“Baiklah. Apa saja yang perlu kubawa untuk nanti?”
Shaw melangkah lebar-lebar, riang, dan semangat menuju kamar.
“Sepertinya aku harus mencatatnya dulu.”
Ia menghampiri meja dan meraih buku catatan. Namun, tangannya terhenti saat matanya menangkap sesuatu yang tidak asing.
Tas pemberian Daniel!
Mata Shaw membulat. Diraih dan dirabanya tas yang terpampang di hadapan. Dicek pula isinya. Dimiringkan ke depan, kiri, kanan, belakang, memastikan itu adalah tas yang sama.
“Ini tas dari Kak Daniel!” Shaw nyaris berteriak. “Tapi bagaimana bisa ada di sini? Siapa yang membawanya ke sini?”
Shaw mengangkat kepala, menoleh ke jendela yang tertutup. Keningnya berkerut.
“Aku.” Sebuah suara muncul dari belakang.
Shaw membalik badan, menatap waspada, tetapi juga penuh tanda tanya akan sosok misterius yang bersandar pada lemari.
“Siapa?” Shaw bertanya.
Sosok itu maju beberapa langkah, menautkan tangan di belakang, di balik jubahnya, sembari pandang mengitari kamar. Topeng yang dikenakannya menutup sempurna wajah dari atensi Shaw.
“Ruangan ini masih sama, tidak ada yang berubah,” kata sang sosok, pelan dan tenang. Simpul senyum terukir di balik topeng bersama tatapan kesedihan yang tersirat dari matanya.
Kening Shaw makin berkerut. Perkataan jubah hitam membingungkannya. Itu terdengar seperti sang sosok pernah berada di sana sebelumnya, jauh hari, mungkin di masa lalu sedangkan Shaw tidak menemukan itu di ingatannya.
“Apa maksud Anda?” Shaw menelengkan kepala.
Jubah hitam menjatuhkan tatap pada Shaw yang terlihat tenang. Alih-alih menjelaskan, ia malah melempar tanya.
“Apa yang kau sebenarnya coba lakukan?”
Yakin dan tidak yakin, Shaw mengerti maksud pertanyaan tersebut. Pasti tentang rencana pelarian. Kasak-kusuk itu mestilah sampai ke telinga sosok misterius di hadapannya jua.
“Tidak ada urusan untuk saya memberitahukannya.”
Benar, kan? Tidak ada yang perlu Shaw jelaskan. Tidak ada sesuatu yang penting baginya untuk dibagi dengan orang lain terkait itu, apalagi sang sosok yang tidak ia ketahui identitasnya.
Jubah Hitam maju beberapa langkah hingga jarak antara dirinya dengan Shaw terpaut tiga meter. Temaram lentera minyak tidak banyak membantu Shaw yang mencoba melihat mata di balik tudung hitam itu.
“Jika kau mati lima menit setelah ini, apa yang akan kau lakukan di waktu yang tersisa?” Jubah Hitam bertanya. Ini mungkin hanya praduga Shaw, tetapi ia merasa Jubah Hitam menjadi lebih serius.
Shaw mengerjap, terdiam tanpa melepas tatap, bingung harus menjawab apa. Tidak pernah ia memikirkan hal semacam itu.
Jubah Hitam tersenyum hangat di balik topeng. Masuk ke pendengarannya derap langkah mendekat di luar. Ia gerakkan tungkai mengikis jarak, mengulurkan tangan, mengusap kepala Shaw dengan sedikit menekan dan mengacak-acak rambut Shaw.
“Pikirkanlah itu,” ucap Jubah Hitam, kemudian bergeser ke samping, menaruh sebuah benda di atas meja.
“Shaw?” Seseorang memanggil dari luar, arah depan, beriring ketukan pintu.
Shaw menoleh sekilas ke samping, lalu bergegas ke depan, membuka pintu yang dikunci. Spencer dan Gracie selalu berpesan untuk mengunci pintu jika lembayung sudah terlihat.
Sekembalinya ke kamar, tidak didapati lagi sosok misterius berjubah hitam tadi. Hanya ada benda yang ditaruhnya di meja. Shaw mengambilnya, memperhatikan sejenak, lalu menyimpannya ke bagian lemari terdalam.
Pagi buta di depan kandang kuda mansion Hunt, Bailey sedang merapikan pakaian. Wilton bersamanya.
“Wilton, para prajurit belum berganti pos jaga, 'kan?”
Bailey mengusap kuda cokelat yang akan ia tunggangi. Wilton menutup pintu pagar kandang kuda dan menguncinya.
“Sudah, Tuan Muda.”
“Di mana pos jaga Bold?”
“Bold sedang libur. Biasanya dia menghabiskan waktu di asrama.”
“Begitu, ya. Baiklah, terima kasih! Aku pergi dulu, Wilton. Sampai jumpa!”
Bailey melajukan pelan kudanya, menghampiri Edvard yang sudah menunggu di pekarangan depan. Ketika sampai, ia melihat Edvard bercengkerama dengan Profesor Barid Baldric yang datang bersama asistennya, Ramas.
Belum sempat Bailey mendengari, obrolan ketiganya usai. Barid lekas mendekat. Di balik keramahan yang ditunjukkan Barid, Bailey menerka sang profesor datang untuk sesuatu.
“Tuan Muda, apa kita bisa berbincang sejenak?” Barid melontarkan tanya.
“Tentu,” sahut Bailey, turun dari kuda. “Kita bicara di dalam saja.”
Barid melirik Ramas sekejap sebelum mengikuti langkah Bailey. Ramas memberinya anggukan. Ia menunggu di luar bersama Edvard.
“Hari masih awal. Pastilah ada hal penting yang dibawa sampai-sampai bertandang sepagi ini,” pikir Bailey.
“Silakan duduk, Profesor.”
Bailey mendahului, duduk di kursi tunggal. Ia tatap lekat sang profesor dengan tanya.
“Begini ….” Barid membuka suara. “Kabar yang menyebar beberapa hari terakhir sudah sampai ke telinga saya. Jika Tuan Muda berkenan, maukah mengajak Shaw ke rumah saya kapan-kapan?”
Ada sesuatu yang menggelitik Barid perihal kabar itu dan ia ingin memastikannya sendiri. Namun, membahas hal tersebut di sekolah bisa mengundang hal yang tidak diinginkan. Untuk itulah ia datang ke mansion Hunt pagi sekali.
Seorang pelayan datang menyuguhkan hidangan, kembali ke belakang setelah Bailey mengucapkan terima kasih.
“Hum! Aku akan ajak Shaw ke rumah Profesor setelah menemui Bold.”
“Baik. Apa Tuan Hunt ada di rumah?”
“Ayah ada di ruang ….” Ucapan Bailey menggantung, terpotong oleh sahutan dari arah pintu.
“Aku di sini.”
Ascal muncul bersama asisten pribadinya, Bexter Larson, dari pintu depan. Ia duduk di seberang meja Barid dan melepas topi yang dikenakannya, menaruhnya di meja. Bexter berdiri di belakangnya.
Bailey seketika bungkam dan mengalihkan pandangan ke arah lain. Argumennya dengan Ascal di meja makan saat sarapan kemarin lalu menjadi perbincangan terakhir mereka.
“Ada apa, Profesor?”
“Saya ingin membicarakan tentang Tomat Madu.”
Merespon tomat madu yang diucapkan, Ascal menatap Barid agak lama, lalu berpaling kepada Bailey.
“Bukankah kau akan ke rumah Shaw?”
Bailey mengangguk singkat, menoleh pada Barid. “Kutinggal Profesor dengan Ayah, ya ….”
Bailey langsung pergi tanpa berpamitan pada Ascal. Alis Barid terangkat, melirik Ascal. Ia tahu Bailey anak yang sopan dan pemandangan barusan terasa janggal untuknya. Namun, Ascal tidak bereaksi selain menatap punggung Bailey sebentar.
“Kita bicarakan di ruanganku saja.” Ascal berdiri. “Bexter, temani Ramas.”
Jalan menuju ruang kerja Ascal sepi. Jillian pun tidak terlihat.
Duduk di kursi kebesarannya, Ascal menaruh atensi penuh pada Barid.
“Apa yang ingin Paman sampaikan?”
Panggilan Ascal pada Barid jauh lebih akrab. Tentu akan membuat terkejut orang lain jika mendengarnya. Tidak banyak yang tahu bahwa Ascal dan Barid lebih dekat dan lebih akrab dari apa yang dikira kebanyakan orang.
“Neo bilang dia bertemu Keiki dan Keiki mengatakan pernah bertemu dengan Nakachi di Minangkabau delapan tahun lalu.” Barid menaruh kedua tangan di meja. Otaknya mencoba mengingat pesan yang dikirimkan Neo melalui surel.
“Keiki? Nakachi?” Ascal menatap bingung. Sedetik kemudian kedua matanya membulat. “Nakachi asisten Faryl?!”
Barid mengangguk.
“Benar. Nakachi asisten Faryl. Faryl suami Hima. Hima kakak angkat Maru.”
Ascal terdiam saat Barid menyebut nama Maru. Ada gejolak di dalam dirinya.
“Lalu Keiki?”
“Keiki adalah sepupu Nakachi. Keiki Takehiro.”
“Keiki Takehiro? Sepertinya tidak asing.” Ascal bersandar.
“Kalau kau ingat nahkoda muda yang melemparimu dengan ikan kerapu,” kata Barid sambil menahan tawa.
Ascal melebarkan mata.
“Oh, Hiro? Si sipit berambut jambul itu?” tanya Ascal memastikan.
Barid mengangguk.
“Aku tidak akan melupakan anak itu dan perbuatannya. Bisa-bisanya dia membuatku pulang dengan badan bau anyir ikan,” lanjut Ascal dengan nada kesal.
Barid melepaskan tawa.
“Lantas?” Raut muka Ascal kembali serius.
Puas tertawa, Barid menjawab, “Di sana, Nakachi bercerita pada Keiki kalau dia pernah bertemu Hao Yi dan Maru di Bandung dua tahun sebelumnya dan saat itu Hao Yi memberitahu bahwa dia dan Maru tinggal di Argapura.”
“Lalu?” Jelas sekali Ascal tidak sabar mendengar lanjutannya.
“Saat Neo melakukan penelusuran, dia mendapati Hao Yi dan Maru sudah pindah.” Barid menarik napas. “Hanya itu saja.”
“Itu sudah sangat lama.” Ascal beranjak, berjalan ke lemari kaca tempat buku-bukunya tersimpan. Ruang kerjanya adalah ruangan kedap suara. Namun, itu tidak begitu berarti bagi Ascal yang pendengarannya terlampau tajam.
Ascal berbalik, menatap Barid hangat. “Terima kasih, Paman.”
Derit kursi terdengar. Barid menghampiri Ascal, menepuk pundaknya.
“Ada banyak orang yang membutuhkanmu. Percayalah ... keyakinan Hao Yi dan Maru bukanlah omong kosong. Tegarkan pundakmu, Ascal. Kau pasti akan menang. Kau harus percaya itu, As. Kau pasti bisa!”
Ascal bergeming.
“Dan jangan abaikan keluargamu!” kata Barid lagi. Kakinya berderap. Beberapa langkah dari pintu, ia berhenti dan berbalik. “Kau tahu bagaimana perasaan Jill dan kau pernah menjadi seorang anak kecil, bukan?”
Tidak ada sahutan. Ascal membisu. Ia antar Barid keluar sampai menghilang di balik gerbang.
Kembali ke ruang kerja, Ascal hampiri lemari buku. Termenung ia menatap deretan buku yang rapi. Segar dalam ingatan tentang bagaimana dulu rak itu seringkali berantakan karena ulahnya.
Tiap malam, Ascal di masa lalu akan datang untuk mencari satu buku, membacanya sampai habis malam itu juga. Besoknya, ia akan menceritakan apa yang ia baca pada seorang gadis berambut hitam panjang nan lurus, berkulit sewarna batu pualam, dimpel menghias kedua pipinya. Wajahnya terlihat sangat manis dan menggemaskan saat tersenyum menurut Ascal. Salah satu pemandangan terfavorit Ascal.
Sebuah burung merpati putih datang mengetuk jendela kecil di samping atas lemari. Ascal membuka jendelanya, menangkap sang burung. Terlihat sebuah bambu kecil terikat di kakinya. Ascal melepaskan ikatan itu, kemudian melepaskan burung yang langsung terbang ke luar. Jendela ia tutup dan kunci.
Di dalam bambu terdapat sebuah gulungan kertas. Saat gulungan kertas dibuka, terpampang satu baris kalimat yang ditulis dengan aksara sandi. Ascal meremas kertas itu, mengambil korek api, membakar kertasnya sampai tidak bersisa.
“Makin menjadi saja mereka,” gumam Ascal lirih. Memerah wajahnya. Rahangnya mengeras. Kedua tangannya mengepal.
“Tetap pergi atau batalkan?” Shaw berpikir.Shaw dilema. Tujuan utama pergi mencari panasea dan mengajak Bold adalah agar bisa kembali ke barat daya, mengambil tas pemberian Daniel, tetapi sekarang tas itu sudah kembali padanya.“Jadi, kalian akan langsung pergi?”Spencer meletakkan sebuah keranjang penuh apel merah yang sudah dicuci. Ia masukkan apel itu ke dalam dua wadah.“Benar, Kek. Kami akan langsung pergi biar tidak kesorean nanti pulangnya soalnya ini sudah mau siang,” jawab Shaw sambil merapikan pakaian setelah Edvard mengobatinya. Ia menambahkan dalam hati, “Pergi sajalah. Aku sudah terlanjur bilang, Bailey pun pasti sudah mengatakan itu pada orangtuanya. Dia juga sudah di sini.”“Ya sudah, berhati-hatilah. Ini ada apel yang sudah masak. Kakek memetiknya pagi-pagi sekali hari ini,” ujar Spencer, memberikan sekantung apel merah pada Bailey dan Edvard.“Terima kasih, Kek,” jawab Bailey dan Edvard.Shaw, Bailey, dan Edvard lantas pamit. Spencer dan Gracie melepas kepergian ketig
“Yeayy!” Shaw melompat riang. Ia berseru lagi, “Bold mau!”Air muka tenang Bailey berubah. Sekejap ia terkesiap oleh teriakan Shaw. Tingkah Shaw yang langsung menyimpulkan padahal Bold belum menjawab adalah faktor lainnya.“Tidak.” Bold akhirnya menjawab.Sekarang air muka Shaw yang berubah. Ia menunduk murung.Bold mengernyit.“Aku akan berubah pikiran kalau kau bisa menjatuhkan pedangku.”Shaw mengangkat wajah, mengukir kembali senyumnya.“Bertarung?”“Shaw belum sembuh benar. Biar kugantikan.” Bailey mengajukan usul.“Tidak apa, Bailey. Aku saja. Tidak masalah.”Shaw mundur beberapa langkah dan mencabut pedang dari sarung di sisi kiri tubuhnya.“Haah ... ya sudah.”Bailey mengalah, menepi, membiarkan Shaw dan Bold melanjutkan. Beberapa prajurit menengok ketika mendengar pedang Shaw dan Bold mulai beradu, kemudian mendekat dan menonton di tepian. Ini adalah momen langka bagi mereka juga Bailey. Sang Tuan Muda bisa melihat bagaimana Shaw menggerakkan pedangnya jika bertarung dengan or
“Shaw. Namaku Shaw.”“Hanya Shaw?” tanya Barid lagi.Shaw mengangguk.“Hmm ... baiklah. Silakan diminum.”Barid duduk, mengambil gelas berisikan air jeruk manis dan meminumnya.“Tuan Muda, terima kasih sudah beranjang dan membawa Shaw serta.”“Hum. Jadi, kenapa Profesor ingin bertemu Shaw?”Bailey tidak bisa menahan diri lagi untuk tidak mengajukan pertanyaan yang muncul dalam benaknya sejak pagi. Nama Shaw sedang melambung dalam rumor, Bailey tahu benar, tetapi keraguan menyusupinya bahwa Barid ingin bertemu Shaw karena hal tersebut.“Saya hanya ingin melihat secara langsung. Ah, kalian pasti belum makan. Mari kita makan!”Barid berdiri, menggandeng tangan Bailey dan Shaw hingga keduanya mau tak mau berdiri mengikuti.Bold tetap diam di tempat. Dalam benaknya, Bold berpikir bahwa dirinya tidaklah pantas untuk ikut serta. Di ruang tamu, mereka semua bisa duduk dalam jajar dan tinggi kursi yang sama, tetapi di meja makan, itu adalah hal lain lagi. Tempat yang berbeda.Barid menolehkan k
Dunia sedang tertidur. Pekat malam menyelimuti raga dalam lelap, menemani sukma dalam bunga mimpi.“Siapa kau?”Mata bulat hitamnya menyipit, mencoba menyingkap entitas di balik jubah dan topeng hitam sesosok di depan jeruji. Sisi lain memperhatikan gerak jemari sang sosok yang tampak menggerakkan sesuatu. Sebuah kunci.Temaram lentera menghasilkan siluet sang sosok yang justru makin menyembunyikan dirinya. Hanya berupa bayang hitam yang mengecewakan.“Mau apa kau?”Matanya terus mengawasi sementara raga memasang kuda-kuda. Tubuh yang melemah kehilangan banyak tenaga oleh luka ia abaikan. Tungkai mundur merapat dinding bersamaan sang sosok yang berhasil membuka gembok yang mengunci pintu jeruji besi. Sekarang sang sosok melangkah masuk, mendekat pada gelapnya ruang.Ketika kau tahu bahwa pekat malam menyimpan berjuta misteri, kau kira, apa yang akan kau temui saat memutuskan terjaga di titik tergelap malam? Dalam setarik napas, dalam sekejap, semua hal bisa terjadi.“Tuan, lima tahanan
“Apakah Anda terluka, Tuan muda?” Bexter bertanya sambil memindai keadaan Bailey.“Aku tidak apa-apa, Bexter, tapi kudaku sepertinya tidak bisa berdiri.”Bailey melirik sosok misterius yang tersisa. Satu prajurit mengunci kedua tangan sosok tersebut dengan rantai. Sesaat mata keduanya bersirobok saat sang sosok didorong untuk berjalan, melewati Bailey. Keempat sosok lain yang sudah tidak bernyawa digendong di pundak oleh empat prajurit berbadan kekar.“Biar prajurit membawa kudanya ke mansion nanti. Tuan muda, oh! Leher Anda terluka!”Seruan Bexter memancing atensi prajurit lain dan dalam sekejap ketegangan tercipta. Satu dua dari mereka meneguk ludah, lainnya berusaha bersikap biasa.Bailey meraba lehernya, melihat darah di tangannya dari luka itu.“Hanya luka kecil, tidak usah khawatir. Cukup tidak memberitahukannya pada orang lain, maka ini tidak akan jadi masalah.”Bailey tahu apa yang akan terjadi. Meskipun luka di lehernya cenderung tipis, tidak besar dan dalam, masalah tetap aka
“Bentuknya seperti peti. Kau tahu ini apa, Bold?”Benda di tangannya Shaw sodorkan pada Bold agar dapat melihat lebih jelas. Mereka masih di gudang.“Kurasa memang peti. Ada tempat kunci, lihatlah.” Bold menunjuk satu lubang kecil di tengah benda itu.“Tapi tidak ada kuncinya.”“Mungkin kakek dan nenekmu tahu.”“Hmm ... benar juga.”Lesu Shaw menanggapi perkataan Bold barusan. Kakek dan neneknya mungkin tahu, tetapi masalahnya adalah apakah mereka akan memberikan kunci itu padanya jika mereka tahu dan memilikinya? Sisi muara pikiran buruk dan cemas menghinggapi isi kepala Shaw. Gundah ia dibuatnya.“Eeeehhhh ... kenapa masih di situ?”Satu dari dua yang baru saja dibicarakan datang. Panjang umur Gracie yang muncul dari pintu, mencari keduanya.“Ayo, masuk. Hari sudah gelap.”Shaw dan Bold saling berpandangan sesaat, lalu berjalan mengikuti Gracie.Bold agak canggung, tetapi perlakuan hangat kakek nenek Shaw perlahan mencairkannya. Ia bahkan ikut bersenda gurau saat makan malam bersama.
“Dasar lambat! Ayo, cepat!”Ctash!“Ba … baik, Tuan.”“Lebih cepat lagi! Dasar anak pemalas!”Tungkai yang gemetar melangkah terseok-seok. Rantai dengan bola logam di kedua kaki tidak beralas memberatkan langkah, ditambah sebuah karung yang memperparah sampai raga membungkuk.Aksi tidak menyenangkan mata tersebut tertangkap pelupuk mata Shaw. Ia berbelok ke sana. Bold yang sedikit terkejut sigap mengikuti. Kedua orang yang mengganggu pemandangan Shaw itu menghentikan diri dan menoleh pada kehadiran yang tak diundang.Terlihat jelaslah oleh Shaw, seorang anak berkulit sawo matang lagi kurus yang terlihat begitu tersiksa, tetapi berusaha tidak menunjukkan. Di hadapan samping kiri Shaw, seorang pria dewasa yang Shaw taksir usianya sekitar 40-50 tahun.“Siapa kau?” Sang pria dewasa bertanya setelah mengamati Shaw dari atas ke bawah, lalu pandangannya berganti pada Bold yang baru datang.Mengetahui yang mendatanginya adalah prajurit elite tersohor, sang pria mematung di tempat. Pikirannya m
Luka di telapak kaki Mival selesai diobati dan dibalut perban. Shaw melepas sandal yang ia kenakan, memakaikannya ke kaki Mival.“Kau anak yang kuat, Mival. Kau sangat tangguh!” puji Shaw, menepuk pelan betis Mival dua kali seraya tersenyum cerah.“Sebentar ….”Shaw mencuci tangan juga kotak makannya ke sungai, kemudian memasukkan kotak makan ke dalam ransel setelahnya dan kembali.Mival merasa pipinya basah. Ia mengangkat tangan, mengusap dengan jemarinya. Ketika air matanya berderai lagi dan lagi, Mival menutup matanya dengan punggung tangan kanan.Shaw duduk di tempatnya, menatap Mival di samping dengan senyum dan membawa anak delapan tahun itu ke dalam dekapan.“Kau hebat, Mival. Orang lain belum tentu bisa bertahan sampai sekarang sepertimu,” ujar Shaw lirih.Bold terdiam memperhatikan. Ia masih belum terbiasa membuka diri dan memeluk orang lain.“Masa depanmu pasti cerah. Kau tidak boleh putus asa. Semuanya akan membaik,” tutur Shaw lembut sambil mengusap-usap punggung Mival. Ana
“Katakan saja,” ucap Bailey di sela makannya.Bailey tahu dua anak lelaki ini takkan mendatanginya kalau hanya untuk makan. Ada meja-meja kosong lain yang siap untuk ditempati, pun keduanya belum pernah begitu pada Bailey sepanjang sejarah bersekolah walau satu kelas dengan Bailey.“Kami … agak … penasaran. Apa Tuan Muda akan mendaftar untuk turnamen?” Otto Atrius yang duduk di sebelah Milo bertanya. Bibir merah cerahnya berulang kali mengatup dan terbuka setelah pertanyaan diajukan. Otaknya berpikir apakah pertanyaan itu sudah pas atau tidak.“Turnamen umum, maksudmu?” tanya Bailey.Otto mengangguk. “Kami dengar-dengar tahun ini murid yang terpilih untuk mewakili sekolah boleh mendaftar turnamen umum. Kami juga baca informasinya di mading pagi ini.”“Kalau terpilih mewakili sekolah, lalu mendaftar di turnamen umum dan ternyata lolos dalam keduanya ke final, terlebih keluar sebagai juara di peringkat satu, akan otomatis mendapat tiket emas dan bonus berlipat.” Milo turut bicara setela
“Ayah dan Ibu bawa apa? Itu terlihat banyak sekali!” Shaw mengamati tas-tas belanjaan dengan antusias. Salah satu isi yang tertangkap matanya adalah pakaian.“Oh, ini untuk putra Ibu yang paling manis!” Suara wanita menjawab.“Asyik! Pakaian, ya?” tanya Shaw.“Betul. Ada mainan juga!” Suara pria yang bicara.“Horeeee … mainan!” Shaw berseru gembira. Kebahagiaan meluap-luap pada suaranya.Di atas kaca, Shaw gemetar. Ia tidak mengira danau kaca keyakinan akan menampilkan momen seperti itu. Ia kira itu hanya akan berkisar perjalanannya, rencananya dengan Bailey, tantangan yang dihadapi dalam upaya mewujudkan impian tentang Zanwan. Namun, apa yang ia dengar sepenuhnya berbeda. Sama sekali tidak ada dalam bayangannya. Tidak sedikit pun.Mata Shaw bergetar. Air makin banyak di sana, lalu tumpah kala Shaw dengar suara yang sangat familier.“Shaw, jangan melompat-lompat tinggi begitu.” Itu suara Spencer, terdengar riang dan penuh kasih.“Shaw gembira sekali sepertinya.” Gracie menyusul bicara
“Ini danaunya.”Shaw sampai di ujung hutan lain setelah dari hutan sunyi dan melewati padang rumput. Di hadapannya membentang danau jernih yang berkilau, besar dan luas yang tidak mampu Shaw ukur dengan pasti. Ia perkirakan luasnya sama atau bahkan melebihi lapangan alun-alun distrik Acilav.“Sampai di danau itu, cara paling cepat untuk melewatinya adalah membelahnya. Menyeberanginya,” kata Fu dalam pesannya sebelum berpisah. “Jangan terkecoh dengan ukurannya yang kau mungkin kira tidak seberapa luas; masih sangat mungkin untuk dilewati dengan mengitarinya. Terkadang dalam waktu dan untuk alasan yang tidak terduga, setelah melihat wujudnya, begitu kau berjalan, mencoba memutari danau untuk sampai di seberang, di sisi lain, kau akan dapati bahwa ujung danau bahkan tidak kautemukan. Semua yang kaulihat mungkin hanya akan menjadi hamparan air. Tidak ada lagi pepohonan, tidak ada lagi daratan selain tempat kau berpijak dan sekitar.”Shaw berjinjit, mencoba menjangkau seberang danau dengan
“Ada rencana untuk keluar lagi di sisa hari ini, Tuan Muda?” Wilton bertanya seturunnya ia dari kuda, memegangi tali setelah Bailey turun. Mereka baru sampai di mansion, pulang dari sekolah.“Kurasa tidak. Sepertinya aku akan habiskan waktu di meja belajar.”“Baik. Saya akan ada di pos malam ini kalau Tuan Muda butuh sesuatu.”“Ya. Aku masuk, ya. Terima kasih untuk hari ini, Wilton.”Bailey pergi, masuk ke mansion. Wilton mengiringi kepergian Bailey dengan anggukan penuh hormat. Bibirnya melengkung membentuk senyum. Usai Bailey tidak lagi terlihat, Wilton membawa kuda ke kandang.Sampai kamar, Bailey menyalakan penerangan, melepaskan ransel, dan bersih-bersih. Ia melanjutkan dengan menekuri buku-buku mata pelajaran sampai pelayan memanggil namanya dari luar pintu.Makan malam tiba, Bailey berseri-seri menemukan Jillian di meja makan. Canda tawa Jillian serupa bunga-bunga di musim semi dan keceriaan Bariela adalah penyempurna. Jillian telah kembali dengan warna cerahnya, tidak lagi ber
Atmosfer terasa lebih ramah. Irama dari ranting-ranting dan dahan oleh angin terdengar lebih wajar dibandingkan tadi. Shaw makin yakin, semua karena Morth. Atmosfer, halusinasi, entah apa lagi yang Morth sebabkan.Satu pertanyaan besar dalam benak Shaw. Siapa Morth sesungguhnya? Mengapa seisi hutan sunyi hingga seluruh penjurunya seakan-akan berada di bawah kaki tangan Morth?“Kau memikirkan aku?” Morth tiba-tiba bertanya. Rupanya ia mengekori Shaw.Huh? Apa Morth juga bisa membaca pikiran?!Shaw menengok ke belakang, langkahnya melambat.“Jangan katakan kau dapat menembus kepala orang.”“Kau banyak bertanya, belum tuntas seluruhnya.” Morth mensejajarkan diri. Sejenak, ia melihat Shaw dari atas ke bawah. “Orang keras kepala seperti kau tentu akan merenungkannya. Aku benar, bukan?”“Kita baru saling tahu beberapa saat lalu dan kau yakin sekali dengan kata-katamu. Antara kau pandai menilai atau hanya pandai berasumsi.” Shaw menggeleng. Pandangan ia tujukan ke depan.Morth menyentuh lenga
Tanduk. Hal pertama yang dilihat oleh Shaw dari sumber suara adalah tanduk, tersembunyi di antara dedaunan semak belukar setinggi pinggang orang dewasa.Shaw mengernyit, kemudian bergumam lirih dalam hati, “Itu seperti tanduk rusa.”Sepasang mata semerah darah terlihat dari celah dedaunan. Shaw menelan ludah. Ia tahu betul itu bukan mata hewan biasa, apalagi manusia. Tidak ada satu pun penduduk desa yang pernah ditemuinya memiliki mata seperti itu.Mungkinkah ini yang Fu maksud? Apa pun itu, merasakan haki tidak biasa dari sang sosok misterius membuat Shaw merasa dirinya tidak boleh berlama-lama.Diliputi kewaspadaan dan dengan suara tercekat, ia berucap dalam hati, “Aku harus segera pergi dari sini.”Tanpa melakukan pergerakan yang kentara serta dengan posisi kepala yang masih sama, tatapan Shaw menyisir sekitar; memastikan tidak ada keanehan lain. Ia yang semula berjongkok pun perlahan berdiri sepelan mungkin. Namun, bak lelah bermain petak umpet, ransel yang Shaw gendong mengeluarka
“Tetap tidak bisa! Terlalu berbahaya. Kau, kan, tahu lebih baik daripada aku, Tibate.” Fu mengangkat kepala, menatap lurus Tibate dan Baldor. Ini bukan waktu yang tepat, pikir Fu. “Lagi pula aku bisa menjaga diri. Akan kupanggil kalian jika hal buruk terjadi dan aku tidak bisa mengatasinya.”“Kau bisa tinggal, Fu. Aku akan melanjutkan perjalananku seorang diri,” sela Shaw, angkat bicara setelah menimang-nimang.“Tidak ....”“Aku juga akan meninggalkan kudaku di sini.” Shaw menepuk pundak Fu. Ia serius ingin Fu tinggal. “Bold bilang ada danau dan tebing. Jadi, aku tidak bisa membawa kudaku. Selain itu, kau bisa mengawasi keadaan hutan dan mengabariku. Kau juga terluka, Fu. Jangan bersikeras seolah-olah kau baik-baik saja. Bagaimanapun kau juga masih anak-anak.”Ini adalah tugas Shaw. Sejak awal, Shaw memulainya sendiri dan ia harus melanjutkannya sendiri. Shaw tidak ingin merepotkan.Fu berdecak, tidak terima, tetapi juga tidak menyangkal ataupun menyanggah. Bertemu Baldor dan Tibate me
Pria berjanggut memperhatikan sambil mengusap-usap janggut dan kumisnya. Saat otaknya mengingat sesuatu tentang Fu, matanya melebar.“Kau ingin aku mencincangmu, hah?!” Tibate berseru.Setelah ikan bakarnya rusak, sekarang dirinya yang nyaris terbakar. Pria plontos itu tidak terima.Tibate menghentak tanah dengan kakinya, bergantian kaki kanan dan kaki kiri. Pegangannya pada gagang pedang makin erat.Fu melompat mundur, mengambil sikap siaga, meningkatkan kewaspadaannya. Ia siap dengan apa pun yang akan Tibate lakukan untuk membalasnya.Sebelum Tibate menyerang balik, pria berjanggut yang masih menggenggam keranjang bambu berjalan ke depan Tibate, lalu berdiri memunggungi Fu dan Shaw.“Kau mau dikutuk atau sudah bosan hidup?!” tanya pria berjanggut.“Apa maksudmu? Kalau kau hanya ingin aku berhenti memberi anak itu pelajaran, sebaiknya kau minggir!” balas Tibate.“Kau tahu kau sedang berhadapan dengan siapa? Kau tidak berencana mengingkari janjimu pada Jenderal Besar, 'kan?! Ini memang
“Kau sedang bercanda?” Tibate mendengkus kasar. Ia jelas tidak suka.Pria plontos itu tahu dirinya sudah hidup lama, tetapi bukan berarti ingatannya menua. Ia tahu ingatannya masih berfungsi dengan sangat baik. Ia sangat meyakini itu.“Aku tidak bercanda,” sanggah Fu, berkacak pinggang. “Kau memberitahukannya sendiri padaku saat aku memberimu buah persik. Kalau kau masih tidak ingat, berarti ada yang salah dengan ingatanmu.”Buah persik?Tibate mengernyit. Ia merasa tidak asing, tetapi tidak mengingat apa pun.“Sudahlah. Lebih baik kalian pulang sekarang dan akan kuanggap ini tidak pernah terjadi,” ujar Tibate sambil memasang wajah serius.“Tidak bisa!” Shaw berseru. “Aku harus pergi ke tenggara!”“Ya. Kami tidak bisa kembali ke desa saat ini,” timpal Fu.Tibate memukulkan ujung pedangnya ke tanah, menimbulkan gelombang angin yang kencang. Dedaunan dan batu kerikil tersapu, begitu pun Fu dan Shaw yang ikut terpental.“Aduuh!” Shaw mengerang, berusaha bangun dan berdiri.“Sepertinya tid