrik ke dalam diri Bold, terasa mengalir mengikuti aliran darah.
"Kau juga, jaga dirimu baik-baik. Kutitipkan Tuan Muda dan Shaw padamu," bisik Baldric. Bold mengangguk pelan.
Tergugu kalbu Bold, mencoba membiasakan diri dengan semua hal baru yang ia terima hari ini. Jutaan tanya beraduk dengan senang dalam benaknya. 'Takdirku kah untuk merasai semua? Ataukah ini hanya pemanis sebelum jalan pahit membentang di hadapan?' Bold bertanya dalam hatinya; pada awang.
"Kami pergi dulu, Profesor," pamit Bailey. Memacu kudanya keluar dari pekarangan mansion Baldric usai mendapat anggukan dari sang profesor.
Kembali Bold mengikuti dari belakang, menyadari laju kuda Bailey mengarah ke asrama. Tetapi bukan asrama yang ada di pikiran Bold, melainkan mansion sang pemimpin mutlak Zanwan.
"Kau bawa saja kudaku, Shaw ... aku masih punya kuda yang lain." Bailey turun dari kudanya, setelah Shaw turun. Ia melangkah naik ke teras lalu berbalik. "Ayo masuk dulu," ajaknya.
Shaw menggeleng.
"Hari sudah semakin sore, aku akan langsung pulang saja," respon Shaw. "Tunggu--" Shaw menyipitkan mata, mendekati Bailey dan memegang balutan perban di leher Bailey. "Lehermu terluka?!" tanyanya yang lebih seperti pernyataan. "Apa yang terjadi?" tanyanya lagi.Bailey terdiam sejenak seraya mengedarkan pandangan.
"Ini sayatan pedang," ujarnya. Lirih. Mengundang kerut di kening Shaw dan Bold. "Nanti kujelaskan," lanjutnya. Shaw mengangguk."Ya sudah ... aku pergi, yaa ...."
Tali kekang hendak ditarik saat ekor mata Shaw menangkap beberapa sosok di halaman samping mansion. Ia berikan tatap, tak sengaja bersirobok satu dua detik dengan sepasang mata biru safir; hanya sekilas. Kuda terlanjur berputar. Menyadari hari semakin gelap membuat Shaw segera menghentak kekang kuda yang ditungganginya.
"Sepertinya ada sesuatu di depan sana, sampai menarik banyak atensi penduduk." Bold setengah berteriak pada Shaw yang berada di depannya, memacu kuda lebih cepat; mensejajarkannya dengan kuda Shaw.
"Kau benar. Mari ke sana!" Shaw urung menuju pasar. Ia belokkan kudanya ke lapangan alun-alun pusat distrik Acilav.
Aliran kejut menyambut begitu keduanya mendekat. Dilihat oleh mereka, sebuah kepala tergantung di tengah alun-alun. Terlihat jelas sekali dari atas kuda. Shaw mengatupkan mulutnya segera; menutupnya rapat dengan kedua tangan. Setelah beberapa kali mengedipkan mata, ia turun; berjalan mendekat ke kerumunan namun tetap menjaga jarak.
"Siapa dia?"
"Tidak tahu. Sepertinya bukan orang sini."
Kasak-kusuk penduduk yang menonton meriuh dari ujung ke ujung. Beberapa mencoba mengenali pemilik kepala yang tergantung itu, beberapa lainnya penasaran dengan kesalahan apa kiranya yang dibuat si empunya kepala.
"Kudengar dia adalah tahanan perompak yang ikut serta dalam penyerangan waktu itu."
"Oh, apakah dia yang diberitakan menghilang dari dungeon itu?"
"Maksudmu berita yang tadi pagi itu?"
"Iya. Katanya, kejadiannya malam hari ... entah hari apa. Tapi, baru diberitakan tadi pagi."
"Memangnya apa yang dia lakukan sampai mendapat penggal kepala?"
"Entah. Apapun itu, pastilah sesuatu yang serius ... dan tidak bisa ditoleransi para petinggi desa."
Shaw terus berjalan sembari menarik kudanya. Ia juga dibuat penasaran. Bold mengikut; mendengarkan dalam diam.
"Menurut prajurit yang membawa kepala itu, katanya orang itu mencoba melukai Tuan Muda."
"Benar. Prajurit lain mengatakan dia mencoba membunuh Tuan Muda di hutan bukit timur. Bahkan leher Tuan Muda sampai terluka."
"Dan katanya dia tidak sendirian dalam penyerangan itu, tapi bersama empat orang lainnya. Hanya saja, empat orang lainnya sudah tewas saat para prajurit menghampiri Tuan Muda di sana."
Dua bisik terakhir yang didengar Shaw membuat langkahnya terhenti; teringat pada perban kecil di leher Bailey yang ia lihat tadi.
"Lalu ... bagaimana dengan tubuhnya? Di kemanakan?"
"Ke mana lagi? Sudah pasti dibawa ke laut untuk ditenggelamkan."
Merasa cukup dengan informasi yang didapat, Shaw menjauh dari lapangan. Menatap Bold sesaat lalu menunggangi kuda, memacunya menjauh dari lapangan; menuju pasar.
"Paman, melihat Kakekku tidak?" tanya Shaw pada salah satu pedagang di luar pasar.
"Kakekmu sudah pulang sejak tengah hari tadi."
"Begitu, ya. Terima kasih, Paman."
"Kita akan ke ladang atau langsung ke rumah?" Bold bertanya.
"Ke rumah. Ayo!" Shaw melajukan pelan kudanya; menjauh dari area pasar. "Hiyaattt!" serunya. Menghentak kuda saat dirasa sudah cukup jauh dari pasar. Memacu cepat kudanya kemudian. Membuat tapal kuda itu terdengar nyaring.
Pepohonan di sepanjang jalur masuk dari kawasan penduduk lebih sedikit dibanding pepohonan di sepanjang jalur masuk dari dungeon atau distrik Aloclya. Udaranya pun lebih hangat, dan tanahnya lebih kering dikarenakan terkena lebih banyak sinar matahari. Jalur itu lebih terlihat seperti pekarangan pribadi alih-alih hutan.
"Kakek? Nenek?" Shaw berteriak; berlari ke samping rumah lalu ke belakang saat tak mendapat sahutan atas panggilan dan ketukannya di pintu depan.
Gracie tengah mengambil bawang di kebun belakang saat teriakan Shaw masuk ke telinganya. Sedang Spencer sudah masuk lebih dulu; menutup jendela-jendela di rumah. Bergegas Gracie menghampiri sumber suara; menyudahi kegiatannya.
"Shaw, ada apa? Kenapa berteriak begitu?"
"Nenek ... kukira Nenek dan Kakek tidak ada di rumah. Aku melihat ada kepala digantung di alun-alun."
"Aih kau ini ...." Gracie menggelengkan kepalanya, berlalu ke dapur. Shaw mengikuti dengan tidak sabar, lalu kembali berlari ke depan; membukakan pintu untuk Bold.
"Ayo masuk, Bold. Oh- kudanya disimpan di belakang saja."
Shaw melepas lagi tali kekang kudanya, kemudian menariknya ke halaman belakang. Meminta Bold memegangi sebentar sedang dirinya membuka pintu gudang. "Di sini saja. Ruangan ini tidak dipakai," ujarnya.
Ada banyak barang yang tidak Bold kenali, tertutup oleh lembaran kain putih. Ia menalikan kekang kuda berdekatan dengan kekang kuda Bailey yang ditalikan Shaw, kemudian kembali mengamati sekitar.
"Sepertinya dulu ruangan ini sering dipakai," tukas Bold.
"Entahlah .... Seingatku, baik aku, kakek, maupun nenek belum pernah benar-benar sering memakainya. Bahkan kakek kerapkali melarangku untuk menghabiskan waktu di sini."
Sebuah benda tertangkap atensi Shaw; di belakang lemari. Seperti sengaja disembunyikan. Shaw menjeremba; mencoba meraih benda itu.
"Sedikit lagi ...."
"Nah, dapat! Tapi ini apa?" Shaw membolak-balikkan benda berukuran dua genggam tangan yang dipegangnya. "Tidak bisa dibuka."
"Coba perhatikan ... barangkali ada tulisannya." Bold menyarankan. Masih mengedar pandangan, menyisir satu persatu benda yang ada di sana.
"Hmm ... ada!" Tangan Shaw mengusap bagian bawah benda itu, mengusir debu yang menutupi.
"Apa tulisannya?"
"Hao Yi, Jillian, Ascal, dan Maru."
Bold terkesiap. Ia mendekat, menyentuh benda di tangan Shaw; memperhatikan lamat-lamat. Lalu matanya membulat sempurna bersamaan dengan tubuhnya yang menegang.
"Ini ...."
Dunia sedang tertidur. Pekat malam menyelimuti raga dalam lelap, menemani sukma dalam bunga mimpi."Siapa kau?"Mata bulat hitamnya menyipit mencoba menyingkap entitas di balik jubah dan topeng hitam sesosok di depan jeruji. Sisi lain memperhatikan gerak jemari sang sosok yang tampak menggerakkan sesuatu. Sebuah kunci.Temaram lentera menghasilkan siluet sang sosok yang justru semakin menyembunyikan dirinya. Hanya berupa bayang hitam yang mengecewakan."Mau apa kau?"Matanya terus mengawasi, sementara daksa memasang kuda-kuda. Tubuh yang melemah kehilangan banyak tenaga oleh luka ia abaikan. Tungkai mundur merapat dinding, bersamaan sang sosok yang berhasil membuka gembok yang mengunci pintu jeruji besi. Melangkah masuk mendekat pada gelapnya ruang.Dan apa yang akan kau temui di pekat lain saat diri memutuskan terjaga di titik tergelapnya malam? Ketika kau tahu bahwa pekat malam menyimpan berjuta misteri. Semua hal bisa
"Apakah Anda terluka, Tuan muda?" Orang yang memanggil Bailey bertanya."Aku tidak apa-apa, Bexter. Tapi kudaku sepertinya tidak bisa berdiri." Bailey menjawab pelan; melihat ke arah sosok misterius yang tersisa. Satu prajurit mengunci kedua tangan orang itu dengan rantai. Sesaat mata keduanya bersirobok saat sang sosok didorong untuk berjalan; melewati Bailey. Sementara keempat orang lainnya yang sudah tidak bernyawa dibopong di pundak oleh empat prajurit berbadan kekar.Bexter menoleh pada kuda Bailey, lalu memerintahkan prajurit lain untuk mengobatinya."Biar prajurit membawa kudanya ke mansion nanti. Tuan muda, oh-! Leher Anda terluka!" Bexter berseru terkejut sekaligus panik. Guratan lukanya tidak besar dan dalam, bahkan tipis. Tapi masalah yang akan timbul karenanya itulah yang membuat Bexter lebih panik. Karena pasti akan ada lebih dari satu punggung yang menerima cambukan nantinya.Bailey meraba lehernya, melihat darah di tangannya d
"Bentuknya seperti peti. Kau tahu ini apa, Bold?"Benda di tangan disodorkan pada Bold agar bisa melihat lebih jelas."Kurasa, memang, peti. Ada tempat kunci, lihatlah." Bold menunjuk pada satu lubang kecil di tengah benda itu."Tapi tidak ada kuncinya.""Mungkin Kakek dan Nenekmu tahu.""Hmm ... benar juga." Shaw menanggapi dengan lesu perkataan Bold barusan. Kakek dan neneknya mungkin tahu, tapi masalahnya adalah ... apakah mereka akan memberikan kunci itu padanya jika mereka tahu dan memilikinya? Sisi muara pikiran buruk dan cemas menghinggapi isi kepala Shaw; gundah ia dibuatnya."Eeeehhhh ... kenapa masih di situ?" Satu dari dua yang baru saja dibicarakan datang. Panjang umur Gracie yang muncul dari pintu, mencari keduanya. "Ayo masuk, hari sudah gelap," ujarnya lagi.Shaw dan Bold saling berpandangan sesaat, lalu berjalan mengikuti Gracie."Nah, ada satu kamar lagi yang kosong, sudah Nenek bersihkan. Bold bi
"Dasar lambat! Ayo cepat!"Ctash!"Ba-baik, Tuan.""Lebih cepat lagi!! Dasar anak pemalas!!"Tungkai yang gemetar melangkah sembari terseok-seok. Kentara sekali dipaksa tetap tegak. Rantai dengan bola logam di kedua kaki tak beralas membuat langkahnya semakin payah, ditambah sebuah karung yang nampak berat sebab daksa terlihat sampai membungkuk membuat usahanya bak bunuh diri.Aksi tak menyenangkan mata tersebut tertangkap pelupuk mata Shaw. Membuatnya segera berbelok menghampiri. Bold yang sedikit terkejut sigap mengikuti. Kedua orang yang mengganggu pemandangan Shaw itu menghentikan diri dan menoleh pada kehadiran yang tak diundang.Terlihat jelaslah oleh Shaw, seorang anak berkulit sawo matang lagi kurus yang terlihat begitu tersiksa namun berusaha tak menunjukkan. Lalu di hadapan samping kirinya, seorang pria dewasa yang Shaw taksir usianya sekitar 40-50 tahun."Siapa kau?" Sang pria dewasa bertanya setelah mengamati
Luka di telapak kaki Mival selesai diobati dan dibalut dengan perban. Shaw lalu melepas sandal yang ia kenakan dan memakaikannya ke kedua kaki Mival."Kau anak yang kuat, Mival. Kau sangat tangguh!" puji Shaw. Menepuk pelan kaki Mival dua kali seraya tersenyum cerah."Sebentar," ucap Shaw. Berdiri dan mencuci tangan juga kotak makannya ke sungai, kemudian memasukkan kotak makan ke dalam ransel setelahnya dan kembali.Mival merasa pipinya basah. Ia mengangkat tangan dan mengusap dengan jemarinya. Tapi ketika air matanya berderai lagi dan lagi, Mival menutup matanya dengan punggung tangan kanan.Shaw duduk di tempatnya, menatap Mival di samping dengan senyum dan membawa anak 8 tahun itu ke dalam dekapan."Kau hebat, Mival. Orang lain belum tentu bisa bertahan sampai sekarang sepertimu," ujar Shaw lirih.Bold terdiam memperhatikan. Ia masih belum terbiasa membuka diri dan memeluk orang lain."Masa depanmu pasti cerah. Kau tidak boleh
Laci dibuka, Bailey mengambil pena dan buku catatan berukuran kecil, lantas menuliskan rentetan kejadian yang ia ingat sejak beberapa hari sebelum penyerangan, saat perang, nama-nama yang ia curigai beserta alasannya, orang yang mengusulkan dan mendesak penundaan hukuman mati di rapat, dan laporan-laporan yang masih ia ingat serta nama-nama pelapornya. Selesainya, pena ia taruh dan melanjutkan membaca.“Dua prajurit itu, terkadang aku melihat mereka berjaga di area tahanan tetua. Maksudku, para orang tua ... jeruji-jeruji di lorong yang kau lewati saat Shaw dihukum. Terkadang aku hanya melihat satu dari mereka, terkadang keduanya. Kalau dipikir-pikir, bukankah seharusnya mereka tidak sesering itu berjaga di tempat yang sama? Bukankah begitu peraturannya? Setidaknya itu yang kutahu dari seorang prajurit yang pernah kutanyai.’’'Hum, memang begitu.' Bailey membenarkan. Menulis lagi di buku catatan.“Aku juga pernah mendengar m
Lampu-lampu ruangan telah menyala, kontras dengan gelap terpajang di luar jendela. Baru Bailey sadari kalau hari sudah malam. Ia melangkah ke dapur, membuat pelayan dan koki di sana menengok dengan desir kejut menjalar seketika."T-tuan Muda, apa yang Anda lakukan di sini? Anda membutuhkan sesuatu?" Itu Dexter, sang koki. Menaruh piring berisi olahan ayam di meja dan menghampiri Bailey sembari mengelap tangan. Para pelayan menundukkan pandangan dan melanjutkan kegiatan."Aku haus," jawab Bailey. Mengambil gelas."Ah, sebentar, biar saya ambilkan." Dexter bergegas mengambil gelas, namun langkahnya terhenti karena Bailey sudah lebih dulu mengisi gelasnya."Tidak usah, Dexter ... terima kasih. Ini hanya air putih," ujar Bailey seraya mengangkat gelas berisi air putih di tangan. Setelahnya, Bailey berjalan keluar dapur lalu mendudukkan diri di kursinya, membiarkan para pelayan menghidangkan makan malam di meja dengan gugup. Tentu saja gugup, bel
"Perapian sudah siap!""Woaaahhhh ... Bold hebat!! Cepat sekalii ...." Mata berbinar Mival terarah lurus pada Bold dan perapian di depan prajurit jagur itu. Mival belum pernah membuat api secepat itu, apalagi di malam hari yang udaranya dingin. Meski memakai pemantik pun, dirinya belum bisa secepat Bold menyalakan api dan membuatnya menjadi api unggun kecil."Hmm ... bekal yang Nenek siapkan cukup banyak, tapi tidak dengan jenisnya. Jadi makanan kita malam ini sama seperti tadi siang, dan ini cukup sampai besok malam. Tapi minumnya kurasa akan lebih cepat habis." Shaw menghampiri Bold dan Mival di dekat perapian, meletakkan ranselnya dan mengeluarkan tiga kotak makan serta botol minum."Tidak masalah. Masih ada buah-buahan, 'kan? Kalau kurang, kita bisa mencarinya. Di hutan luar desa ada banyak pohon buah. Ikan pun melimpah di sungai." Bold menenangkan."A-apa itu?" Mival yang asik menyimak tak sengaja melihat benda berwarna putih di ketingg