Share

Berseteru

Penulis: Maula Faza
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Suara kekehan lolos dari bibir Shaw. Membuat Bailey, Edvard, dan Spencer menoleh. Gracie yang baru kembali dari ruang tamu menatap Shaw dengan terharu. Ia mendekat; membantu Shaw yang berusaha duduk.

"Kau bilang kau punya uang?" tanya Shaw. Menatap Bailey yang dibalas anggukan sang tuan muda.

Lagi, Shaw terkekeh. Menampilkan sedikit deretan gigi putihnya.

"Kalau uang yang kau maksud itu adalah pemberian dari ayah atau keluargamu yang lain, kerabatmu, petinggi desa atau lainnya, maka urungkan niatmu. Bagimu itu uangmu, tapi bagiku itu bukan uangmu."

"Kenapa?" Bailey menatap polos penuh tanya.

"Semua uang itu, bisa saja menjadi pemicu ... bahan bakar masalah di kemudian hari, dan kau mungkin saja akan tersudutkan. Aku tidak ingin ada resiko, perintah atau hukuman yang tidak berdaya untuk ditentang ketika kita seharusnya mampu melakukannya." Shaw menjelaskan.

"Aku mengerti. Kalau begitu aku akan bekerja dan menghasilkan uangku sendiri." Bailey menimpali. Membuat aliran kejut menyapa semua orang yang ada di sana.

".... Aku tetap ingin membantu." Bailey bersikukuh; mengalihkan pandangan dengan wajah cemberut, menggelembungkan pipi dan melipat tangannya. Ia menambahkan, "Aku bisa bekerja! Kalau Shaw bisa, maka aku juga bisa!"

Sekali lagi, Shaw terkekeh.

"Pekerjaan apa yang akan kau lakukan?" tanyanya. Membuat Bailey terdiam.

Sementara Spencer, Gracie, dan Edvard masih berusaha mencerna apa yang sedang terjadi. Diam tanpa kata, tertegun dengan interaksi kedua bocah di ruangan itu. Namun juga penasaran dengan jawaban sang pewaris tahta.

Tentu saja, pekerjaan apa yang akan Bailey lakukan? Ia adalah putera pertama pemimpin Zanwan. Ibarat putera mahkota di sebuah kerajaan, Bailey adalah pewaris tahta kepemimpinan ayahnya.

Hidupnya sangat tercukupi .... Ada banyak pelayan yang melayani di rumah. Bukan hanya itu ... belum tentu Bailey akan mendapat izin dari ayahnya. Mau ditaruh di mana muka Ascal jika mengizinkan dan membiarkan Bailey bekerja di usianya yang masih 11 tahun? Para petinggi lain akan menjadikan itu olokan di belakangnya.

"Itu ... akan kupikirkan nanti. Intinya aku pasti akan bekerja!" Bailey masih bersikeras. Menggelembungkan pipi dengan ekspresi cemberut dan melipat tangan.

Ini adalah kali pertama Edvard melihat Bailey yang seperti itu. Kalau Spencer, Gracie dan Shaw, sih, sudah sering melihatnya. Bailey tak ubahnya anak lain, setiap kali bersama Shaw. Terlebih jika sedang di rumah Spencer, seperti saat ini. Rumah kakek Shaw seperti rumah kedua bagi Bailey. Tak jarang Bailey lebih betah berada di rumah Spencer dari pada di rumahnya sendiri, meski kedua rumah itu 180ยฐ berbeda.

Rumah Hunt yang mewah lebih sering terasa hampa dan dingin, kontras dengan rumah Spencer yang meskipun kecil dan sangat sederhana, tapi terasa sangat hidup dan hangat.

"Ya sudah, ya sudah ... sebaiknya kau pulang. Matahari sudah meninggi, sebentar lagi waktumu sekolah, 'kan?" tanya Shaw yang dibalas anggukan Bailey.

"Kau istirahatlah ... jangan bekerja dahulu. Aku akan kembali nanti sore." Bailey menyahut. Pamit pada Spencer dan Gracie.

"Makanlah yang banyak dan minum obatnya dengan teratur. Lukamu akan lebih cepat sembuh." Itu Edvard. Berdiri lalu berjalan ke ruang tamu bersama Bailey, diantar Spencer dan Gracie.

"147 cambukan." Shaw bergumam.

"Istirahatlah ... kau belum tidur, bukan?" Spencer menghampiri setelah mengantar Bailey dan Edvard ke depan.

"Benar kata Kakekmu. Istirahatlah ... nanti Nenek bangunkan kalau sarapannya sudah siap." Gracie berjalan ke lemari perabotan, mengambil peralatan memasak.

Shaw mengangguk pelan.

"Aku tidur dulu ...." sahutnya. Membaringkan tubuh dengan posisi telungkup. Sesaat Spencer mengusap kepala Shaw, lalu pergi melanjutkan pekerjaannya di halaman belakang.

"Berapa lama waktu yang dibutuhkan sampai Shaw sembuh?" Bailey bertanya seraya mengeratkan pegangan pada coat Edvard di depannya.

Kuda melaju cepat, agar cukup waktu untuk Bailey membersihkan diri, sarapan, dan bersiap ke sekolah.

"Lukanya dalam. Mungkin bisa membutuhkan waktu 1 bulan penuh sampai lukanya sembuh. Itu pun tidak dengan menghilangkan bekasnya," jawab Edvard tanpa mengalihkan pandangan.

Bailey menghela napas lelah. 'Hukum Zanwan harus diperbaiki. Zanwan harus diperbaiki!' Batinnya berseru. Gelora semangat membuncah, memompa tekad agar berdiri lebih kokoh.

Memang, hukum yang berlaku saat ini sangatlah kejam. Meskipun dengan dalih demi kebaikan Zanwan dan agar semua patuh tak macam-macam, tetap saja tak mengubah fakta jika hukum Zanwan kelewat kejam.

Jarum jam sudah menunjuk angka 6 lewat. Kicauan burung terdengar berirama di pepohonan.

Mata cokelat gelap itu masih terpejam; membiarkan telinga mengambil tugas mengawasi sekitar.

Otak yang jengah mengambil alih, memaksa daksa yang malas untuk kembali bergerak. Tungkai terangkat, membawa sang daksa ke ruangan mati lainnya ... dengan satu meja panjang di tengah dan rentetan kursi di tepian. Dihias aneka hidangan lezat yang sama sekali tak menggugah selera.

Derit pintu yang ditunggu masih belum terdengar, sekali lagi tatapan terarah pada benda penunjuk waktu di dinding.

"Di mana Bailey?" Langkah terhenti di dekat kursi, sejenak mengedarkan pandangan.

"Tuan muda belum kembali." Takut-takut kepala pelayan menjawab pertanyaan Tuannya. Sejak pagi buta tadi, para pelayan di kediaman Hunt kalang kabut karena tidak menemukan tuan muda mereka di kamar dan ruangan lain di mansion itu.

"Wilton!" Ascal menggeser kursinya; duduk menenangkan diri.

"Saya menghadap, Tuan." Prajurit penjaga yang dipanggil Wilton itu menunduk hormat.

"Jemput Bailey di rumah Spencer Porter."

"Baik, Tuan."

Wilton menundukkan kepalanya lebih rendah sesaat lalu berjalan ke pintu. Saat akan meraih knop, pintu sudah lebih dulu dibuka oleh seorang pelayan. Jillian dan seorang balita perempuan di gendongannya muncul di belakang pelayan itu. Sontak Wilton kembali menunduk, bergeser memberi jalan untuk nyonya besarnya.

"Pagi, Wilton." Jillian menyapa dengan tersenyum ramah dan melanjutkan langkah menghampiri Ascal bersama Selise, gadis muda dengan pakaian pelayan di belakangnya.

"Pagi, Nyonya."

"Pagi, Tuan Wilton."

"Pagi, Nona Lise." Wilton menjawab seraya tersenyum pada gadis berparas manis itu, berbeda ketika membalas sapaan Jillian. Wilton tentu tak berani bersikap macam-macam pada sang nyonya besar.

"Selamat pagi, Wilton. Kau mau ke mana?" sapa Bailey dari belakang Wilton yang baru hendak memutar kudanya.

"Eh? Ah, pagi, Tuan muda. Saya diperintahkan Tuan Besar untuk menjemput Tuan Muda," timpal Wilton. Sedikit terkejut karena Bailey tiba-tiba muncul.

"Sebaiknya kau segera masuk, Tuan Muda," saran Edvard.

Bailey mengangguk. Berlari masuk ke rumah. Edvard pamit kembali ke klinik, sedang Wilton menggiring kuda kembali ke tempatnya; menalikan kekang dan kembali ke tempatnya berjaga.

"Pagi, Bu, Ayah."

"Pagi, sayang." Itu Jillian. Hanya ia yang menyahut. Ascal hanya menatap lalu sudah, tak ada suara.

Suasana pagi terasa dingin seperti biasa. Meja makan pun hening, hanya ramai oleh celotehan khas balita dari Bariela dan suara Jillian yang sesekali bertanya.

"Bailey," Kegiatan makan sesaat berhenti begitu mendengar suara berat Ascal. Untuk pertama kalinya dalam 6 bulan terakhir, dirinya membuka suara saat sedang di meja makan. "Ayah tak mengizinkanmu bertemu Shaw dan keluarganya lagi." Tenang datar suaranya, membuat suasana di meja makan semakin dingin membeku.

"Ayah bisa melarangku sesuka hati, tapi tak bisa memaksaku." Bailey menjawab datar, mengunyah rotinya.

"Bailey ...." Ascal menoleh, tersirat dari wajahnya seakan berkata, 'Jangan membantah!'

Bailey menghela napas kecil, mengambil satu lembar roti lagi dan melapisinya dengan selai strawberry.

"Ayah mengizinkanku atau tidak, aku akan bertemu Shaw, Kakek dan Nenek lagi."

"Jangan membuat Ayah turun tangan, Bailey." Ascal menurunkan tangan, memotong roti di piring.

Jillian yang merasakan ketegangan di antara ayah dan anak segera menoleh pada Selise; menyuruh gadis itu membawa Bariela pergi. Selise mengangguk mengerti; menggendong Bariela, mengambil sarapan balita itu dan pergi ke taman.

"Aku hanya ingin memiliki teman, Ayah!" Bailey menaruh garpu dan pisau di tangannya ke piring dengan kesal. "Aku ingin memiliki teman yang benar-benar teman. Bukan penjilat yang hanya memandangku dari status sosial, yang mau berteman denganku karena aku anak Ayah!" Ia berujar dengan napas memburu. ".... Shaw mengajarkanku banyak hal baik. Shaw, Kakek dan Nenek adalah orang baik," tambahnya.

"Kau tidak tahu apa-apa. Dengarkan kata-kata Ayah dan jangan membantah." Ascal masih dengan tenangnya.

Semakin kesal Bailey mendengarnya. Pandangan sepenuhnya ditolehkan; menatap orang nomor satu di Zanwan.

"Kalau begitu beritahu aku .... Apa yang tidak kuketahui? Kenapa aku tidak boleh bertemu Shaw lagi?! Ayah takut akan sesuatu?"

"Bailey!!" Dingin dan tegas bentakan Ascal, mengejutkan Jillian dan para pelayan di dapur yang letaknya tepat di ruangan sebelah.

Bab terkait

  • Jeruji Tanah Anarkiย ย ย Peringatan

    Bailey berdecak."Ketahuilah, Ayah ... kebenaran adalah kebenaran. Tak ada seorangpun yang dapat membendung ketika kebenaran sudah tiba pada waktu untuk menunjukkan dirinya. Ayah tidak tahu, 'kan, apa yang sebenarnya diinginkan dan diharapkan penduduk Zanwan?" tanya Bailey seraya menatap lekat Ascal. Berharap ayahnya itu akan memahami maksud dari perkataan juga sorot matanya."Zaman sudah berubah. Aku menginginkan kebebasan sebagaimana orang lain menginginkannya." Suaranya lebih tenang kali ini.Sejenak Bailey menghela napas, mengalihkan pandangan; menatap roti di piring, lalu melanjutkan, "Akan kupikul beban berat di pundak Ayah. Aku ... Aku tak keberatan untuk menggantikan Ayah nantinya, meneruskan tahta Ayah seperti yang seharusnya. Aku tak keberatan mengorbankan hidupku untuk Zanwan, melupakan semua mimpi menjelajah dunia luar dan mengabdi pada Zanwan. Tapi--"Lagi, Bailey mengh

  • Jeruji Tanah Anarkiย ย ย Lilin merah

    "Tidurlah dengan nyenyak ...." ucap Spencer lirih. Mengusap lembut kepala Shaw.Perapian di dapur sudah dinyalakan. Berat Spencer dan Gracie melajukan tungkai ke kamar, meninggalkan Shaw terbaring sendiri; bermalam di ranjang kayu di dapur, tanpa selimut. Bukan tak ada, hanya saja tak bisa dipakai sesuai fungsinya. Luka di punggung Shaw belum pulih.Derit pintu terdengar, menandakan Spencer dan Gracie sudah masuk ke ruang peristirahatan mereka. Perlahan Shaw membuka mata, mengerjap tak bersuara. Otak dan batinnya mulai kembali riuh. Kalbu merapal pelajaran yang disampaikan Bailey petang tadi."๐˜›๐˜ข๐˜ฌ ๐˜ข๐˜ฅ๐˜ข ๐˜ฑ๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜บ๐˜ข๐˜ฌ๐˜ช๐˜ต ๐˜บ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ต๐˜ข๐˜ฌ ๐˜ฃ๐˜ช๐˜ด๐˜ข ๐˜ฅ๐˜ช๐˜ด๐˜ฆ๐˜ฎ๐˜ฃ๐˜ถ๐˜ฉ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ฌ๐˜ฆ๐˜ค๐˜ถ๐˜ข๐˜ญ๐˜ช ๐˜ฌ๐˜ฆ๐˜ฎ๐˜ข๐˜ญ๐˜ข๐˜ด๐˜ข๐˜ฏ. ๐˜›๐˜ข๐˜ฌ ๐˜ข๐˜ฅ๐˜ข ๐˜ฐ๐˜ฃ๐˜ข๐˜ต ๐˜บ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ต๐˜ข๐˜ฌ ๐˜ฃ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜จ๐˜ถ๐˜ฏ๐˜ข ๐˜ด๐˜ฆ๐˜ญ๐˜ข๐˜ช๐˜ฏ ๐˜ฌ๐˜ถ๐˜ณ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ๐˜ฏ๐˜บ๐˜ข ๐˜ฑ๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜จ๐˜ฆ๐˜ต๐˜ข๐˜ฉ๐˜ถ๐˜ข๐˜ฏ." Hanya sebuah kata mutiara dari Ibnu Sina, yang Bailey hafalkan dari buku yang

  • Jeruji Tanah Anarkiย ย ย Menyusun rencana

    "Penjagaan di selatan lebih ketat ... aku tidak mungkin ke sana. Tapi jalan yang kulewati kemarin lalu bersama Kak Daniel pun tidak bisa kulewati lagi ... penjagaannya pasti ditambah." Mulutnya bergerak, bersahutan dengan pikirannya.".... Hilir sungai perbatasan di barat lebih mudah dicapai, tapi membutuhkan waktu lebih lama. Dan tentu penjagaannya pasti ditambah juga."Shaw menegakkan diri; melipat tangan, mengetuk-ngetuk pelan hidungnya dengan jari telunjuk tangan kanan. Pandangannya masih terarah pada peta, mencari celah sembari otaknya memikirkan cara terbaik untuk sampai ke pesisir dan kembali tanpa ketahuan; secepat mungkin. Sesekali meringis ia, merasakan gelenyar perih di punggungnya.Beberapa hari beristirahat total dengan makan dan obat teratur membuat lukanya berangsur membaik dengan cepat, namun belum bisa dikatakan sembuh 50%."Aha!" Shaw mengangkat jari telunjuk tangan kanannya. Matanya melebar cerah menanggapi ide yang terlin

  • Jeruji Tanah Anarkiย ย ย Jika kau mati 5 menit setelah ini....

    "Baiklah, apa saja yang perlu kubawa untuk nanti?" Shaw bertanya pada dirinya sendiri. Melangkah lebar-lebar dengan riang dan semangat menuju kamar."Sepertinya aku harus mencatatnya dulu," ucapnya. Menghampiri meja dan meraih buku catatan. Namun tangannya terhenti saat matanya menatap sesuatu yang tidak asing. Tas pemberian Daniel!Mata Shaw membulat. Diraih lalu dirabanya tas yang terpampang di hadapan. Dicek pula isinya. Lalu dimiringkan ke depan, kiri, kanan, belakang. Memastikan itu adalah tas yang sama."Ini tas dari Kak Daniel!" ujarnya dengan nada tidak percaya."Tapi bagaimana bisa ada di sini? Siapa yang membawanya ke sini?" tanyanya. Mengangkat kepala melihat ke jendela yang tertutup. Keningnya berkerut."Aku." Sebuah suara muncul dari belakang. Shaw membalik badan; menatap waspada namun juga penuh tanda tanya pada sosok misterius yang bersandar pada lemari."Siapa?" tanya Shaw penasaran.Sosok itu maju bebera

  • Jeruji Tanah Anarkiย ย ย Tuan, Anda berdarah!

    'Tetap pergi atau batalkan?' Gundah Shaw dalam hati. Tujuan utama pergi mencari panasea dan mengajak Bold adalah agar bisa kembali ke barat daya dan mengambil tas pemberian Daniel, tapi sekarang tas itu sudah kembali padanya."Jadi, kalian akan langsung pergi?" Spencer meletakkan sebuah keranjang penuh apel merah yang sudah dicuci. Ia masukkan apel itu ke dalam dua wadah."Benar, Kek. Kami akan langsung pergi ... biar tidak kesorean nanti pulangnya, soalnya ini sudah mau siang." Shaw menjawab. Merapikan pakaiannya. 'Pergi sajalah ... aku sudah terlanjur bilang, Bailey pun pasti sudah mengatakan itu pada orangtuanya.'"Ya sudah, berhati-hatilah. Ini ada apel yang sudah masak. Kakek memetiknya pagi-pagi sekali hari ini," ujar Spencer. Memberikan sekantung apel merah pada Bailey dan Edvard."Terima kasih, Kek." jawab Bailey dan Edvard.Kuda berpacu menjauh, membelah jenggala. Menuju distrik Aloclya.Shaw menengok ke arah kiri saat s

  • Jeruji Tanah Anarkiย ย ย Siapa namamu?

    "Yeayy!!" Shaw melompat riang. Membuat Bailey dan Bold sedikit terkejut. "Bold mau!" serunya. Tersenyum senang."Tidak." Bold menjawab. Membuat air muka Shaw berubah. Ia menunduk murung."Aku akan berubah pikiran kalau kau bisa menjatuhkan pedangku." Bold menambahkan.Shaw mengangkat wajah, mengukir kembali senyumnya."Bertarung?" tanyanya."Shaw belum sembuh benar ... biar kugantikan." Bailey mengusulkan."Tidak apa, Bailey .... Tidak masalah," ujar Shaw kemudian. Mundur beberapa langkah dan mencabut pedang dari sarung di sisi kiri."Haah ... ya sudah." Bailey mengalah. Menepi; membiarkan Shaw dan Bold melanjutkan. Beberapa prajurit di sana menoleh ketika mendengar pedang Shaw dan Bold mulai beradu, kemudian mendekat dan menonton di tepian; penasaran siapa yang akan menang. Ini adalah momen langka bagi mereka juga Bailey. Ia bisa melihat bagaimana Shaw menggerakkan pedangnya jika bertarung dengan orang lain selain

  • Jeruji Tanah Anarkiย ย ย Riuh di alun-alun

    "Shaw. Namaku Shaw.""Hanya Shaw?" tanya Baldric lagi. Shaw mengangguk."Hmm ... baiklah, silakan diminum." Baldric duduk. Mengambil gelas berisikan air jeruk manis dan meminumnya."Tuan Muda ... terima kasih sudah beranjang dan membawa Shaw serta.""Hum. Jadi, kenapa Profesor ingin bertemu Shaw?" Bailey tidak bisa menahan diri lagi untuk tidak mengajukan pertanyaan yang muncul dalam benaknya sejak pagi."Saya hanya ingin melihat secara langsung. Ah, kalian pasti belum makan ... mari kita makan!"Baldric berdiri, menggandeng tangan Bailey dan Shaw hingga keduanya mau tak mau berdiri mengikuti. Sedang Bold tetap diam di tempat. Dalam benaknya, Bold berpikir bahwa dirinya tidaklah pantas untuk ikut serta. Di ruang tamu, mereka semua bisa duduk dalam jajar dan tinggi kursi yang sama. Tapi di meja makan, itu adalah hal lain lagi ... tempat yang berbeda.Baldric menolehkan kepala. Melempar senyum hangat pada Bold yang tak ber

  • Jeruji Tanah Anarkiย ย ย Menghilangnya 5 tahanan

    Dunia sedang tertidur. Pekat malam menyelimuti raga dalam lelap, menemani sukma dalam bunga mimpi."Siapa kau?"Mata bulat hitamnya menyipit mencoba menyingkap entitas di balik jubah dan topeng hitam sesosok di depan jeruji. Sisi lain memperhatikan gerak jemari sang sosok yang tampak menggerakkan sesuatu. Sebuah kunci.Temaram lentera menghasilkan siluet sang sosok yang justru semakin menyembunyikan dirinya. Hanya berupa bayang hitam yang mengecewakan."Mau apa kau?"Matanya terus mengawasi, sementara daksa memasang kuda-kuda. Tubuh yang melemah kehilangan banyak tenaga oleh luka ia abaikan. Tungkai mundur merapat dinding, bersamaan sang sosok yang berhasil membuka gembok yang mengunci pintu jeruji besi. Melangkah masuk mendekat pada gelapnya ruang.Dan apa yang akan kau temui di pekat lain saat diri memutuskan terjaga di titik tergelapnya malam? Ketika kau tahu bahwa pekat malam menyimpan berjuta misteri. Semua hal bisa

Bab terbaru

  • Jeruji Tanah Anarkiย ย ย Morth

    Atmosfer terasa lebih ramah. Irama dari ranting-ranting dan dahan oleh angin terdengar lebih wajar dibandingkan tadi. Shaw makin yakin, semua karena Morth. Atmosfer, halusinasi, entah apa lagi yang Morth sebabkan. Satu pertanyaan besar dalam benak Shaw, siapa Morth sesungguhnya? Mengapa seisi jenggala sunyi hingga seluruh penjurunya seakan-akan berada di bawah kaki tangan Morth?โ€œKau pikirkan aku?โ€ Morth tiba-tiba bertanya. Rupanya ia mengekori Shaw.Huh? Apa Morth juga bisa membaca pikiran?Shaw menengok ke belakang, langkahnya melambat. โ€œJangan katakan kau dapat menembus kepala orang.โ€โ€œKau banyak bertanya, belum tuntas seluruhnya.โ€ Morth mensejajarkan diri. Sejenak, ia melihat Shaw dari atas ke bawah. โ€œOrang keras kepala seperti kau tentu akan merenungkannya. Aku benar, bukan?โ€โ€œKita baru saling tahu beberapa saat lalu dan kau yakin sekali dengan kata-katamu. Antara kau pandai menilai atau hanya pandai berasumsi.โ€ Shaw menggeleng. Pandangan ia tujukan ke depan.Morth menyentuh leng

  • Jeruji Tanah Anarkiย ย ย Penunggu hutan sunyi

    Tanduk. Hal pertama yang dilihat oleh Shaw dari sumber suara adalah tanduk, tersembunyi di antara dedaunan semak belukar setinggi pinggang orang dewasa.Shaw mengernyit, kemudian bergumam lirih, nyaris tak bersuara, "Itu seperti tanduk rusa."Sepasang mata semerah darah terlihat dari celah dedaunan. Shaw menelan ludah. Ia tahu betul itu bukan mata hewan biasa, apalagi manusia. Tidak ada satu pun penduduk desa yang pernah ditemuinya memiliki mata seperti itu.Mungkinkah ini yang Fu maksud? Apapun itu, merasakan haki tidak biasa dari sang sosok misterius membuat Shaw merasa dirinya tidak boleh berlama-lama.Diliputi kewaspadaan dan dengan suara tercekat, ia berucap dalam hati, "Aku harus segera pergi dari sini."Tanpa melakukan pergerakan yang kentara serta dengan posisi kepala yang masih sama, tatapan Shaw menyisir sekitar; memastikan tidak ada keanehan lain. Ia yang semula berjongkok pun perlahan berdiri sepelan mungkin. Namun, bak lelah bermain petak umpet, ransel yang Shaw gendong m

  • Jeruji Tanah Anarkiย ย ย Halusinasi

    "Tetap tidak bisa! Terlalu berbahaya. Kau kan tahu lebih baik daripada aku, Tibate." Fu mengangkat kepala, menatap lurus Tibate dan Baldor. Ini bukan waktu yang tepat, pikir Fu. "Lagi pula aku bisa menjaga diri. Akan kupanggil kalian jika hal buruk terjadi dan aku tidak bisa mengatasinya.""Kau bisa tinggal, Fu. Aku akan melanjutkan perjalananku seorang diri," sela Shaw, angkat bicara setelah menimang-nimang."Tidakโ€•""Aku juga akan meninggalkan kudaku di sini." Shaw menepuk pundak Fu. Ia serius ingin Fu tinggal. "Bold bilang ada danau dan tebing. Jadi, aku tidak bisa membawa kudaku. Selain itu, kau bisa mengawasi keadaan hutan dan mengabariku. Kau juga terluka, Fu. Jangan bersikeras seolah kau baik-baik saja. Bagaimanapun kau juga masih anak-anak."Ini adalah tugas Shaw. Sejak awal, Shaw memulainya sendiri, dan ia harus melanjutkannya sendiri. Shaw tidak ingin merepotkan.Fu berdecak, tidak terima, tetapi juga tidak menyangkal ataupun menyanggah. Bertemu Baldor dan Tibate membuatnya

  • Jeruji Tanah Anarkiย ย ย Janji pada jenderal besar

    Pria berjanggut memperhatikan sambil mengusap-usap janggut dan kumisnya. Saat otaknya mengingat sesuatu tentang Fu, matanya seketika melebar."Kau ingin aku mencincangmu, hah?!" Tibate berseru.Setelah ikan bakarnya rusak, sekarang dirinya yang nyaris terbakar. Pria plontos itu tidak terima.Tibate menghentak tanah dengan kakinya, bergantian kaki kanan dan kaki kiri. Pegangannya pada gagang pedang semakin erat dan erat.Fu melompat mundur, mengambil sikap siaga dan meningkatkan kewaspadaannya. Ia siap dengan apapun yang akan Tibate lakukan untuk membalasnya.Sebelum Tibate menyerang balik, pria berjanggut yang masih menggenggam keranjang bambu itu berjalan ke depan Tibate, lalu berdiri memunggungi Fu dan Shaw."Kau mau dikutuk atau sudah bosan hidup?!" tanyanya."Apa maksudmu? Kalau kau hanya ingin aku berhenti memberi anak itu pelajaran, sebaiknya kau minggir!" balas Tibate."Kau tahu kau sedang berhadapan dengan siapa? Kau tidak berencana mengingkari janjimu pada Jenderal Besar, 'ka

  • Jeruji Tanah Anarkiย ย ย Pertarungan Fu dan Tibate

    "Apa kau sedang bercanda?" Tibate mendengus kasar. Ia tampak tidak suka.Pria plontos itu tahu dirinya sudah hidup lama, tetapi bukan berarti ingatannya menua. Ia tahu ingatannya masih berfungsi dengan sangat baik. Ia sangat meyakini itu."Aku tidak bercanda," sanggah Fu, berkacak pinggang. "Kau memberitahukannya sendiri padaku saat aku memberimu buah persik. Kalau kau masih tidak ingat, berarti ada yang salah dengan ingatanmu," imbuhnya.Buah persik?Tibate mengerutkan kening. Ia merasa tidak asing, tetapi tidak mengingat apapun."Sudahlah. Lebih baik kalian pulang sekarang, dan akan kuanggap ini tidak pernah terjadi," ujar Tibate seraya memasang wajah serius."Tidak bisa!" Shaw berseru. "Aku harus pergi ke tenggara!""Ya. Kami tidak bisa kembali ke desa saat ini," Fu menimpali.Tibate memukulkan ujung pedangnya ke tanah, menimbulkan gelombang angin yang kencang. Dedaunan dan batu kerikil tersapu, begitu pun Fu dan Shaw yang ikut terpental."Aduh ...." Shaw mengerang, berusaha bangun

  • Jeruji Tanah Anarkiย ย ย Penjaga hutan hitam

    Menjelang pagi, suara kehidupan awal sekali menggaung. Beberapa penduduk desa sudah mulai melakukan aktivitas mereka. Sebagian di dalam rumah, sebagian di luar rumah.Satu di antara manusia yang telah lepas dari peraduannya adalah Wilton. Ia bertugas pagi kali ini."Selalu rajin, ya." Zander berkomentar. Kuda-kuda di kandang bersuara antusias saat Zander memberi mereka makan."Tidak juga. Aku hanya tidur cukup nyenyak semalam, dan tubuhku merasa lebih segar saat aku bangun. Jadi, ya, mungkin lebih bersemangat," sahut Wilson seraya terkekeh kecil."Padahal kau hanya tidur sebentar, 'kan, semalam," Celetuk Zander. Tangannya cekatan melipat karung-karung rumput yang sudah kosong.Wilton tersenyum cerah menanggapinya. Ia memeras kain yang dipakai untuk mengelap kuda yang akan ia pakai untuk mengantar Bailey ke sekolah."Sebentar pun tetap saja namanya tidur, Zan," kata Wilton, keluar dari kandang sambil membawa kain basah dan ember hitam kecil."Ya, tidak salah."Suara derap kaki nyaring

  • Jeruji Tanah Anarkiย ย ย Penemuan Avidius

    "Ada yang menarik perhatianmu, Vid? Aku sampai mengantuk menunggumu." Bailey menimpali."Ah, maaf maaf .... Tadi ada yang harus kulakukan. Ada sesuatu! Jadi, aku kembali lebih lama," ujar Avidius seraya tersenyum canggung.Avidius adalah cucu Barid. Ia satu sekolah dengan Leonere."Sesuatu apa?" Leonere bertanya.Avidius, remaja berkulit putih kemerahan dengan senyum manis dan lesung pipi itu mengeluarkan sebuah kain merah dari saku pakaian di balik jubahnya. Saat kain dibuka, Leonere dan Bailey membulatkan mata melihat benda yang terpampang di sana."Bukankah ituโ€”" Kata-kata Leonere terhenti. Ia mendekat tergesa dan memegang benda yang ditunjukkan Avidius. "Ini kan ....""Dari mana kau menemukan itu?" tanya Bailey yang juga mendekat.Avidius melirik ke arah belakang sesaat, memastikan sekitarnya aman. Senyumnya pudar seketika."Dari hutan barat laut. Aku menemukannya tadi," bisik Avidius, tampak serius.Bailey dan Leonere tercengang lalu saling menatap. Pikiran keduanya seolah tersam

  • Jeruji Tanah Anarkiย ย ย Hutan hitam

    "Tidak ada yang gratis," sahut Fu seraya menyeringai tipis.Shaw berdecak. "Kubayar dengan manisan.""Apa itu? Tidak cukup! Informasiku sangat mahal, kau tahu.""Ck, kubayar dengan makanan lain. Kau bebas memintanya, dan aku akan membuatkannya untukmu," tawar Shaw.Fu menyeringai penuh kemenangan kini. Sebuah siasat terlintas di benaknya."Bisa dipertimbangkan," kata Fu. Sesaat kemudian seringai di wajahnya hilang, berganti raut serius. "Kurangi kecepatan kudanya. Melewati batang pohon besar di depan itu, buat kudanya berjalan biasa.""Huh? Oke."Shaw percaya pada Fu. Ia mengikuti instruksi Fu tanpa ragu.Pohon-pohon besar yang dimaksud Fu berada 20 meter dari mereka. Warna pohonnya gelap, seolah melambangkan sesuatu yang misterius dan tampak mati. Pepohonan itu seakan telah terbakar. Meski begitu, dedaunannya sangat rimbun.Melewati dua pohon besar tersebut, kuda memasuki jenggala yang lebih gelap dan sunyi dari sebelumnya. Sekeliling tampak benar-benar gelap dengan aura yang terasa

  • Jeruji Tanah Anarkiย ย ย Desa neraka dan tetua desa

    "Ya sudah." Eroth menghela napas.Selain belajar bersikap baik pada budaknya, Eroth pun belajar untuk tidak memaksakan kehendak. Ya, itu sungguhan, bukan sandiwara yang dibuat-buat.Di depan mereka, Aaban mendengarkan dalam diam. Komandan itu sibuk dengan pikirannya.Menjelang ujung dari jenggala ketiga, Fu tiba-tiba berujar. Suaranya terdengar serius di telinga Shaw."Berhenti, Shaw."Shaw menghentikan laju kuda dan melirik Fu. "Ada apa?""Kita ambil jalan lain," tukas Fu."Kenapa? Ada apa dengan jalan ini?""Ada sesuatu di depan. Hakinya tidak jauh berbeda dengan Kaye dan teman-temannya.""Ha?"Shaw menatap lurus, lalu memejamkan mata. Ia mencoba merasakan haki di depan, tetapi tidak merasakan atau melihat apapun."Aku tidak merasakan apapun," kata Shaw seraya membuka mata.Fu berdecak dan memegang kedua pundak Shaw. Aliran haki mengalir dari tangannya."Coba lihat lagi," kata Fu. Shaw mengiyakan.Bayangan sosok berjumlah lebih dari 10 terlihat di kejauhan di depan, dengan haki yang

DMCA.com Protection Status