Note : Mulai dari bab ini ... mengandung unsur kekerasan, luka, dan darah! Mohon sikapi dengan bijak, yaa~!
(๑˃̵ ᴗ ˂̵)و
Kalau tidak, tulis komen minimal 30 kata!
( ̄へ  ̄)
»»————>‧✧༺♡♡♡༻✧<————««
Ctash!
Suara cambukan memenuhi ruangan rustic itu, diiringi isak tangis pilu wanita paruh baya di sana; nenek Shaw.
Pagi buta, seorang penduduk memberitahu kakek Shaw yang sedang memotong kayu di belakang rumah bahwa Shaw ditangkap dan dibawa ke dungeon, sedang nenek Shaw tengah memotong sayuran di ranjang kayu dekat pintu. Setelah mengunci pintu, kakek dan nenek bergegas pergi ke dungeon.
Ctash!
"Kenakalan apa lagi yang kau lakukan, hah?" Pria bertubuh tegap melangkah mendekati seorang anak lelaki berusia 11 tahun yang bertelanjang dada. Tetesan darah segar mengalir dari garis-garis luka cambuk di punggungnya.
Ctash!
Suara cambuk terdengar lagi. Pria tegap itu menatap Shaw dengan frustasi dan frustasi. 143 cambukan sudah dilayangkan, tapi anak itu masih enggan membuka mulut. Kepalanya tertunduk lesu, kedua tangannya terlentang diikat rantai. Kedua kakinya terkulai, nyaris jatuh jika ikatan di kedua tangannya kendor.
Ctash!
"Kau keras kepala sekali. Tinggal katakan ke mana tujuan Daniel, maka hukumanmu bisa diringankan." Pria tegap itu menggeram.
Ctash!
Bukan ia tak mengenal Shaw. Malah, diakuinya Shaw adalah anak dengan pendirian teguh. Paling teguh yang pernah ia temui, dan bahkan hal itu menular pada orang lain. Tuan mudanya adalah salah satu dari orang lain itu.
Betapa terkejutnya ia kala mengetahui anak lelaki yang membantu pelarian Daniel adalah Shaw. Sesuatu yang tak pernah ia duga maupun inginkan.
Tatapan optimis dan keberanian Shaw bisa mengguncang Zanwan suatu saat nanti, dan itu adalah sesuatu yang tidak disukai atasannya. Ia bisa melihat jiwa kepemimpinan yang kuat dalam diri Shaw. Bahkan menerima luka untuk orang lain pun anak itu mau.
Ctash!
Sebenarnya, Shaw memiliki kualitas yang juga diharapkannya ... harapan untuk masa depan Zanwan, seseorang yang bisa membawa Zanwan mengukir sejarah yang lebih baik. Namun dirinya terlalu gengsi untuk menunjukkan ... jabatan sebagai jagabaya dan keluarganya menjadi taruhan jika ia mencoba menjadi pengkhianat.
Ctash!
"Shaw!!" Teriak seseorang dari ambang pintu. Itu tuan muda. Napasnya terengah akibat lari cepat.
Sang tuan muda menghampiri Shaw yang mendongakkan wajah; menatap dengan mata menyipit. Dilihatnya sumber amis darah yang masuk ke penciuman, lalu manik matanya membelalak melihat luka-luka di punggung Shaw.
Air mukanya memerah padam, ia alihkan pada pria tegap itu. Lalu berkata, "Shaw tidak bersalah! Apa yang kau lakukan padanya, Alton??" Lantang suaranya, sesaat menggema menggantikan cetar suara cambuk di ruangan tanpa jendela itu. Kakek dan nenek yang berdiri di samping dekat dinding menatap penuh harap atas kedatangan tuan muda.
"Sebaiknya Anda tidak ikut campur, Tuan muda Bailey," jawab Alton. Berusaha setenang mungkin. "Shaw membantu Daniel Dixon pergi. Dan Anda tahu apa hukuman bagi mereka yang mencoba kabur dari Zanwan. Jadi menyingkirlah, biarkan saya mengurus anak itu," tambahnya.
Zanwan adalah sebuah desa di pulau terpencil yang di kelilingi bukit batu di utara dan timur, dan bukit rumput di barat dan selatan. Lalu hutan lebat mengelilingi di bagian luarnya. Namanya sesuai dengan nama pulaunya.
Desa ini masih kental dengan patriarki, di mana penguasa sebagai hukum tertinggi nan mutlak. Pemimpinnya selama bertahun-tahun dari generasi ke generasi adalah para otoriter berdarah dingin. Hukuman mati menjadi sesuatu yang akrab di telinga penduduknya.
Percobaan melarikan diri sangat dilarang di Zanwan. Karenanya, dibangun pos-pos dan menara di sepanjang jenggala dan pantai untuk mencegah hal tersebut terjadi. Siapapun yang ketahuan melakukan hal itu, akan dihukum 200 cambukan punggung bagi laki-laki berusia 10-17 tahun, dan 500 cambukan punggung bagi laki-laki berusia 18 tahun ke atas. Lalu dikurung di penjara bawah tanah sampai batas waktu yang tidak tentu. Sementara untuk perempuan, akan langsung dikurung penjara, juga dengan batas waktu yang tidak tentu. Kebanyakan dari mereka berakhir dijual sebagai budak.
Raut wajah Bailey mendingin, seiring sorot mata yang menajam dan rahang yang mengeras.
"Lepaskan ikatannya!" Tegas Bailey memberi perintah.
"Tidak sampai Shaw membuka mulut dan menyelesaikan hukumannya." Alton bersikukuh pada pendiriannya. Ia diperintahkan untuk menangani ini, dan ia tidak bisa melepaskannya begitu saja atau nyawanya akan melayang.
"Lepaskan ikatannya, Gregoriz!" Bailey mengulangi ucapannya, pada pria tegap berbadan besar di belakang samping kirinya dan Shaw tanpa mengalihkan pandangan dari Alton.
"Tuan muda, ini adalah perintah ayah Anda. Jadi—" Kata-kata Alton terpotong oleh suara dentingan pedang beradu dengan logam. Bailey menggunakan pedangnya, memotong paksa rantai yang mengikat kedua tangan Shaw pada tiang penyangga di kanan kiri. Sedang tangan bebas Bailey menahan tubuh Shaw yang limbung.
"Kau ingin menentangku, Alton Brooks?" Dingin Bailey berujar. Tatapan tajamnya mengintimidasi siapapun, tak terkecuali Alton.
Seperti panggilannya, Bailey memang masih muda ... bahkan usianya sebaya dengan Shaw. Namun sikapnya yang dingin dan datar tanpa ekspresi memberi kesan tersendiri pada dirinya, memperjelas aura dan kharismanya yang membuat ia semakin disegani oleh orang lain di Zanwan. Ia bahkan digadang kelak akan menjadi pemimpin dengan nama yang lebih besar dari ayahnya dan pemimpin-pemimpin sebelumnya.
"Tidak, Tuan muda," timpal Alton pelan. Mengalihkan pandangan pada Gregoriz. "Buka rantainya," titahnya. Greg dengan cepat mengeluarkan kunci, lalu membuka rantai di kedua pergelangan tangan Shaw yang terkulai dengan hati-hati.
Pengalaman Greg di dungeon kira-kira setebal buku lima ratus lembar. Tidak sebentar, tetapi juga belum begitu lama. Pun ia pernah merasakan panasnya cambuk Zanwan di punggung, untuk kasus lain. Dan 100 cambukan lebih dari cukup untuk membuat kulit terasa pedas jika disentuh ... apa lagi kali ini yang mengalaminya adalah seorang anak berusia 11 tahun. Gemetar atma Greg membayangkannya.
Alton pamit undur diri, melangkah pergi diikuti Greg dan dua orang lainnya. Dalam pijakan pada tangga, pelan sekali Alton menghembuskan napas lega. Dan untuk pertama kalinya, dalam hati Alton bersyukur Bailey bertemu dengan Shaw. Ia yakin, Bailey akan menjadi pemimpin yang lebih baik dari para pendahulunya. Bersama Shaw, menjadi cahaya yang akan mengeluarkan Zanwan dari kegelapan.
Kakek dan nenek Shaw yang menonton sedari tadi bergegas mendekat, memegangi tubuh Shaw sementara Bailey menyarungkan pedangnya.
"Ouh, cucukuu ... huhuhu ...." Melihat keadaan Shaw dari dekat membuat air mata nenek semakin deras berderai; terisak parah.
"Naiklah ke punggungku, Shaw." Bailey berjongkok membelakangi Shaw. Dengan bantuan kakek dan nenek, Shaw menempelkan tubuhnya ke punggung Bailey. Kedua tangannya menjuntai ke depan tubuh sang tuan muda.
"Bertahanlah," ujar Bailey. Berdiri dan berjalan ke keluar. Kakek berjalan lebih dulu; membukakan pintu. Lalu kembali berjalan di belakang Bailey, bersama istrinya yang masih terisak. Tangan ia ulurkan ke punggung istrinya; mengusap-usapnya lembut.
"Shaw ...." lirih nenek berujar. Pelan menarik-narik pakaian bagian depan kakek sembari menatap punggung Shaw yang bersimbah darah.
"Kita akan segera pulang ... Shaw akan segera diobati." Kakek masih terus mengusap lembut punggung istrinya; menyalurkan kekuatan. Berharap istrinya itu akan lebih tabah dan tidak pingsan.
Ruangan bawah tanah ini adalah dungeon Zanwan. Dungeon ini memiliki dua lantai. Bagian lantai atas adalah penjara yang diperuntukkan bagi pelanggaran dan hukuman ringan sampai sedang, sementara di lantai bawah adalah penjara yang diperuntukkan bagi pelanggaran dan hukuman berat. Ada ruangan-ruangan kosong di lantai bawah yang disediakan untuk melangsungkan hukuman sebelum para terhukum memasuki jeruji mereka masing-masing.
'Bertahan, Shaw! Kau berhutang penjelasan padaku. Aku akan menginterogasimu nanti.' Batin Bailey.
Ruangan tempat Shaw mendapatkan hukuman cambuk adalah ruangan paling ujung di lantai bawah. Untuk keluar, harus melewati lorong gelap juga ruangan-ruangan berjeruji besi, berisikan para pelanggar yang tak ada satu pun dari mereka masuk ke sana dalam keadaan tubuh tanpa luka. Lantai ini akan lebih gelap dan pengap di malam hari, karena penerangan hanya dari lentera yang digantung di tepian dinding. Amis anyir darah menguar di mana-mana. Bukan karena lantainya tak pernah dibersihkan ... namun, karena selalu ada yang dihukum hampir setiap harinya.
"Aku baru tahu ... kalau tubuhmu yang sama sekali tidak gemuk itu ... ternyata berat juga."
Bailey membenarkan posisi dan mengeratkan pegangan; mempercepat langkah, agar cepat sampai ke tangga. Muak ingin segera terlepas dari suasana dan hawa yang tidak menyenangkan di lantai bawah. Shaw pun harus segera diobati, karena ia terlihat semakin lunglai ... dan Bailey seperti tidak merasakan Shaw bernapas.
"Malang sekali kau, Nak ...." Lirih suara seorang pria terdengar dari salah satu jeruji.
Bailey mengabaikannya. Yang ada dipikirannya saat ini adalah cepat keluar dari dungeon."Hukum Zanwan, memang, tegas. Namun juga keterlaluan!" Seorang dari jeruji lain menimpali. Bailey terus berjalan tanpa menoleh ke kanan kiri."Mau bagaimana lagi? Memasukkan toleransi dan sedikit hati ke dalam hukum Zanwan bagaikan mengharap oasis di tengah padang pasir." Lagi, seorang pria bersua dari balik jeruji yang baru saja dilalui Bailey, Shaw, kakek dan nenek."Benar. Itupun jika mungkin. Para cecunguk itu tentu tak akan tinggal diam," timpal tahanan yang lain.Semua tahanan di lorong ini adalah lelaki. Sel jeruji bagi perempuan terpisah; guna mencegah hal yang tidak diinginkan. Ada juga penjaga dan pengawal wanita, tetapi jumlahnya masih sebatas hitungan jari. Sedikit sekali.Lagi, Bailey mengeratkan pegangan tangannya, menaiki tangga dengan hati-hati. Kakek Shaw kembali berjalan ke depan
Suara kekehan lolos dari bibir Shaw. Membuat Bailey, Edvard, dan Spencer menoleh. Gracie yang baru kembali dari ruang tamu menatap Shaw dengan terharu. Ia mendekat; membantu Shaw yang berusaha duduk."Kau bilang kau punya uang?" tanya Shaw. Menatap Bailey yang dibalas anggukan sang tuan muda.Lagi, Shaw terkekeh. Menampilkan sedikit deretan gigi putihnya."Kalau uang yang kau maksud itu adalah pemberian dari ayah atau keluargamu yang lain, kerabatmu, petinggi desa atau lainnya, maka urungkan niatmu. Bagimu itu uangmu, tapi bagiku itu bukan uangmu.""Kenapa?" Bailey menatap polos penuh tanya."Semua uang itu, bisa saja menjadi pemicu ... bahan bakar masalah di kemudian hari, dan kau mungkin saja akan tersudutkan. Aku tidak ingin ada resiko, perintah atau hukuman yang tidak berdaya untuk ditentang ketika kita seharusnya mampu melakukannya." Shaw menjelaskan."Aku mengerti. Kalau begitu aku akan bekerja dan menghasilkan uangku sendiri." Bailey me
Bailey berdecak."Ketahuilah, Ayah ... kebenaran adalah kebenaran. Tak ada seorangpun yang dapat membendung ketika kebenaran sudah tiba pada waktu untuk menunjukkan dirinya. Ayah tidak tahu, 'kan, apa yang sebenarnya diinginkan dan diharapkan penduduk Zanwan?" tanya Bailey seraya menatap lekat Ascal. Berharap ayahnya itu akan memahami maksud dari perkataan juga sorot matanya."Zaman sudah berubah. Aku menginginkan kebebasan sebagaimana orang lain menginginkannya." Suaranya lebih tenang kali ini.Sejenak Bailey menghela napas, mengalihkan pandangan; menatap roti di piring, lalu melanjutkan, "Akan kupikul beban berat di pundak Ayah. Aku ... Aku tak keberatan untuk menggantikan Ayah nantinya, meneruskan tahta Ayah seperti yang seharusnya. Aku tak keberatan mengorbankan hidupku untuk Zanwan, melupakan semua mimpi menjelajah dunia luar dan mengabdi pada Zanwan. Tapi--"Lagi, Bailey mengh
"Tidurlah dengan nyenyak ...." ucap Spencer lirih. Mengusap lembut kepala Shaw.Perapian di dapur sudah dinyalakan. Berat Spencer dan Gracie melajukan tungkai ke kamar, meninggalkan Shaw terbaring sendiri; bermalam di ranjang kayu di dapur, tanpa selimut. Bukan tak ada, hanya saja tak bisa dipakai sesuai fungsinya. Luka di punggung Shaw belum pulih.Derit pintu terdengar, menandakan Spencer dan Gracie sudah masuk ke ruang peristirahatan mereka. Perlahan Shaw membuka mata, mengerjap tak bersuara. Otak dan batinnya mulai kembali riuh. Kalbu merapal pelajaran yang disampaikan Bailey petang tadi."𝘛𝘢𝘬 𝘢𝘥𝘢 𝘱𝘦𝘯𝘺𝘢𝘬𝘪𝘵 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘢𝘬 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘥𝘪𝘴𝘦𝘮𝘣𝘶𝘩𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘤𝘶𝘢𝘭𝘪 𝘬𝘦𝘮𝘢𝘭𝘢𝘴𝘢𝘯. 𝘛𝘢𝘬 𝘢𝘥𝘢 𝘰𝘣𝘢𝘵 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘢𝘬 𝘣𝘦𝘳𝘨𝘶𝘯𝘢 𝘴𝘦𝘭𝘢𝘪𝘯 𝘬𝘶𝘳𝘢𝘯𝘨𝘯𝘺𝘢 𝘱𝘦𝘯𝘨𝘦𝘵𝘢𝘩𝘶𝘢𝘯." Hanya sebuah kata mutiara dari Ibnu Sina, yang Bailey hafalkan dari buku yang
"Penjagaan di selatan lebih ketat ... aku tidak mungkin ke sana. Tapi jalan yang kulewati kemarin lalu bersama Kak Daniel pun tidak bisa kulewati lagi ... penjagaannya pasti ditambah." Mulutnya bergerak, bersahutan dengan pikirannya.".... Hilir sungai perbatasan di barat lebih mudah dicapai, tapi membutuhkan waktu lebih lama. Dan tentu penjagaannya pasti ditambah juga."Shaw menegakkan diri; melipat tangan, mengetuk-ngetuk pelan hidungnya dengan jari telunjuk tangan kanan. Pandangannya masih terarah pada peta, mencari celah sembari otaknya memikirkan cara terbaik untuk sampai ke pesisir dan kembali tanpa ketahuan; secepat mungkin. Sesekali meringis ia, merasakan gelenyar perih di punggungnya.Beberapa hari beristirahat total dengan makan dan obat teratur membuat lukanya berangsur membaik dengan cepat, namun belum bisa dikatakan sembuh 50%."Aha!" Shaw mengangkat jari telunjuk tangan kanannya. Matanya melebar cerah menanggapi ide yang terlin
"Baiklah, apa saja yang perlu kubawa untuk nanti?" Shaw bertanya pada dirinya sendiri. Melangkah lebar-lebar dengan riang dan semangat menuju kamar."Sepertinya aku harus mencatatnya dulu," ucapnya. Menghampiri meja dan meraih buku catatan. Namun tangannya terhenti saat matanya menatap sesuatu yang tidak asing. Tas pemberian Daniel!Mata Shaw membulat. Diraih lalu dirabanya tas yang terpampang di hadapan. Dicek pula isinya. Lalu dimiringkan ke depan, kiri, kanan, belakang. Memastikan itu adalah tas yang sama."Ini tas dari Kak Daniel!" ujarnya dengan nada tidak percaya."Tapi bagaimana bisa ada di sini? Siapa yang membawanya ke sini?" tanyanya. Mengangkat kepala melihat ke jendela yang tertutup. Keningnya berkerut."Aku." Sebuah suara muncul dari belakang. Shaw membalik badan; menatap waspada namun juga penuh tanda tanya pada sosok misterius yang bersandar pada lemari."Siapa?" tanya Shaw penasaran.Sosok itu maju bebera
'Tetap pergi atau batalkan?' Gundah Shaw dalam hati. Tujuan utama pergi mencari panasea dan mengajak Bold adalah agar bisa kembali ke barat daya dan mengambil tas pemberian Daniel, tapi sekarang tas itu sudah kembali padanya."Jadi, kalian akan langsung pergi?" Spencer meletakkan sebuah keranjang penuh apel merah yang sudah dicuci. Ia masukkan apel itu ke dalam dua wadah."Benar, Kek. Kami akan langsung pergi ... biar tidak kesorean nanti pulangnya, soalnya ini sudah mau siang." Shaw menjawab. Merapikan pakaiannya. 'Pergi sajalah ... aku sudah terlanjur bilang, Bailey pun pasti sudah mengatakan itu pada orangtuanya.'"Ya sudah, berhati-hatilah. Ini ada apel yang sudah masak. Kakek memetiknya pagi-pagi sekali hari ini," ujar Spencer. Memberikan sekantung apel merah pada Bailey dan Edvard."Terima kasih, Kek." jawab Bailey dan Edvard.Kuda berpacu menjauh, membelah jenggala. Menuju distrik Aloclya.Shaw menengok ke arah kiri saat s
"Yeayy!!" Shaw melompat riang. Membuat Bailey dan Bold sedikit terkejut. "Bold mau!" serunya. Tersenyum senang."Tidak." Bold menjawab. Membuat air muka Shaw berubah. Ia menunduk murung."Aku akan berubah pikiran kalau kau bisa menjatuhkan pedangku." Bold menambahkan.Shaw mengangkat wajah, mengukir kembali senyumnya."Bertarung?" tanyanya."Shaw belum sembuh benar ... biar kugantikan." Bailey mengusulkan."Tidak apa, Bailey .... Tidak masalah," ujar Shaw kemudian. Mundur beberapa langkah dan mencabut pedang dari sarung di sisi kiri."Haah ... ya sudah." Bailey mengalah. Menepi; membiarkan Shaw dan Bold melanjutkan. Beberapa prajurit di sana menoleh ketika mendengar pedang Shaw dan Bold mulai beradu, kemudian mendekat dan menonton di tepian; penasaran siapa yang akan menang. Ini adalah momen langka bagi mereka juga Bailey. Ia bisa melihat bagaimana Shaw menggerakkan pedangnya jika bertarung dengan orang lain selain
Atmosfer terasa lebih ramah. Irama dari ranting-ranting dan dahan oleh angin terdengar lebih wajar dibandingkan tadi. Shaw makin yakin, semua karena Morth. Atmosfer, halusinasi, entah apa lagi yang Morth sebabkan. Satu pertanyaan besar dalam benak Shaw, siapa Morth sesungguhnya? Mengapa seisi jenggala sunyi hingga seluruh penjurunya seakan-akan berada di bawah kaki tangan Morth?“Kau pikirkan aku?” Morth tiba-tiba bertanya. Rupanya ia mengekori Shaw.Huh? Apa Morth juga bisa membaca pikiran?Shaw menengok ke belakang, langkahnya melambat. “Jangan katakan kau dapat menembus kepala orang.”“Kau banyak bertanya, belum tuntas seluruhnya.” Morth mensejajarkan diri. Sejenak, ia melihat Shaw dari atas ke bawah. “Orang keras kepala seperti kau tentu akan merenungkannya. Aku benar, bukan?”“Kita baru saling tahu beberapa saat lalu dan kau yakin sekali dengan kata-katamu. Antara kau pandai menilai atau hanya pandai berasumsi.” Shaw menggeleng. Pandangan ia tujukan ke depan.Morth menyentuh leng
Tanduk. Hal pertama yang dilihat oleh Shaw dari sumber suara adalah tanduk, tersembunyi di antara dedaunan semak belukar setinggi pinggang orang dewasa.Shaw mengernyit, kemudian bergumam lirih, nyaris tak bersuara, "Itu seperti tanduk rusa."Sepasang mata semerah darah terlihat dari celah dedaunan. Shaw menelan ludah. Ia tahu betul itu bukan mata hewan biasa, apalagi manusia. Tidak ada satu pun penduduk desa yang pernah ditemuinya memiliki mata seperti itu.Mungkinkah ini yang Fu maksud? Apapun itu, merasakan haki tidak biasa dari sang sosok misterius membuat Shaw merasa dirinya tidak boleh berlama-lama.Diliputi kewaspadaan dan dengan suara tercekat, ia berucap dalam hati, "Aku harus segera pergi dari sini."Tanpa melakukan pergerakan yang kentara serta dengan posisi kepala yang masih sama, tatapan Shaw menyisir sekitar; memastikan tidak ada keanehan lain. Ia yang semula berjongkok pun perlahan berdiri sepelan mungkin. Namun, bak lelah bermain petak umpet, ransel yang Shaw gendong m
"Tetap tidak bisa! Terlalu berbahaya. Kau kan tahu lebih baik daripada aku, Tibate." Fu mengangkat kepala, menatap lurus Tibate dan Baldor. Ini bukan waktu yang tepat, pikir Fu. "Lagi pula aku bisa menjaga diri. Akan kupanggil kalian jika hal buruk terjadi dan aku tidak bisa mengatasinya.""Kau bisa tinggal, Fu. Aku akan melanjutkan perjalananku seorang diri," sela Shaw, angkat bicara setelah menimang-nimang."Tidak―""Aku juga akan meninggalkan kudaku di sini." Shaw menepuk pundak Fu. Ia serius ingin Fu tinggal. "Bold bilang ada danau dan tebing. Jadi, aku tidak bisa membawa kudaku. Selain itu, kau bisa mengawasi keadaan hutan dan mengabariku. Kau juga terluka, Fu. Jangan bersikeras seolah kau baik-baik saja. Bagaimanapun kau juga masih anak-anak."Ini adalah tugas Shaw. Sejak awal, Shaw memulainya sendiri, dan ia harus melanjutkannya sendiri. Shaw tidak ingin merepotkan.Fu berdecak, tidak terima, tetapi juga tidak menyangkal ataupun menyanggah. Bertemu Baldor dan Tibate membuatnya
Pria berjanggut memperhatikan sambil mengusap-usap janggut dan kumisnya. Saat otaknya mengingat sesuatu tentang Fu, matanya seketika melebar."Kau ingin aku mencincangmu, hah?!" Tibate berseru.Setelah ikan bakarnya rusak, sekarang dirinya yang nyaris terbakar. Pria plontos itu tidak terima.Tibate menghentak tanah dengan kakinya, bergantian kaki kanan dan kaki kiri. Pegangannya pada gagang pedang semakin erat dan erat.Fu melompat mundur, mengambil sikap siaga dan meningkatkan kewaspadaannya. Ia siap dengan apapun yang akan Tibate lakukan untuk membalasnya.Sebelum Tibate menyerang balik, pria berjanggut yang masih menggenggam keranjang bambu itu berjalan ke depan Tibate, lalu berdiri memunggungi Fu dan Shaw."Kau mau dikutuk atau sudah bosan hidup?!" tanyanya."Apa maksudmu? Kalau kau hanya ingin aku berhenti memberi anak itu pelajaran, sebaiknya kau minggir!" balas Tibate."Kau tahu kau sedang berhadapan dengan siapa? Kau tidak berencana mengingkari janjimu pada Jenderal Besar, 'ka
"Apa kau sedang bercanda?" Tibate mendengus kasar. Ia tampak tidak suka.Pria plontos itu tahu dirinya sudah hidup lama, tetapi bukan berarti ingatannya menua. Ia tahu ingatannya masih berfungsi dengan sangat baik. Ia sangat meyakini itu."Aku tidak bercanda," sanggah Fu, berkacak pinggang. "Kau memberitahukannya sendiri padaku saat aku memberimu buah persik. Kalau kau masih tidak ingat, berarti ada yang salah dengan ingatanmu," imbuhnya.Buah persik?Tibate mengerutkan kening. Ia merasa tidak asing, tetapi tidak mengingat apapun."Sudahlah. Lebih baik kalian pulang sekarang, dan akan kuanggap ini tidak pernah terjadi," ujar Tibate seraya memasang wajah serius."Tidak bisa!" Shaw berseru. "Aku harus pergi ke tenggara!""Ya. Kami tidak bisa kembali ke desa saat ini," Fu menimpali.Tibate memukulkan ujung pedangnya ke tanah, menimbulkan gelombang angin yang kencang. Dedaunan dan batu kerikil tersapu, begitu pun Fu dan Shaw yang ikut terpental."Aduh ...." Shaw mengerang, berusaha bangun
Menjelang pagi, suara kehidupan awal sekali menggaung. Beberapa penduduk desa sudah mulai melakukan aktivitas mereka. Sebagian di dalam rumah, sebagian di luar rumah.Satu di antara manusia yang telah lepas dari peraduannya adalah Wilton. Ia bertugas pagi kali ini."Selalu rajin, ya." Zander berkomentar. Kuda-kuda di kandang bersuara antusias saat Zander memberi mereka makan."Tidak juga. Aku hanya tidur cukup nyenyak semalam, dan tubuhku merasa lebih segar saat aku bangun. Jadi, ya, mungkin lebih bersemangat," sahut Wilson seraya terkekeh kecil."Padahal kau hanya tidur sebentar, 'kan, semalam," Celetuk Zander. Tangannya cekatan melipat karung-karung rumput yang sudah kosong.Wilton tersenyum cerah menanggapinya. Ia memeras kain yang dipakai untuk mengelap kuda yang akan ia pakai untuk mengantar Bailey ke sekolah."Sebentar pun tetap saja namanya tidur, Zan," kata Wilton, keluar dari kandang sambil membawa kain basah dan ember hitam kecil."Ya, tidak salah."Suara derap kaki nyaring
"Ada yang menarik perhatianmu, Vid? Aku sampai mengantuk menunggumu." Bailey menimpali."Ah, maaf maaf .... Tadi ada yang harus kulakukan. Ada sesuatu! Jadi, aku kembali lebih lama," ujar Avidius seraya tersenyum canggung.Avidius adalah cucu Barid. Ia satu sekolah dengan Leonere."Sesuatu apa?" Leonere bertanya.Avidius, remaja berkulit putih kemerahan dengan senyum manis dan lesung pipi itu mengeluarkan sebuah kain merah dari saku pakaian di balik jubahnya. Saat kain dibuka, Leonere dan Bailey membulatkan mata melihat benda yang terpampang di sana."Bukankah itu—" Kata-kata Leonere terhenti. Ia mendekat tergesa dan memegang benda yang ditunjukkan Avidius. "Ini kan ....""Dari mana kau menemukan itu?" tanya Bailey yang juga mendekat.Avidius melirik ke arah belakang sesaat, memastikan sekitarnya aman. Senyumnya pudar seketika."Dari hutan barat laut. Aku menemukannya tadi," bisik Avidius, tampak serius.Bailey dan Leonere tercengang lalu saling menatap. Pikiran keduanya seolah tersam
"Tidak ada yang gratis," sahut Fu seraya menyeringai tipis.Shaw berdecak. "Kubayar dengan manisan.""Apa itu? Tidak cukup! Informasiku sangat mahal, kau tahu.""Ck, kubayar dengan makanan lain. Kau bebas memintanya, dan aku akan membuatkannya untukmu," tawar Shaw.Fu menyeringai penuh kemenangan kini. Sebuah siasat terlintas di benaknya."Bisa dipertimbangkan," kata Fu. Sesaat kemudian seringai di wajahnya hilang, berganti raut serius. "Kurangi kecepatan kudanya. Melewati batang pohon besar di depan itu, buat kudanya berjalan biasa.""Huh? Oke."Shaw percaya pada Fu. Ia mengikuti instruksi Fu tanpa ragu.Pohon-pohon besar yang dimaksud Fu berada 20 meter dari mereka. Warna pohonnya gelap, seolah melambangkan sesuatu yang misterius dan tampak mati. Pepohonan itu seakan telah terbakar. Meski begitu, dedaunannya sangat rimbun.Melewati dua pohon besar tersebut, kuda memasuki jenggala yang lebih gelap dan sunyi dari sebelumnya. Sekeliling tampak benar-benar gelap dengan aura yang terasa
"Ya sudah." Eroth menghela napas.Selain belajar bersikap baik pada budaknya, Eroth pun belajar untuk tidak memaksakan kehendak. Ya, itu sungguhan, bukan sandiwara yang dibuat-buat.Di depan mereka, Aaban mendengarkan dalam diam. Komandan itu sibuk dengan pikirannya.Menjelang ujung dari jenggala ketiga, Fu tiba-tiba berujar. Suaranya terdengar serius di telinga Shaw."Berhenti, Shaw."Shaw menghentikan laju kuda dan melirik Fu. "Ada apa?""Kita ambil jalan lain," tukas Fu."Kenapa? Ada apa dengan jalan ini?""Ada sesuatu di depan. Hakinya tidak jauh berbeda dengan Kaye dan teman-temannya.""Ha?"Shaw menatap lurus, lalu memejamkan mata. Ia mencoba merasakan haki di depan, tetapi tidak merasakan atau melihat apapun."Aku tidak merasakan apapun," kata Shaw seraya membuka mata.Fu berdecak dan memegang kedua pundak Shaw. Aliran haki mengalir dari tangannya."Coba lihat lagi," kata Fu. Shaw mengiyakan.Bayangan sosok berjumlah lebih dari 10 terlihat di kejauhan di depan, dengan haki yang