Ctasshh!
Suara cambukan memenuhi ruangan berdinding batuan yang kasar. Isak tangis pilu wanita paruh baya mengiringi.
Pagi buta, seorang penduduk memberitahu kakek Shaw yang sedang memotong kayu di belakang rumah. Katanya, Shaw ditangkap dan dibawa ke dungeon. Nenek Shaw sedang memotong sayuran di ranjang kayu dekat pintu. Setelah mengunci pintu, kakek dan nenek Shaw bergegas pergi ke dungeon.
Ctasshh!
“Kenakalan apa lagi yang kau lakukan, hah?” Pria dengan setelan seragam abu-abu gelap mendekati Shaw yang bertelanjang dada. Tetesan darah segar mengalir dari bilur di punggung Shaw.
Ctasshh!
Suara cambuk menggema lagi. Pria tegap itu menatap Shaw dengan frustrasi. 143 cambukan sudah dilayangkan, tetapi Shaw masih enggan membuka suara.
Kepala Shaw tertunduk lesu, kedua tangannya telentang diikat rantai. Kedua kakinya terkulai, jatuh jika saja ikatan di kedua tangannya kendor.
Ctasshh!
“Kau keras kepala sekali. Tinggal katakan ke mana tujuan Daniel, maka hukumanmu bisa diringankan.” Pria tegap itu menggeram.
Ctasshh!
Bukan ia tidak mengenal Shaw. Malah, diakuinya Shaw adalah anak dengan pendirian teguh. Paling teguh yang pernah ia temui dan bahkan hal itu menular pada orang lain. Tuan mudanya adalah salah satu dari orang lain itu.
Betapa terkejutnya ia kala mengetahui anak lelaki yang membantu pelarian Daniel adalah Shaw. Sesuatu yang tidak pernah ia duga maupun inginkan.
Tatapan optimis dan keberanian Shaw bisa mengguncang Zanwan suatu saat nanti. Ia bisa melihat jiwa kepemimpinan yang kuat dalam diri Shaw, bahkan menerima luka untuk orang lain pun anak itu mau.
Ctasshh!
Sebenarnya, Shaw memiliki kualitas yang juga diharapkannya. Harapan untuk masa depan Zanwan, seseorang yang bisa membawa Zanwan mengukir sejarah yang lebih baik. Namun, dirinya terlalu sangsi untuk menunjukkan. Jabatan sebagai jagabaya serta keluarganya menjadi taruhan jika ia mencoba menjadi pengkhianat.
Ctasshh!
“Shaw!” Seseorang dari ambang pintu berteriak. Itu Tuan Muda. Napasnya terengah-engah.
Sang tuan muda menghampiri Shaw yang mendongakkan wajah; menatap dengan mata menyipit. Dilihatnya sumber amis darah yang masuk ke penciuman, lalu manik matanya membelalak melihat bilur di punggung Shaw.
Air mukanya memerah padam, ia alihkan pada pria tegap itu, lalu berkata, “Shaw tidak bersalah! Apa yang kau lakukan padanya, Alton?”
Lantang suara Tuan Muda sesaat menggema menggantikan cetar cambuk di ruangan tanpa jendela itu. Kakek dan nenek Shaw yang berdiri di samping dekat dinding menatap penuh harap atas kedatangannya.
“Sebaiknya Anda tidak ikut campur, Tuan Muda Bailey.” Alton berusaha tetap tenang. “Shaw membantu Daniel Dixon pergi. Anda tahu apa hukuman bagi mereka yang mencoba kabur dari Zanwan. Jadi, tolong menyingkirlah. Biarkan saya mengurus anak itu.”
Raut wajah Bailey mendingin seiring sorot mata yang menajam dan rahang yang mengeras.
“Lepaskan ikatannya!”
“Tidak sampai Shaw membuka mulut dan menyelesaikan hukumannya.” Alton bersikukuh. Ia diperintahkan untuk menangani ini dan ia tidak bisa melepaskannya begitu saja atau nyawanya akan melayang.
“Lepaskan ikatannya, Gregoriz!” Bailey mengulang ucapan pada Gregoriz, pria berbadan kekar, di belakang samping kirinya dan Shaw tanpa mengalihkan pandangan dari Alton.
“Tuan Muda, ini adalah perintah ayah Anda. Jadi, ….”
Kata-kata Alton terpotong oleh suara dentingan pedang beradu logam. Bailey menggunakan pedang dan hakinya, memotong paksa rantai yang mengikat kedua tangan Shaw pada tiang penyangga di kanan kiri sementara tangan bebas Bailey menahan tubuh Shaw yang limbung.
“Kau ingin menentangku, Alton Brooks?” Dingin Bailey berujar. Tatapan tajamnya mengintimidasi siapa pun, tidak terkecuali Alton.
Seperti panggilannya, Bailey memang masih muda, sebaya dengan Shaw. Namun, sikapnya yang dingin dan datar tanpa ekspresi memberi kesan tersendiri, memperjelas aura dan kharismanya yang membuat ia disegani oleh orang lain di Zanwan. Ia bahkan digadang-gadang akan menjadi pemimpin dengan nama yang lebih besar dari ayahnya dan pemimpin-pemimpin sebelumnya.
“Tidak, Tuan Muda,” sahut Alton pelan, mengalihkan pandangan pada Gregoriz. “Buka rantainya.”
Gregoriz dengan cepat mengeluarkan kunci, membuka rantai di kedua pergelangan tangan Shaw yang terkulai dengan hati-hati.
Pengalaman Gregoriz di dungeon kira-kira setebal buku lima ratus lembar. Tidak sebentar, tetapi juga belum begitu lama. Ia pun pernah merasakan panasnya cambuk Zanwan di punggung untuk kasus lain dan 100 cambukan lebih dari cukup untuk membuat kulit terasa pedas jika disentuh, apalagi kali ini yang mengalaminya adalah seorang anak sebelas tahun. Gemetar jiwa Greg membayangkannya.
Alton pamit undur diri, melangkah pergi diikuti Gregoriz dan dua orang lainnya. Dalam pijakan pada tangga, pelan sekali Alton mengembuskan napas lega. Untuk pertama kali, dalam hati Alton bersyukur Bailey bertemu dengan Shaw. Ia yakin, Bailey akan menjadi pemimpin yang lebih baik dari para pendahulunya. Bersama Shaw, Bailey akan menjadi cahaya yang mengeluarkan Zanwan dari kegelapan.
Kakek dan nenek Shaw yang menonton sedari tadi bergegas mendekat, memegangi tubuh Shaw sementara Bailey menyarungkan pedangnya.
“Ouh, cucukuu ... huhuhu ....”
Melihat keadaan Shaw dari dekat, air mata nenek Shaw makin deras berderai.
“Naiklah ke punggungku, Shaw.”
Bailey berjongkok membelakangi Shaw. Dengan bantuan Kakek dan Nenek, Shaw menempelkan tubuhnya ke punggung Bailey. Kedua tangannya menjuntai ke depan tubuh sang tuan muda.
“Bertahanlah,” ujar Bailey seraya berdiri.
Kakek berjalan mendahului, membukakan pintu, lalu kembali ke belakang Bailey. Bersisian ia bersama istrinya yang terisak. Tangan ia ulurkan ke punggung istrinya; mengusap-usapnya lembut.
“Shaaw ....” Nenek Shaw terus menangis. Pelan ia menarik-narik pakaian bagian depan Kakek sembari menatap punggung Shaw yang bersimbah darah.
“Kita akan segera pulang. Shaw akan segera diobati.” Kakek masih mengusap lembut punggung istrinya; menyalurkan kekuatan, berharap istrinya itu akan lebih tabah dan tidak pingsan.
Ruangan bawah tanah ini adalah dungeon Zanwan. Dungeon ini memiliki dua lantai. Bagian lantai atas adalah penjara yang diperuntukkan bagi pelanggaran dan hukuman ringan sampai sedang, lantai bawah adalah penjara yang diperuntukkan bagi pelanggaran dan hukuman berat. Ada ruangan-ruangan kosong di lantai bawah yang disediakan untuk melangsungkan hukuman sebelum para terhukum memasuki jeruji mereka masing-masing.
“Bertahan, Shaw! Kau berhutang penjelasan padaku. Aku akan menginterogasimu nanti.” Ingin Bailey mengoceh, tetapi ia simpan dalam hati.
Ruangan tempat Shaw mendapatkan hukuman cambuk adalah ruangan paling ujung di lantai bawah. Untuk keluar, harus melewati lorong gelap juga ruangan-ruangan berjeruji besi, berisikan para pelanggar yang tidak ada satu pun dari mereka masuk ke sana dalam keadaan tubuh tanpa luka. Lantai ini akan lebih gelap dan pengap di malam hari karena penerangan hanya dari lentera yang digantung di tepian dinding. Amis anyir darah menguar di mana-mana. Bukan karena lantainya tak pernah dibersihkan. Namun, karena selalu ada yang dihukum hampir setiap harinya.
“Aku baru tahu kalau tubuhmu yang sama sekali tidak gemuk itu ternyata berat juga.”
Bailey membenarkan posisi dan mengeratkan pegangan; mempercepat langkah agar lekas sampai ke tangga. Muak ia, ingin segera terlepas dari suasana dan hawa yang tidak menyenangkan di lantai bawah. Shaw pun harus segera diobati. Tubuh Shaw makin lunglai dan Bailey seperti tidak merasakan Shaw bernapas.
“Malang sekali kau, Nak.” Suara seorang pria, lirih, terdengar dari salah satu jeruji.
Bailey mengabaikan ucapan tersebut. Yang ada dipikirannya saat ini hanyalah keluar dari dungeon.
“Hukum Zanwan memang tegas. Namun, juga keterlaluan!” Seseorang dari jeruji lain menimpali.Bailey terus berjalan tanpa menoleh ke kanan kiri.“Mau bagaimana lagi? Memasukkan toleransi dan sedikit hati ke dalam hukum Zanwan bagaikan mengharap oasis di padang pasir.” Lagi, seorang pria bersua dari balik jeruji yang baru saja dilalui Bailey, Shaw, Kakek, dan Nenek.“Benar. Itu pun jika mungkin. Para cecunguk itu tentu tidak akan tinggal diam,” sahut tahanan yang lain.Semua tahanan di lorong ini adalah lelaki. Sel tahanan bagi perempuan terpisah guna mencegah hal yang tidak diinginkan. Ada juga penjaga dan pengawal wanita, tetapi jumlahnya masih sebatas hitungan jari. Sedikit sekali.Bailey mengeratkan pegangan tangannya, menaiki tangga dengan hati-hati. Kakek Shaw kembali berjalan ke depan, membukakan pintu. Mereka melewati lusinan sel yang berjajar di kanan kiri sampai di ujung pintu utama dungeon.“Pergilah ke tempat Dokter Edvard. Katakan padanya untuk datang ke rumah Tuan Spencer Po
Kekehan lolos dari bibir Shaw, memalingkan perhatian Bailey, Edvard, dan Spencer. Gracie yang baru kembali dari ruang tamu menatap Shaw dengan terharu. Ia mendekat, membantu Shaw yang berusaha duduk.“Kau bilang kau punya uang?” tanya Shaw, menatap Bailey.Bailey merespon dengan anggukan.Shaw terkekeh lagi, menampilkan sedikit deretan gigi putihnya.“Kalau uang yang kau maksud itu adalah pemberian dari ayah atau keluarga yang lain, kerabatmu, petinggi desa atau lainnya, urungkan niatmu. Bagimu itu uangmu, tapi bagiku itu bukan uangmu.”“Kenapa?” Bailey mengerjap.“Semua uang itu bisa saja menjadi pemicu, bahan bakar masalah di kemudian hari dan kau mungkin saja akan tersudutkan. Aku tidak ingin ada resiko, perintah, atau hukuman yang tidak berdaya untuk ditentang ketika kita seharusnya mampu melakukannya.”“Aku mengerti. Kalau begitu, aku akan bekerja dan menghasilkan uangku sendiri.”Aliran kejut menyapa semua orang yang ada di sana kecuali Bailey atas ucapan yang barusan Bailey lont
Bailey berdecak.“Ketahuilah, Ayah. Kebenaran adalah kebenaran. Tidak ada seorang pun yang dapat membendung ketika kebenaran sudah tiba pada waktu untuk menunjukkan dirinya. Ayah tidak tahu, kan, apa yang sebenarnya diinginkan dan diharapkan penduduk Zanwan?” Bailey memberi atensi penuh kepada Ascal, berharap ayahnya akan memahami maksud dari perkataan dan sorot matanya.“Zaman sudah berubah. Aku menginginkan kebebasan sebagaimana orang lain menginginkannya.” Suara Bailey lebih tenang kali ini.Sejenak Bailey menghela napas, mengalihkan tatap pada roti di piring, lalu melanjutkan, “Akan kupikul beban berat di pundak Ayah. Aku ... aku tidak keberatan untuk menggantikan Ayah nantinya, meneruskan takhta Ayah seperti yang seharusnya. Aku tidak keberatan mengorbankan hidupku untuk Zanwan, melupakan semua mimpi menjelajah dunia luar untuk mengabdi pada Zanwan, tapi ….”Menjeda sejenak, Bailey menyunggingkan senyum. Seutas senyum pedih.“Sebelum hari itu tiba, biarkan aku menjadi diriku sendi
“Tidurlah dengan nyenyak.” Spencer mengusap lembut kepala Shaw.Perapian di dapur sudah dinyalakan. Berat Spencer dan Gracie melajukan tungkai ke kamar, meninggalkan Shaw terbaring sendiri; bermalam di ranjang kayu di dapur, tanpa selimut. Bukan tidak ada, cuma tidak bisa dipakai sesuai fungsinya. Luka di punggung Shaw belum pulih.Derit pintu terdengar menandakan Spencer dan Gracie sudah masuk ke ruang peristirahatan mereka. Perlahan Shaw membuka mata, mengerjap. Otak dan batinnya mulai riuh. Hati merapal pelajaran yang disampaikan Bailey petang tadi.“Tidak ada penyakit yang tidak bisa disembuhkan kecuali kemalasan. Tidak ada obat yang tidak berguna selain kurangnya ilmu pengetahuan.”Sebuah kata mutiara dari Ibnu Sina yang Bailey hafalkan dari buku bacaannya. Tentu bukan buku sekolah, melainkan buku ilegal. Ya, ilegal, karena buku tersebut adalah selundupan. Dipesan khusus oleh Edvard dari temannya di negeri seberang, hadiah atas keberhasilan Bailey menghafal satu buku medis bersama
“Penjagaan di selatan lebih ketat. Aku tidak mungkin ke sana, tapi jalan yang kulewati bersama Kak Daniel pun tidak bisa kulewati lagi. Penjagaannya pasti ditambah.” Mulut Shaw bergerak, bersahutan dengan pikirannya. “Hilir sungai perbatasan di barat lebih mudah dicapai, tapi butuh waktu lebih lama. Penjagaannya pasti ditambah juga.”Shaw menegakkan badan, melipat tangan, mengetuk-ngetuk pelan hidungnya dengan jari telunjuk tangan kanan. Tatapnya masih terarah pada peta, mencari celah sembari otaknya memikirkan cara terbaik untuk sampai ke pesisir dan kembali tanpa ketahuan secepat mungkin. Sesekali meringis ia, merasakan gelenyar perih di punggungnya.Beberapa hari beristirahat total dengan makan dan obat teratur membuat lukanya berangsur membaik, cepat walau belum bisa dikatakan sembuh 50%.“Aha!” Shaw mengangkat jari telunjuk tangan kanan. Matanya melebar cerah menanggapi ide yang terlintas dalam benak. “Kurasa aku bisa menggunakan cara itu. Yah, meski akan memakan waktu lebih lama,
“Baiklah. Apa saja yang perlu kubawa untuk nanti?”Shaw melangkah lebar-lebar, riang, dan semangat menuju kamar.“Sepertinya aku harus mencatatnya dulu.”Ia menghampiri meja dan meraih buku catatan. Namun, tangannya terhenti saat matanya menangkap sesuatu yang tidak asing.Tas pemberian Daniel!Mata Shaw membulat. Diraih dan dirabanya tas yang terpampang di hadapan. Dicek pula isinya. Dimiringkan ke depan, kiri, kanan, belakang, memastikan itu adalah tas yang sama.“Ini tas dari Kak Daniel!” Shaw nyaris berteriak. “Tapi bagaimana bisa ada di sini? Siapa yang membawanya ke sini?”Shaw mengangkat kepala, menoleh ke jendela yang tertutup. Keningnya berkerut.“Aku.” Sebuah suara muncul dari belakang.Shaw membalik badan, menatap waspada, tetapi juga penuh tanda tanya akan sosok misterius yang bersandar pada lemari.“Siapa?” Shaw bertanya.Sosok itu maju beberapa langkah, menautkan tangan di belakang, di balik jubahnya, sembari pandang mengitari kamar. Topeng yang dikenakannya menutup sempu
“Tetap pergi atau batalkan?” Shaw berpikir.Shaw dilema. Tujuan utama pergi mencari panasea dan mengajak Bold adalah agar bisa kembali ke barat daya, mengambil tas pemberian Daniel, tetapi sekarang tas itu sudah kembali padanya.“Jadi, kalian akan langsung pergi?”Spencer meletakkan sebuah keranjang penuh apel merah yang sudah dicuci. Ia masukkan apel itu ke dalam dua wadah.“Benar, Kek. Kami akan langsung pergi biar tidak kesorean nanti pulangnya soalnya ini sudah mau siang,” jawab Shaw sambil merapikan pakaian setelah Edvard mengobatinya. Ia menambahkan dalam hati, “Pergi sajalah. Aku sudah terlanjur bilang, Bailey pun pasti sudah mengatakan itu pada orangtuanya. Dia juga sudah di sini.”“Ya sudah, berhati-hatilah. Ini ada apel yang sudah masak. Kakek memetiknya pagi-pagi sekali hari ini,” ujar Spencer, memberikan sekantung apel merah pada Bailey dan Edvard.“Terima kasih, Kek,” jawab Bailey dan Edvard.Shaw, Bailey, dan Edvard lantas pamit. Spencer dan Gracie melepas kepergian ketig
“Yeayy!” Shaw melompat riang. Ia berseru lagi, “Bold mau!”Air muka tenang Bailey berubah. Sekejap ia terkesiap oleh teriakan Shaw. Tingkah Shaw yang langsung menyimpulkan padahal Bold belum menjawab adalah faktor lainnya.“Tidak.” Bold akhirnya menjawab.Sekarang air muka Shaw yang berubah. Ia menunduk murung.Bold mengernyit.“Aku akan berubah pikiran kalau kau bisa menjatuhkan pedangku.”Shaw mengangkat wajah, mengukir kembali senyumnya.“Bertarung?”“Shaw belum sembuh benar. Biar kugantikan.” Bailey mengajukan usul.“Tidak apa, Bailey. Aku saja. Tidak masalah.”Shaw mundur beberapa langkah dan mencabut pedang dari sarung di sisi kiri tubuhnya.“Haah ... ya sudah.”Bailey mengalah, menepi, membiarkan Shaw dan Bold melanjutkan. Beberapa prajurit menengok ketika mendengar pedang Shaw dan Bold mulai beradu, kemudian mendekat dan menonton di tepian. Ini adalah momen langka bagi mereka juga Bailey. Sang Tuan Muda bisa melihat bagaimana Shaw menggerakkan pedangnya jika bertarung dengan or
“Kau mendengarnya?” Otto bertanya dengan wajah memucat. Suaranya amat pelan sampai nyaris tidak terdengar.Milo mengangguk kecil dalam gerakan patah-patah dan sarat keraguan. Ekspresi pada wajahnya tidak jauh berbeda.Kepala mereka kemudian bergerak bersamaan, berpaling tatap ke baris terdepan, lalu mereka melihat Bailey beranjak dari duduknya, pergi keluar.“Apa Tuan Muda mendengar pembicaraan kita?” Milo bertanya dalam suara lebih rendah, serupa bisik-bisik yang mungkin saja akan hanyut terbawa angin.Otto menggeleng. Bukan jawaban meyakinkan, hanya harapan bahwa itu adalah kenyataan yang terjadi.“Kalau benar, semesta mungkin tidak akan berpihak pada kita setelah ini,” kata Otto.Cemas menyerang Otto. Kalau Bailey benar mendengar pembicaraan mereka, apakah kali ini Bailey akan tersinggung? Kesal? Emosi dan apa pun yang lebih buruk?“Kurasa kita sebaiknya bergegas?” Milo melirik Otto.“Itu keputusan paling baik.” Otto berdiri.Milo memasukkan buku catatan yang baru sebentar ia baca
“Katakan saja,” ucap Bailey di sela makannya.Bailey tahu dua anak lelaki ini takkan mendatanginya kalau hanya untuk makan. Ada meja-meja kosong lain yang siap untuk ditempati, pun keduanya belum pernah begitu pada Bailey sepanjang sejarah bersekolah walau satu kelas dengan Bailey.“Kami … agak … penasaran. Apa Tuan Muda akan mendaftar untuk turnamen?” Otto Atrius yang duduk di sebelah Milo bertanya. Bibir merah cerahnya berulang kali mengatup dan terbuka setelah pertanyaan diajukan. Otaknya berpikir apakah pertanyaan itu sudah pas atau tidak.“Turnamen umum, maksudmu?” tanya Bailey.Otto mengangguk. “Kami dengar-dengar tahun ini murid yang terpilih untuk mewakili sekolah boleh mendaftar turnamen umum. Kami juga baca informasinya di mading pagi ini.”“Kalau terpilih mewakili sekolah, lalu mendaftar di turnamen umum dan ternyata lolos dalam keduanya ke final, terlebih keluar sebagai juara di peringkat satu, akan otomatis mendapat tiket emas dan bonus berlipat.” Milo turut bicara setela
“Ayah dan Ibu bawa apa? Itu terlihat banyak sekali!” Shaw mengamati tas-tas belanjaan dengan antusias. Salah satu isi yang tertangkap matanya adalah pakaian.“Oh, ini untuk putra Ibu yang paling manis!” Suara wanita menjawab.“Asyik! Pakaian, ya?” tanya Shaw.“Betul. Ada mainan juga!” Suara pria yang bicara.“Horeeee … mainan!” Shaw berseru gembira. Kebahagiaan meluap-luap pada suaranya.Di atas kaca, Shaw gemetar. Ia tidak mengira danau kaca keyakinan akan menampilkan momen seperti itu. Ia kira itu hanya akan berkisar perjalanannya, rencananya dengan Bailey, tantangan yang dihadapi dalam upaya mewujudkan impian tentang Zanwan. Namun, apa yang ia dengar sepenuhnya berbeda. Sama sekali tidak ada dalam bayangannya. Tidak sedikit pun.Mata Shaw bergetar. Air makin banyak di sana, lalu tumpah kala Shaw dengar suara yang sangat familier.“Shaw, jangan melompat-lompat tinggi begitu.” Itu suara Spencer, terdengar riang dan penuh kasih.“Shaw gembira sekali sepertinya.” Gracie menyusul bicara
“Ini danaunya.”Shaw sampai di ujung hutan lain setelah dari hutan sunyi dan melewati padang rumput. Di hadapannya membentang danau jernih yang berkilau, besar dan luas yang tidak mampu Shaw ukur dengan pasti. Ia perkirakan luasnya sama atau bahkan melebihi lapangan alun-alun distrik Acilav.“Sampai di danau itu, cara paling cepat untuk melewatinya adalah membelahnya. Menyeberanginya,” kata Fu dalam pesannya sebelum berpisah. “Jangan terkecoh dengan ukurannya yang kau mungkin kira tidak seberapa luas; masih sangat mungkin untuk dilewati dengan mengitarinya. Terkadang dalam waktu dan untuk alasan yang tidak terduga, setelah melihat wujudnya, begitu kau berjalan, mencoba memutari danau untuk sampai di seberang, di sisi lain, kau akan dapati bahwa ujung danau bahkan tidak kautemukan. Semua yang kaulihat mungkin hanya akan menjadi hamparan air. Tidak ada lagi pepohonan, tidak ada lagi daratan selain tempat kau berpijak dan sekitar.”Shaw berjinjit, mencoba menjangkau seberang danau dengan
“Ada rencana untuk keluar lagi di sisa hari ini, Tuan Muda?” Wilton bertanya seturunnya ia dari kuda, memegangi tali setelah Bailey turun. Mereka baru sampai di mansion, pulang dari sekolah.“Kurasa tidak. Sepertinya aku akan habiskan waktu di meja belajar.”“Baik. Saya akan ada di pos malam ini kalau Tuan Muda butuh sesuatu.”“Ya. Aku masuk, ya. Terima kasih untuk hari ini, Wilton.”Bailey pergi, masuk ke mansion. Wilton mengiringi kepergian Bailey dengan anggukan penuh hormat. Bibirnya melengkung membentuk senyum. Usai Bailey tidak lagi terlihat, Wilton membawa kuda ke kandang.Sampai kamar, Bailey menyalakan penerangan, melepaskan ransel, dan bersih-bersih. Ia melanjutkan dengan menekuri buku-buku mata pelajaran sampai pelayan memanggil namanya dari luar pintu.Makan malam tiba, Bailey berseri-seri menemukan Jillian di meja makan. Canda tawa Jillian serupa bunga-bunga di musim semi dan keceriaan Bariela adalah penyempurna. Jillian telah kembali dengan warna cerahnya, tidak lagi ber
Atmosfer terasa lebih ramah. Irama dari ranting-ranting dan dahan oleh angin terdengar lebih wajar dibandingkan tadi. Shaw makin yakin, semua karena Morth. Atmosfer, halusinasi, entah apa lagi yang Morth sebabkan.Satu pertanyaan besar dalam benak Shaw. Siapa Morth sesungguhnya? Mengapa seisi hutan sunyi hingga seluruh penjurunya seakan-akan berada di bawah kaki tangan Morth?“Kau memikirkan aku?” Morth tiba-tiba bertanya. Rupanya ia mengekori Shaw.Huh? Apa Morth juga bisa membaca pikiran?!Shaw menengok ke belakang, langkahnya melambat.“Jangan katakan kau dapat menembus kepala orang.”“Kau banyak bertanya, belum tuntas seluruhnya.” Morth mensejajarkan diri. Sejenak, ia melihat Shaw dari atas ke bawah. “Orang keras kepala seperti kau tentu akan merenungkannya. Aku benar, bukan?”“Kita baru saling tahu beberapa saat lalu dan kau yakin sekali dengan kata-katamu. Antara kau pandai menilai atau hanya pandai berasumsi.” Shaw menggeleng. Pandangan ia tujukan ke depan.Morth menyentuh lenga
Tanduk. Hal pertama yang dilihat oleh Shaw dari sumber suara adalah tanduk, tersembunyi di antara dedaunan semak belukar setinggi pinggang orang dewasa.Shaw mengernyit, kemudian bergumam lirih dalam hati, “Itu seperti tanduk rusa.”Sepasang mata semerah darah terlihat dari celah dedaunan. Shaw menelan ludah. Ia tahu betul itu bukan mata hewan biasa, apalagi manusia. Tidak ada satu pun penduduk desa yang pernah ditemuinya memiliki mata seperti itu.Mungkinkah ini yang Fu maksud? Apa pun itu, merasakan haki tidak biasa dari sang sosok misterius membuat Shaw merasa dirinya tidak boleh berlama-lama.Diliputi kewaspadaan dan dengan suara tercekat, ia berucap dalam hati, “Aku harus segera pergi dari sini.”Tanpa melakukan pergerakan yang kentara serta dengan posisi kepala yang masih sama, tatapan Shaw menyisir sekitar; memastikan tidak ada keanehan lain. Ia yang semula berjongkok pun perlahan berdiri sepelan mungkin. Namun, bak lelah bermain petak umpet, ransel yang Shaw gendong mengeluarka
“Tetap tidak bisa! Terlalu berbahaya. Kau, kan, tahu lebih baik daripada aku, Tibate.” Fu mengangkat kepala, menatap lurus Tibate dan Baldor. Ini bukan waktu yang tepat, pikir Fu. “Lagi pula aku bisa menjaga diri. Akan kupanggil kalian jika hal buruk terjadi dan aku tidak bisa mengatasinya.”“Kau bisa tinggal, Fu. Aku akan melanjutkan perjalananku seorang diri,” sela Shaw, angkat bicara setelah menimang-nimang.“Tidak ....”“Aku juga akan meninggalkan kudaku di sini.” Shaw menepuk pundak Fu. Ia serius ingin Fu tinggal. “Bold bilang ada danau dan tebing. Jadi, aku tidak bisa membawa kudaku. Selain itu, kau bisa mengawasi keadaan hutan dan mengabariku. Kau juga terluka, Fu. Jangan bersikeras seolah-olah kau baik-baik saja. Bagaimanapun kau juga masih anak-anak.”Ini adalah tugas Shaw. Sejak awal, Shaw memulainya sendiri dan ia harus melanjutkannya sendiri. Shaw tidak ingin merepotkan.Fu berdecak, tidak terima, tetapi juga tidak menyangkal ataupun menyanggah. Bertemu Baldor dan Tibate me
Pria berjanggut memperhatikan sambil mengusap-usap janggut dan kumisnya. Saat otaknya mengingat sesuatu tentang Fu, matanya melebar.“Kau ingin aku mencincangmu, hah?!” Tibate berseru.Setelah ikan bakarnya rusak, sekarang dirinya yang nyaris terbakar. Pria plontos itu tidak terima.Tibate menghentak tanah dengan kakinya, bergantian kaki kanan dan kaki kiri. Pegangannya pada gagang pedang makin erat.Fu melompat mundur, mengambil sikap siaga, meningkatkan kewaspadaannya. Ia siap dengan apa pun yang akan Tibate lakukan untuk membalasnya.Sebelum Tibate menyerang balik, pria berjanggut yang masih menggenggam keranjang bambu berjalan ke depan Tibate, lalu berdiri memunggungi Fu dan Shaw.“Kau mau dikutuk atau sudah bosan hidup?!” tanya pria berjanggut.“Apa maksudmu? Kalau kau hanya ingin aku berhenti memberi anak itu pelajaran, sebaiknya kau minggir!” balas Tibate.“Kau tahu kau sedang berhadapan dengan siapa? Kau tidak berencana mengingkari janjimu pada Jenderal Besar, 'kan?! Ini memang