"Baiklah, apa saja yang perlu kubawa untuk nanti?" Shaw bertanya pada dirinya sendiri. Melangkah lebar-lebar dengan riang dan semangat menuju kamar.
"Sepertinya aku harus mencatatnya dulu," ucapnya. Menghampiri meja dan meraih buku catatan. Namun tangannya terhenti saat matanya menatap sesuatu yang tidak asing. Tas pemberian Daniel!
Mata Shaw membulat. Diraih lalu dirabanya tas yang terpampang di hadapan. Dicek pula isinya. Lalu dimiringkan ke depan, kiri, kanan, belakang. Memastikan itu adalah tas yang sama.
"Ini tas dari Kak Daniel!" ujarnya dengan nada tidak percaya.
"Tapi bagaimana bisa ada di sini? Siapa yang membawanya ke sini?" tanyanya. Mengangkat kepala melihat ke jendela yang tertutup. Keningnya berkerut.
"Aku." Sebuah suara muncul dari belakang. Shaw membalik badan; menatap waspada namun juga penuh tanda tanya pada sosok misterius yang bersandar pada lemari.
"Siapa?" tanya Shaw penasaran.
Sosok itu maju beberapa langkah, menautkan tangan di belakang; di balik jubahnya sembari pandang mengitari kamar. Topeng yang dikenakannya menutup sempurna wajah dari atensi Shaw.
"Ruangan ini masih sama, tidak ada yang berubah," tuturnya dengan nada pelan. Simpul senyum terukir di balik topeng, bersama tatapan kesedihan yang tersirat dari mata.
Kening Shaw semakin berkerut. Perkataan jubah hitam membuatnya bingung.
"Apa maksud Anda?" tanya Shaw. Jubah hitam kini menjatuhkan tatap pada Shaw yang terlihat tenang.
"Apa yang kau sebenarnya coba lakukan?" tanyanya.
Shaw mengerti maksud dari pertanyaan tersebut. Kasak-kusuk itu mestilah sampai ke telinga sosok misterius di hadapannya jua.
"Tidak ada urusan untuk saya memberitahukannya." Benar, tidak ada yang perlu Shaw jelaskan. Tidak ada sesuatu yang penting baginya untuk dibagi dengan orang lain.
Jubah hitam maju beberapa langkah, hingga jarak antara dirinya dengan Shaw terpaut 3 meter. Temaram lentera minyak tak banyak membantu Shaw yang mencoba melihat mata di balik tudung hitam itu.
"Jika kau mati 5 menit setelah ini, apa yang akan kau lakukan di sisa waktumu?" Jubah hitam bertanya.
Shaw mengerjapkan mata, terdiam tak melepas pandangan; bingung harus menjawab apa. Tak pernah ia memikirkan hal itu. Jubah hitam tersenyum hangat di balik topeng. Masuk ke pendengarannya, derap langkah mendekat di luar. Ia gerakkan tungkai mengikis jarak, mengulurkan tangan mengusap kepala Shaw dengan sedikit menekan dan mengacak-acak rambutnya.
"Pikirkanlah itu," ucapnya. Bergeser ke samping, menaruh sebuah benda di atas meja.
"Shaw?" Seseorang memanggil dari depan. Mengetuk pintu.
Shaw menoleh sekilas ke samping, lalu bergegas ke depan; membuka pintu yang dikunci. Spencer dan Gracie selalu berpesan untuk mengunci pintu jika lembayung sudah terlihat.
Sekembalinya ke kamar, tak didapati lagi sosok misterius berjubah hitam tadi. Alih-alih hanya ada benda yang ditaruhnya tadi di atas meja. Shaw mengambilnya; memperhatikan sejenak dan menyimpannya ke lemari bagian dalam, dekat dengan gulungan kertas denah Zanwan.
"Wilton, para prajurit belum berganti pos jaga, 'kan?" Bailey merapikan pakaiannya. Mengusap kuda cokelat yang akan ia tunggangi.
"Sudah, Tuan." Wilton menutup pintu pagar kandang kuda dan menguncinya.
"Di mana pos jaga Bold?"
"Bold sedang libur ... biasanya dia menghabiskan waktu di asrama."
"Begitu, ya ... baiklah, terima kasih! Aku pergi dulu, sampai jumpa!"
Lambai tangan menjadi salam pemisah sebelum kembali pada jadwal.
Bailey melajukan pelan kudanya menghampiri Edvard yang sudah menunggu di pekarangan depan.
"Tuan muda, apa kita bisa berbincang sejenak?" Itu profesor Baldric. Berdiri bersama asistennya--Ramas, dan Edvard.
"Tentu," sahut Bailey. Mengiyakan. Turun dari kuda dan menghampiri mereka. "Mari masuk. Kita bicara di dalam saja," tukasnya.
Hari masih awal, pastilah ada hal penting yang dibawa sampai-sampai bertandang sepagi ini. Pikir Bailey.
"Silakan duduk." Bailey mendahului, duduk di kursi tunggal. Menatap sang profesor dengan tanya.
"Begini-" Baldric membuka suara. "Kabar yang menyebar beberapa hari terakhir sudah sampai ke telinga saya. Jika Tuan Muda berkenan, maukah mengajak Shaw ke rumah saya kapan-kapan?"
Ada sesuatu yang menggelitik Baldric perihal kabar itu, dan ia ingin memastikannya sendiri. Tapi membahas hal tersebut di sekolah bisa mengundang hal yang tidak diinginkan. Untuk itulah, ia datang ke mansion Hunt pagi sekali.
Seorang pelayan datang menyuguhkan hidangan. Lalu kembali ke belakang setelah Bailey mengucapkan terima kasih.
"Hum! Aku akan mengajak Shaw mampir ke rumah Profesor setelah menemui Bold."
"Apa Tuan Hunt ada di rumah?" tanya Baldric lagi.
"Ayah ada di ruang--" ucapan Bailey menggantung, terpotong oleh sahutan dari arah pintu.
"Aku di sini." Ascal muncul bersama asisten pribadinya--Bexter dari pintu depan. Duduk di seberang meja Baldric dan melepas topi yang dikenakannya; menaruhnya di meja. Bexter berdiri di belakangnya.
Bailey seketika bungkam dan mengalihkan pandangan ke arah lain. Argumennya dengan Ascal di meja makan saat sarapan kemarin lalu menjadi perbincangan terakhir mereka.
"Ada apa, Profesor?" tanya Ascal dengan wajah datar.
"Saya ingin membicarakan tentang tomat madu," Ascal menatap Baldric agak lama, lalu menoleh menatap Bailey.
"Bukankah kau akan ke rumah Shaw?" tanyanya.
Bailey mengangguk singkat.
"Kutinggal Profesor dengan ayah, ya ...," tuturnya. Berdiri dan melangkah pergi. Edvard pun pamit; menyusul Bailey.Tatap kembali terarah ke depan.
"Kita bicarakan ini di ruanganku saja. Bexter, temani Ramas." Ascal melirik Bexter sekilas lalu berdiri. Pergi ke ruang kerjanya diikuti Baldric."Apa yang ingin paman sampaikan?" tanya Ascal sesudah mengunci pintu. Duduk di kursinya; menatap Baldric di depannya dengan raut muka penuh tanya.
Panggilannya jauh lebih akrab. Itu akan membuat terkejut orang lain jika mendengarnya. Tak banyak yang tahu, jikalau Ascal dan Baldric lebih dekat dan lebih akrab dari apa yang dikira kebanyakan orang.
"Neo bilang, dia bertemu Keiki. Dan Keiki mengatakan pernah bertemu dengan Nakachi di Minangkabau 8 tahun lalu." Baldric menaruh kedua tangan di meja. Mencoba mengingat pesan yang dikirimkan Neo melalui surel.
"Keiki? Nakachi?" Ascal menatap bingung. Sedetik kemudian kedua matanya membulat. "Nakachi asisten Faryl?!"
Baldric mengangguk.
"Benar. Nakachi asisten Faryl ... suami Hima, kakak angkat Maru."Ascal terdiam saat Baldric menyebut nama Maru. Ada gejolak dalam dirinya.
"Lalu Keiki?"
"Keiki adalah sepupu Nakachi. Keiki Takehiro."
"Keiki Takehiro-? Sepertinya tidak asing." Ascal bersandar. Mencoba menggali ingatannya.
"Kalau kau ingat nahkoda muda yang melemparimu dengan ikan kerapu," tukas Baldric. Menahan tawa. Membuat Ascal melebarkan mata.
"Oh, Hiro? Si sipit berambut jambul itu?" tanya Ascal memastikan. Baldric mengangguk. "Aku tidak akan melupakan anak itu dan perbuatannya. Bisa-bisanya dia membuatku pulang dengan badan bau anyir ikan kerapu," lanjut Ascal dengan nada kesal. Baldric melepaskan tawanya.
"Lantas?" Raut muka Ascal kembali serius.
Puas tertawa, Baldric menjawab.
"Di sana, Nakachi bercerita pada Keiki jikalau ia pernah bertemu dengan Hao Yi dan Maru di Bandung 1 setengah tahun sebelumnya. Dan saat itu Hao Yi memberitahu bahwa ia dan Maru tinggal di Argapura.""Lalu?" Ascal kembali bertanya. Tidak sabar mendengar lanjutannya.
"Saat Neo melakukan penelusuran, ia mendapati Hao Yi dan Maru sudah pindah." Baldric menarik napas. "Hanya itu saja."
"Itu sudah sangat lama." Ascal berdiri; berjalan ke lemari kaca tempat buku-buku. Ruang kerjanya adalah ruangan kedap suara. Tapi itu tak begitu berarti bagi Ascal yang pendengarannya terlampau tajam.
Ascal berbalik; menatap Baldric hangat.
"Terima kasih, Paman."Derit kursi terdengar. Baldric beranjak menghampiri Ascal; menepuk pundaknya.
"Ada banyak orang yang membutuhkanmu. Percayalah ... keyakinan Hao Yi dan Maru bukanlah omong kosong. Tegarkan pundakmu, Ascal ... kau pasti akan menang. Kau harus percaya itu, Cal. Kau pasti bisa!"".... Dan jangan abaikan keluargamu! Kau tahu bagaimana perasaan Jill, dan kau pernah menjadi seorang anak, bukan?" ujar Baldric lagi, berbalik saat beberapa langkah dari pintu.
Tak ada jawaban. Ascal membisu.
Ia antar Baldric keluar sampai menghilang di balik gerbang. Lalu kembali ke ruang kerjanya; menghampiri lemari buku. Termenung ia menatap deretan buku yang rapi. Segar dalam ingatan, bagaimana dulu rak itu seringkali berantakan karena ulahnya.Setiap malam, ia akan datang untuk mencari satu buku ... lalu membacanya sampai habis malam itu juga. Dan besoknya, ia akan menceritakan apa yang ia baca, pada seorang gadis berambut hitam panjang nan lurus, berkulit sewarna batu pualam, dengan dimpel menghias kedua pipi. Membuat wajahnya terlihat sangat manis dan menggemaskan saat tersenyum. Salah satu pemandangan terfavorit Ascal.
Sebuah burung merpati putih datang mengetuk jendela kecil di samping atas lemari. Ascal membuka jendelanya; menangkap sang burung. Terlihat sebuah gulungan kayu kecil terikat di kakinya. Ascal melepaskan ikatan itu kemudian melepaskan burung yang langsung terbang ke luar jendela. Lalu menutup dan mengunci lagi jendela setelahnya.
Dibukanya penutup gulungan, mengeluarkan sebuah gulungan kertas kecil darinya.Saat gulungan kertas dibuka, terlihat satu baris kalimat yang ditulis dengan aksara sandi, yang hanya dimengerti beberapa orang saja di Zanwan. Ascal meremas kertas itu, lalu mengambil korek api dan membakar kertasnya sampai tak bersisa.
"Semakin menjadi saja mereka," gumamnya lirih. Mengepal. Memerah wajahnya karena amarah.
'Tetap pergi atau batalkan?' Gundah Shaw dalam hati. Tujuan utama pergi mencari panasea dan mengajak Bold adalah agar bisa kembali ke barat daya dan mengambil tas pemberian Daniel, tapi sekarang tas itu sudah kembali padanya."Jadi, kalian akan langsung pergi?" Spencer meletakkan sebuah keranjang penuh apel merah yang sudah dicuci. Ia masukkan apel itu ke dalam dua wadah."Benar, Kek. Kami akan langsung pergi ... biar tidak kesorean nanti pulangnya, soalnya ini sudah mau siang." Shaw menjawab. Merapikan pakaiannya. 'Pergi sajalah ... aku sudah terlanjur bilang, Bailey pun pasti sudah mengatakan itu pada orangtuanya.'"Ya sudah, berhati-hatilah. Ini ada apel yang sudah masak. Kakek memetiknya pagi-pagi sekali hari ini," ujar Spencer. Memberikan sekantung apel merah pada Bailey dan Edvard."Terima kasih, Kek." jawab Bailey dan Edvard.Kuda berpacu menjauh, membelah jenggala. Menuju distrik Aloclya.Shaw menengok ke arah kiri saat s
"Yeayy!!" Shaw melompat riang. Membuat Bailey dan Bold sedikit terkejut. "Bold mau!" serunya. Tersenyum senang."Tidak." Bold menjawab. Membuat air muka Shaw berubah. Ia menunduk murung."Aku akan berubah pikiran kalau kau bisa menjatuhkan pedangku." Bold menambahkan.Shaw mengangkat wajah, mengukir kembali senyumnya."Bertarung?" tanyanya."Shaw belum sembuh benar ... biar kugantikan." Bailey mengusulkan."Tidak apa, Bailey .... Tidak masalah," ujar Shaw kemudian. Mundur beberapa langkah dan mencabut pedang dari sarung di sisi kiri."Haah ... ya sudah." Bailey mengalah. Menepi; membiarkan Shaw dan Bold melanjutkan. Beberapa prajurit di sana menoleh ketika mendengar pedang Shaw dan Bold mulai beradu, kemudian mendekat dan menonton di tepian; penasaran siapa yang akan menang. Ini adalah momen langka bagi mereka juga Bailey. Ia bisa melihat bagaimana Shaw menggerakkan pedangnya jika bertarung dengan orang lain selain
"Shaw. Namaku Shaw.""Hanya Shaw?" tanya Baldric lagi. Shaw mengangguk."Hmm ... baiklah, silakan diminum." Baldric duduk. Mengambil gelas berisikan air jeruk manis dan meminumnya."Tuan Muda ... terima kasih sudah beranjang dan membawa Shaw serta.""Hum. Jadi, kenapa Profesor ingin bertemu Shaw?" Bailey tidak bisa menahan diri lagi untuk tidak mengajukan pertanyaan yang muncul dalam benaknya sejak pagi."Saya hanya ingin melihat secara langsung. Ah, kalian pasti belum makan ... mari kita makan!"Baldric berdiri, menggandeng tangan Bailey dan Shaw hingga keduanya mau tak mau berdiri mengikuti. Sedang Bold tetap diam di tempat. Dalam benaknya, Bold berpikir bahwa dirinya tidaklah pantas untuk ikut serta. Di ruang tamu, mereka semua bisa duduk dalam jajar dan tinggi kursi yang sama. Tapi di meja makan, itu adalah hal lain lagi ... tempat yang berbeda.Baldric menolehkan kepala. Melempar senyum hangat pada Bold yang tak ber
Dunia sedang tertidur. Pekat malam menyelimuti raga dalam lelap, menemani sukma dalam bunga mimpi."Siapa kau?"Mata bulat hitamnya menyipit mencoba menyingkap entitas di balik jubah dan topeng hitam sesosok di depan jeruji. Sisi lain memperhatikan gerak jemari sang sosok yang tampak menggerakkan sesuatu. Sebuah kunci.Temaram lentera menghasilkan siluet sang sosok yang justru semakin menyembunyikan dirinya. Hanya berupa bayang hitam yang mengecewakan."Mau apa kau?"Matanya terus mengawasi, sementara daksa memasang kuda-kuda. Tubuh yang melemah kehilangan banyak tenaga oleh luka ia abaikan. Tungkai mundur merapat dinding, bersamaan sang sosok yang berhasil membuka gembok yang mengunci pintu jeruji besi. Melangkah masuk mendekat pada gelapnya ruang.Dan apa yang akan kau temui di pekat lain saat diri memutuskan terjaga di titik tergelapnya malam? Ketika kau tahu bahwa pekat malam menyimpan berjuta misteri. Semua hal bisa
"Apakah Anda terluka, Tuan muda?" Orang yang memanggil Bailey bertanya."Aku tidak apa-apa, Bexter. Tapi kudaku sepertinya tidak bisa berdiri." Bailey menjawab pelan; melihat ke arah sosok misterius yang tersisa. Satu prajurit mengunci kedua tangan orang itu dengan rantai. Sesaat mata keduanya bersirobok saat sang sosok didorong untuk berjalan; melewati Bailey. Sementara keempat orang lainnya yang sudah tidak bernyawa dibopong di pundak oleh empat prajurit berbadan kekar.Bexter menoleh pada kuda Bailey, lalu memerintahkan prajurit lain untuk mengobatinya."Biar prajurit membawa kudanya ke mansion nanti. Tuan muda, oh-! Leher Anda terluka!" Bexter berseru terkejut sekaligus panik. Guratan lukanya tidak besar dan dalam, bahkan tipis. Tapi masalah yang akan timbul karenanya itulah yang membuat Bexter lebih panik. Karena pasti akan ada lebih dari satu punggung yang menerima cambukan nantinya.Bailey meraba lehernya, melihat darah di tangannya d
"Bentuknya seperti peti. Kau tahu ini apa, Bold?"Benda di tangan disodorkan pada Bold agar bisa melihat lebih jelas."Kurasa, memang, peti. Ada tempat kunci, lihatlah." Bold menunjuk pada satu lubang kecil di tengah benda itu."Tapi tidak ada kuncinya.""Mungkin Kakek dan Nenekmu tahu.""Hmm ... benar juga." Shaw menanggapi dengan lesu perkataan Bold barusan. Kakek dan neneknya mungkin tahu, tapi masalahnya adalah ... apakah mereka akan memberikan kunci itu padanya jika mereka tahu dan memilikinya? Sisi muara pikiran buruk dan cemas menghinggapi isi kepala Shaw; gundah ia dibuatnya."Eeeehhhh ... kenapa masih di situ?" Satu dari dua yang baru saja dibicarakan datang. Panjang umur Gracie yang muncul dari pintu, mencari keduanya. "Ayo masuk, hari sudah gelap," ujarnya lagi.Shaw dan Bold saling berpandangan sesaat, lalu berjalan mengikuti Gracie."Nah, ada satu kamar lagi yang kosong, sudah Nenek bersihkan. Bold bi
"Dasar lambat! Ayo cepat!"Ctash!"Ba-baik, Tuan.""Lebih cepat lagi!! Dasar anak pemalas!!"Tungkai yang gemetar melangkah sembari terseok-seok. Kentara sekali dipaksa tetap tegak. Rantai dengan bola logam di kedua kaki tak beralas membuat langkahnya semakin payah, ditambah sebuah karung yang nampak berat sebab daksa terlihat sampai membungkuk membuat usahanya bak bunuh diri.Aksi tak menyenangkan mata tersebut tertangkap pelupuk mata Shaw. Membuatnya segera berbelok menghampiri. Bold yang sedikit terkejut sigap mengikuti. Kedua orang yang mengganggu pemandangan Shaw itu menghentikan diri dan menoleh pada kehadiran yang tak diundang.Terlihat jelaslah oleh Shaw, seorang anak berkulit sawo matang lagi kurus yang terlihat begitu tersiksa namun berusaha tak menunjukkan. Lalu di hadapan samping kirinya, seorang pria dewasa yang Shaw taksir usianya sekitar 40-50 tahun."Siapa kau?" Sang pria dewasa bertanya setelah mengamati
Luka di telapak kaki Mival selesai diobati dan dibalut dengan perban. Shaw lalu melepas sandal yang ia kenakan dan memakaikannya ke kedua kaki Mival."Kau anak yang kuat, Mival. Kau sangat tangguh!" puji Shaw. Menepuk pelan kaki Mival dua kali seraya tersenyum cerah."Sebentar," ucap Shaw. Berdiri dan mencuci tangan juga kotak makannya ke sungai, kemudian memasukkan kotak makan ke dalam ransel setelahnya dan kembali.Mival merasa pipinya basah. Ia mengangkat tangan dan mengusap dengan jemarinya. Tapi ketika air matanya berderai lagi dan lagi, Mival menutup matanya dengan punggung tangan kanan.Shaw duduk di tempatnya, menatap Mival di samping dengan senyum dan membawa anak 8 tahun itu ke dalam dekapan."Kau hebat, Mival. Orang lain belum tentu bisa bertahan sampai sekarang sepertimu," ujar Shaw lirih.Bold terdiam memperhatikan. Ia masih belum terbiasa membuka diri dan memeluk orang lain."Masa depanmu pasti cerah. Kau tidak boleh
Atmosfer terasa lebih ramah. Irama dari ranting-ranting dan dahan oleh angin terdengar lebih wajar dibandingkan tadi. Shaw makin yakin, semua karena Morth. Atmosfer, halusinasi, entah apa lagi yang Morth sebabkan. Satu pertanyaan besar dalam benak Shaw, siapa Morth sesungguhnya? Mengapa seisi jenggala sunyi hingga seluruh penjurunya seakan-akan berada di bawah kaki tangan Morth?โKau pikirkan aku?โ Morth tiba-tiba bertanya. Rupanya ia mengekori Shaw.Huh? Apa Morth juga bisa membaca pikiran?Shaw menengok ke belakang, langkahnya melambat. โJangan katakan kau dapat menembus kepala orang.โโKau banyak bertanya, belum tuntas seluruhnya.โ Morth mensejajarkan diri. Sejenak, ia melihat Shaw dari atas ke bawah. โOrang keras kepala seperti kau tentu akan merenungkannya. Aku benar, bukan?โโKita baru saling tahu beberapa saat lalu dan kau yakin sekali dengan kata-katamu. Antara kau pandai menilai atau hanya pandai berasumsi.โ Shaw menggeleng. Pandangan ia tujukan ke depan.Morth menyentuh leng
Tanduk. Hal pertama yang dilihat oleh Shaw dari sumber suara adalah tanduk, tersembunyi di antara dedaunan semak belukar setinggi pinggang orang dewasa.Shaw mengernyit, kemudian bergumam lirih, nyaris tak bersuara, "Itu seperti tanduk rusa."Sepasang mata semerah darah terlihat dari celah dedaunan. Shaw menelan ludah. Ia tahu betul itu bukan mata hewan biasa, apalagi manusia. Tidak ada satu pun penduduk desa yang pernah ditemuinya memiliki mata seperti itu.Mungkinkah ini yang Fu maksud? Apapun itu, merasakan haki tidak biasa dari sang sosok misterius membuat Shaw merasa dirinya tidak boleh berlama-lama.Diliputi kewaspadaan dan dengan suara tercekat, ia berucap dalam hati, "Aku harus segera pergi dari sini."Tanpa melakukan pergerakan yang kentara serta dengan posisi kepala yang masih sama, tatapan Shaw menyisir sekitar; memastikan tidak ada keanehan lain. Ia yang semula berjongkok pun perlahan berdiri sepelan mungkin. Namun, bak lelah bermain petak umpet, ransel yang Shaw gendong m
"Tetap tidak bisa! Terlalu berbahaya. Kau kan tahu lebih baik daripada aku, Tibate." Fu mengangkat kepala, menatap lurus Tibate dan Baldor. Ini bukan waktu yang tepat, pikir Fu. "Lagi pula aku bisa menjaga diri. Akan kupanggil kalian jika hal buruk terjadi dan aku tidak bisa mengatasinya.""Kau bisa tinggal, Fu. Aku akan melanjutkan perjalananku seorang diri," sela Shaw, angkat bicara setelah menimang-nimang."Tidakโ""Aku juga akan meninggalkan kudaku di sini." Shaw menepuk pundak Fu. Ia serius ingin Fu tinggal. "Bold bilang ada danau dan tebing. Jadi, aku tidak bisa membawa kudaku. Selain itu, kau bisa mengawasi keadaan hutan dan mengabariku. Kau juga terluka, Fu. Jangan bersikeras seolah kau baik-baik saja. Bagaimanapun kau juga masih anak-anak."Ini adalah tugas Shaw. Sejak awal, Shaw memulainya sendiri, dan ia harus melanjutkannya sendiri. Shaw tidak ingin merepotkan.Fu berdecak, tidak terima, tetapi juga tidak menyangkal ataupun menyanggah. Bertemu Baldor dan Tibate membuatnya
Pria berjanggut memperhatikan sambil mengusap-usap janggut dan kumisnya. Saat otaknya mengingat sesuatu tentang Fu, matanya seketika melebar."Kau ingin aku mencincangmu, hah?!" Tibate berseru.Setelah ikan bakarnya rusak, sekarang dirinya yang nyaris terbakar. Pria plontos itu tidak terima.Tibate menghentak tanah dengan kakinya, bergantian kaki kanan dan kaki kiri. Pegangannya pada gagang pedang semakin erat dan erat.Fu melompat mundur, mengambil sikap siaga dan meningkatkan kewaspadaannya. Ia siap dengan apapun yang akan Tibate lakukan untuk membalasnya.Sebelum Tibate menyerang balik, pria berjanggut yang masih menggenggam keranjang bambu itu berjalan ke depan Tibate, lalu berdiri memunggungi Fu dan Shaw."Kau mau dikutuk atau sudah bosan hidup?!" tanyanya."Apa maksudmu? Kalau kau hanya ingin aku berhenti memberi anak itu pelajaran, sebaiknya kau minggir!" balas Tibate."Kau tahu kau sedang berhadapan dengan siapa? Kau tidak berencana mengingkari janjimu pada Jenderal Besar, 'ka
"Apa kau sedang bercanda?" Tibate mendengus kasar. Ia tampak tidak suka.Pria plontos itu tahu dirinya sudah hidup lama, tetapi bukan berarti ingatannya menua. Ia tahu ingatannya masih berfungsi dengan sangat baik. Ia sangat meyakini itu."Aku tidak bercanda," sanggah Fu, berkacak pinggang. "Kau memberitahukannya sendiri padaku saat aku memberimu buah persik. Kalau kau masih tidak ingat, berarti ada yang salah dengan ingatanmu," imbuhnya.Buah persik?Tibate mengerutkan kening. Ia merasa tidak asing, tetapi tidak mengingat apapun."Sudahlah. Lebih baik kalian pulang sekarang, dan akan kuanggap ini tidak pernah terjadi," ujar Tibate seraya memasang wajah serius."Tidak bisa!" Shaw berseru. "Aku harus pergi ke tenggara!""Ya. Kami tidak bisa kembali ke desa saat ini," Fu menimpali.Tibate memukulkan ujung pedangnya ke tanah, menimbulkan gelombang angin yang kencang. Dedaunan dan batu kerikil tersapu, begitu pun Fu dan Shaw yang ikut terpental."Aduh ...." Shaw mengerang, berusaha bangun
Menjelang pagi, suara kehidupan awal sekali menggaung. Beberapa penduduk desa sudah mulai melakukan aktivitas mereka. Sebagian di dalam rumah, sebagian di luar rumah.Satu di antara manusia yang telah lepas dari peraduannya adalah Wilton. Ia bertugas pagi kali ini."Selalu rajin, ya." Zander berkomentar. Kuda-kuda di kandang bersuara antusias saat Zander memberi mereka makan."Tidak juga. Aku hanya tidur cukup nyenyak semalam, dan tubuhku merasa lebih segar saat aku bangun. Jadi, ya, mungkin lebih bersemangat," sahut Wilson seraya terkekeh kecil."Padahal kau hanya tidur sebentar, 'kan, semalam," Celetuk Zander. Tangannya cekatan melipat karung-karung rumput yang sudah kosong.Wilton tersenyum cerah menanggapinya. Ia memeras kain yang dipakai untuk mengelap kuda yang akan ia pakai untuk mengantar Bailey ke sekolah."Sebentar pun tetap saja namanya tidur, Zan," kata Wilton, keluar dari kandang sambil membawa kain basah dan ember hitam kecil."Ya, tidak salah."Suara derap kaki nyaring
"Ada yang menarik perhatianmu, Vid? Aku sampai mengantuk menunggumu." Bailey menimpali."Ah, maaf maaf .... Tadi ada yang harus kulakukan. Ada sesuatu! Jadi, aku kembali lebih lama," ujar Avidius seraya tersenyum canggung.Avidius adalah cucu Barid. Ia satu sekolah dengan Leonere."Sesuatu apa?" Leonere bertanya.Avidius, remaja berkulit putih kemerahan dengan senyum manis dan lesung pipi itu mengeluarkan sebuah kain merah dari saku pakaian di balik jubahnya. Saat kain dibuka, Leonere dan Bailey membulatkan mata melihat benda yang terpampang di sana."Bukankah ituโ" Kata-kata Leonere terhenti. Ia mendekat tergesa dan memegang benda yang ditunjukkan Avidius. "Ini kan ....""Dari mana kau menemukan itu?" tanya Bailey yang juga mendekat.Avidius melirik ke arah belakang sesaat, memastikan sekitarnya aman. Senyumnya pudar seketika."Dari hutan barat laut. Aku menemukannya tadi," bisik Avidius, tampak serius.Bailey dan Leonere tercengang lalu saling menatap. Pikiran keduanya seolah tersam
"Tidak ada yang gratis," sahut Fu seraya menyeringai tipis.Shaw berdecak. "Kubayar dengan manisan.""Apa itu? Tidak cukup! Informasiku sangat mahal, kau tahu.""Ck, kubayar dengan makanan lain. Kau bebas memintanya, dan aku akan membuatkannya untukmu," tawar Shaw.Fu menyeringai penuh kemenangan kini. Sebuah siasat terlintas di benaknya."Bisa dipertimbangkan," kata Fu. Sesaat kemudian seringai di wajahnya hilang, berganti raut serius. "Kurangi kecepatan kudanya. Melewati batang pohon besar di depan itu, buat kudanya berjalan biasa.""Huh? Oke."Shaw percaya pada Fu. Ia mengikuti instruksi Fu tanpa ragu.Pohon-pohon besar yang dimaksud Fu berada 20 meter dari mereka. Warna pohonnya gelap, seolah melambangkan sesuatu yang misterius dan tampak mati. Pepohonan itu seakan telah terbakar. Meski begitu, dedaunannya sangat rimbun.Melewati dua pohon besar tersebut, kuda memasuki jenggala yang lebih gelap dan sunyi dari sebelumnya. Sekeliling tampak benar-benar gelap dengan aura yang terasa
"Ya sudah." Eroth menghela napas.Selain belajar bersikap baik pada budaknya, Eroth pun belajar untuk tidak memaksakan kehendak. Ya, itu sungguhan, bukan sandiwara yang dibuat-buat.Di depan mereka, Aaban mendengarkan dalam diam. Komandan itu sibuk dengan pikirannya.Menjelang ujung dari jenggala ketiga, Fu tiba-tiba berujar. Suaranya terdengar serius di telinga Shaw."Berhenti, Shaw."Shaw menghentikan laju kuda dan melirik Fu. "Ada apa?""Kita ambil jalan lain," tukas Fu."Kenapa? Ada apa dengan jalan ini?""Ada sesuatu di depan. Hakinya tidak jauh berbeda dengan Kaye dan teman-temannya.""Ha?"Shaw menatap lurus, lalu memejamkan mata. Ia mencoba merasakan haki di depan, tetapi tidak merasakan atau melihat apapun."Aku tidak merasakan apapun," kata Shaw seraya membuka mata.Fu berdecak dan memegang kedua pundak Shaw. Aliran haki mengalir dari tangannya."Coba lihat lagi," kata Fu. Shaw mengiyakan.Bayangan sosok berjumlah lebih dari 10 terlihat di kejauhan di depan, dengan haki yang