“Shaw. Namaku Shaw.”
“Hanya Shaw?” tanya Barid lagi.
Shaw mengangguk.
“Hmm ... baiklah. Silakan diminum.”
Barid duduk, mengambil gelas berisikan air jeruk manis dan meminumnya.
“Tuan Muda, terima kasih sudah beranjang dan membawa Shaw serta.”
“Hum. Jadi, kenapa Profesor ingin bertemu Shaw?”
Bailey tidak bisa menahan diri lagi untuk tidak mengajukan pertanyaan yang muncul dalam benaknya sejak pagi. Nama Shaw sedang melambung dalam rumor, Bailey tahu benar, tetapi keraguan menyusupinya bahwa Barid ingin bertemu Shaw karena hal tersebut.
“Saya hanya ingin melihat secara langsung. Ah, kalian pasti belum makan. Mari kita makan!”
Barid berdiri, menggandeng tangan Bailey dan Shaw hingga keduanya mau tak mau berdiri mengikuti.
Bold tetap diam di tempat. Dalam benaknya, Bold berpikir bahwa dirinya tidaklah pantas untuk ikut serta. Di ruang tamu, mereka semua bisa duduk dalam jajar dan tinggi kursi yang sama, tetapi di meja makan, itu adalah hal lain lagi. Tempat yang berbeda.
Barid menolehkan kepala, melempar senyum hangat pada Bold yang bergeming.
“Bold, ayo!”
Sekali lagi, ragu-ragu bukanlah karakter Bold. Namun, semenjak bertemu Bailey dan Shaw, sifat itu tersemat padanya bagai sebuah nama. Udara kecil terembus darinya, lalu ia melempar senyum, mengiyakan.
Ragu yang sempat hilang usai tungkai menegap dan melangkah kembali menghampiri ketika ia sampai di meja makan, memandang bermacam hidangan yang belum pernah tersampaikan ke dalam perut maupun sekadar tercicip oleh lidahnya. Terlalu mewah, pikir Bold. Layakkah ia menyantap hidangan semewah itu?
“Suara Profesor renyah sekali saat tertawa,” celetuk Shaw sambil menyendok sup.
“Oh, ya?” Barid tergelak.
“Hum!”
Lain dengan Shaw dan Barid yang begitu riang bersenda gurau, Bold justru terlihat bengong sampai Bailey menegurnya.
“Kau melamun, Bold?”
“Ah, tidak.”
Acara makan bersama tidak seberapa lama, tetapi tiap detiknya terasa berharga bagi Bold. Matanya menatap dalam, perekam bagai menyala dalam otaknya. Hari ini akan menjadi sesuatu yang baru baginya.
Bold tidak ingin melupakan hari ini. Angler terasa oleh jiwanya tentang bagaimana dirinya diterima tanpa kecuali, tentang bagaimana orang-orang di hadapannya membuka tangan tanpa peduli kasta, siapa, dan dari mana dirinya berasal.
Selesai makan bersama, mereka berpamitan.
“Berhati-hatilah kalian. Semoga kalian selalu dilindungi.” Barid mengiringi langkah ke luar dengan senyum. Sampai di teras, ia lantas menjeremba, membawa Shaw ke dekapan dan berpesan, “Jaga dirimu baik-baik, Shaw.”
Berpaling, Barid menjeremba pada Bailey, memberi tanda untuk mendekat.
“Anda juga, Tuan Muda.”
Ingin hati memanggil dengan akrab, tetapi kehormatan harus tetap terjaga, pun keamanan dirinya dan Bailey bisa terancam jika memaksa melakukannya. Makin tidak sabar Barid menunggu hari itu. Hari yang selalu ia percaya akan terjadi. Hari kebebasan Zanwan. Segala cara ia lakukan agar tetap sehat: berdoa, berolahraga, bangun pagi, menjaga pola makan, menjaga emosi, dan lainnya. Demi hari itu. Teramat ingin ia saksikan sebelum maut menjemput.
Raga kembali tegap, tungkai kembali melangkah. Kali ini Bold yang Barid bawa ke dekapan, membawa ribuan volt listrik ke dalam diri Bold, terasa mengalir mengikuti aliran darah.
“Kau juga, Bold, jaga dirimu baik-baik. Kutitipkan Tuan Muda dan Shaw padamu,” bisik Barid.
Bold mengangguk pelan.
Tergugu kalbu Bold, mencoba membiasakan diri dengan semua hal baru yang ia terima hari ini. Jutaan tanya beraduk dengan senang dalam benaknya.
“Takdirkukah untuk merasai semua ataukah ini hanya pemanis sebelum jalan pahit membentang di hadapan?” Bold bertanya dalam hatinya pada angkasa.
Bailey dan Shaw menunggangi kuda. Bold segera mengikuti.
“Kami pergi dulu, Profesor,” pamit Bailey, memacu kudanya keluar dari pekarangan mansion Barid usai mendapat anggukan dari sang profesor.
Kembali Bold mengikuti dari belakang, menyadari laju kuda Bailey mengarah ke asrama. Namun, bukan asrama yang ada di pikiran Bold, melainkan mansion sang pemimpin mutlak Zanwan.
“Kau bawa saja kudaku, Shaw. Aku masih punya kuda yang lain.” Bailey turun dari kudanya setelah Shaw turun. Ia melangkah naik ke teras, lalu berbalik. “Ayo, masuk dulu?!”
“Hari sudah semakin sore. Aku akan langsung pulang saja.” Shaw menggeleng. Sejurus kemudian ia menyipitkan mata. “Tunggu ….”
Shaw mendekati Bailey, memegang balutan perban di leher Bailey.
“Lehermu terluka?!” tanya Shaw yang lebih seperti pernyataan. “Apa yang terjadi? Kapan? Bagaimana bisa?”
Bailey terdiam sejenak seraya mengedarkan pandang.
“Ini sayatan pedang,” ujar Bailey lirih, mengundang kerut di kening Shaw dan Bold. “Nanti kujelaskan.”
Shaw mengangguk.
“Ya sudah. Aku pergi, yaa ....”
Tali kekang hendak ditarik saat ekor mata Shaw menangkap beberapa sosok di halaman samping mansion. Ia berikan tatap, tidak sengaja bersirobok satu dua detik dengan sepasang mata biru safir.
Kuda terlanjur berputar. Menyadari hari makin gelap membuat Shaw segera menghentak kekang sang kuda yang ditungganginya. Ia dan Bold menyusuri jalan utama dua distrik. Menuju area pemukiman distrik Acilav, di kejauhan, orang-orang berkerumun.
“Sepertinya ada sesuatu di depan sana sampai menarik banyak atensi penduduk!” Bold setengah berteriak pada Shaw yang berada di depannya. Kuda ia pacu lebih cepat, mensejajarkannya dengan kuda Shaw.
“Kau benar. Ayo, ke sana!” Shaw urung menuju pasar. Ia arahkan kudanya ke pusat distrik Acilav.
Aliran kejut menyambut begitu keduanya mendekat. Terlihat oleh mereka, sebuah kepala tergantung di tengah alun-alun. Terlihat jelas sekali dari atas kuda. Shaw mengatupkan mulutnya segera, menutupnya rapat dengan kedua tangan. Setelah beberapa kali mengedipkan mata, ia turun, berjalan mendekat ke kerumunan dengan tetap menjaga jarak.
“Siapa dia?”
“Tidak tahu. Sepertinya bukan orang sini.”
Kasak-kusuk penduduk yang menonton meriuh dari ujung ke ujung. Beberapa mencoba mengenali pemilik kepala yang tergantung itu, beberapa lainnya penasaran dengan kesalahan apa kiranya yang dibuat si empunya kepala.
“Kudengar dia adalah tahanan perompak yang ikut serta dalam penyerangan waktu itu.”
“Oh, apakah dia yang diberitakan menghilang dari dungeon itu?”
“Maksudmu berita yang tadi pagi itu?”
“Iya. Katanya, kejadiannya malam hari, entah hari apa, tetapi baru diberitakan tadi pagi.”
“Memangnya apa yang dia lakukan sampai mendapat penggal kepala?”
“Entah. Apa pun itu, sudah pasti sesuatu yang serius dan tidak bisa ditoleransi para petinggi desa.”
Shaw terus berjalan sembari menarik kudanya. Ia juga dibuat penasaran. Bold mengikut, mendengarkan dalam diam.
“Menurut prajurit yang membawa kepala itu, katanya orang itu mencoba melukai Tuan Muda Bailey.”
“Benar. Prajurit lain mengatakan dia mencoba membunuh Tuan Muda Bailey di hutan bukit timur, bahkan leher Tuan Muda sampai terluka.”
“Dan katanya dia tidak sendirian dalam penyerangan itu, tetapi bersama empat orang lainnya. Hanya saja, empat orang lainnya sudah tewas saat para prajurit menghampiri Tuan Muda di sana.”
Dua bisik terakhir yang didengar Shaw membuat langkahnya terhenti. Teringat ia pada perban kecil di leher Bailey yang ia lihat tadi.
“Lalu, bagaimana dengan tubuhnya? Dikemanakan?”
“Ke mana lagi? Sudah pasti dibawa ke laut untuk ditenggelamkan.”
Merasa cukup dengan informasi yang didapat, Shaw menjauh dari lapangan, menatap Bold sesaat, lalu menunggangi kuda, memacunya menjauh dari lapangan, menuju pasar. Sesampainya di sana, ia hampiri seorang pedagang.
“Paman, lihat kakekku tidak?”
“Kakekmu sudah pulang sejak tengah hari tadi.”
“Begitu, ya. Terima kasih, Paman.”
“Kita akan ke ladang atau langsung ke rumah?” Bold bertanya begitu Shaw kembali.
“Ke rumah. Ayo!” Shaw melajukan pelan kudanya, menjauh dari area pasar. Setelah cukup jauh dari pasar yang ramai, Shaw menghentak tali kekang dan berseru, “Hiyaattt!”
Pepohonan di sepanjang jalur masuk menuju rumah Shaw dari kawasan penduduk lebih sedikit dibandingkan pepohonan dari arah dungeon. Udaranya lebih hangat dan tanahnya lebih kering. Jalur itu lebih terlihat seperti pekarangan pribadi alih-alih hutan.
“Kakek!? Nenek!?” Shaw langsung berteriak setibanya ia di pekarangan.
Tidak mendapati sahutan, Shaw berlari ke belakang rumah.
Gracie sedang mengambil bawang di kebun belakang saat teriakan Shaw masuk ke telinganya. Spencer sudah masuk lebih dahulu, menutup jendela-jendela di rumah. Bergegas Gracie menghampiri sumber suara, menyudahi kegiatannya.
“Shaw, ada apa? Kenapa berteriak begitu?”
“Nenek ... kukira Nenek dan Kakek tidak ada di rumah. Aku melihat ada kepala digantung di alun-alun.”
“Aih, kau ini ....” Gracie menggelengkan kepala, berlalu ke dapur. Shaw mengikuti dengan tidak sabar, lalu kembali berlari ke depan.
“Ayo, masuk, Bold. Oh, kudanya disimpan di belakang saja.”
Shaw membawa kuda Bailey ke halaman belakang, meminta Bold memegangi sebentar sedangkan ia membuka pintu gudang.
“Di sini saja. Ruangan ini tidak dipakai.”
Ada banyak barang yang tidak Bold kenali, tertutup oleh helaian kain putih. Ia menalikan tali kekang kuda berdekatan dengan kuda Bailey yang ditalikan Shaw, kemudian lanjut mengamati sekitar.
“Sepertinya dulu ruangan ini sering dipakai,” kata Bold.
“Entahlah. Seingatku baik aku, Kakek, maupun Nenek belum pernah benar-benar sering memakai ruangan ini, bahkan Kakek kerapkali melarangku untuk menghabiskan waktu di sini.”
Sebuah benda tertangkap atensi Shaw, berletak di belakang lemari. Seperti sengaja disembunyikan. Shaw menjeremba, mencoba meraih benda itu.
“Sedikit lagi ....”
“Nah, dapat! Eh, tapi ini apa?” Shaw membolak-balikkan benda berukuran dua genggam tangan yang dipegangnya. “Tidak bisa dibuka.”
“Coba perhatikan, barangkali ada tulisannya.” Bold menyarankan, masih mengedarkan pandang, menyisir satu per satu benda yang ada di sana.
“Hmm. Oh, ada!”
Tangan Shaw mengusap bagian bawah benda itu, mengusir debu yang menutupi.
“Apa tulisannya?”
“Hao Yi, Jillian, Ascal, dan Maru.”
Bold terkesiap. Gegas ia mendekat, menyentuh benda di tangan Shaw, memperhatikannya lamat-lamat, lalu matanya membulat sempurna bersamaan dengan tubuhnya yang menegang.
“Ini ....”
Dunia sedang tertidur. Pekat malam menyelimuti raga dalam lelap, menemani sukma dalam bunga mimpi.“Siapa kau?”Mata bulat hitamnya menyipit, mencoba menyingkap entitas di balik jubah dan topeng hitam sesosok di depan jeruji. Sisi lain memperhatikan gerak jemari sang sosok yang tampak menggerakkan sesuatu. Sebuah kunci.Temaram lentera menghasilkan siluet sang sosok yang justru makin menyembunyikan dirinya. Hanya berupa bayang hitam yang mengecewakan.“Mau apa kau?”Matanya terus mengawasi sementara raga memasang kuda-kuda. Tubuh yang melemah kehilangan banyak tenaga oleh luka ia abaikan. Tungkai mundur merapat dinding bersamaan sang sosok yang berhasil membuka gembok yang mengunci pintu jeruji besi. Sekarang sang sosok melangkah masuk, mendekat pada gelapnya ruang.Ketika kau tahu bahwa pekat malam menyimpan berjuta misteri, kau kira, apa yang akan kau temui saat memutuskan terjaga di titik tergelap malam? Dalam setarik napas, dalam sekejap, semua hal bisa terjadi.“Tuan, lima tahanan
“Apakah Anda terluka, Tuan muda?” Bexter bertanya sambil memindai keadaan Bailey.“Aku tidak apa-apa, Bexter, tapi kudaku sepertinya tidak bisa berdiri.”Bailey melirik sosok misterius yang tersisa. Satu prajurit mengunci kedua tangan sosok tersebut dengan rantai. Sesaat mata keduanya bersirobok saat sang sosok didorong untuk berjalan, melewati Bailey. Keempat sosok lain yang sudah tidak bernyawa digendong di pundak oleh empat prajurit berbadan kekar.“Biar prajurit membawa kudanya ke mansion nanti. Tuan muda, oh! Leher Anda terluka!”Seruan Bexter memancing atensi prajurit lain dan dalam sekejap ketegangan tercipta. Satu dua dari mereka meneguk ludah, lainnya berusaha bersikap biasa.Bailey meraba lehernya, melihat darah di tangannya dari luka itu.“Hanya luka kecil, tidak usah khawatir. Cukup tidak memberitahukannya pada orang lain, maka ini tidak akan jadi masalah.”Bailey tahu apa yang akan terjadi. Meskipun luka di lehernya cenderung tipis, tidak besar dan dalam, masalah tetap aka
“Bentuknya seperti peti. Kau tahu ini apa, Bold?”Benda di tangannya Shaw sodorkan pada Bold agar dapat melihat lebih jelas. Mereka masih di gudang.“Kurasa memang peti. Ada tempat kunci, lihatlah.” Bold menunjuk satu lubang kecil di tengah benda itu.“Tapi tidak ada kuncinya.”“Mungkin kakek dan nenekmu tahu.”“Hmm ... benar juga.”Lesu Shaw menanggapi perkataan Bold barusan. Kakek dan neneknya mungkin tahu, tetapi masalahnya adalah apakah mereka akan memberikan kunci itu padanya jika mereka tahu dan memilikinya? Sisi muara pikiran buruk dan cemas menghinggapi isi kepala Shaw. Gundah ia dibuatnya.“Eeeehhhh ... kenapa masih di situ?”Satu dari dua yang baru saja dibicarakan datang. Panjang umur Gracie yang muncul dari pintu, mencari keduanya.“Ayo, masuk. Hari sudah gelap.”Shaw dan Bold saling berpandangan sesaat, lalu berjalan mengikuti Gracie.Bold agak canggung, tetapi perlakuan hangat kakek nenek Shaw perlahan mencairkannya. Ia bahkan ikut bersenda gurau saat makan malam bersama.
“Dasar lambat! Ayo, cepat!”Ctash!“Ba … baik, Tuan.”“Lebih cepat lagi! Dasar anak pemalas!”Tungkai yang gemetar melangkah terseok-seok. Rantai dengan bola logam di kedua kaki tidak beralas memberatkan langkah, ditambah sebuah karung yang memperparah sampai raga membungkuk.Aksi tidak menyenangkan mata tersebut tertangkap pelupuk mata Shaw. Ia berbelok ke sana. Bold yang sedikit terkejut sigap mengikuti. Kedua orang yang mengganggu pemandangan Shaw itu menghentikan diri dan menoleh pada kehadiran yang tak diundang.Terlihat jelaslah oleh Shaw, seorang anak berkulit sawo matang lagi kurus yang terlihat begitu tersiksa, tetapi berusaha tidak menunjukkan. Di hadapan samping kiri Shaw, seorang pria dewasa yang Shaw taksir usianya sekitar 40-50 tahun.“Siapa kau?” Sang pria dewasa bertanya setelah mengamati Shaw dari atas ke bawah, lalu pandangannya berganti pada Bold yang baru datang.Mengetahui yang mendatanginya adalah prajurit elite tersohor, sang pria mematung di tempat. Pikirannya m
Luka di telapak kaki Mival selesai diobati dan dibalut perban. Shaw melepas sandal yang ia kenakan, memakaikannya ke kaki Mival.“Kau anak yang kuat, Mival. Kau sangat tangguh!” puji Shaw, menepuk pelan betis Mival dua kali seraya tersenyum cerah.“Sebentar ….”Shaw mencuci tangan juga kotak makannya ke sungai, kemudian memasukkan kotak makan ke dalam ransel setelahnya dan kembali.Mival merasa pipinya basah. Ia mengangkat tangan, mengusap dengan jemarinya. Ketika air matanya berderai lagi dan lagi, Mival menutup matanya dengan punggung tangan kanan.Shaw duduk di tempatnya, menatap Mival di samping dengan senyum dan membawa anak delapan tahun itu ke dalam dekapan.“Kau hebat, Mival. Orang lain belum tentu bisa bertahan sampai sekarang sepertimu,” ujar Shaw lirih.Bold terdiam memperhatikan. Ia masih belum terbiasa membuka diri dan memeluk orang lain.“Masa depanmu pasti cerah. Kau tidak boleh putus asa. Semuanya akan membaik,” tutur Shaw lembut sambil mengusap-usap punggung Mival. Ana
Laci dibuka, Bailey mengambil pena dan buku catatan berukuran kecil, lantas menuliskan rentetan kejadian yang ia ingat sejak beberapa hari sebelum penyerangan, saat perang, nama-nama yang ia curigai beserta alasannya, orang yang mengusulkan dan mendesak penundaan hukuman mati di rapat, dan laporan-laporan yang masih ia ingat beserta nama-nama pelapornya. Selesainya, pena ia taruh dan melanjutkan membaca.“Dua prajurit itu, terkadang aku melihat mereka berjaga di area tahanan tetua. Maksudku, para orang tua, jeruji-jeruji di lorong yang kau lewati saat Shaw dihukum. Terkadang aku hanya melihat satu dari mereka, terkadang keduanya. Kalau dipikir-pikir, bukankah seharusnya mereka tidak sesering itu berjaga di tempat yang sama? Bukankah begitu peraturannya? Setidaknya itu yang kutahu dari seorang prajurit yang pernah kutanyai.”“Hum, memang begitu.” Bailey membenarkan, menulis lagi di buku catatan.“Aku juga pernah mendengar mereka membicarakan tahanan-tahanan tetua itu. Kalau kau lupa tah
Lampu-lampu ruangan telah menyala, kontras dengan gelap yang terpampang di luar jendela. Baru Bailey sadari kalau hari sudah malam. Ia pergi ke dapur. Pelayan dan koki di sana menengok dengan desir kejut menjalar.“Tu … Tuan Muda, apa yang Anda lakukan di sini? Anda membutuhkan sesuatu?” Itu Dexter sang koki. Ia meletakkan piring berisi olahan ayam di meja dan menghampiri Bailey sembari mengelap tangan. Para pelayan menundukkan pandangan sekilas dan melanjutkan kegiatan.“Aku haus,” jawab Bailey, mengambil gelas.“Ah, sebentar, biar saya ambilkan.”Dexter bergegas mengambil gelas, tetapi langkahnya terhenti karena Bailey sudah lebih dulu mengisi gelasnya.“Tidak usah, Dexter, terima kasih. Ini hanya air putih,” ujar Bailey seraya mengangkat gelas berisi air putih di tangan.Sambil membawa gelas, Bailey keluar dapur, mendudukkan diri di kursinya, membiarkan para pelayan menghidangkan makan malam di meja dengan gugup. Tentu saja gugup. Belum tepat jam makan malam, tetapi tuan muda mereka
“Perapian sudah siap!”“Woaaahhhh, Bold hebat! Cepat sekali!”Mata berbinar Mival terarah lurus pada Bold dan perapian di depan prajurit jagur itu. Mival belum pernah membuat api secepat itu, apalagi di malam hari yang udaranya dingin. Meski memakai pemantik pun, Mival belum bisa secepat Bold menyalakan api dan membuatnya menjadi api unggun kecil.“Hmm ... bekal yang Nenek siapkan cukup banyak, tapi tidak dengan jenisnya. Jadi, makanan kita malam ini sama seperti tadi siang dan ini cukup sampai besok malam, tapi minumnya kurasa akan lebih cepat habis.”Shaw menghampiri Bold dan Mival di dekat perapian, meletakkan ransel, dan mengeluarkan tiga kotak makan serta botol minum.“Tidak masalah. Masih ada buah-buahan, 'kan? Kalau kurang, kita bisa mencarinya. Di hutan luar desa ada banyak pohon buah. Ikan pun melimpah di sungai.” Bold menenangkan.“A … apa itu?”Mival yang asyik menyimak tidak sengaja melihat benda berwarna putih di ketinggian.Shaw dan Bold mengikuti arah pandang Mival dan m
Kilau cahaya pohon dan jalan memandu Bailey ke kaki gunung sisi utara, melewati area yang Bailey datangi tempo lalu bersama Shaw dan yang lain pada malam operasi penambangan ilegal. Semak belukar lebih tinggi, lalu ketika Bailey sampai di timur, menuju belokan ke tenggara, kilau cahaya kemerahan berkelap-kelip di depan.Bailey segera menghentikan laju kudanya.“Profesor bilang warna lain selain hitam dan putih akan cenderung samar, tapi merah itu terlalu jelas,” gumam Bailey.Menggeser fokus tatapannya, Bailey menemukan lebih banyak siluet merah dengan haki yang menguar di dalam sebuah gua. Bailey mengamati sekitar lebih jeli. Terlihat oleh matanya dinding seperti kubah di atas.Bailey menyalurkan hakinya ke kuda, tetapi tetap menyamarkannya, kemudian membuat kuda berderap pelan dan santai. Sang kuda bagai berjalan di atas angin; tidak ada suara yang terdengar tiap kali kakinya memijak.Mendekati gua, Bailey turun dari kuda. Ia ikatkan tali kuda ke sebuah pohon, kemudian melanjutkan d
Aaban mengangguk, kemudian beralih tatap pada prajurit yang tadi membawakan kuda.“Buka gerbangnya.”Sang prajurit mengangguk patuh, kemudian berlari menuju pos jaga di sisi salah satu gerbang. Model pos agak tinggi dari permukaan tanah, jadi, ia mendongak dan berseru pada prajurit yang berada di pos.“Buka gerbangnyaaaa!”Prajurit di pos segera menjalankan perintah. Engsel gerbang segera berbunyi, lalu gerbang berderit, perlahan terbuka seiring Bailey menunggangi kuda.“Hati-hati, Tuan Muda!” kata Aaban.Bailey mengangguk. “Aku pergi.”Prajurit yang berseru pada prajurit di gerbang menyingkir, kembali ke sisi Aaban. Bailey menghentak tali kuda, melewati gerbang begitu gerbang terbuka lebar.“Tuan Muda sangat berani dan cerdik,” celetuk prajurit di sisi Aaban. Ia memandangi kepergian Bailey dengan binar takjub di matanya.“Dia putra pemimpin Zanwan. Keberanian dan kecerdikan akan bagus untuk menjadi bagian dari dirinya,” kata Aaban sambil memandangi Bailey yang menjauh, membelah padan
Matahari telah terbenam di ufuk barat. Malam telah bertakhta. Dinginnya udara menerpa Zanwan sedingin suasana di meja makan mansion Hunt.“Wilton, di mana Bailey?” Jillian bertanya.Piring-piring masih terisi, belum habis setengah hidangan di atasnya. Satu kursi di meja makan, kursi yang biasa diduduki Bailey, kini kosong. Wilton berdiri di belakang samping kursi tersebut.Pelayan mengatakan Bailey tidak ada di kamarnya beberapa saat lalu. Sebentar sebelum duduk ke kursinya, Jillian pun mengecek kamar Bailey, hanya menemukan ruangan kosong. Sampai Ascal tiba, Bailey belum juga muncul. Tak ayal Ascal memanggil Wilton.“Tuan Muda ….” Wilton bicara serupa suara bisikan di keramaian, nyaris tidak terdengar saking lirihnya.Jillian mengerjap. Ia melirik Wilton sambil makan. Wilton terus menunduk, bahkan tidak kunjung menyelesaikan bicaranya. Ascal berganti melontarkan tanya tanpa menoleh.“Wilton, di mana Bailey?”“Tuan Muda pergi ….” Wilton masih serupa anak kecil yang bersembunyi.“Wilto
Bailey manggut-manggut. “Aku tidak mengira kalian akan mengajukan pertanyaan semacam itu, bahkan tidak mengira kalian akan pernah menghiraukan hal semacam itu. Terima kasih, kurasa.”Senyum terukir di hati Bailey. Sebuah kabar gembira bagai menggema di dalam dirinya. Begitu pula yang dirasakan Otto dan Milo. Bailey menyambut baik, tentu itu kabar besar yang membahagiakan. Sekali lagi, perkiraan mereka salah. Sepertinya Bailey tidak mendengar pembicaraan mereka di kelas atau mungkin mendengar, tetapi tidak mempermasalahkan, dan itu membuat kegembiraan mereka kian bertambah.“Sanjungan lebih pantas untukmu,” kata Milo.Bailey merespon itu dengan senyum kecil. Otto dan Milo mengerjap, segera berpikir apakah mereka salah lihat. Namun, mereka dapati bahwa mereka tidak salah lihat. Bailey memang tersenyum. Senyum itu, Bailey tujukan kepada mereka.“Aku mulai dari pertanyaan pertama, ya,” kata Bailey, kemudian menghirup udara sejenak.Otto dan Milo mengangguk dan memasang telinga baik-baik.
“Kau mendengarnya?” Otto bertanya dengan wajah memucat. Suaranya amat pelan sampai nyaris tidak terdengar.Milo mengangguk kecil dalam gerakan patah-patah dan sarat keraguan. Ekspresi pada wajahnya tidak jauh berbeda.Kepala mereka kemudian bergerak bersamaan, berpaling tatap ke baris terdepan, lalu mereka melihat Bailey beranjak dari duduknya, pergi keluar.“Apa Tuan Muda mendengar pembicaraan kita?” Milo bertanya dalam suara lebih rendah, serupa bisik-bisik yang mungkin saja akan hanyut terbawa angin.Otto menggeleng. Bukan jawaban meyakinkan, hanya harapan bahwa itu adalah kenyataan yang terjadi.“Kalau benar, semesta mungkin tidak akan berpihak pada kita setelah ini,” kata Otto.Cemas menyerang Otto. Kalau Bailey benar mendengar pembicaraan mereka, apakah kali ini Bailey akan tersinggung? Kesal? Emosi dan apa pun yang lebih buruk?“Kurasa kita sebaiknya bergegas?” Milo melirik Otto.“Itu keputusan paling baik.” Otto berdiri.Milo memasukkan buku catatan yang baru sebentar ia baca
“Katakan saja,” ucap Bailey di sela makannya.Bailey tahu dua anak lelaki ini takkan mendatanginya kalau hanya untuk makan. Ada meja-meja kosong lain yang siap untuk ditempati, pun keduanya belum pernah begitu pada Bailey sepanjang sejarah bersekolah walau satu kelas dengan Bailey.“Kami … agak … penasaran. Apa Tuan Muda akan mendaftar untuk turnamen?” Otto Atrius yang duduk di sebelah Milo bertanya. Bibir merah cerahnya berulang kali mengatup dan terbuka setelah pertanyaan diajukan. Otaknya berpikir apakah pertanyaan itu sudah pas atau tidak.“Turnamen umum, maksudmu?” tanya Bailey.Otto mengangguk. “Kami dengar-dengar tahun ini murid yang terpilih untuk mewakili sekolah boleh mendaftar turnamen umum. Kami juga baca informasinya di mading pagi ini.”“Kalau terpilih mewakili sekolah, lalu mendaftar di turnamen umum dan ternyata lolos dalam keduanya ke final, terlebih keluar sebagai juara di peringkat satu, akan otomatis mendapat tiket emas dan bonus berlipat.” Milo turut bicara setela
“Ayah dan Ibu bawa apa? Itu terlihat banyak sekali!” Shaw mengamati tas-tas belanjaan dengan antusias. Salah satu isi yang tertangkap matanya adalah pakaian.“Oh, ini untuk putra Ibu yang paling manis!” Suara wanita menjawab.“Asyik! Pakaian, ya?” tanya Shaw.“Betul. Ada mainan juga!” Suara pria yang bicara.“Horeeee … mainan!” Shaw berseru gembira. Kebahagiaan meluap-luap pada suaranya.Di atas kaca, Shaw gemetar. Ia tidak mengira danau kaca keyakinan akan menampilkan momen seperti itu. Ia kira itu hanya akan berkisar perjalanannya, rencananya dengan Bailey, tantangan yang dihadapi dalam upaya mewujudkan impian tentang Zanwan. Namun, apa yang ia dengar sepenuhnya berbeda. Sama sekali tidak ada dalam bayangannya. Tidak sedikit pun.Mata Shaw bergetar. Air makin banyak di sana, lalu tumpah kala Shaw dengar suara yang sangat familier.“Shaw, jangan melompat-lompat tinggi begitu.” Itu suara Spencer, terdengar riang dan penuh kasih.“Shaw gembira sekali sepertinya.” Gracie menyusul bicara
“Ini danaunya.”Shaw sampai di ujung hutan lain setelah dari hutan sunyi dan melewati padang rumput. Di hadapannya membentang danau jernih yang berkilau, besar dan luas yang tidak mampu Shaw ukur dengan pasti. Ia perkirakan luasnya sama atau bahkan melebihi lapangan alun-alun distrik Acilav.“Sampai di danau itu, cara paling cepat untuk melewatinya adalah membelahnya. Menyeberanginya,” kata Fu dalam pesannya sebelum berpisah. “Jangan terkecoh dengan ukurannya yang kau mungkin kira tidak seberapa luas; masih sangat mungkin untuk dilewati dengan mengitarinya. Terkadang dalam waktu dan untuk alasan yang tidak terduga, setelah melihat wujudnya, begitu kau berjalan, mencoba memutari danau untuk sampai di seberang, di sisi lain, kau akan dapati bahwa ujung danau bahkan tidak kautemukan. Semua yang kaulihat mungkin hanya akan menjadi hamparan air. Tidak ada lagi pepohonan, tidak ada lagi daratan selain tempat kau berpijak dan sekitar.”Shaw berjinjit, mencoba menjangkau seberang danau dengan
“Ada rencana untuk keluar lagi di sisa hari ini, Tuan Muda?” Wilton bertanya seturunnya ia dari kuda, memegangi tali setelah Bailey turun. Mereka baru sampai di mansion, pulang dari sekolah.“Kurasa tidak. Sepertinya aku akan habiskan waktu di meja belajar.”“Baik. Saya akan ada di pos malam ini kalau Tuan Muda butuh sesuatu.”“Ya. Aku masuk, ya. Terima kasih untuk hari ini, Wilton.”Bailey pergi, masuk ke mansion. Wilton mengiringi kepergian Bailey dengan anggukan penuh hormat. Bibirnya melengkung membentuk senyum. Usai Bailey tidak lagi terlihat, Wilton membawa kuda ke kandang.Sampai kamar, Bailey menyalakan penerangan, melepaskan ransel, dan bersih-bersih. Ia melanjutkan dengan menekuri buku-buku mata pelajaran sampai pelayan memanggil namanya dari luar pintu.Makan malam tiba, Bailey berseri-seri menemukan Jillian di meja makan. Canda tawa Jillian serupa bunga-bunga di musim semi dan keceriaan Bariela adalah penyempurna. Jillian telah kembali dengan warna cerahnya, tidak lagi ber