Share

Impresif

Author: Maula Faza
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

"Jika resiko tertangkap adalah seperti yang kau ceritakan, maka anak itu akan berada dalam masalah serius. Dia antara bodoh dan keren, menyerah hidup atau memiliki ide gila." Seseorang yang tadi menghampiri Daniel bersuara. Dari kursi depan di samping pilot, ia terus memperhatikan Shaw.

Daniel diam tak mengatakan apapun. Mulutnya seakan terkunci melihat Shaw membalasnya dengan bahasa isyarat, "Aku tak akan lari. Aku tidak pantas dan tidak akan pernah mampu menjadi penakluk Zanwan jika aku lari." Lalu kembali menautkan tangan di belakang. 

"Apa yang kau lakukan, Bocah?!" Pekik tegas penuh amarah terdengar jelas dari arah belakang. Matanya memicing ke atas; menatap helikopter. Shaw berbalik, menatap tenang lima jagawana yang menghampirinya.

"Siapa yang di sana itu?" tanya ketua tim jagawana itu, masih memicingkan mata menatap helikopter yang terus menjauh. Tak mendapat jawaban, sang ketua menoleh pada Shaw. "Dan siapa namamu?"

Shaw mengerjapkan mata, masih menampilkan senyum manisnya yang justru membuat para jagawana di depannya merinding. 'Bagaimana anak ini bisa bersikap setenang itu?' Begitulah pikiran mereka.

Cahaya rembulan dan bintang menerangi; membuat wajah Shaw nampak bercahaya ... dan itu semakin membuat para jagawana bergidik.

"Apa kau tidak bisa berbicara? Siapa namamu?" Ketua tim yang bertugas di pos tadi melirik ke helikopter yang semakin menjauh, lagi. "Dan siapa mereka?" Lalu kembali menatap Shaw.

"Menurut Anda siapa?" Shaw melempar tanya. Tenang dan tenang. Membuat sang ketua semakin meninggi amarahnya. Lalu dengan dingin memberi perintah pada anggota timnya. "Bawa dia!"

"Bagaimana anak itu?" Sang pilot membuka suara.

"Dia masih di sana. Dan kurasa dia akan benar-benar dalam masalah serius setelah ini," jawab seseorang di sampingnya.

"Waw ... Impresif!" timpal sang pilot.

"Diamlah kalian! Kau sebaiknya fokus pada helikopternya, Ang. Dan kau, Niko, sebaiknya kau tidur sekarang. Perjalanan dari mansion ke sini tentulah bukan perjalanan yang sebentar," timpal Daniel. Mulai kacau pikirannya membayangkan apa yang akan terjadi pada Shaw setelah ini. 'Shaw, akan kuingat kau. Akan kubayar semuanya,' batin Daniel. Menyendu. Melihat Shaw dibawa pergi oleh para jagawana.

Dua dari lima jagawana tadi kembali ke pos; bergabung bersama dua orang lainnya. Melempar sorot senter pada setiap inchi sudut jenggala; barangkali ada orang lain yang turut serta dalam rencana.

Sementara tiga jagawana lain termasuk di antaranya sang ketua, membawa Shaw ke dungeon. Seorang jagawana lain belum kembali dari melapor ke tempat jagabaya yang bertugas.

"Pergilah ke rumah Tuan Hunt, laporkan hal ini padanya segera!" titah sang jagabaya. Menaiki kuda dan memacunya menuju dungeon, diikuti 3 anak buahnya. Sedang sang jagawana bergegas menuju kediaman Hunt.

Suara burung hantu terdengar bernada. Zanwan yang biasanya akan terasa mati saat larut malam, kali ini terasa hidup. Mungkin akan lebih ramai, tidak lama lagi. Pikir sang jagawana, kembali fokus pada kuda dan jalanan.

"Apakah Tuan Hunt sudah bangun? Ada hal penting yang hendak saya sampaikan," tanyanya hati-hati pada pengawal yang berjaga di pos gerbang kediaman Hunt.

Sang pengawal mengintruksi untuk menunggu, lalu mengambil langkah cepat menghampiri pengawal yang berjaga di depan pintu masuk; menyampaikan maksud kedatangan sang jagawana. Setelah mendapat anggukan dan melihat satu pengawal membuka pintu dan masuk, ia kembali ke depan; membuka gerbang. "Masuklah."

Sang jagawana mengangguk singkat, melajukan kudanya pelan memasuki pekarangan mansion Hunt. Lalu turun, menghampiri satu pengawal yang berdiri di samping pintu.

Seorang pria--asisten sang tuan rumah, keluar disertai pengawal tadi. "Mari saya antar," ujarnya. Bergeser memberi jalan; membiarkan sang jagawana masuk terlebih dahulu. Setelahnya, pengawal yang tadi masuk menyampaikan pesan kembali ke posisinya; berjaga di sisi pintu yang lain.

Mereka berhenti di depan sebuah pintu kayu berwarna cokelat tua. Sang asisten mengetuk pintu; memberitahukan kedatangannya. 

"Masuk," ucap suara bariton dari dalam.

Malam hampir sampai di penghujung. Hiruk pikuk tanda kehidupan masih terlampau sepi, seharusnya. Namun penduduk Zanwan memang sudah terbiasa bangun pagi, beberapa bahkan saat hari masih teramat awal. Hanya saja mereka tetap di rumah.

Dan pagi yang masih belum bertemu nabastala berpendar jingga kali ini, seolah memaksa semua penduduk Zanwan untuk beranjak dari peraduan mereka ... ketika sebuah perintah diturunkan oleh sang pemimpin mutlak; penggeledahan.

Ratusan pengawal--yang lebih cocok disebut prajurit, berhamburan serentak. Gemuruh derap cepat tapal kuda terpacu ke distrik Acilav. Tak jauh berbeda, dinding tebal lagi kokoh pagar rumah mewah di distrik Aloclya pun bobol; penggeledahan merata dari sudut ke sudut. Tak ada pengecualian selain kediaman sang pemimpin mutlak.

Satu per satu penghuni rumah keluar, menunggu dengan harap-harap cemas juga bingung ... perihal apa dan mengapa pintu istana mereka terketuk di pagi hari buta oleh pasukan elite Zanwan. Lalu ketika sebab sudah nyata dalam genggaman, jelas dalam dengar di telinga, riuhlah isi kepala juga hati beberapa dari mereka; dalam diam fisik juga suara.

Secepat hembusan angin, kasak-kusuk terdengar di mana-mana. Membuat gosip baru melambung tinggi di seantero Zanwan ... pagi hari buta itu. Siapakah berani menantang aturan Zanwan yang sedemikian ditakuti tersebab hukumannya? Batin dan akal mereka terus menerka.

Pada akhirnya, satu nama didapatkan. Adalah Daniel Dixon, remaja 17 tahun dengan mental orang dewasa. Anak lelaki sebatang kara yang tinggal sendirian sejak walinya--sang paman, meninggal di usianya yang hendak menginjak angka 14. Pemuda rajin nan pekerja keras. Dikenal sebagai seorang buruh ternak di kesehariannya selain pelajar.

Seorang lulusan muda sekolah lanjutan pertama di Zanwan, terkenal cerdas juga gigih. Ingin dan tekad yang terus digemakannya membuat penduduk lain berpikir bahwa ia sudah gila di abun-abun; di hari kemarin lalu. Karena agaknya, penilaian itu akan berubah total dengan segera. Terka mereka. Terpental mentah-mentah oleh bantahan berbekal bukti tak terduga; si pemilik nama berhasil membuktikan gaungnya.

"Kau dengar itu, Hao Yi?" Sang pemimpin mutlak Zanwan--Ascal Hunt, bergumam lirih di ruang kerjanya. Menyandarkan punggung dan kepala pada kursi hitam seempuk busa namun tak semegah singgasana para raja; menatap langit-langit ruangan berwarna biru laut berhias gumpalan-gumpalan kapas putih di atas. ".... Apimu telah menyala kembali. Ataukah harus kusebut api kita? Hangatnya mulai menyebar ... asapnya meninggi menggamit payoda. Semangatmu kembali hidup ... Hao Yi. Bara merah telah berkibar, harum sekali. Maru ... impianmu mulai menampakkan entitasnya."

Benarlah perkataan lama. Langkah mungkin akan terhapus ketika tungkai bergerak menjauh, namun jejaknya akan terekam. Eksistensi mungkin sudah tak lagi terlihatkan, namun sirat makna kehadiran dan kenangan momen berharganya akan abadi dalam ingatan.

Guratan halus tercipta di kening sang pewaris tahta; putera pertama sang pemimpin mutlak, anak lelaki yang acapkali di panggil tuan muda. Hening suasana dan sejuk udara menyelusupkan riuh namun senyap para pelayan ke telinganya yang tajam.

"Eh, katanya ada yang melarikan diri dari Zanwan." Bisik-bisik pelayan yang sudah mulai sibuk di dapur. Tak jauh dari kamar sang tuan muda. Sungguh rajin sekali mereka.

Ditutupnya buku yang sedari tadi ia baca, ditegakkannya daksa yang sedari tadi tegap terduduk di kursi bertumpu tangan pada meja belajar, digerakkannya tungkai yang sedari tadi berpijak pada sebaris kayu yang membentang di bawah meja, menuju pintu; membuatnya bercelah sedikit. Menyipitkan mata; mencuri pandang ke luar.

"Benar ... katanya ada yang membantunya, seorang anak kecil. Tapi mereka ketahuan. Hanya saja ... seseorang itu berhasil pergi. Sementara anak kecil itu ditangkap jagawana yang bertugas," sahut pelayan lain.

"Hiiyy ... berani sekali anak itu ... dia pasti dibawa ke dungeon. Kalau aku jadi dia, sih, sudah pasti kutolak." Pelayan lainnya menimpali.

Satu detik, dua detik, tiga detik ... sepuluh detik ... mata yang menyipit itu melebar seiring tubuh ditarik ke belakang dan pintu perlahan ditutup kembali.

"Shaw! Itu pasti Shaw! Dan yang berhasil pergi itu pasti Kak Daniel! Mereka sempat membicarakan itu denganku saat berlatih di bukit batu timur beberapa hari lalu! Oh, bagaimana ini?" Tuan muda bergumam sangat lirih. Berjalan bolak-balik melipat tangan di samping tempat tidur; dari ujung ke ujung, menggigit ibu jari tangan kanan.

Tak berapa lama, ia mengambil jaket maroonnya di lemari; memakainya. Juga pedang di atas meja, melingkarkan sabuk di pinggang; menaruh pedang di sisi kiri. Lalu kembali membuka pintu, sangat pelan. Menolehkan pandangan ke kanan kiri, menajamkan telinga dan bergegas ke pintu utama di ruang tamu. Berjalan lurus mengabaikan penjaga di depan pintu.

"Buka gerbangnya." Ia berujar dingin.

"Ini masih sangat pagi, hari masih gelap. Tuan muda hendak ke mana? Biar saya temani," ujar salah satu penjaga gerbang.

"Mencari kebenaran kabar burung. Tak lama, aku akan kembali untuk sarapan nanti. Dan tak usah ditemani." Lagi, ia berujar dengan dingin. Menatap penjaga dengan sorot tajam dan ekspresi datar, mengisyaratkan dirinya tidak bercanda. Dan penjaga gerbang mengetahui itu. Sikap sedingin itu jarang tuan muda tunjukkan pada orang-orang di kediamannya. Jadi ketika ia menunjukkannya, maka itu adalah pertanda dirinya tengah serius. Dan tuan muda yang serius tak suka penolakan.

Mengangguk singkat, sang penjaga membuka gerbang dan menutupnya lagi setelah sang tuan muda berlalu.

Seutas lengkungan ke atas samar terlihat di wajah sang tuan muda. Derap langkah santainya semakin cepat. Lalu berubah menjadi lari ketika ia sudah jauh dari mansion, memasuki kawasan sepi, membelah jenggala melewati jembatan jalan perbatasan dua distrik; menuju dungeon Zanwan. 'Nekat! Kau nekat sekali Shaw! Kenapa? ... kenapa kau melakukannya? Kenapa kau ikut? Kenapa membahayakan dirimu sendiri? Kenapa tidak bersembunyi dan lari? Kenapa? Kau sudah bosan hidup? Kau benar-benar nekat!' Tuan muda membatin sepanjang jalan. Benaknya dipenuhi tanda tanya. Cemas terasa, membuat larinya semakin cepat dan cepat.

Related chapters

  • Jeruji Tanah Anarki   Hukum Zanwan

    Note : Mulai dari bab ini ... mengandung unsur kekerasan, luka, dan darah! Mohon sikapi dengan bijak, yaa~!(๑˃̵ ᴗ ˂̵)وKalau tidak, tulis komen minimal 30 kata!( ̄へ  ̄)»»————>‧✧༺♡♡♡༻✧<————««Ctash!Suara cambukan memenuhi ruangan rustic itu, diiringi isak tangis pilu wanita paruh baya di sana; nenek Shaw.Pagi buta, seorang penduduk memberitahu kakek Shaw yang sedang memotong kayu di belakang rumah bahwa Shaw ditangkap dan dibawa ke dungeon, sedang nenek Shaw tengah memotong sayuran di ranjang kayu dekat pintu. Setelah mengunci pintu, kakek dan nenek bergegas pergi ke dungeon.Ctash!"Kenakalan apa lagi yang kau lakukan, hah?" Pria bertubuh tegap melangkah mendekat

  • Jeruji Tanah Anarki   Sedekat itukah?

    Bailey mengabaikannya. Yang ada dipikirannya saat ini adalah cepat keluar dari dungeon."Hukum Zanwan, memang, tegas. Namun juga keterlaluan!" Seorang dari jeruji lain menimpali. Bailey terus berjalan tanpa menoleh ke kanan kiri."Mau bagaimana lagi? Memasukkan toleransi dan sedikit hati ke dalam hukum Zanwan bagaikan mengharap oasis di tengah padang pasir." Lagi, seorang pria bersua dari balik jeruji yang baru saja dilalui Bailey, Shaw, kakek dan nenek."Benar. Itupun jika mungkin. Para cecunguk itu tentu tak akan tinggal diam," timpal tahanan yang lain.Semua tahanan di lorong ini adalah lelaki. Sel jeruji bagi perempuan terpisah; guna mencegah hal yang tidak diinginkan. Ada juga penjaga dan pengawal wanita, tetapi jumlahnya masih sebatas hitungan jari. Sedikit sekali.Lagi, Bailey mengeratkan pegangan tangannya, menaiki tangga dengan hati-hati. Kakek Shaw kembali berjalan ke depan

  • Jeruji Tanah Anarki   Berseteru

    Suara kekehan lolos dari bibir Shaw. Membuat Bailey, Edvard, dan Spencer menoleh. Gracie yang baru kembali dari ruang tamu menatap Shaw dengan terharu. Ia mendekat; membantu Shaw yang berusaha duduk."Kau bilang kau punya uang?" tanya Shaw. Menatap Bailey yang dibalas anggukan sang tuan muda.Lagi, Shaw terkekeh. Menampilkan sedikit deretan gigi putihnya."Kalau uang yang kau maksud itu adalah pemberian dari ayah atau keluargamu yang lain, kerabatmu, petinggi desa atau lainnya, maka urungkan niatmu. Bagimu itu uangmu, tapi bagiku itu bukan uangmu.""Kenapa?" Bailey menatap polos penuh tanya."Semua uang itu, bisa saja menjadi pemicu ... bahan bakar masalah di kemudian hari, dan kau mungkin saja akan tersudutkan. Aku tidak ingin ada resiko, perintah atau hukuman yang tidak berdaya untuk ditentang ketika kita seharusnya mampu melakukannya." Shaw menjelaskan."Aku mengerti. Kalau begitu aku akan bekerja dan menghasilkan uangku sendiri." Bailey me

  • Jeruji Tanah Anarki   Peringatan

    Bailey berdecak."Ketahuilah, Ayah ... kebenaran adalah kebenaran. Tak ada seorangpun yang dapat membendung ketika kebenaran sudah tiba pada waktu untuk menunjukkan dirinya. Ayah tidak tahu, 'kan, apa yang sebenarnya diinginkan dan diharapkan penduduk Zanwan?" tanya Bailey seraya menatap lekat Ascal. Berharap ayahnya itu akan memahami maksud dari perkataan juga sorot matanya."Zaman sudah berubah. Aku menginginkan kebebasan sebagaimana orang lain menginginkannya." Suaranya lebih tenang kali ini.Sejenak Bailey menghela napas, mengalihkan pandangan; menatap roti di piring, lalu melanjutkan, "Akan kupikul beban berat di pundak Ayah. Aku ... Aku tak keberatan untuk menggantikan Ayah nantinya, meneruskan tahta Ayah seperti yang seharusnya. Aku tak keberatan mengorbankan hidupku untuk Zanwan, melupakan semua mimpi menjelajah dunia luar dan mengabdi pada Zanwan. Tapi--"Lagi, Bailey mengh

  • Jeruji Tanah Anarki   Lilin merah

    "Tidurlah dengan nyenyak ...." ucap Spencer lirih. Mengusap lembut kepala Shaw.Perapian di dapur sudah dinyalakan. Berat Spencer dan Gracie melajukan tungkai ke kamar, meninggalkan Shaw terbaring sendiri; bermalam di ranjang kayu di dapur, tanpa selimut. Bukan tak ada, hanya saja tak bisa dipakai sesuai fungsinya. Luka di punggung Shaw belum pulih.Derit pintu terdengar, menandakan Spencer dan Gracie sudah masuk ke ruang peristirahatan mereka. Perlahan Shaw membuka mata, mengerjap tak bersuara. Otak dan batinnya mulai kembali riuh. Kalbu merapal pelajaran yang disampaikan Bailey petang tadi."𝘛𝘢𝘬 𝘢𝘥𝘢 𝘱𝘦𝘯𝘺𝘢𝘬𝘪𝘵 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘢𝘬 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘥𝘪𝘴𝘦𝘮𝘣𝘶𝘩𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘤𝘶𝘢𝘭𝘪 𝘬𝘦𝘮𝘢𝘭𝘢𝘴𝘢𝘯. 𝘛𝘢𝘬 𝘢𝘥𝘢 𝘰𝘣𝘢𝘵 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘢𝘬 𝘣𝘦𝘳𝘨𝘶𝘯𝘢 𝘴𝘦𝘭𝘢𝘪𝘯 𝘬𝘶𝘳𝘢𝘯𝘨𝘯𝘺𝘢 𝘱𝘦𝘯𝘨𝘦𝘵𝘢𝘩𝘶𝘢𝘯." Hanya sebuah kata mutiara dari Ibnu Sina, yang Bailey hafalkan dari buku yang

  • Jeruji Tanah Anarki   Menyusun rencana

    "Penjagaan di selatan lebih ketat ... aku tidak mungkin ke sana. Tapi jalan yang kulewati kemarin lalu bersama Kak Daniel pun tidak bisa kulewati lagi ... penjagaannya pasti ditambah." Mulutnya bergerak, bersahutan dengan pikirannya.".... Hilir sungai perbatasan di barat lebih mudah dicapai, tapi membutuhkan waktu lebih lama. Dan tentu penjagaannya pasti ditambah juga."Shaw menegakkan diri; melipat tangan, mengetuk-ngetuk pelan hidungnya dengan jari telunjuk tangan kanan. Pandangannya masih terarah pada peta, mencari celah sembari otaknya memikirkan cara terbaik untuk sampai ke pesisir dan kembali tanpa ketahuan; secepat mungkin. Sesekali meringis ia, merasakan gelenyar perih di punggungnya.Beberapa hari beristirahat total dengan makan dan obat teratur membuat lukanya berangsur membaik dengan cepat, namun belum bisa dikatakan sembuh 50%."Aha!" Shaw mengangkat jari telunjuk tangan kanannya. Matanya melebar cerah menanggapi ide yang terlin

  • Jeruji Tanah Anarki   Jika kau mati 5 menit setelah ini....

    "Baiklah, apa saja yang perlu kubawa untuk nanti?" Shaw bertanya pada dirinya sendiri. Melangkah lebar-lebar dengan riang dan semangat menuju kamar."Sepertinya aku harus mencatatnya dulu," ucapnya. Menghampiri meja dan meraih buku catatan. Namun tangannya terhenti saat matanya menatap sesuatu yang tidak asing. Tas pemberian Daniel!Mata Shaw membulat. Diraih lalu dirabanya tas yang terpampang di hadapan. Dicek pula isinya. Lalu dimiringkan ke depan, kiri, kanan, belakang. Memastikan itu adalah tas yang sama."Ini tas dari Kak Daniel!" ujarnya dengan nada tidak percaya."Tapi bagaimana bisa ada di sini? Siapa yang membawanya ke sini?" tanyanya. Mengangkat kepala melihat ke jendela yang tertutup. Keningnya berkerut."Aku." Sebuah suara muncul dari belakang. Shaw membalik badan; menatap waspada namun juga penuh tanda tanya pada sosok misterius yang bersandar pada lemari."Siapa?" tanya Shaw penasaran.Sosok itu maju bebera

  • Jeruji Tanah Anarki   Tuan, Anda berdarah!

    'Tetap pergi atau batalkan?' Gundah Shaw dalam hati. Tujuan utama pergi mencari panasea dan mengajak Bold adalah agar bisa kembali ke barat daya dan mengambil tas pemberian Daniel, tapi sekarang tas itu sudah kembali padanya."Jadi, kalian akan langsung pergi?" Spencer meletakkan sebuah keranjang penuh apel merah yang sudah dicuci. Ia masukkan apel itu ke dalam dua wadah."Benar, Kek. Kami akan langsung pergi ... biar tidak kesorean nanti pulangnya, soalnya ini sudah mau siang." Shaw menjawab. Merapikan pakaiannya. 'Pergi sajalah ... aku sudah terlanjur bilang, Bailey pun pasti sudah mengatakan itu pada orangtuanya.'"Ya sudah, berhati-hatilah. Ini ada apel yang sudah masak. Kakek memetiknya pagi-pagi sekali hari ini," ujar Spencer. Memberikan sekantung apel merah pada Bailey dan Edvard."Terima kasih, Kek." jawab Bailey dan Edvard.Kuda berpacu menjauh, membelah jenggala. Menuju distrik Aloclya.Shaw menengok ke arah kiri saat s

Latest chapter

  • Jeruji Tanah Anarki   Morth

    Atmosfer terasa lebih ramah. Irama dari ranting-ranting dan dahan oleh angin terdengar lebih wajar dibandingkan tadi. Shaw makin yakin, semua karena Morth. Atmosfer, halusinasi, entah apa lagi yang Morth sebabkan. Satu pertanyaan besar dalam benak Shaw, siapa Morth sesungguhnya? Mengapa seisi jenggala sunyi hingga seluruh penjurunya seakan-akan berada di bawah kaki tangan Morth?“Kau pikirkan aku?” Morth tiba-tiba bertanya. Rupanya ia mengekori Shaw.Huh? Apa Morth juga bisa membaca pikiran?Shaw menengok ke belakang, langkahnya melambat. “Jangan katakan kau dapat menembus kepala orang.”“Kau banyak bertanya, belum tuntas seluruhnya.” Morth mensejajarkan diri. Sejenak, ia melihat Shaw dari atas ke bawah. “Orang keras kepala seperti kau tentu akan merenungkannya. Aku benar, bukan?”“Kita baru saling tahu beberapa saat lalu dan kau yakin sekali dengan kata-katamu. Antara kau pandai menilai atau hanya pandai berasumsi.” Shaw menggeleng. Pandangan ia tujukan ke depan.Morth menyentuh leng

  • Jeruji Tanah Anarki   Penunggu hutan sunyi

    Tanduk. Hal pertama yang dilihat oleh Shaw dari sumber suara adalah tanduk, tersembunyi di antara dedaunan semak belukar setinggi pinggang orang dewasa.Shaw mengernyit, kemudian bergumam lirih, nyaris tak bersuara, "Itu seperti tanduk rusa."Sepasang mata semerah darah terlihat dari celah dedaunan. Shaw menelan ludah. Ia tahu betul itu bukan mata hewan biasa, apalagi manusia. Tidak ada satu pun penduduk desa yang pernah ditemuinya memiliki mata seperti itu.Mungkinkah ini yang Fu maksud? Apapun itu, merasakan haki tidak biasa dari sang sosok misterius membuat Shaw merasa dirinya tidak boleh berlama-lama.Diliputi kewaspadaan dan dengan suara tercekat, ia berucap dalam hati, "Aku harus segera pergi dari sini."Tanpa melakukan pergerakan yang kentara serta dengan posisi kepala yang masih sama, tatapan Shaw menyisir sekitar; memastikan tidak ada keanehan lain. Ia yang semula berjongkok pun perlahan berdiri sepelan mungkin. Namun, bak lelah bermain petak umpet, ransel yang Shaw gendong m

  • Jeruji Tanah Anarki   Halusinasi

    "Tetap tidak bisa! Terlalu berbahaya. Kau kan tahu lebih baik daripada aku, Tibate." Fu mengangkat kepala, menatap lurus Tibate dan Baldor. Ini bukan waktu yang tepat, pikir Fu. "Lagi pula aku bisa menjaga diri. Akan kupanggil kalian jika hal buruk terjadi dan aku tidak bisa mengatasinya.""Kau bisa tinggal, Fu. Aku akan melanjutkan perjalananku seorang diri," sela Shaw, angkat bicara setelah menimang-nimang."Tidak―""Aku juga akan meninggalkan kudaku di sini." Shaw menepuk pundak Fu. Ia serius ingin Fu tinggal. "Bold bilang ada danau dan tebing. Jadi, aku tidak bisa membawa kudaku. Selain itu, kau bisa mengawasi keadaan hutan dan mengabariku. Kau juga terluka, Fu. Jangan bersikeras seolah kau baik-baik saja. Bagaimanapun kau juga masih anak-anak."Ini adalah tugas Shaw. Sejak awal, Shaw memulainya sendiri, dan ia harus melanjutkannya sendiri. Shaw tidak ingin merepotkan.Fu berdecak, tidak terima, tetapi juga tidak menyangkal ataupun menyanggah. Bertemu Baldor dan Tibate membuatnya

  • Jeruji Tanah Anarki   Janji pada jenderal besar

    Pria berjanggut memperhatikan sambil mengusap-usap janggut dan kumisnya. Saat otaknya mengingat sesuatu tentang Fu, matanya seketika melebar."Kau ingin aku mencincangmu, hah?!" Tibate berseru.Setelah ikan bakarnya rusak, sekarang dirinya yang nyaris terbakar. Pria plontos itu tidak terima.Tibate menghentak tanah dengan kakinya, bergantian kaki kanan dan kaki kiri. Pegangannya pada gagang pedang semakin erat dan erat.Fu melompat mundur, mengambil sikap siaga dan meningkatkan kewaspadaannya. Ia siap dengan apapun yang akan Tibate lakukan untuk membalasnya.Sebelum Tibate menyerang balik, pria berjanggut yang masih menggenggam keranjang bambu itu berjalan ke depan Tibate, lalu berdiri memunggungi Fu dan Shaw."Kau mau dikutuk atau sudah bosan hidup?!" tanyanya."Apa maksudmu? Kalau kau hanya ingin aku berhenti memberi anak itu pelajaran, sebaiknya kau minggir!" balas Tibate."Kau tahu kau sedang berhadapan dengan siapa? Kau tidak berencana mengingkari janjimu pada Jenderal Besar, 'ka

  • Jeruji Tanah Anarki   Pertarungan Fu dan Tibate

    "Apa kau sedang bercanda?" Tibate mendengus kasar. Ia tampak tidak suka.Pria plontos itu tahu dirinya sudah hidup lama, tetapi bukan berarti ingatannya menua. Ia tahu ingatannya masih berfungsi dengan sangat baik. Ia sangat meyakini itu."Aku tidak bercanda," sanggah Fu, berkacak pinggang. "Kau memberitahukannya sendiri padaku saat aku memberimu buah persik. Kalau kau masih tidak ingat, berarti ada yang salah dengan ingatanmu," imbuhnya.Buah persik?Tibate mengerutkan kening. Ia merasa tidak asing, tetapi tidak mengingat apapun."Sudahlah. Lebih baik kalian pulang sekarang, dan akan kuanggap ini tidak pernah terjadi," ujar Tibate seraya memasang wajah serius."Tidak bisa!" Shaw berseru. "Aku harus pergi ke tenggara!""Ya. Kami tidak bisa kembali ke desa saat ini," Fu menimpali.Tibate memukulkan ujung pedangnya ke tanah, menimbulkan gelombang angin yang kencang. Dedaunan dan batu kerikil tersapu, begitu pun Fu dan Shaw yang ikut terpental."Aduh ...." Shaw mengerang, berusaha bangun

  • Jeruji Tanah Anarki   Penjaga hutan hitam

    Menjelang pagi, suara kehidupan awal sekali menggaung. Beberapa penduduk desa sudah mulai melakukan aktivitas mereka. Sebagian di dalam rumah, sebagian di luar rumah.Satu di antara manusia yang telah lepas dari peraduannya adalah Wilton. Ia bertugas pagi kali ini."Selalu rajin, ya." Zander berkomentar. Kuda-kuda di kandang bersuara antusias saat Zander memberi mereka makan."Tidak juga. Aku hanya tidur cukup nyenyak semalam, dan tubuhku merasa lebih segar saat aku bangun. Jadi, ya, mungkin lebih bersemangat," sahut Wilson seraya terkekeh kecil."Padahal kau hanya tidur sebentar, 'kan, semalam," Celetuk Zander. Tangannya cekatan melipat karung-karung rumput yang sudah kosong.Wilton tersenyum cerah menanggapinya. Ia memeras kain yang dipakai untuk mengelap kuda yang akan ia pakai untuk mengantar Bailey ke sekolah."Sebentar pun tetap saja namanya tidur, Zan," kata Wilton, keluar dari kandang sambil membawa kain basah dan ember hitam kecil."Ya, tidak salah."Suara derap kaki nyaring

  • Jeruji Tanah Anarki   Penemuan Avidius

    "Ada yang menarik perhatianmu, Vid? Aku sampai mengantuk menunggumu." Bailey menimpali."Ah, maaf maaf .... Tadi ada yang harus kulakukan. Ada sesuatu! Jadi, aku kembali lebih lama," ujar Avidius seraya tersenyum canggung.Avidius adalah cucu Barid. Ia satu sekolah dengan Leonere."Sesuatu apa?" Leonere bertanya.Avidius, remaja berkulit putih kemerahan dengan senyum manis dan lesung pipi itu mengeluarkan sebuah kain merah dari saku pakaian di balik jubahnya. Saat kain dibuka, Leonere dan Bailey membulatkan mata melihat benda yang terpampang di sana."Bukankah itu—" Kata-kata Leonere terhenti. Ia mendekat tergesa dan memegang benda yang ditunjukkan Avidius. "Ini kan ....""Dari mana kau menemukan itu?" tanya Bailey yang juga mendekat.Avidius melirik ke arah belakang sesaat, memastikan sekitarnya aman. Senyumnya pudar seketika."Dari hutan barat laut. Aku menemukannya tadi," bisik Avidius, tampak serius.Bailey dan Leonere tercengang lalu saling menatap. Pikiran keduanya seolah tersam

  • Jeruji Tanah Anarki   Hutan hitam

    "Tidak ada yang gratis," sahut Fu seraya menyeringai tipis.Shaw berdecak. "Kubayar dengan manisan.""Apa itu? Tidak cukup! Informasiku sangat mahal, kau tahu.""Ck, kubayar dengan makanan lain. Kau bebas memintanya, dan aku akan membuatkannya untukmu," tawar Shaw.Fu menyeringai penuh kemenangan kini. Sebuah siasat terlintas di benaknya."Bisa dipertimbangkan," kata Fu. Sesaat kemudian seringai di wajahnya hilang, berganti raut serius. "Kurangi kecepatan kudanya. Melewati batang pohon besar di depan itu, buat kudanya berjalan biasa.""Huh? Oke."Shaw percaya pada Fu. Ia mengikuti instruksi Fu tanpa ragu.Pohon-pohon besar yang dimaksud Fu berada 20 meter dari mereka. Warna pohonnya gelap, seolah melambangkan sesuatu yang misterius dan tampak mati. Pepohonan itu seakan telah terbakar. Meski begitu, dedaunannya sangat rimbun.Melewati dua pohon besar tersebut, kuda memasuki jenggala yang lebih gelap dan sunyi dari sebelumnya. Sekeliling tampak benar-benar gelap dengan aura yang terasa

  • Jeruji Tanah Anarki   Desa neraka dan tetua desa

    "Ya sudah." Eroth menghela napas.Selain belajar bersikap baik pada budaknya, Eroth pun belajar untuk tidak memaksakan kehendak. Ya, itu sungguhan, bukan sandiwara yang dibuat-buat.Di depan mereka, Aaban mendengarkan dalam diam. Komandan itu sibuk dengan pikirannya.Menjelang ujung dari jenggala ketiga, Fu tiba-tiba berujar. Suaranya terdengar serius di telinga Shaw."Berhenti, Shaw."Shaw menghentikan laju kuda dan melirik Fu. "Ada apa?""Kita ambil jalan lain," tukas Fu."Kenapa? Ada apa dengan jalan ini?""Ada sesuatu di depan. Hakinya tidak jauh berbeda dengan Kaye dan teman-temannya.""Ha?"Shaw menatap lurus, lalu memejamkan mata. Ia mencoba merasakan haki di depan, tetapi tidak merasakan atau melihat apapun."Aku tidak merasakan apapun," kata Shaw seraya membuka mata.Fu berdecak dan memegang kedua pundak Shaw. Aliran haki mengalir dari tangannya."Coba lihat lagi," kata Fu. Shaw mengiyakan.Bayangan sosok berjumlah lebih dari 10 terlihat di kejauhan di depan, dengan haki yang

DMCA.com Protection Status