"Shaw. Namaku Shaw."
"Hanya Shaw?" tanya Baldric lagi. Shaw mengangguk.
"Hmm ... baiklah, silakan diminum." Baldric duduk. Mengambil gelas berisikan air jeruk manis dan meminumnya.
"Tuan Muda ... terima kasih sudah beranjang dan membawa Shaw serta."
"Hum. Jadi, kenapa Profesor ingin bertemu Shaw?" Bailey tidak bisa menahan diri lagi untuk tidak mengajukan pertanyaan yang muncul dalam benaknya sejak pagi.
"Saya hanya ingin melihat secara langsung. Ah, kalian pasti belum makan ... mari kita makan!"
Baldric berdiri, menggandeng tangan Bailey dan Shaw hingga keduanya mau tak mau berdiri mengikuti. Sedang Bold tetap diam di tempat. Dalam benaknya, Bold berpikir bahwa dirinya tidaklah pantas untuk ikut serta. Di ruang tamu, mereka semua bisa duduk dalam jajar dan tinggi kursi yang sama. Tapi di meja makan, itu adalah hal lain lagi ... tempat yang berbeda.
Baldric menolehkan kepala. Melempar senyum hangat pada Bold yang tak bergeming.
"Bold, ayo!"Ragu-ragu bukanlah karakter Bold. Namun semenjak bertemu Bailey dan Shaw, sifat itu tersemat padanya bagai sebuah nama. Napas kecil terhembus darinya, lalu ia melempar senyum; mengiyakan.
Ragu yang sempat hilang usai tungkai menegap dan melangkah, kembali menghampiri ketika ia sampai di meja makan. Mengagah bermacam hidangan yang belum pernah tersampaikan ke dalam perut maupun sekadar tercicip oleh lidah; terlalu mewah baginya.Jujur yang sederhana tak ia ingat lagi kapan terakhir kali terucap dalam hati. Namun hari ini akan menjadi sesuatu yang baru baginya. Bold tidak ingin melupakan hari ini. Angler terasa oleh atmanya, tentang bagaimana dirinya diterima tanpa tapi. Tentang bagaimana orang-orang di hadapannya membuka tangan ... tanpa peduli kasta, siapa dan dari mana dirinya berasal.
"Berhati-hatilah kalian .... Semoga kalian selalu dilindungi." Baldric mengiringi langkah dengan senyum. Kedua tangannya menjeremba; membawa Shaw ke dekapan. "Jaga dirimu baik-baik, Shaw." Lalu satu tangan kembali menjeremba pada Bailey, memberi tanda untuk mendekat. "Anda juga, Tuan Muda." ucapnya. Mengusap punggung Shaw dan Bailey.
Ingin hati memanggil dengan akrab, namun kehormatan harus tetap terjaga. Pun keamanan dirinya dan Bailey bisa terancam jika memaksa melakukannya. Semakin tidak sabar Baldric menunggu hari itu. Hari yang selalu ia percaya akan terjadi; Hari kebebasan Zanwan. Segala cara ia lakukan agar tetap sehat .... Berdo'a kendati tak ada pilih akan satu keyakinan dalam dirinya, berolahraga, bangun pagi, menjaga pola makan, menjaga emosi, dan lainnya. Demi hari itu. Teramat ingin ia saksikan sebelum maut menjemput.
Daksa kembali tegap, tungkai kembali melangkah. Kali ini Bold yang ia bawa ke dekapan. Membawa ribuan volt listrik ke dalam diri Bold, terasa mengalir mengikuti aliran darah.
"Kau juga, jaga dirimu baik-baik. Kutitipkan Tuan Muda dan Shaw padamu," bisik Baldric. Bold mengangguk pelan.
Tergugu kalbu Bold, mencoba membiasakan diri dengan semua hal baru yang ia terima hari ini. Jutaan tanya beraduk dengan senang dalam benaknya. 'Takdirku kah untuk merasai semua? Ataukah ini hanya pemanis sebelum jalan pahit membentang di hadapan?' Bold bertanya dalam hatinya; pada awang.
"Kami pergi dulu, Profesor," pamit Bailey. Memacu kudanya keluar dari pekarangan mansion Baldric usai mendapat anggukan dari sang profesor.
Kembali Bold mengikuti dari belakang, menyadari laju kuda Bailey mengarah ke asrama. Tetapi bukan asrama yang ada di pikiran Bold, melainkan mansion sang pemimpin mutlak Zanwan.
"Kau bawa saja kudaku, Shaw ... aku masih punya kuda yang lain." Bailey turun dari kudanya, setelah Shaw turun. Ia melangkah naik ke teras lalu berbalik. "Ayo masuk dulu," ajaknya.
Shaw menggeleng.
"Hari sudah semakin sore, aku akan langsung pulang saja," respon Shaw. "Tunggu--" Shaw menyipitkan mata, mendekati Bailey dan memegang balutan perban di leher Bailey. "Lehermu terluka?!" tanyanya yang lebih seperti pernyataan. "Apa yang terjadi?" tanyanya lagi.Bailey terdiam sejenak seraya mengedarkan pandangan.
"Ini sayatan pedang," ujarnya. Lirih. Mengundang kerut di kening Shaw dan Bold. "Nanti kujelaskan," lanjutnya. Shaw mengangguk."Ya sudah ... aku pergi, yaa ...."
Tali kekang hendak ditarik saat ekor mata Shaw menangkap beberapa sosok di halaman samping mansion. Ia berikan tatap, tak sengaja bersirobok satu dua detik dengan sepasang mata biru safir; hanya sekilas. Kuda terlanjur berputar. Menyadari hari semakin gelap membuat Shaw segera menghentak kekang kuda yang ditungganginya.
"Sepertinya ada sesuatu di depan sana, sampai menarik banyak atensi penduduk." Bold setengah berteriak pada Shaw yang berada di depannya, memacu kuda lebih cepat; mensejajarkannya dengan kuda Shaw.
"Kau benar. Mari ke sana!" Shaw urung menuju pasar. Ia belokkan kudanya ke lapangan alun-alun pusat distrik Acilav.
Aliran kejut menyambut begitu keduanya mendekat. Dilihat oleh mereka, sebuah kepala tergantung di tengah alun-alun. Terlihat jelas sekali dari atas kuda. Shaw mengatupkan mulutnya segera; menutupnya rapat dengan kedua tangan. Setelah beberapa kali mengedipkan mata, ia turun; berjalan mendekat ke kerumunan namun tetap menjaga jarak.
"Siapa dia?"
"Tidak tahu. Sepertinya bukan orang sini."
Kasak-kusuk penduduk yang menonton meriuh dari ujung ke ujung. Beberapa mencoba mengenali pemilik kepala yang tergantung itu, beberapa lainnya penasaran dengan kesalahan apa kiranya yang dibuat si empunya kepala.
"Kudengar dia adalah tahanan perompak yang ikut serta dalam penyerangan waktu itu."
"Oh, apakah dia yang diberitakan menghilang dari dungeon itu?"
"Maksudmu berita yang tadi pagi itu?"
"Iya. Katanya, kejadiannya malam hari ... entah hari apa. Tapi, baru diberitakan tadi pagi."
"Memangnya apa yang dia lakukan sampai mendapat penggal kepala?"
"Entah. Apapun itu, pastilah sesuatu yang serius ... dan tidak bisa ditoleransi para petinggi desa."
Shaw terus berjalan sembari menarik kudanya. Ia juga dibuat penasaran. Bold mengikut; mendengarkan dalam diam.
"Menurut prajurit yang membawa kepala itu, katanya orang itu mencoba melukai Tuan Muda."
"Benar. Prajurit lain mengatakan dia mencoba membunuh Tuan Muda di hutan bukit timur. Bahkan leher Tuan Muda sampai terluka."
"Dan katanya dia tidak sendirian dalam penyerangan itu, tapi bersama empat orang lainnya. Hanya saja, empat orang lainnya sudah tewas saat para prajurit menghampiri Tuan Muda di sana."
Dua bisik terakhir yang didengar Shaw membuat langkahnya terhenti; teringat pada perban kecil di leher Bailey yang ia lihat tadi.
"Lalu ... bagaimana dengan tubuhnya? Di kemanakan?"
"Ke mana lagi? Sudah pasti dibawa ke laut untuk ditenggelamkan."
Merasa cukup dengan informasi yang didapat, Shaw menjauh dari lapangan. Menatap Bold sesaat lalu menunggangi kuda, memacunya menjauh dari lapangan; menuju pasar.
"Paman, melihat Kakekku tidak?" tanya Shaw pada salah satu pedagang di luar pasar.
"Kakekmu sudah pulang sejak tengah hari tadi."
"Begitu, ya. Terima kasih, Paman."
"Kita akan ke ladang atau langsung ke rumah?" Bold bertanya.
"Ke rumah. Ayo!" Shaw melajukan pelan kudanya; menjauh dari area pasar. "Hiyaattt!" serunya. Menghentak kuda saat dirasa sudah cukup jauh dari pasar. Memacu cepat kudanya kemudian. Membuat tapal kuda itu terdengar nyaring.
Pepohonan di sepanjang jalur masuk dari kawasan penduduk lebih sedikit dibanding pepohonan di sepanjang jalur masuk dari dungeon atau distrik Aloclya. Udaranya pun lebih hangat, dan tanahnya lebih kering dikarenakan terkena lebih banyak sinar matahari. Jalur itu lebih terlihat seperti pekarangan pribadi alih-alih hutan.
"Kakek? Nenek?" Shaw berteriak; berlari ke samping rumah lalu ke belakang saat tak mendapat sahutan atas panggilan dan ketukannya di pintu depan.
Gracie tengah mengambil bawang di kebun belakang saat teriakan Shaw masuk ke telinganya. Sedang Spencer sudah masuk lebih dulu; menutup jendela-jendela di rumah. Bergegas Gracie menghampiri sumber suara; menyudahi kegiatannya.
"Shaw, ada apa? Kenapa berteriak begitu?"
"Nenek ... kukira Nenek dan Kakek tidak ada di rumah. Aku melihat ada kepala digantung di alun-alun."
"Aih kau ini ...." Gracie menggelengkan kepalanya, berlalu ke dapur. Shaw mengikuti dengan tidak sabar, lalu kembali berlari ke depan; membukakan pintu untuk Bold.
"Ayo masuk, Bold. Oh- kudanya disimpan di belakang saja."
Shaw melepas lagi tali kekang kudanya, kemudian menariknya ke halaman belakang. Meminta Bold memegangi sebentar sedang dirinya membuka pintu gudang. "Di sini saja. Ruangan ini tidak dipakai," ujarnya.
Ada banyak barang yang tidak Bold kenali, tertutup oleh lembaran kain putih. Ia menalikan kekang kuda berdekatan dengan kekang kuda Bailey yang ditalikan Shaw, kemudian kembali mengamati sekitar.
"Sepertinya dulu ruangan ini sering dipakai," tukas Bold.
"Entahlah .... Seingatku, baik aku, kakek, maupun nenek belum pernah benar-benar sering memakainya. Bahkan kakek kerapkali melarangku untuk menghabiskan waktu di sini."
Sebuah benda tertangkap atensi Shaw; di belakang lemari. Seperti sengaja disembunyikan. Shaw menjeremba; mencoba meraih benda itu.
"Sedikit lagi ...."
"Nah, dapat! Tapi ini apa?" Shaw membolak-balikkan benda berukuran dua genggam tangan yang dipegangnya. "Tidak bisa dibuka."
"Coba perhatikan ... barangkali ada tulisannya." Bold menyarankan. Masih mengedar pandangan, menyisir satu persatu benda yang ada di sana.
"Hmm ... ada!" Tangan Shaw mengusap bagian bawah benda itu, mengusir debu yang menutupi.
"Apa tulisannya?"
"Hao Yi, Jillian, Ascal, dan Maru."
Bold terkesiap. Ia mendekat, menyentuh benda di tangan Shaw; memperhatikan lamat-lamat. Lalu matanya membulat sempurna bersamaan dengan tubuhnya yang menegang.
"Ini ...."
Dunia sedang tertidur. Pekat malam menyelimuti raga dalam lelap, menemani sukma dalam bunga mimpi."Siapa kau?"Mata bulat hitamnya menyipit mencoba menyingkap entitas di balik jubah dan topeng hitam sesosok di depan jeruji. Sisi lain memperhatikan gerak jemari sang sosok yang tampak menggerakkan sesuatu. Sebuah kunci.Temaram lentera menghasilkan siluet sang sosok yang justru semakin menyembunyikan dirinya. Hanya berupa bayang hitam yang mengecewakan."Mau apa kau?"Matanya terus mengawasi, sementara daksa memasang kuda-kuda. Tubuh yang melemah kehilangan banyak tenaga oleh luka ia abaikan. Tungkai mundur merapat dinding, bersamaan sang sosok yang berhasil membuka gembok yang mengunci pintu jeruji besi. Melangkah masuk mendekat pada gelapnya ruang.Dan apa yang akan kau temui di pekat lain saat diri memutuskan terjaga di titik tergelapnya malam? Ketika kau tahu bahwa pekat malam menyimpan berjuta misteri. Semua hal bisa
"Apakah Anda terluka, Tuan muda?" Orang yang memanggil Bailey bertanya."Aku tidak apa-apa, Bexter. Tapi kudaku sepertinya tidak bisa berdiri." Bailey menjawab pelan; melihat ke arah sosok misterius yang tersisa. Satu prajurit mengunci kedua tangan orang itu dengan rantai. Sesaat mata keduanya bersirobok saat sang sosok didorong untuk berjalan; melewati Bailey. Sementara keempat orang lainnya yang sudah tidak bernyawa dibopong di pundak oleh empat prajurit berbadan kekar.Bexter menoleh pada kuda Bailey, lalu memerintahkan prajurit lain untuk mengobatinya."Biar prajurit membawa kudanya ke mansion nanti. Tuan muda, oh-! Leher Anda terluka!" Bexter berseru terkejut sekaligus panik. Guratan lukanya tidak besar dan dalam, bahkan tipis. Tapi masalah yang akan timbul karenanya itulah yang membuat Bexter lebih panik. Karena pasti akan ada lebih dari satu punggung yang menerima cambukan nantinya.Bailey meraba lehernya, melihat darah di tangannya d
"Bentuknya seperti peti. Kau tahu ini apa, Bold?"Benda di tangan disodorkan pada Bold agar bisa melihat lebih jelas."Kurasa, memang, peti. Ada tempat kunci, lihatlah." Bold menunjuk pada satu lubang kecil di tengah benda itu."Tapi tidak ada kuncinya.""Mungkin Kakek dan Nenekmu tahu.""Hmm ... benar juga." Shaw menanggapi dengan lesu perkataan Bold barusan. Kakek dan neneknya mungkin tahu, tapi masalahnya adalah ... apakah mereka akan memberikan kunci itu padanya jika mereka tahu dan memilikinya? Sisi muara pikiran buruk dan cemas menghinggapi isi kepala Shaw; gundah ia dibuatnya."Eeeehhhh ... kenapa masih di situ?" Satu dari dua yang baru saja dibicarakan datang. Panjang umur Gracie yang muncul dari pintu, mencari keduanya. "Ayo masuk, hari sudah gelap," ujarnya lagi.Shaw dan Bold saling berpandangan sesaat, lalu berjalan mengikuti Gracie."Nah, ada satu kamar lagi yang kosong, sudah Nenek bersihkan. Bold bi
"Dasar lambat! Ayo cepat!"Ctash!"Ba-baik, Tuan.""Lebih cepat lagi!! Dasar anak pemalas!!"Tungkai yang gemetar melangkah sembari terseok-seok. Kentara sekali dipaksa tetap tegak. Rantai dengan bola logam di kedua kaki tak beralas membuat langkahnya semakin payah, ditambah sebuah karung yang nampak berat sebab daksa terlihat sampai membungkuk membuat usahanya bak bunuh diri.Aksi tak menyenangkan mata tersebut tertangkap pelupuk mata Shaw. Membuatnya segera berbelok menghampiri. Bold yang sedikit terkejut sigap mengikuti. Kedua orang yang mengganggu pemandangan Shaw itu menghentikan diri dan menoleh pada kehadiran yang tak diundang.Terlihat jelaslah oleh Shaw, seorang anak berkulit sawo matang lagi kurus yang terlihat begitu tersiksa namun berusaha tak menunjukkan. Lalu di hadapan samping kirinya, seorang pria dewasa yang Shaw taksir usianya sekitar 40-50 tahun."Siapa kau?" Sang pria dewasa bertanya setelah mengamati
Luka di telapak kaki Mival selesai diobati dan dibalut dengan perban. Shaw lalu melepas sandal yang ia kenakan dan memakaikannya ke kedua kaki Mival."Kau anak yang kuat, Mival. Kau sangat tangguh!" puji Shaw. Menepuk pelan kaki Mival dua kali seraya tersenyum cerah."Sebentar," ucap Shaw. Berdiri dan mencuci tangan juga kotak makannya ke sungai, kemudian memasukkan kotak makan ke dalam ransel setelahnya dan kembali.Mival merasa pipinya basah. Ia mengangkat tangan dan mengusap dengan jemarinya. Tapi ketika air matanya berderai lagi dan lagi, Mival menutup matanya dengan punggung tangan kanan.Shaw duduk di tempatnya, menatap Mival di samping dengan senyum dan membawa anak 8 tahun itu ke dalam dekapan."Kau hebat, Mival. Orang lain belum tentu bisa bertahan sampai sekarang sepertimu," ujar Shaw lirih.Bold terdiam memperhatikan. Ia masih belum terbiasa membuka diri dan memeluk orang lain."Masa depanmu pasti cerah. Kau tidak boleh
Laci dibuka, Bailey mengambil pena dan buku catatan berukuran kecil, lantas menuliskan rentetan kejadian yang ia ingat sejak beberapa hari sebelum penyerangan, saat perang, nama-nama yang ia curigai beserta alasannya, orang yang mengusulkan dan mendesak penundaan hukuman mati di rapat, dan laporan-laporan yang masih ia ingat serta nama-nama pelapornya. Selesainya, pena ia taruh dan melanjutkan membaca.“Dua prajurit itu, terkadang aku melihat mereka berjaga di area tahanan tetua. Maksudku, para orang tua ... jeruji-jeruji di lorong yang kau lewati saat Shaw dihukum. Terkadang aku hanya melihat satu dari mereka, terkadang keduanya. Kalau dipikir-pikir, bukankah seharusnya mereka tidak sesering itu berjaga di tempat yang sama? Bukankah begitu peraturannya? Setidaknya itu yang kutahu dari seorang prajurit yang pernah kutanyai.’’'Hum, memang begitu.' Bailey membenarkan. Menulis lagi di buku catatan.“Aku juga pernah mendengar m
Lampu-lampu ruangan telah menyala, kontras dengan gelap terpajang di luar jendela. Baru Bailey sadari kalau hari sudah malam. Ia melangkah ke dapur, membuat pelayan dan koki di sana menengok dengan desir kejut menjalar seketika."T-tuan Muda, apa yang Anda lakukan di sini? Anda membutuhkan sesuatu?" Itu Dexter, sang koki. Menaruh piring berisi olahan ayam di meja dan menghampiri Bailey sembari mengelap tangan. Para pelayan menundukkan pandangan dan melanjutkan kegiatan."Aku haus," jawab Bailey. Mengambil gelas."Ah, sebentar, biar saya ambilkan." Dexter bergegas mengambil gelas, namun langkahnya terhenti karena Bailey sudah lebih dulu mengisi gelasnya."Tidak usah, Dexter ... terima kasih. Ini hanya air putih," ujar Bailey seraya mengangkat gelas berisi air putih di tangan. Setelahnya, Bailey berjalan keluar dapur lalu mendudukkan diri di kursinya, membiarkan para pelayan menghidangkan makan malam di meja dengan gugup. Tentu saja gugup, bel
"Perapian sudah siap!""Woaaahhhh ... Bold hebat!! Cepat sekalii ...." Mata berbinar Mival terarah lurus pada Bold dan perapian di depan prajurit jagur itu. Mival belum pernah membuat api secepat itu, apalagi di malam hari yang udaranya dingin. Meski memakai pemantik pun, dirinya belum bisa secepat Bold menyalakan api dan membuatnya menjadi api unggun kecil."Hmm ... bekal yang Nenek siapkan cukup banyak, tapi tidak dengan jenisnya. Jadi makanan kita malam ini sama seperti tadi siang, dan ini cukup sampai besok malam. Tapi minumnya kurasa akan lebih cepat habis." Shaw menghampiri Bold dan Mival di dekat perapian, meletakkan ranselnya dan mengeluarkan tiga kotak makan serta botol minum."Tidak masalah. Masih ada buah-buahan, 'kan? Kalau kurang, kita bisa mencarinya. Di hutan luar desa ada banyak pohon buah. Ikan pun melimpah di sungai." Bold menenangkan."A-apa itu?" Mival yang asik menyimak tak sengaja melihat benda berwarna putih di ketingg
Atmosfer terasa lebih ramah. Irama dari ranting-ranting dan dahan oleh angin terdengar lebih wajar dibandingkan tadi. Shaw makin yakin, semua karena Morth. Atmosfer, halusinasi, entah apa lagi yang Morth sebabkan. Satu pertanyaan besar dalam benak Shaw, siapa Morth sesungguhnya? Mengapa seisi jenggala sunyi hingga seluruh penjurunya seakan-akan berada di bawah kaki tangan Morth?“Kau pikirkan aku?” Morth tiba-tiba bertanya. Rupanya ia mengekori Shaw.Huh? Apa Morth juga bisa membaca pikiran?Shaw menengok ke belakang, langkahnya melambat. “Jangan katakan kau dapat menembus kepala orang.”“Kau banyak bertanya, belum tuntas seluruhnya.” Morth mensejajarkan diri. Sejenak, ia melihat Shaw dari atas ke bawah. “Orang keras kepala seperti kau tentu akan merenungkannya. Aku benar, bukan?”“Kita baru saling tahu beberapa saat lalu dan kau yakin sekali dengan kata-katamu. Antara kau pandai menilai atau hanya pandai berasumsi.” Shaw menggeleng. Pandangan ia tujukan ke depan.Morth menyentuh leng
Tanduk. Hal pertama yang dilihat oleh Shaw dari sumber suara adalah tanduk, tersembunyi di antara dedaunan semak belukar setinggi pinggang orang dewasa.Shaw mengernyit, kemudian bergumam lirih, nyaris tak bersuara, "Itu seperti tanduk rusa."Sepasang mata semerah darah terlihat dari celah dedaunan. Shaw menelan ludah. Ia tahu betul itu bukan mata hewan biasa, apalagi manusia. Tidak ada satu pun penduduk desa yang pernah ditemuinya memiliki mata seperti itu.Mungkinkah ini yang Fu maksud? Apapun itu, merasakan haki tidak biasa dari sang sosok misterius membuat Shaw merasa dirinya tidak boleh berlama-lama.Diliputi kewaspadaan dan dengan suara tercekat, ia berucap dalam hati, "Aku harus segera pergi dari sini."Tanpa melakukan pergerakan yang kentara serta dengan posisi kepala yang masih sama, tatapan Shaw menyisir sekitar; memastikan tidak ada keanehan lain. Ia yang semula berjongkok pun perlahan berdiri sepelan mungkin. Namun, bak lelah bermain petak umpet, ransel yang Shaw gendong m
"Tetap tidak bisa! Terlalu berbahaya. Kau kan tahu lebih baik daripada aku, Tibate." Fu mengangkat kepala, menatap lurus Tibate dan Baldor. Ini bukan waktu yang tepat, pikir Fu. "Lagi pula aku bisa menjaga diri. Akan kupanggil kalian jika hal buruk terjadi dan aku tidak bisa mengatasinya.""Kau bisa tinggal, Fu. Aku akan melanjutkan perjalananku seorang diri," sela Shaw, angkat bicara setelah menimang-nimang."Tidak―""Aku juga akan meninggalkan kudaku di sini." Shaw menepuk pundak Fu. Ia serius ingin Fu tinggal. "Bold bilang ada danau dan tebing. Jadi, aku tidak bisa membawa kudaku. Selain itu, kau bisa mengawasi keadaan hutan dan mengabariku. Kau juga terluka, Fu. Jangan bersikeras seolah kau baik-baik saja. Bagaimanapun kau juga masih anak-anak."Ini adalah tugas Shaw. Sejak awal, Shaw memulainya sendiri, dan ia harus melanjutkannya sendiri. Shaw tidak ingin merepotkan.Fu berdecak, tidak terima, tetapi juga tidak menyangkal ataupun menyanggah. Bertemu Baldor dan Tibate membuatnya
Pria berjanggut memperhatikan sambil mengusap-usap janggut dan kumisnya. Saat otaknya mengingat sesuatu tentang Fu, matanya seketika melebar."Kau ingin aku mencincangmu, hah?!" Tibate berseru.Setelah ikan bakarnya rusak, sekarang dirinya yang nyaris terbakar. Pria plontos itu tidak terima.Tibate menghentak tanah dengan kakinya, bergantian kaki kanan dan kaki kiri. Pegangannya pada gagang pedang semakin erat dan erat.Fu melompat mundur, mengambil sikap siaga dan meningkatkan kewaspadaannya. Ia siap dengan apapun yang akan Tibate lakukan untuk membalasnya.Sebelum Tibate menyerang balik, pria berjanggut yang masih menggenggam keranjang bambu itu berjalan ke depan Tibate, lalu berdiri memunggungi Fu dan Shaw."Kau mau dikutuk atau sudah bosan hidup?!" tanyanya."Apa maksudmu? Kalau kau hanya ingin aku berhenti memberi anak itu pelajaran, sebaiknya kau minggir!" balas Tibate."Kau tahu kau sedang berhadapan dengan siapa? Kau tidak berencana mengingkari janjimu pada Jenderal Besar, 'ka
"Apa kau sedang bercanda?" Tibate mendengus kasar. Ia tampak tidak suka.Pria plontos itu tahu dirinya sudah hidup lama, tetapi bukan berarti ingatannya menua. Ia tahu ingatannya masih berfungsi dengan sangat baik. Ia sangat meyakini itu."Aku tidak bercanda," sanggah Fu, berkacak pinggang. "Kau memberitahukannya sendiri padaku saat aku memberimu buah persik. Kalau kau masih tidak ingat, berarti ada yang salah dengan ingatanmu," imbuhnya.Buah persik?Tibate mengerutkan kening. Ia merasa tidak asing, tetapi tidak mengingat apapun."Sudahlah. Lebih baik kalian pulang sekarang, dan akan kuanggap ini tidak pernah terjadi," ujar Tibate seraya memasang wajah serius."Tidak bisa!" Shaw berseru. "Aku harus pergi ke tenggara!""Ya. Kami tidak bisa kembali ke desa saat ini," Fu menimpali.Tibate memukulkan ujung pedangnya ke tanah, menimbulkan gelombang angin yang kencang. Dedaunan dan batu kerikil tersapu, begitu pun Fu dan Shaw yang ikut terpental."Aduh ...." Shaw mengerang, berusaha bangun
Menjelang pagi, suara kehidupan awal sekali menggaung. Beberapa penduduk desa sudah mulai melakukan aktivitas mereka. Sebagian di dalam rumah, sebagian di luar rumah.Satu di antara manusia yang telah lepas dari peraduannya adalah Wilton. Ia bertugas pagi kali ini."Selalu rajin, ya." Zander berkomentar. Kuda-kuda di kandang bersuara antusias saat Zander memberi mereka makan."Tidak juga. Aku hanya tidur cukup nyenyak semalam, dan tubuhku merasa lebih segar saat aku bangun. Jadi, ya, mungkin lebih bersemangat," sahut Wilson seraya terkekeh kecil."Padahal kau hanya tidur sebentar, 'kan, semalam," Celetuk Zander. Tangannya cekatan melipat karung-karung rumput yang sudah kosong.Wilton tersenyum cerah menanggapinya. Ia memeras kain yang dipakai untuk mengelap kuda yang akan ia pakai untuk mengantar Bailey ke sekolah."Sebentar pun tetap saja namanya tidur, Zan," kata Wilton, keluar dari kandang sambil membawa kain basah dan ember hitam kecil."Ya, tidak salah."Suara derap kaki nyaring
"Ada yang menarik perhatianmu, Vid? Aku sampai mengantuk menunggumu." Bailey menimpali."Ah, maaf maaf .... Tadi ada yang harus kulakukan. Ada sesuatu! Jadi, aku kembali lebih lama," ujar Avidius seraya tersenyum canggung.Avidius adalah cucu Barid. Ia satu sekolah dengan Leonere."Sesuatu apa?" Leonere bertanya.Avidius, remaja berkulit putih kemerahan dengan senyum manis dan lesung pipi itu mengeluarkan sebuah kain merah dari saku pakaian di balik jubahnya. Saat kain dibuka, Leonere dan Bailey membulatkan mata melihat benda yang terpampang di sana."Bukankah itu—" Kata-kata Leonere terhenti. Ia mendekat tergesa dan memegang benda yang ditunjukkan Avidius. "Ini kan ....""Dari mana kau menemukan itu?" tanya Bailey yang juga mendekat.Avidius melirik ke arah belakang sesaat, memastikan sekitarnya aman. Senyumnya pudar seketika."Dari hutan barat laut. Aku menemukannya tadi," bisik Avidius, tampak serius.Bailey dan Leonere tercengang lalu saling menatap. Pikiran keduanya seolah tersam
"Tidak ada yang gratis," sahut Fu seraya menyeringai tipis.Shaw berdecak. "Kubayar dengan manisan.""Apa itu? Tidak cukup! Informasiku sangat mahal, kau tahu.""Ck, kubayar dengan makanan lain. Kau bebas memintanya, dan aku akan membuatkannya untukmu," tawar Shaw.Fu menyeringai penuh kemenangan kini. Sebuah siasat terlintas di benaknya."Bisa dipertimbangkan," kata Fu. Sesaat kemudian seringai di wajahnya hilang, berganti raut serius. "Kurangi kecepatan kudanya. Melewati batang pohon besar di depan itu, buat kudanya berjalan biasa.""Huh? Oke."Shaw percaya pada Fu. Ia mengikuti instruksi Fu tanpa ragu.Pohon-pohon besar yang dimaksud Fu berada 20 meter dari mereka. Warna pohonnya gelap, seolah melambangkan sesuatu yang misterius dan tampak mati. Pepohonan itu seakan telah terbakar. Meski begitu, dedaunannya sangat rimbun.Melewati dua pohon besar tersebut, kuda memasuki jenggala yang lebih gelap dan sunyi dari sebelumnya. Sekeliling tampak benar-benar gelap dengan aura yang terasa
"Ya sudah." Eroth menghela napas.Selain belajar bersikap baik pada budaknya, Eroth pun belajar untuk tidak memaksakan kehendak. Ya, itu sungguhan, bukan sandiwara yang dibuat-buat.Di depan mereka, Aaban mendengarkan dalam diam. Komandan itu sibuk dengan pikirannya.Menjelang ujung dari jenggala ketiga, Fu tiba-tiba berujar. Suaranya terdengar serius di telinga Shaw."Berhenti, Shaw."Shaw menghentikan laju kuda dan melirik Fu. "Ada apa?""Kita ambil jalan lain," tukas Fu."Kenapa? Ada apa dengan jalan ini?""Ada sesuatu di depan. Hakinya tidak jauh berbeda dengan Kaye dan teman-temannya.""Ha?"Shaw menatap lurus, lalu memejamkan mata. Ia mencoba merasakan haki di depan, tetapi tidak merasakan atau melihat apapun."Aku tidak merasakan apapun," kata Shaw seraya membuka mata.Fu berdecak dan memegang kedua pundak Shaw. Aliran haki mengalir dari tangannya."Coba lihat lagi," kata Fu. Shaw mengiyakan.Bayangan sosok berjumlah lebih dari 10 terlihat di kejauhan di depan, dengan haki yang