"Yeayy!!" Shaw melompat riang. Membuat Bailey dan Bold sedikit terkejut. "Bold mau!" serunya. Tersenyum senang.
"Tidak." Bold menjawab. Membuat air muka Shaw berubah. Ia menunduk murung.
"Aku akan berubah pikiran kalau kau bisa menjatuhkan pedangku." Bold menambahkan.
Shaw mengangkat wajah, mengukir kembali senyumnya.
"Bertarung?" tanyanya.
"Shaw belum sembuh benar ... biar kugantikan." Bailey mengusulkan.
"Tidak apa, Bailey .... Tidak masalah," ujar Shaw kemudian. Mundur beberapa langkah dan mencabut pedang dari sarung di sisi kiri.
"Haah ... ya sudah." Bailey mengalah. Menepi; membiarkan Shaw dan Bold melanjutkan. Beberapa prajurit di sana menoleh ketika mendengar pedang Shaw dan Bold mulai beradu, kemudian mendekat dan menonton di tepian; penasaran siapa yang akan menang. Ini adalah momen langka bagi mereka juga Bailey. Ia bisa melihat bagaimana Shaw menggerakkan pedangnya jika bertarung dengan orang lain selain dirinya.
Prajurit yang kebetulan lewat pun mendekat, dan perlahan prajurit-prajurit lain yang tadi berlatih di lapangan utama pun satu persatu mendekat. Berkumpul di tepian; menonton dengan antusias.
"Perhatikan gerakanmu, Bold." Shaw membuka suara. Melempar seringai. Lalu dalam satu langkah kaki, Shaw memotong pergerakan pedang Bailey dari sisi kiri. Ia gerakkan cepat pedangnya; memutar pedang Bold lalu menariknya.
Riuh sorak sorai dan tepuk tangan memenuhi halaman belakang asrama. Terhibur sekali mereka dengan pertarungan Bold dan Shaw. Pun juga terkagum pada permainan pedang Shaw dan cara bagaimana anak itu mengalahkan Bold.
Bailey mendekat, memberi tepuk tangan pada Shaw dengan wajah berseri.
"Kukira permainan pedangmu akan melemah karena tidak berlatih beberapa hari," tutur Bailey. Terkekeh. "Dengan mengalahkan Bold, kau baru saja menjadi pengguna pedang terbaik ketiga di Zanwan!" lanjutnya.
"Ketiga?" Shaw memiringkan kepala.
Bailey mengangguk seraya menjawab, "Kata orang-orang, pengguna pedang terbaik di Zanwan saat ini adalah si Jubah Hitam, lalu Ayah yang kedua, dan yang ketiga adalah Bold. Tapi, karena kau berhasil melepas dan menjatuhkan pedang Bold dari tangannya, maka artinya kau adalah pengguna pedang terbaik ketiga!"
"Begitu yaa ...." Shaw menggaruk tengkuknya dan tersenyum kikuk. 'Si Jubah Hitam? Mungkinkah yang kemarin itu?' tanya Shaw dalam hati.
Atasan pasukan elite yang mendengar kabar kedatangan Shaw dan Bailey pun mendekat, membuat prajurit yang berkumpul pergi membubarkan diri, kembali ke aktivitas masing-masing.
Bold mengambil pedangnya, lalu kembali menghampiri Shaw dan Bailey.
"Kau hebat juga," puji Bold. Menghembuskan napas.
Begitu sampai di hadapan Bailey dan Shaw, Bold jatuhkan lutut beserta harkatnya, menundukkan kepala juga congkaknya. Bold membumi; mengaku kalah ... tunduk pada sang pewaris tahta dan nadimnya.
"Yang rendahan ini sudah memutuskan, memberikan kesetiaan yang tak akan tergerus waktu," ucapnya. Tegas nan tulus.
Shaw dan Bailey terkejut dan mundur satu langkah, keduanya menoleh saling pandang dalam bingung.
"Apa maksudmu, Bold?" tanya Shaw.
"Aku pernah bersumpah akan mengabdikan diri kepada siapapun yang berhasil mengalahkanku," jawab Bold. Masih dengan posisinya.
"...." Shaw kehilangan kata-kata. Raut wajahnya menunjukkan ekspresi antara terkejut dan tidak percaya.
"Bangunlah, Bold." Bailey meminta.
"...." Bold tak bergeming.
Bailey menoleh pada Shaw, memberikan kode melalui gerakan kepala untuk meminta Bold bangun.
"Bangunlah, Bold. Akan kujawab kalau kau bangun." Shaw yang meminta kali ini.
Patuh, Bold menegakkan tubuhnya, kembali tegap seperti ia yang biasanya namun dengan pandangan yang masih menunduk.
"Kau tahu bersumpah seperti itu sangat berbahaya, 'kan? Bagaimana jika yang mengalahkanmu adalah orang jahat? Orang itu bisa saja memanfaatkanmu!" Shaw tidak mengerti juga heran. Dia merasa Bold ceroboh kali ini.
"Dan saya pun sudah memutuskan, memilah akan dengan siapa saya bertarung." Bold menjawab.
Shaw menghela napas, tidak nyaman dengan perubahan sikap Bold.
"Aku tidak menyukai perubahanmu, Bold," jujurnya.
"Sumpah adalah sumpah, Shaw." Itu Bailey. Mengingatkan Shaw meski dirinya sama tidak nyamannya. Dan sekali lagi Shaw menghela napas.
"Tak ada harga yang pantas untuk kesetiaan yang kau tawarkan, Bold. Lalu bagaimana kami akan membayarmu?" tukas Shaw. Mengambil napas dan memberi jeda pada perkataannya. "Kami. Berhubung aku tidak menyukai hal seperti ini, maka jika kau ingin berdiri di sisiku, kau juga harus berdiri di sisi Bailey." Shaw menambahkan.
"Tak ada bayaran yang diperlukan, Tuan. Ini adalah apa yang seharusnya saya lakukan," jawab Bold.
"Kau yakin, Bold?" Bailey bertanya. Perkataan Bold tidak menjelaskan waktu, yang artinya bisa saja bermakna seumur hidup. Dan Bailey tidak yakin akan hal itu.
Bold hanya merespon dengan anggukan. Ia sudah meyakinkan diri sejak pertama kali sumpah itu terucap olehnya, beberapa tahun lalu. Dan mengetahui jikalau orang di hadapannya ini adalah yang dimaksud oleh sumpahnya, Bold semakin yakin.
"Hah, ya sudah ... Tetaplah sehat dan hidup, Bailey ... bawalah Zanwan pada napas yang seharusnya. Anggap saja itu bayaran untuk kesetiaan Bold." Santai Shaw menimpali. Menyatukan jemari kedua tangannya di belakang kepala. Tidak ingin berpusing.
"Dia berbicara padamu, Shaw." Bailey memutar bola matanya.
"Kan sudah kubilang, jika ingin berdiri di sisiku, maka harus berdiri di sisimu juga. Dan Bold bersikeras dengan sumpahnya ... artinya Bold berbicara padamu juga." Shaw menuturkan.
Mata Bailey melebar sesaat mendengar perkataan sahabatnya yang blak-blakan itu. Lalu mengalihkan tatap pada Bold yang masih saja menunduk.
"Angkat kepalamu, Bold. Kami terima apapun yang kau ucapkan ... jadi angkat kepalamu," titah Bailey.
Mendengar itu, Bold mengangkat kepalanya perlahan; menatap lurus sepasang mata Bailey lalu berganti ke Shaw.
Bailey dan Shaw saling berpandangan sesaat, lalu mengangguk dan menghambur bersamaan di detik berikutnya; memeluk Bold. Keduanya tersenyum hangat, sementara Bold mematung; tak bergeming.
"T-Tuan ...." ucap Bold terbata.
"Tak perlu sungkan, Bold. Kita adalah teman baik mulai sekarang," tutur Shaw, mendongakkan kepala yang disambut anggukan Bailey. "Benar, kita adalah teman baik sekarang. Jadi bersikaplah sebagaimana seorang teman bersikap pada temannya ... tidak ada kasta ataupun status sosial. Dan jangan gunakan kata-kata menyebalkan tadi untuk menyebut dirimu jika kau berbicara dengan kami."
Tertegun Bold. Dengan ragu mengangkat kedua tangan, pelan balas memeluk kedua anak lelaki itu. Dan berhati-hati ketika menyentuh pundak Shaw.
Bergetar sukma Bold. Tak pernah ia dapatkan perlakuan seperti ini dari orang lain. Aksi Bailey dan Shaw membawa atma Bold pada guncangan terhebatnya, juga semburat simpul pada parasnya yang tegas dan dingin; mengubah datar yang selalu nampak di sana. Bold tersenyum, hangat dan haru memenuhi dirinya saat ini.
"Baiklah ... kita harus bergegas," tukas Shaw. Melepaskan pelukan. Bailey mengikuti.
Bold tidak bertanya apapun lagi; ia masih dalam kejutnya. Jadi, ia hanya mengangguk dan mengikuti dua anak lelaki yang kini ia anggap sebagai Tuan juga keluarganya.
"Tunggu!" Suara seseorang menghentikan langkah ketiganya saat hendak meninggalkan lapangan utama.
"Jenderal Eduardo Galvan," ucap Bold pelan, kemudian menundukkan pandangan.
"Tuan Muda," sapa seseorang yang dipanggil Jenderal oleh Bold itu. Menundukkan pandangannya sekilas. Lalu beralih menatap lekat Shaw. Sejenak ia terdiam. "Ke mana tujuan kalian berikutnya?" tanyanya.
"Ke rumah Profesor Baldric." Bailey menjawab.
Eduardo mengangguk singkat. Kembali menatap Shaw dalam diam. Tapi sejurus kemudian, tangannya terangkat dengan sebuah sorban yang ia pegang dan ia pakaikan pada Shaw hingga menutupi setengah wajah; mulut dan hidung.
"Jangan lepaskan ini selama kau berada di distrik Aloclya, terutama jika sedang di luar. Kau boleh melepasnya saat di rumah Profesor Baldric nanti," tutur Eduardo.
"Mengapa?" Shaw dan Bailey bertanya bersamaan.
"Kalian akan mengetahui jawabannya suatu hari nanti," ujar Eduardo. Tersenyum. Mempersilakan ketiganya melanjutkan perjalanan.
Setelah mengurus perizinan Bold, dan membantu membereskan pakaian juga barang-barang yang ingin Bold bawa, ketiganya pergi dari asrama. Bold menunggangi kuda miliknya, mengekor di belakang kuda Bailey yang terpacu ke kediaman Baldric. Sesuai yang diucapkan pagi tadi, Bailey membawa Shaw berkunjung.
Beberapa penduduk Aloclya yang berpapasan dengan ketiganya menatap penasaran sebelum kemudian menundukkan pandangan saat ketiganya mendekat lalu melewati mereka, dan kembali mengangkat wajah begitu ketiganya sudah berlalu menjauh.
Terlihat Ramas di halaman depan ketika kuda Bailey dan Bold memasuki pekarangan seusai penjaga membukakan gerbang. Asisten Baldric itu sedang menarik kuda ke kandangnya. 'Sepertinya Profesor baru tiba. Tapi dari mana? Apa dari rumah? Kalau iya, maka lama sekali Profesor mengobrol dengan ayah ....' Bailey membatin.
Ramas yang mendengar suara kuda lain datang langsung menghentikan aksi menarik kuda dan menoleh ke sumber suara.
"Selamat datang, Tuan-Tuan," sambutnya. Memanggil seorang prajurit untuk menggantikan dirinya membawa kuda Baldric ke kandang sementara ia mengantar tamu yang datang.
"Silakan duduk ... mohon tunggu sebentar," ujarnya. Mempersilakan Bailey, Shaw, dan Bold duduk di ruang tamu. Lalu ia masuk ke dalam; memanggil Baldric.
Tak lama, pelayan datang membawa hidangan. Menyusunnya rapi di meja dan kembali setelah mendapat ucapan terima kasih.
Shaw melonggarkan sorban yang menutupi setengah wajahnya; menariknya ke bawah sebatas leher dan mengambil napas banyak-banyak.
"Aku ... tidak biasa memakai ini," akunya. Mengatur napas.
Bailey menepuk-nepuk punggung Shaw, memberi semangat.
"Kau akan segera terbiasa. Jenderal Eduardo adalah orang baik. Aku yakin ada alasan kuat mengapa Jenderal memintamu menyembunyikan wajah selama kau berada di distrik ini. Benar, 'kan, Bold?"
"Benar. Jenderal Eduardo orang yang baik, dan tidak akan melakukan sesuatu tanpa alasan."
Satu hal baik yang masih dipertahankan penduduk Zanwan di tengah hitamnya aturan yang berlaku adalah tradisi memperlakukan tamu. Ruang tamu adalah satu-satunya tempat di mana orang dari semua kalangan bisa merasakan duduk di tempat yang sama.
Penduduk Zanwan memperlakukan tamu mereka dengan baik, tak peduli pangkat dan jabatan. Siapapun yang bertamu ke rumah mereka, akan mendapat perlakuan yang sama dari empunya rumah. Hal inilah yang menjadi salah satu sebab mengapa perompak bajak laut berkeinginan menguasai Zanwan. Mereka meyakini penduduk Zanwan akan menjadi orang yang besar di masa depan. Meyakini diri mereka pada dasarnya adalah orang-orang baik.
"Selamat datang--" Baldric menyambut. Namun kata-katanya terhenti kala mata terarah pada Shaw.
Terdiam Baldric, melangkah mendekat lalu menangkup wajah Shaw. Mengusap kepala Shaw dan menatapnya dengan pandangan sayu. Sementara yang ditatap hanya menampilkan wajah polos yang bingung dan bingung.
"Siapa ... namamu?" tanya Baldric lirih.
"Shaw. Namaku Shaw.""Hanya Shaw?" tanya Baldric lagi. Shaw mengangguk."Hmm ... baiklah, silakan diminum." Baldric duduk. Mengambil gelas berisikan air jeruk manis dan meminumnya."Tuan Muda ... terima kasih sudah beranjang dan membawa Shaw serta.""Hum. Jadi, kenapa Profesor ingin bertemu Shaw?" Bailey tidak bisa menahan diri lagi untuk tidak mengajukan pertanyaan yang muncul dalam benaknya sejak pagi."Saya hanya ingin melihat secara langsung. Ah, kalian pasti belum makan ... mari kita makan!"Baldric berdiri, menggandeng tangan Bailey dan Shaw hingga keduanya mau tak mau berdiri mengikuti. Sedang Bold tetap diam di tempat. Dalam benaknya, Bold berpikir bahwa dirinya tidaklah pantas untuk ikut serta. Di ruang tamu, mereka semua bisa duduk dalam jajar dan tinggi kursi yang sama. Tapi di meja makan, itu adalah hal lain lagi ... tempat yang berbeda.Baldric menolehkan kepala. Melempar senyum hangat pada Bold yang tak ber
Dunia sedang tertidur. Pekat malam menyelimuti raga dalam lelap, menemani sukma dalam bunga mimpi."Siapa kau?"Mata bulat hitamnya menyipit mencoba menyingkap entitas di balik jubah dan topeng hitam sesosok di depan jeruji. Sisi lain memperhatikan gerak jemari sang sosok yang tampak menggerakkan sesuatu. Sebuah kunci.Temaram lentera menghasilkan siluet sang sosok yang justru semakin menyembunyikan dirinya. Hanya berupa bayang hitam yang mengecewakan."Mau apa kau?"Matanya terus mengawasi, sementara daksa memasang kuda-kuda. Tubuh yang melemah kehilangan banyak tenaga oleh luka ia abaikan. Tungkai mundur merapat dinding, bersamaan sang sosok yang berhasil membuka gembok yang mengunci pintu jeruji besi. Melangkah masuk mendekat pada gelapnya ruang.Dan apa yang akan kau temui di pekat lain saat diri memutuskan terjaga di titik tergelapnya malam? Ketika kau tahu bahwa pekat malam menyimpan berjuta misteri. Semua hal bisa
"Apakah Anda terluka, Tuan muda?" Orang yang memanggil Bailey bertanya."Aku tidak apa-apa, Bexter. Tapi kudaku sepertinya tidak bisa berdiri." Bailey menjawab pelan; melihat ke arah sosok misterius yang tersisa. Satu prajurit mengunci kedua tangan orang itu dengan rantai. Sesaat mata keduanya bersirobok saat sang sosok didorong untuk berjalan; melewati Bailey. Sementara keempat orang lainnya yang sudah tidak bernyawa dibopong di pundak oleh empat prajurit berbadan kekar.Bexter menoleh pada kuda Bailey, lalu memerintahkan prajurit lain untuk mengobatinya."Biar prajurit membawa kudanya ke mansion nanti. Tuan muda, oh-! Leher Anda terluka!" Bexter berseru terkejut sekaligus panik. Guratan lukanya tidak besar dan dalam, bahkan tipis. Tapi masalah yang akan timbul karenanya itulah yang membuat Bexter lebih panik. Karena pasti akan ada lebih dari satu punggung yang menerima cambukan nantinya.Bailey meraba lehernya, melihat darah di tangannya d
"Bentuknya seperti peti. Kau tahu ini apa, Bold?"Benda di tangan disodorkan pada Bold agar bisa melihat lebih jelas."Kurasa, memang, peti. Ada tempat kunci, lihatlah." Bold menunjuk pada satu lubang kecil di tengah benda itu."Tapi tidak ada kuncinya.""Mungkin Kakek dan Nenekmu tahu.""Hmm ... benar juga." Shaw menanggapi dengan lesu perkataan Bold barusan. Kakek dan neneknya mungkin tahu, tapi masalahnya adalah ... apakah mereka akan memberikan kunci itu padanya jika mereka tahu dan memilikinya? Sisi muara pikiran buruk dan cemas menghinggapi isi kepala Shaw; gundah ia dibuatnya."Eeeehhhh ... kenapa masih di situ?" Satu dari dua yang baru saja dibicarakan datang. Panjang umur Gracie yang muncul dari pintu, mencari keduanya. "Ayo masuk, hari sudah gelap," ujarnya lagi.Shaw dan Bold saling berpandangan sesaat, lalu berjalan mengikuti Gracie."Nah, ada satu kamar lagi yang kosong, sudah Nenek bersihkan. Bold bi
"Dasar lambat! Ayo cepat!"Ctash!"Ba-baik, Tuan.""Lebih cepat lagi!! Dasar anak pemalas!!"Tungkai yang gemetar melangkah sembari terseok-seok. Kentara sekali dipaksa tetap tegak. Rantai dengan bola logam di kedua kaki tak beralas membuat langkahnya semakin payah, ditambah sebuah karung yang nampak berat sebab daksa terlihat sampai membungkuk membuat usahanya bak bunuh diri.Aksi tak menyenangkan mata tersebut tertangkap pelupuk mata Shaw. Membuatnya segera berbelok menghampiri. Bold yang sedikit terkejut sigap mengikuti. Kedua orang yang mengganggu pemandangan Shaw itu menghentikan diri dan menoleh pada kehadiran yang tak diundang.Terlihat jelaslah oleh Shaw, seorang anak berkulit sawo matang lagi kurus yang terlihat begitu tersiksa namun berusaha tak menunjukkan. Lalu di hadapan samping kirinya, seorang pria dewasa yang Shaw taksir usianya sekitar 40-50 tahun."Siapa kau?" Sang pria dewasa bertanya setelah mengamati
Luka di telapak kaki Mival selesai diobati dan dibalut dengan perban. Shaw lalu melepas sandal yang ia kenakan dan memakaikannya ke kedua kaki Mival."Kau anak yang kuat, Mival. Kau sangat tangguh!" puji Shaw. Menepuk pelan kaki Mival dua kali seraya tersenyum cerah."Sebentar," ucap Shaw. Berdiri dan mencuci tangan juga kotak makannya ke sungai, kemudian memasukkan kotak makan ke dalam ransel setelahnya dan kembali.Mival merasa pipinya basah. Ia mengangkat tangan dan mengusap dengan jemarinya. Tapi ketika air matanya berderai lagi dan lagi, Mival menutup matanya dengan punggung tangan kanan.Shaw duduk di tempatnya, menatap Mival di samping dengan senyum dan membawa anak 8 tahun itu ke dalam dekapan."Kau hebat, Mival. Orang lain belum tentu bisa bertahan sampai sekarang sepertimu," ujar Shaw lirih.Bold terdiam memperhatikan. Ia masih belum terbiasa membuka diri dan memeluk orang lain."Masa depanmu pasti cerah. Kau tidak boleh
Laci dibuka, Bailey mengambil pena dan buku catatan berukuran kecil, lantas menuliskan rentetan kejadian yang ia ingat sejak beberapa hari sebelum penyerangan, saat perang, nama-nama yang ia curigai beserta alasannya, orang yang mengusulkan dan mendesak penundaan hukuman mati di rapat, dan laporan-laporan yang masih ia ingat serta nama-nama pelapornya. Selesainya, pena ia taruh dan melanjutkan membaca.“Dua prajurit itu, terkadang aku melihat mereka berjaga di area tahanan tetua. Maksudku, para orang tua ... jeruji-jeruji di lorong yang kau lewati saat Shaw dihukum. Terkadang aku hanya melihat satu dari mereka, terkadang keduanya. Kalau dipikir-pikir, bukankah seharusnya mereka tidak sesering itu berjaga di tempat yang sama? Bukankah begitu peraturannya? Setidaknya itu yang kutahu dari seorang prajurit yang pernah kutanyai.’’'Hum, memang begitu.' Bailey membenarkan. Menulis lagi di buku catatan.“Aku juga pernah mendengar m
Lampu-lampu ruangan telah menyala, kontras dengan gelap terpajang di luar jendela. Baru Bailey sadari kalau hari sudah malam. Ia melangkah ke dapur, membuat pelayan dan koki di sana menengok dengan desir kejut menjalar seketika."T-tuan Muda, apa yang Anda lakukan di sini? Anda membutuhkan sesuatu?" Itu Dexter, sang koki. Menaruh piring berisi olahan ayam di meja dan menghampiri Bailey sembari mengelap tangan. Para pelayan menundukkan pandangan dan melanjutkan kegiatan."Aku haus," jawab Bailey. Mengambil gelas."Ah, sebentar, biar saya ambilkan." Dexter bergegas mengambil gelas, namun langkahnya terhenti karena Bailey sudah lebih dulu mengisi gelasnya."Tidak usah, Dexter ... terima kasih. Ini hanya air putih," ujar Bailey seraya mengangkat gelas berisi air putih di tangan. Setelahnya, Bailey berjalan keluar dapur lalu mendudukkan diri di kursinya, membiarkan para pelayan menghidangkan makan malam di meja dengan gugup. Tentu saja gugup, bel
Atmosfer terasa lebih ramah. Irama dari ranting-ranting dan dahan oleh angin terdengar lebih wajar dibandingkan tadi. Shaw makin yakin, semua karena Morth. Atmosfer, halusinasi, entah apa lagi yang Morth sebabkan. Satu pertanyaan besar dalam benak Shaw, siapa Morth sesungguhnya? Mengapa seisi jenggala sunyi hingga seluruh penjurunya seakan-akan berada di bawah kaki tangan Morth?“Kau pikirkan aku?” Morth tiba-tiba bertanya. Rupanya ia mengekori Shaw.Huh? Apa Morth juga bisa membaca pikiran?Shaw menengok ke belakang, langkahnya melambat. “Jangan katakan kau dapat menembus kepala orang.”“Kau banyak bertanya, belum tuntas seluruhnya.” Morth mensejajarkan diri. Sejenak, ia melihat Shaw dari atas ke bawah. “Orang keras kepala seperti kau tentu akan merenungkannya. Aku benar, bukan?”“Kita baru saling tahu beberapa saat lalu dan kau yakin sekali dengan kata-katamu. Antara kau pandai menilai atau hanya pandai berasumsi.” Shaw menggeleng. Pandangan ia tujukan ke depan.Morth menyentuh leng
Tanduk. Hal pertama yang dilihat oleh Shaw dari sumber suara adalah tanduk, tersembunyi di antara dedaunan semak belukar setinggi pinggang orang dewasa.Shaw mengernyit, kemudian bergumam lirih, nyaris tak bersuara, "Itu seperti tanduk rusa."Sepasang mata semerah darah terlihat dari celah dedaunan. Shaw menelan ludah. Ia tahu betul itu bukan mata hewan biasa, apalagi manusia. Tidak ada satu pun penduduk desa yang pernah ditemuinya memiliki mata seperti itu.Mungkinkah ini yang Fu maksud? Apapun itu, merasakan haki tidak biasa dari sang sosok misterius membuat Shaw merasa dirinya tidak boleh berlama-lama.Diliputi kewaspadaan dan dengan suara tercekat, ia berucap dalam hati, "Aku harus segera pergi dari sini."Tanpa melakukan pergerakan yang kentara serta dengan posisi kepala yang masih sama, tatapan Shaw menyisir sekitar; memastikan tidak ada keanehan lain. Ia yang semula berjongkok pun perlahan berdiri sepelan mungkin. Namun, bak lelah bermain petak umpet, ransel yang Shaw gendong m
"Tetap tidak bisa! Terlalu berbahaya. Kau kan tahu lebih baik daripada aku, Tibate." Fu mengangkat kepala, menatap lurus Tibate dan Baldor. Ini bukan waktu yang tepat, pikir Fu. "Lagi pula aku bisa menjaga diri. Akan kupanggil kalian jika hal buruk terjadi dan aku tidak bisa mengatasinya.""Kau bisa tinggal, Fu. Aku akan melanjutkan perjalananku seorang diri," sela Shaw, angkat bicara setelah menimang-nimang."Tidak―""Aku juga akan meninggalkan kudaku di sini." Shaw menepuk pundak Fu. Ia serius ingin Fu tinggal. "Bold bilang ada danau dan tebing. Jadi, aku tidak bisa membawa kudaku. Selain itu, kau bisa mengawasi keadaan hutan dan mengabariku. Kau juga terluka, Fu. Jangan bersikeras seolah kau baik-baik saja. Bagaimanapun kau juga masih anak-anak."Ini adalah tugas Shaw. Sejak awal, Shaw memulainya sendiri, dan ia harus melanjutkannya sendiri. Shaw tidak ingin merepotkan.Fu berdecak, tidak terima, tetapi juga tidak menyangkal ataupun menyanggah. Bertemu Baldor dan Tibate membuatnya
Pria berjanggut memperhatikan sambil mengusap-usap janggut dan kumisnya. Saat otaknya mengingat sesuatu tentang Fu, matanya seketika melebar."Kau ingin aku mencincangmu, hah?!" Tibate berseru.Setelah ikan bakarnya rusak, sekarang dirinya yang nyaris terbakar. Pria plontos itu tidak terima.Tibate menghentak tanah dengan kakinya, bergantian kaki kanan dan kaki kiri. Pegangannya pada gagang pedang semakin erat dan erat.Fu melompat mundur, mengambil sikap siaga dan meningkatkan kewaspadaannya. Ia siap dengan apapun yang akan Tibate lakukan untuk membalasnya.Sebelum Tibate menyerang balik, pria berjanggut yang masih menggenggam keranjang bambu itu berjalan ke depan Tibate, lalu berdiri memunggungi Fu dan Shaw."Kau mau dikutuk atau sudah bosan hidup?!" tanyanya."Apa maksudmu? Kalau kau hanya ingin aku berhenti memberi anak itu pelajaran, sebaiknya kau minggir!" balas Tibate."Kau tahu kau sedang berhadapan dengan siapa? Kau tidak berencana mengingkari janjimu pada Jenderal Besar, 'ka
"Apa kau sedang bercanda?" Tibate mendengus kasar. Ia tampak tidak suka.Pria plontos itu tahu dirinya sudah hidup lama, tetapi bukan berarti ingatannya menua. Ia tahu ingatannya masih berfungsi dengan sangat baik. Ia sangat meyakini itu."Aku tidak bercanda," sanggah Fu, berkacak pinggang. "Kau memberitahukannya sendiri padaku saat aku memberimu buah persik. Kalau kau masih tidak ingat, berarti ada yang salah dengan ingatanmu," imbuhnya.Buah persik?Tibate mengerutkan kening. Ia merasa tidak asing, tetapi tidak mengingat apapun."Sudahlah. Lebih baik kalian pulang sekarang, dan akan kuanggap ini tidak pernah terjadi," ujar Tibate seraya memasang wajah serius."Tidak bisa!" Shaw berseru. "Aku harus pergi ke tenggara!""Ya. Kami tidak bisa kembali ke desa saat ini," Fu menimpali.Tibate memukulkan ujung pedangnya ke tanah, menimbulkan gelombang angin yang kencang. Dedaunan dan batu kerikil tersapu, begitu pun Fu dan Shaw yang ikut terpental."Aduh ...." Shaw mengerang, berusaha bangun
Menjelang pagi, suara kehidupan awal sekali menggaung. Beberapa penduduk desa sudah mulai melakukan aktivitas mereka. Sebagian di dalam rumah, sebagian di luar rumah.Satu di antara manusia yang telah lepas dari peraduannya adalah Wilton. Ia bertugas pagi kali ini."Selalu rajin, ya." Zander berkomentar. Kuda-kuda di kandang bersuara antusias saat Zander memberi mereka makan."Tidak juga. Aku hanya tidur cukup nyenyak semalam, dan tubuhku merasa lebih segar saat aku bangun. Jadi, ya, mungkin lebih bersemangat," sahut Wilson seraya terkekeh kecil."Padahal kau hanya tidur sebentar, 'kan, semalam," Celetuk Zander. Tangannya cekatan melipat karung-karung rumput yang sudah kosong.Wilton tersenyum cerah menanggapinya. Ia memeras kain yang dipakai untuk mengelap kuda yang akan ia pakai untuk mengantar Bailey ke sekolah."Sebentar pun tetap saja namanya tidur, Zan," kata Wilton, keluar dari kandang sambil membawa kain basah dan ember hitam kecil."Ya, tidak salah."Suara derap kaki nyaring
"Ada yang menarik perhatianmu, Vid? Aku sampai mengantuk menunggumu." Bailey menimpali."Ah, maaf maaf .... Tadi ada yang harus kulakukan. Ada sesuatu! Jadi, aku kembali lebih lama," ujar Avidius seraya tersenyum canggung.Avidius adalah cucu Barid. Ia satu sekolah dengan Leonere."Sesuatu apa?" Leonere bertanya.Avidius, remaja berkulit putih kemerahan dengan senyum manis dan lesung pipi itu mengeluarkan sebuah kain merah dari saku pakaian di balik jubahnya. Saat kain dibuka, Leonere dan Bailey membulatkan mata melihat benda yang terpampang di sana."Bukankah itu—" Kata-kata Leonere terhenti. Ia mendekat tergesa dan memegang benda yang ditunjukkan Avidius. "Ini kan ....""Dari mana kau menemukan itu?" tanya Bailey yang juga mendekat.Avidius melirik ke arah belakang sesaat, memastikan sekitarnya aman. Senyumnya pudar seketika."Dari hutan barat laut. Aku menemukannya tadi," bisik Avidius, tampak serius.Bailey dan Leonere tercengang lalu saling menatap. Pikiran keduanya seolah tersam
"Tidak ada yang gratis," sahut Fu seraya menyeringai tipis.Shaw berdecak. "Kubayar dengan manisan.""Apa itu? Tidak cukup! Informasiku sangat mahal, kau tahu.""Ck, kubayar dengan makanan lain. Kau bebas memintanya, dan aku akan membuatkannya untukmu," tawar Shaw.Fu menyeringai penuh kemenangan kini. Sebuah siasat terlintas di benaknya."Bisa dipertimbangkan," kata Fu. Sesaat kemudian seringai di wajahnya hilang, berganti raut serius. "Kurangi kecepatan kudanya. Melewati batang pohon besar di depan itu, buat kudanya berjalan biasa.""Huh? Oke."Shaw percaya pada Fu. Ia mengikuti instruksi Fu tanpa ragu.Pohon-pohon besar yang dimaksud Fu berada 20 meter dari mereka. Warna pohonnya gelap, seolah melambangkan sesuatu yang misterius dan tampak mati. Pepohonan itu seakan telah terbakar. Meski begitu, dedaunannya sangat rimbun.Melewati dua pohon besar tersebut, kuda memasuki jenggala yang lebih gelap dan sunyi dari sebelumnya. Sekeliling tampak benar-benar gelap dengan aura yang terasa
"Ya sudah." Eroth menghela napas.Selain belajar bersikap baik pada budaknya, Eroth pun belajar untuk tidak memaksakan kehendak. Ya, itu sungguhan, bukan sandiwara yang dibuat-buat.Di depan mereka, Aaban mendengarkan dalam diam. Komandan itu sibuk dengan pikirannya.Menjelang ujung dari jenggala ketiga, Fu tiba-tiba berujar. Suaranya terdengar serius di telinga Shaw."Berhenti, Shaw."Shaw menghentikan laju kuda dan melirik Fu. "Ada apa?""Kita ambil jalan lain," tukas Fu."Kenapa? Ada apa dengan jalan ini?""Ada sesuatu di depan. Hakinya tidak jauh berbeda dengan Kaye dan teman-temannya.""Ha?"Shaw menatap lurus, lalu memejamkan mata. Ia mencoba merasakan haki di depan, tetapi tidak merasakan atau melihat apapun."Aku tidak merasakan apapun," kata Shaw seraya membuka mata.Fu berdecak dan memegang kedua pundak Shaw. Aliran haki mengalir dari tangannya."Coba lihat lagi," kata Fu. Shaw mengiyakan.Bayangan sosok berjumlah lebih dari 10 terlihat di kejauhan di depan, dengan haki yang