Share

2. Impresif

Author: Maula Faza
last update Last Updated: 2021-07-21 18:17:15

“Jika resiko tertangkap adalah seperti yang kau ceritakan, anak itu akan berada dalam masalah serius. Dia antara bodoh dan keren, menyerah hidup atau memiliki ide gila.” Seseorang yang tadi menghampiri Daniel bersuara. Dari kursi depan di samping pilot, ia terus memperhatikan Shaw.

Daniel bungkam. Mulutnya terkunci melihat Shaw membalasnya dengan bahasa isyarat, “Aku takkan lari. Aku tidak pantas dan tidak akan pernah mampu menjadi penakluk Zanwan jika aku lari.”

“Apa yang kau lakukan, Bocah?!” Pekik tegas penuh amarah terlontar jelas dari belakang Shaw beriring mata memicing ke udara; menatap helikopter.

Shaw berbalik, menatap tenang lima jagawana yang datang.

“Siapa yang di sana itu?” tanya ketua tim jagawana, masih memicing pada helikopter yang terus menjauh. Tidak mendapat jawaban, sang ketua menoleh pada Shaw. “Dan siapa namamu?”

Shaw mengerjap, tetap menampilkan senyum manis yang justru membuat para jagawana bergidik.

“Bagaimana anak ini bisa bersikap setenang itu?” pikir mereka.

Cahaya rembulan dan bintang menerangi, wajah Shaw bercahaya dan itu makin membuat para jagawana bergidik.

“Apa kau tidak bisa bicara? Siapa namamu?” Ketua tim melirik helikopter yang makin menjauh lagi. “Dan siapa mereka?”

“Menurut Anda siapa?” Shaw melempar tanya, amat tenang.

Amarah sang ketua makin meninggi. Dengan nada bicara dingin, ia memberi perintah pada anggota timnya.

“Bawa dia!”

Di helikopter, perhatian terus berpusat kepada Shaw.

“Bagaimana anak itu?” Sang pilot membuka suara.

“Dia masih di sana dan kurasa dia akan benar-benar dalam masalah serius,” jawab seseorang di sampingnya.

“Waw ... impresif!”

“Diamlah kalian! Kau sebaiknya fokus pada helikopternya, Ang, dan kau, Niko, sebaiknya kau tidur sekarang. Perjalanan dari mansion ke sini tentulah bukan perjalanan yang sebentar,” timpal Daniel.

Mulai kacau pikiran Daniel membayangkan apa yang akan terjadi pada Shaw setelah ini.

“Aku serius. Dia punya nyali yang besar.”

“Ang benar. Dengan info dari kau juga, Dan, dia pasti lolos ke mansion.” Niko melirik Daniel di kursi belakang.

“Sudahlah.” Daniel menghela napas.

Nanti. Bagaimana bisa bicara soal nanti, soal masa depan, ketika nasib Shaw di sisa malam saja tidak bisa Daniel prediksi.

Menyaksikan para jagawana membawa Shaw pergi, Daniel berucap dalam hati, “Shaw, akan kuingat kau. Akan kubayar semuanya.”

Dua dari lima jagawana kembali ke pos; bergabung bersama dua orang lainnya, melempar sorot senter pada tiap inci sudut hutan, barangkali ada orang lain yang turut serta dalam rencana. Tiga jagawana lain termasuk sang ketua membawa Shaw ke dungeon.

Di hutan bagian lain, seorang jagawana dari pos hutan barat daya menemui jagabaya yang sedang bertugas.

“Pergilah ke kediaman Tuan Hunt. Laporkan hal ini padanya segera!” titah sang jagabaya usai mendengar laporan sang jagawana. Ia sendiri lekas menaiki kuda dan memacunya menuju dungeon, diikuti tiga anak buahnya.

Suara burung hantu terdengar bernada. Zanwan yang biasanya akan terasa mati saat larut malam kali ini terasa hidup. Mungkin akan lebih ramai, tidak lama lagi, pikir sang jagawana, mengalihkan fokus pada kuda dan jalanan.

Sampai di kediaman mansion Hunt, seorang prajurit, pengawal, menyambutnya dari balik gerbang.

“Apakah Tuan Hunt sudah bangun atau belum tidur? Ada hal penting yang hendak saya sampaikan,” kata sang jagawana.

Sang pengawal menginstruksi untuk menunggu, lalu mengambil langkah cepat menghampiri pengawal yang berjaga di depan pintu masuk; menyampaikan maksud kedatangan sang jagawana. Setelah mendapat anggukan dan melihat satu pengawal membuka pintu dan masuk, ia kembali ke depan; membuka gerbang.

“Masuklah.”

Sang jagawana mengangguk singkat, melajukan kuda memasuki pekarangan mansion Hunt.

Seorang pria, asisten sang tuan rumah, keluar disertai pengawal tadi.

“Mari, saya antar.”

Ia bergeser memberi jalan; membiarkan sang jagawana masuk terlebih dahulu. Mereka berhenti di depan sebuah pintu kayu cokelat tua. Sang asisten mengetuk pintu.

"Masuk," ucap suara bariton dari dalam.

Malam hampir sampai di penghujung. Hiruk pikuk tanda kehidupan masih terlampau sepi, seharusnya. Namun, penduduk Zanwan memang sudah terbiasa bangun pagi, beberapa bahkan saat hari masih teramat awal. Hanya saja mereka tetap di rumah.

Pagi yang masih belum bertemu langit berpendar jingga kali ini seolah-olah memaksa semua penduduk Zanwan untuk beranjak dari peraduan mereka, tepat ketika sebuah perintah diturunkan oleh sang pemimpin mutlak: penggeledahan.

Ratusan pengawal yang lebih cocok disebut prajurit berhamburan serentak. Gemuruh derap cepat tapal kuda berpacu ke distrik Acilav. Tidak jauh berbeda, dinding tebal lagi kokoh pagar rumah mewah di distrik Aloclya pun bobol; penggeledahan merata dari sudut ke sudut. Tidak ada pengecualian selain kediaman sang pemimpin mutlak.

Satu per satu penghuni rumah keluar, menunggu dengan harap-harap cemas juga bingung perihal apa dan mengapa pintu istana mereka terketuk di pagi hari buta oleh pasukan elite Zanwan. Tatkala sebab sudah nyata dalam genggaman, jelas dalam dengar di telinga, riuhlah isi kepala juga hati beberapa dari mereka dalam diam fisik dan suara.

Secepat embusan angin, kasak-kusuk mengudara di mana-mana. Gosip baru melambung tinggi di seantero Zanwan pagi buta itu. Siapakah berani menantang aturan Zanwan yang sedemikian ditakuti tersebab hukumannya? Batin dan akal mereka terus menerka.

Pada akhirnya, satu nama didapatkan. Adalah Daniel Dixon, remaja 17 tahun dengan mental orang dewasa. Anak lelaki sebatang kara yang tinggal sendirian sejak walinya, sang paman, meninggal di usia Daniel yang hendak menginjak angka 14. Daniel pemuda rajin nan pekerja keras. Dikenal sebagai buruh ternak di kesehariannya selain pelajar.

Daniel seorang lulusan muda sekolah lanjutan pertama di Zanwan, terkenal cerdas juga gigih. Keinginan dan tekad yang terus digemakannya membuat penduduk lain berpikir bahwa ia sudah gila di abun-abun; di hari kemarin lalu. Agaknya penilaian itu akan berubah total segera, terka mereka, terpental mentah-mentah oleh bantahan berbekal bukti tak terduga; si pemilik nama berhasil membuktikan gaungnya.

“Kau dengar itu, Hao Yi?” Sang pemimpin mutlak Zanwan, Ascal Hunt, bermonolog di ruang kerjanya. Ia sandarkan punggung dan kepala pada kursi hitam seempuk busa, tetapi tidak semegah singgasana para raja. Lurus tatapnya ia tujukan pada langit-langit ruangan sewarna biru laut berhias gumpalan-gumpalan kapas putih di atas. “Apimu telah menyala kembali. Haruskah kusebut api kita? Hangatnya mulai menyebar. Asapnya meninggi menggamit awan. Semangatmu kembali hidup, Hao Yi. Bara merah telah berkibar, harum sekali. Maru, ... impianmu mulai menampakkan entitasnya.”

Benarlah perkataan lama. Langkah mungkin akan terhapus ketika tungkai bergerak menjauh, tetapi jejaknya akan terekam. Eksistensi mungkin sudah tidak lagi terlihatkan, tetapi sirat makna kehadiran dan kenangan momen berharganya akan abadi dalam ingatan.

Di ruang lain, guratan halus tercipta di kening sang ahli waris takhta, putra pertama sang pemimpin mutlak, anak lelaki yang acapkali di panggil Tuan Muda. Hening suasana dan sejuk udara menyelusupkan riuh yang senyap dari para pelayan ke telinganya yang tajam.

“Eh, katanya ada yang melarikan diri dari Zanwan.” Pelayan yang sudah mulai sibuk di dapur saling berbisik, tidak jauh dari kamar sang tuan muda. Sungguh, rajin sekali mereka.

Ditutupnya buku yang sedari tadi ia baca, ditegakkannya raga yang sedari tadi tegap terduduk di kursi bertumpu tangan pada meja belajar, digerakkannya tungkai yang sedari tadi berpijak pada sebaris kayu yang membentang di bawah meja, menuju pintu; membuatnya bercelah sedikit. Sebelah matanya mencoba menerobos celah; mencuri pandang ke luar.

“Benar. Katanya ada yang bantu, anak kecil, tetapi mereka ketahuan. Hanya saja ... seseorang itu berhasil kabur sementara si anak kecil ditangkap jagawana yang bertugas,” sahut pelayan lain. 

“Hiiyy ... berani sekali anak itu. Dia pasti dibawa ke dungeon. Pasti. Yakin aku. Kalau aku jadi dia, sih, sudah pasti kutolak, tidak mau ikut dalam rencana,” timpal pelayan lainnya.

Satu detik, dua detik, tiga detik, ... sepuluh detik, ….

Mata yang menyipit itu membeliak seiring tubuh ditarik ke belakang dan pintu perlahan ditutup.

“Shaw! Itu pasti Shaw! Dan yang berhasil pergi itu pasti Kak Daniel! Mereka sempat membicarakan itu denganku saat berlatih di bukit batu timur beberapa hari lalu! Oh, bagaimana ini?” Ia, sang tuan muda, bergumam sangat lirih, berjalan bolak-balik di samping tempat tidur dari ujung ke ujung.

Tidak berapa lama kemudian, sang tuan muda mengambil jaket merah marun di lemari dan memakainya, juga pedang di atas meja. Ia lingkarkan sabuk di pinggang, menaruh pedang di sisi kiri, lalu kembali membuka pintu, sangat pelan. Matanya awas pada sekitar, pendengaran ia tajamkan. Langkahnya cepat ke pintu utama di ruang tamu, berjalan lurus mengabaikan penjaga di depan pintu.

“Buka gerbangnya!” titahnya tanpa beramah-ramah.

Satu penjaga gerbang mendekat tergopoh-gopoh. “Maaf, Tuan Muda. Ini masih sangat pagi. Hari masih gelap. Tuan Muda hendak ke mana? Biar saya temani.”

“Mencari kebenaran kabar burung. Tak lama. Aku akan kembali untuk sarapan dan tak usah ditemani.” Tegas suaranya mengisyaratkan dirinya tidak bercanda dan penjaga gerbang mengetahui itu. Sikap sedingin itu jarang Tuan Muda tunjukkan pada orang-orang di kediamannya. Jadi, ketika ia menunjukkannya, itu adalah pertanda dirinya tengah serius dan Tuan Muda yang serius tidak suka penolakan maupun sanggahan.

Mengangguk singkat, sang penjaga membuka gerbang dan menutupnya lagi setelah sang tuan muda berlalu.

Seutas lengkungan ke atas samar terlihat di wajah sang tuan muda. Derap langkah santainya makin cepat, berubah menjadi lari ketika ia sudah jauh dari mansion. Memasuki kawasan sepi, ia membelah hutan melewati jembatan jalan perbatasan dua distrik; menuju dungeon Zanwan.

“Nekat! Kau nekat sekali, Shaw! Kenapa ... kenapa kau melakukannya? Kenapa kau ikut? Kenapa membahayakan diri sendiri? Kenapa tidak bersembunyi dan lari? Kenapa? Kau sudah bosan hidup? Kau benar-benar nekat!” Tuan Muda membatin sepanjang jalan. Benaknya dipenuhi tanda tanya. Cemas terasa, larinya makin cepat.

Related chapters

  • Jeruji Tanah Anarki   3. Hukum Zanwan

    Ctasshh!Suara cambukan memenuhi ruangan berdinding batuan yang kasar. Isak tangis pilu wanita paruh baya mengiringi.Pagi buta, seorang penduduk memberitahu kakek Shaw yang sedang memotong kayu di belakang rumah. Katanya, Shaw ditangkap dan dibawa ke dungeon. Nenek Shaw sedang memotong sayuran di ranjang kayu dekat pintu. Setelah mengunci pintu, kakek dan nenek Shaw bergegas pergi ke dungeon.Ctasshh!“Kenakalan apa lagi yang kau lakukan, hah?” Pria dengan setelan seragam abu-abu gelap mendekati Shaw yang bertelanjang dada. Tetesan darah segar mengalir dari bilur di punggung Shaw.Ctasshh!Suara cambuk menggema lagi. Pria tegap itu menatap Shaw dengan frustrasi. 143 cambukan sudah dilayangkan, tetapi Shaw masih enggan membuka suara.Kepala Shaw tertunduk lesu, kedua tangannya telentang diikat rantai. Kedua kakinya terkulai, jatuh jika saja ikatan di kedua tangannya kendor.Ctasshh!“Kau keras kepala sekali. Tinggal katakan ke mana tujuan Daniel, maka hukumanmu bisa diringankan.” Pria

    Last Updated : 2021-07-22
  • Jeruji Tanah Anarki   4. Sedekat itukah?

    “Hukum Zanwan memang tegas. Namun, juga keterlaluan!” Seseorang dari jeruji lain menimpali.Bailey terus berjalan tanpa menoleh ke kanan kiri.“Mau bagaimana lagi? Memasukkan toleransi dan sedikit hati ke dalam hukum Zanwan bagaikan mengharap oasis di padang pasir.” Lagi, seorang pria bersua dari balik jeruji yang baru saja dilalui Bailey, Shaw, Kakek, dan Nenek.“Benar. Itu pun jika mungkin. Para cecunguk itu tentu tidak akan tinggal diam,” sahut tahanan yang lain.Semua tahanan di lorong ini adalah lelaki. Sel tahanan bagi perempuan terpisah guna mencegah hal yang tidak diinginkan. Ada juga penjaga dan pengawal wanita, tetapi jumlahnya masih sebatas hitungan jari. Sedikit sekali.Bailey mengeratkan pegangan tangannya, menaiki tangga dengan hati-hati. Kakek Shaw kembali berjalan ke depan, membukakan pintu. Mereka melewati lusinan sel yang berjajar di kanan kiri sampai di ujung pintu utama dungeon.“Pergilah ke tempat Dokter Edvard. Katakan padanya untuk datang ke rumah Tuan Spencer Po

    Last Updated : 2021-07-22
  • Jeruji Tanah Anarki   5. Berseteru

    Kekehan lolos dari bibir Shaw, memalingkan perhatian Bailey, Edvard, dan Spencer. Gracie yang baru kembali dari ruang tamu menatap Shaw dengan terharu. Ia mendekat, membantu Shaw yang berusaha duduk.“Kau bilang kau punya uang?” tanya Shaw, menatap Bailey.Bailey merespon dengan anggukan.Shaw terkekeh lagi, menampilkan sedikit deretan gigi putihnya.“Kalau uang yang kau maksud itu adalah pemberian dari ayah atau keluarga yang lain, kerabatmu, petinggi desa atau lainnya, urungkan niatmu. Bagimu itu uangmu, tapi bagiku itu bukan uangmu.”“Kenapa?” Bailey mengerjap.“Semua uang itu bisa saja menjadi pemicu, bahan bakar masalah di kemudian hari dan kau mungkin saja akan tersudutkan. Aku tidak ingin ada resiko, perintah, atau hukuman yang tidak berdaya untuk ditentang ketika kita seharusnya mampu melakukannya.”“Aku mengerti. Kalau begitu, aku akan bekerja dan menghasilkan uangku sendiri.”Aliran kejut menyapa semua orang yang ada di sana kecuali Bailey atas ucapan yang barusan Bailey lont

    Last Updated : 2021-07-23
  • Jeruji Tanah Anarki   6. Peringatan

    Bailey berdecak.“Ketahuilah, Ayah. Kebenaran adalah kebenaran. Tidak ada seorang pun yang dapat membendung ketika kebenaran sudah tiba pada waktu untuk menunjukkan dirinya. Ayah tidak tahu, kan, apa yang sebenarnya diinginkan dan diharapkan penduduk Zanwan?” Bailey memberi atensi penuh kepada Ascal, berharap ayahnya akan memahami maksud dari perkataan dan sorot matanya.“Zaman sudah berubah. Aku menginginkan kebebasan sebagaimana orang lain menginginkannya.” Suara Bailey lebih tenang kali ini.Sejenak Bailey menghela napas, mengalihkan tatap pada roti di piring, lalu melanjutkan, “Akan kupikul beban berat di pundak Ayah. Aku ... aku tidak keberatan untuk menggantikan Ayah nantinya, meneruskan takhta Ayah seperti yang seharusnya. Aku tidak keberatan mengorbankan hidupku untuk Zanwan, melupakan semua mimpi menjelajah dunia luar untuk mengabdi pada Zanwan, tapi ….”Menjeda sejenak, Bailey menyunggingkan senyum. Seutas senyum pedih.“Sebelum hari itu tiba, biarkan aku menjadi diriku sendi

    Last Updated : 2021-07-24
  • Jeruji Tanah Anarki   7. Lilin merah

    “Tidurlah dengan nyenyak.” Spencer mengusap lembut kepala Shaw.Perapian di dapur sudah dinyalakan. Berat Spencer dan Gracie melajukan tungkai ke kamar, meninggalkan Shaw terbaring sendiri; bermalam di ranjang kayu di dapur, tanpa selimut. Bukan tidak ada, cuma tidak bisa dipakai sesuai fungsinya. Luka di punggung Shaw belum pulih.Derit pintu terdengar menandakan Spencer dan Gracie sudah masuk ke ruang peristirahatan mereka. Perlahan Shaw membuka mata, mengerjap. Otak dan batinnya mulai riuh. Hati merapal pelajaran yang disampaikan Bailey petang tadi.“Tidak ada penyakit yang tidak bisa disembuhkan kecuali kemalasan. Tidak ada obat yang tidak berguna selain kurangnya ilmu pengetahuan.”Sebuah kata mutiara dari Ibnu Sina yang Bailey hafalkan dari buku bacaannya. Tentu bukan buku sekolah, melainkan buku ilegal. Ya, ilegal, karena buku tersebut adalah selundupan. Dipesan khusus oleh Edvard dari temannya di negeri seberang, hadiah atas keberhasilan Bailey menghafal satu buku medis bersama

    Last Updated : 2021-07-25
  • Jeruji Tanah Anarki   8. Menyusun rencana

    “Penjagaan di selatan lebih ketat. Aku tidak mungkin ke sana, tapi jalan yang kulewati bersama Kak Daniel pun tidak bisa kulewati lagi. Penjagaannya pasti ditambah.” Mulut Shaw bergerak, bersahutan dengan pikirannya. “Hilir sungai perbatasan di barat lebih mudah dicapai, tapi butuh waktu lebih lama. Penjagaannya pasti ditambah juga.”Shaw menegakkan badan, melipat tangan, mengetuk-ngetuk pelan hidungnya dengan jari telunjuk tangan kanan. Tatapnya masih terarah pada peta, mencari celah sembari otaknya memikirkan cara terbaik untuk sampai ke pesisir dan kembali tanpa ketahuan secepat mungkin. Sesekali meringis ia, merasakan gelenyar perih di punggungnya.Beberapa hari beristirahat total dengan makan dan obat teratur membuat lukanya berangsur membaik, cepat walau belum bisa dikatakan sembuh 50%.“Aha!” Shaw mengangkat jari telunjuk tangan kanan. Matanya melebar cerah menanggapi ide yang terlintas dalam benak. “Kurasa aku bisa menggunakan cara itu. Yah, meski akan memakan waktu lebih lama,

    Last Updated : 2021-07-26
  • Jeruji Tanah Anarki   9. Jika kau mati lima menit setelah ini

    “Baiklah. Apa saja yang perlu kubawa untuk nanti?”Shaw melangkah lebar-lebar, riang, dan semangat menuju kamar.“Sepertinya aku harus mencatatnya dulu.”Ia menghampiri meja dan meraih buku catatan. Namun, tangannya terhenti saat matanya menangkap sesuatu yang tidak asing.Tas pemberian Daniel!Mata Shaw membulat. Diraih dan dirabanya tas yang terpampang di hadapan. Dicek pula isinya. Dimiringkan ke depan, kiri, kanan, belakang, memastikan itu adalah tas yang sama.“Ini tas dari Kak Daniel!” Shaw nyaris berteriak. “Tapi bagaimana bisa ada di sini? Siapa yang membawanya ke sini?”Shaw mengangkat kepala, menoleh ke jendela yang tertutup. Keningnya berkerut.“Aku.” Sebuah suara muncul dari belakang.Shaw membalik badan, menatap waspada, tetapi juga penuh tanda tanya akan sosok misterius yang bersandar pada lemari.“Siapa?” Shaw bertanya.Sosok itu maju beberapa langkah, menautkan tangan di belakang, di balik jubahnya, sembari pandang mengitari kamar. Topeng yang dikenakannya menutup sempu

    Last Updated : 2021-07-27
  • Jeruji Tanah Anarki   10. Tuan, Anda berdarah!

    “Tetap pergi atau batalkan?” Shaw berpikir.Shaw dilema. Tujuan utama pergi mencari panasea dan mengajak Bold adalah agar bisa kembali ke barat daya, mengambil tas pemberian Daniel, tetapi sekarang tas itu sudah kembali padanya.“Jadi, kalian akan langsung pergi?”Spencer meletakkan sebuah keranjang penuh apel merah yang sudah dicuci. Ia masukkan apel itu ke dalam dua wadah.“Benar, Kek. Kami akan langsung pergi biar tidak kesorean nanti pulangnya soalnya ini sudah mau siang,” jawab Shaw sambil merapikan pakaian setelah Edvard mengobatinya. Ia menambahkan dalam hati, “Pergi sajalah. Aku sudah terlanjur bilang, Bailey pun pasti sudah mengatakan itu pada orangtuanya. Dia juga sudah di sini.”“Ya sudah, berhati-hatilah. Ini ada apel yang sudah masak. Kakek memetiknya pagi-pagi sekali hari ini,” ujar Spencer, memberikan sekantung apel merah pada Bailey dan Edvard.“Terima kasih, Kek,” jawab Bailey dan Edvard.Shaw, Bailey, dan Edvard lantas pamit. Spencer dan Gracie melepas kepergian ketig

    Last Updated : 2021-07-28

Latest chapter

  • Jeruji Tanah Anarki   98. Pertanyaan Otto dan Milo

    “Kau mendengarnya?” Otto bertanya dengan wajah memucat. Suaranya amat pelan sampai nyaris tidak terdengar.Milo mengangguk kecil dalam gerakan patah-patah dan sarat keraguan. Ekspresi pada wajahnya tidak jauh berbeda.Kepala mereka kemudian bergerak bersamaan, berpaling tatap ke baris terdepan, lalu mereka melihat Bailey beranjak dari duduknya, pergi keluar.“Apa Tuan Muda mendengar pembicaraan kita?” Milo bertanya dalam suara lebih rendah, serupa bisik-bisik yang mungkin saja akan hanyut terbawa angin.Otto menggeleng. Bukan jawaban meyakinkan, hanya harapan bahwa itu adalah kenyataan yang terjadi.“Kalau benar, semesta mungkin tidak akan berpihak pada kita setelah ini,” kata Otto.Cemas menyerang Otto. Kalau Bailey benar mendengar pembicaraan mereka, apakah kali ini Bailey akan tersinggung? Kesal? Emosi dan apa pun yang lebih buruk?“Kurasa kita sebaiknya bergegas?” Milo melirik Otto.“Itu keputusan paling baik.” Otto berdiri.Milo memasukkan buku catatan yang baru sebentar ia baca

  • Jeruji Tanah Anarki   97. Temui aku di perpustakaan

    “Katakan saja,” ucap Bailey di sela makannya.Bailey tahu dua anak lelaki ini takkan mendatanginya kalau hanya untuk makan. Ada meja-meja kosong lain yang siap untuk ditempati, pun keduanya belum pernah begitu pada Bailey sepanjang sejarah bersekolah walau satu kelas dengan Bailey.“Kami … agak … penasaran. Apa Tuan Muda akan mendaftar untuk turnamen?” Otto Atrius yang duduk di sebelah Milo bertanya. Bibir merah cerahnya berulang kali mengatup dan terbuka setelah pertanyaan diajukan. Otaknya berpikir apakah pertanyaan itu sudah pas atau tidak.“Turnamen umum, maksudmu?” tanya Bailey.Otto mengangguk. “Kami dengar-dengar tahun ini murid yang terpilih untuk mewakili sekolah boleh mendaftar turnamen umum. Kami juga baca informasinya di mading pagi ini.”“Kalau terpilih mewakili sekolah, lalu mendaftar di turnamen umum dan ternyata lolos dalam keduanya ke final, terlebih keluar sebagai juara di peringkat satu, akan otomatis mendapat tiket emas dan bonus berlipat.” Milo turut bicara setela

  • Jeruji Tanah Anarki   96. Keluarga yang sempurna

    “Ayah dan Ibu bawa apa? Itu terlihat banyak sekali!” Shaw mengamati tas-tas belanjaan dengan antusias. Salah satu isi yang tertangkap matanya adalah pakaian.“Oh, ini untuk putra Ibu yang paling manis!” Suara wanita menjawab.“Asyik! Pakaian, ya?” tanya Shaw.“Betul. Ada mainan juga!” Suara pria yang bicara.“Horeeee … mainan!” Shaw berseru gembira. Kebahagiaan meluap-luap pada suaranya.Di atas kaca, Shaw gemetar. Ia tidak mengira danau kaca keyakinan akan menampilkan momen seperti itu. Ia kira itu hanya akan berkisar perjalanannya, rencananya dengan Bailey, tantangan yang dihadapi dalam upaya mewujudkan impian tentang Zanwan. Namun, apa yang ia dengar sepenuhnya berbeda. Sama sekali tidak ada dalam bayangannya. Tidak sedikit pun.Mata Shaw bergetar. Air makin banyak di sana, lalu tumpah kala Shaw dengar suara yang sangat familier.“Shaw, jangan melompat-lompat tinggi begitu.” Itu suara Spencer, terdengar riang dan penuh kasih.“Shaw gembira sekali sepertinya.” Gracie menyusul bicara

  • Jeruji Tanah Anarki   95. Kaca keyakinan

    “Ini danaunya.”Shaw sampai di ujung hutan lain setelah dari hutan sunyi dan melewati padang rumput. Di hadapannya membentang danau jernih yang berkilau, besar dan luas yang tidak mampu Shaw ukur dengan pasti. Ia perkirakan luasnya sama atau bahkan melebihi lapangan alun-alun distrik Acilav.“Sampai di danau itu, cara paling cepat untuk melewatinya adalah membelahnya. Menyeberanginya,” kata Fu dalam pesannya sebelum berpisah. “Jangan terkecoh dengan ukurannya yang kau mungkin kira tidak seberapa luas; masih sangat mungkin untuk dilewati dengan mengitarinya. Terkadang dalam waktu dan untuk alasan yang tidak terduga, setelah melihat wujudnya, begitu kau berjalan, mencoba memutari danau untuk sampai di seberang, di sisi lain, kau akan dapati bahwa ujung danau bahkan tidak kautemukan. Semua yang kaulihat mungkin hanya akan menjadi hamparan air. Tidak ada lagi pepohonan, tidak ada lagi daratan selain tempat kau berpijak dan sekitar.”Shaw berjinjit, mencoba menjangkau seberang danau dengan

  • Jeruji Tanah Anarki   94. Bakat alam

    “Ada rencana untuk keluar lagi di sisa hari ini, Tuan Muda?” Wilton bertanya seturunnya ia dari kuda, memegangi tali setelah Bailey turun. Mereka baru sampai di mansion, pulang dari sekolah.“Kurasa tidak. Sepertinya aku akan habiskan waktu di meja belajar.”“Baik. Saya akan ada di pos malam ini kalau Tuan Muda butuh sesuatu.”“Ya. Aku masuk, ya. Terima kasih untuk hari ini, Wilton.”Bailey pergi, masuk ke mansion. Wilton mengiringi kepergian Bailey dengan anggukan penuh hormat. Bibirnya melengkung membentuk senyum. Usai Bailey tidak lagi terlihat, Wilton membawa kuda ke kandang.Sampai kamar, Bailey menyalakan penerangan, melepaskan ransel, dan bersih-bersih. Ia melanjutkan dengan menekuri buku-buku mata pelajaran sampai pelayan memanggil namanya dari luar pintu.Makan malam tiba, Bailey berseri-seri menemukan Jillian di meja makan. Canda tawa Jillian serupa bunga-bunga di musim semi dan keceriaan Bariela adalah penyempurna. Jillian telah kembali dengan warna cerahnya, tidak lagi ber

  • Jeruji Tanah Anarki   93. Morth

    Atmosfer terasa lebih ramah. Irama dari ranting-ranting dan dahan oleh angin terdengar lebih wajar dibandingkan tadi. Shaw makin yakin, semua karena Morth. Atmosfer, halusinasi, entah apa lagi yang Morth sebabkan.Satu pertanyaan besar dalam benak Shaw. Siapa Morth sesungguhnya? Mengapa seisi hutan sunyi hingga seluruh penjurunya seakan-akan berada di bawah kaki tangan Morth?“Kau memikirkan aku?” Morth tiba-tiba bertanya. Rupanya ia mengekori Shaw.Huh? Apa Morth juga bisa membaca pikiran?!Shaw menengok ke belakang, langkahnya melambat.“Jangan katakan kau dapat menembus kepala orang.”“Kau banyak bertanya, belum tuntas seluruhnya.” Morth mensejajarkan diri. Sejenak, ia melihat Shaw dari atas ke bawah. “Orang keras kepala seperti kau tentu akan merenungkannya. Aku benar, bukan?”“Kita baru saling tahu beberapa saat lalu dan kau yakin sekali dengan kata-katamu. Antara kau pandai menilai atau hanya pandai berasumsi.” Shaw menggeleng. Pandangan ia tujukan ke depan.Morth menyentuh lenga

  • Jeruji Tanah Anarki   92. Penunggu hutan sunyi

    Tanduk. Hal pertama yang dilihat oleh Shaw dari sumber suara adalah tanduk, tersembunyi di antara dedaunan semak belukar setinggi pinggang orang dewasa.Shaw mengernyit, kemudian bergumam lirih dalam hati, “Itu seperti tanduk rusa.”Sepasang mata semerah darah terlihat dari celah dedaunan. Shaw menelan ludah. Ia tahu betul itu bukan mata hewan biasa, apalagi manusia. Tidak ada satu pun penduduk desa yang pernah ditemuinya memiliki mata seperti itu.Mungkinkah ini yang Fu maksud? Apa pun itu, merasakan haki tidak biasa dari sang sosok misterius membuat Shaw merasa dirinya tidak boleh berlama-lama.Diliputi kewaspadaan dan dengan suara tercekat, ia berucap dalam hati, “Aku harus segera pergi dari sini.”Tanpa melakukan pergerakan yang kentara serta dengan posisi kepala yang masih sama, tatapan Shaw menyisir sekitar; memastikan tidak ada keanehan lain. Ia yang semula berjongkok pun perlahan berdiri sepelan mungkin. Namun, bak lelah bermain petak umpet, ransel yang Shaw gendong mengeluarka

  • Jeruji Tanah Anarki   91. Halusinasi

    “Tetap tidak bisa! Terlalu berbahaya. Kau, kan, tahu lebih baik daripada aku, Tibate.” Fu mengangkat kepala, menatap lurus Tibate dan Baldor. Ini bukan waktu yang tepat, pikir Fu. “Lagi pula aku bisa menjaga diri. Akan kupanggil kalian jika hal buruk terjadi dan aku tidak bisa mengatasinya.”“Kau bisa tinggal, Fu. Aku akan melanjutkan perjalananku seorang diri,” sela Shaw, angkat bicara setelah menimang-nimang.“Tidak ....”“Aku juga akan meninggalkan kudaku di sini.” Shaw menepuk pundak Fu. Ia serius ingin Fu tinggal. “Bold bilang ada danau dan tebing. Jadi, aku tidak bisa membawa kudaku. Selain itu, kau bisa mengawasi keadaan hutan dan mengabariku. Kau juga terluka, Fu. Jangan bersikeras seolah-olah kau baik-baik saja. Bagaimanapun kau juga masih anak-anak.”Ini adalah tugas Shaw. Sejak awal, Shaw memulainya sendiri dan ia harus melanjutkannya sendiri. Shaw tidak ingin merepotkan.Fu berdecak, tidak terima, tetapi juga tidak menyangkal ataupun menyanggah. Bertemu Baldor dan Tibate me

  • Jeruji Tanah Anarki   90. Janji pada Jenderal Besar

    Pria berjanggut memperhatikan sambil mengusap-usap janggut dan kumisnya. Saat otaknya mengingat sesuatu tentang Fu, matanya melebar.“Kau ingin aku mencincangmu, hah?!” Tibate berseru.Setelah ikan bakarnya rusak, sekarang dirinya yang nyaris terbakar. Pria plontos itu tidak terima.Tibate menghentak tanah dengan kakinya, bergantian kaki kanan dan kaki kiri. Pegangannya pada gagang pedang makin erat.Fu melompat mundur, mengambil sikap siaga, meningkatkan kewaspadaannya. Ia siap dengan apa pun yang akan Tibate lakukan untuk membalasnya.Sebelum Tibate menyerang balik, pria berjanggut yang masih menggenggam keranjang bambu berjalan ke depan Tibate, lalu berdiri memunggungi Fu dan Shaw.“Kau mau dikutuk atau sudah bosan hidup?!” tanya pria berjanggut.“Apa maksudmu? Kalau kau hanya ingin aku berhenti memberi anak itu pelajaran, sebaiknya kau minggir!” balas Tibate.“Kau tahu kau sedang berhadapan dengan siapa? Kau tidak berencana mengingkari janjimu pada Jenderal Besar, 'kan?! Ini memang

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status