Kekehan lolos dari bibir Shaw, memalingkan perhatian Bailey, Edvard, dan Spencer. Gracie yang baru kembali dari ruang tamu menatap Shaw dengan terharu. Ia mendekat, membantu Shaw yang berusaha duduk.
“Kau bilang kau punya uang?” tanya Shaw, menatap Bailey.
Bailey merespon dengan anggukan.
Shaw terkekeh lagi, menampilkan sedikit deretan gigi putihnya.
“Kalau uang yang kau maksud itu adalah pemberian dari ayah atau keluarga yang lain, kerabatmu, petinggi desa atau lainnya, urungkan niatmu. Bagimu itu uangmu, tapi bagiku itu bukan uangmu.”
“Kenapa?” Bailey mengerjap.
“Semua uang itu bisa saja menjadi pemicu, bahan bakar masalah di kemudian hari dan kau mungkin saja akan tersudutkan. Aku tidak ingin ada resiko, perintah, atau hukuman yang tidak berdaya untuk ditentang ketika kita seharusnya mampu melakukannya.”
“Aku mengerti. Kalau begitu, aku akan bekerja dan menghasilkan uangku sendiri.”
Aliran kejut menyapa semua orang yang ada di sana kecuali Bailey atas ucapan yang barusan Bailey lontarkan.
“Aku tetap ingin membantu!” Bailey bersikukuh, mengalihkan pandangan dengan bibir mengerucut, menggelembungkan pipi, dan melipat tangannya. Ia menambahkan, “Aku bisa bekerja! Kalau Shaw bisa, aku juga bisa!”
Sekali lagi, Shaw terkekeh.
“Pekerjaan apa yang akan kau lakukan?” tanya Shaw.
Bailey terdiam.
Spencer, Gracie, dan Edvard masih berusaha mencerna apa yang sedang terjadi. Diam tanpa kata, tertegun dengan interaksi kedua bocah di ruangan itu. Penasaran juga dengan jawaban sang penerus takhta.
Tentu saja. Pekerjaan apa yang akan Bailey lakukan? Ia putra pertama pemimpin Zanwan. Ibarat putra mahkota di sebuah kerajaan, Bailey adalah penerus takhta kepemimpinan ayahnya.
Hidup Bailey sangat tercukupi. Ada banyak pelayan yang melayani di rumah. Bukan hanya itu, belum tentu Bailey akan mendapat izin dari ayahnya. Mau ditaruh di mana muka Ascal jika mengizinkan dan membiarkan Bailey bekerja di usianya yang masih sebelas tahun? Para petinggi lain akan menjadikan itu olokan di belakangnya.
“Itu ... akan kupikirkan nanti. Intinya aku pasti akan bekerja!” Bailey masih bersikeras.
Ini adalah kali pertama Edvard melihat Bailey yang seperti itu. Kalau Spencer, Gracie, dan Shaw, sih, sudah sering melihatnya. Bailey tidak ubahnya anak lain tiap kali bersama Shaw, terlebih jika sedang di rumah Spencer seperti saat ini.
Rumah kakek Shaw seperti rumah kedua bagi Bailey. Tidak jarang Bailey lebih betah berada di rumah Spencer daripada di rumahnya sendiri meski kedua rumah itu 180° berbeda.
Rumah kediaman keluarga Hunt yang mewah lebih sering terasa hampa dan dingin, kontras dengan rumah Spencer yang meskipun kecil dan sangat sederhana, terasa sangat hidup dan hangat.
“Ya sudah … ya sudah. Sebaiknya kau pulang. Matahari sudah meninggi. Sebentar lagi waktumu sekolah, 'kan?”
Bailey mengangguk. “Kau istirahatlah. Jangan bekerja dulu. Aku akan kembali nanti sore.”
“Makanlah yang banyak dan minum obatnya dengan teratur. Lukamu akan lebih cepat sembuh.” Itu Edvard, pamit dan pergi ke ruang tamu bersama Bailey diantar Spencer dan Gracie.
Tinggal sendiri, Shaw bergumam, “147 cambukan.”
“Istirahat, Shaw. kau belum tidur, bukan?” Spencer menghampiri setelah mengantar Bailey dan Edvard.
“Benar kata kakekmu. Istirahatlah ... nanti Nenek bangunkan kalau sarapannya sudah siap.” Gracie berjalan ke lemari perabotan, mengambil peralatan memasak.
Shaw membaringkan tubuh dengan posisi telungkup.
“Aku tidur, ya …..”
Sejenak Spencer mengusap kepala Shaw, lalu pergi melanjutkan pekerjaannya di halaman belakang.
Di perjalanan menuju distrik Aloclya, kuda Edvard melaju cepat agar cukup waktu untuk Bailey bersiap ke sekolah.
“Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk Shaw sembuh?” Bailey membuka percakapan.
“Lukanya dalam. Mungkin akan membutuhkan waktu satu bulan penuh sampai lukanya sembuh. Itu pun tidak dengan menghilangkan bekasnya,” jawab Edvard tanpa menoleh.
Bailey menghela napas.
“Hukum Zanwan harus diperbaiki. Zanwan harus diperbaiki!” Pikiran Bailey bersuara. Gelora semangat membuncah dalam dirinya, memompa tekad untuk berdiri lebih kokoh.
Jarum jam sudah menunjuk angka enam lewat. Kicauan burung terdengar berirama di pepohonan. Mata cokelat gelap itu masih terpejam, membiarkan telinga mengambil tugas mengawasi sekitar.
Otak yang jenuh mengambil alih, memaksa raga yang malas untuk kembali bergerak. Tungkai terangkat, membawa sang raga ke ruangan mati lainnya.
Satu meja panjang di tengah dan rentetan kursi di tepian. Pada meja itu teronggok aneka hidangan lezat yang sama sekali tidak menggugahkan seleranya.
Derit pintu yang ditunggu masih belum terdengar. Sekali lagi tatapan terarah pada benda penunjuk waktu di dinding.
“Di mana Bailey?”
Langkah terhenti di dekat kursi, sejenak mata melirik sana sini.
“Tuan Muda belum kembali.” Takut-takut kepala pelayan menjawab pertanyaan tuannya.
Sejak pagi buta tadi, para pelayan di mansion Hunt kalang kabut karena tidak menemukan tuan muda mereka di kamar dan ruangan lain di mansion itu.
“Wilton!” Sang tuan, Ascal, menggeser kursi, duduk menenangkan diri.
Derit terdengar dari pintu. Seorang prajurit masuk dengan langkah lebar.
“Saya menghadap, Tuan.”
“Jemput Bailey di rumah Spencer Porter.”
“Baik, Tuan.”
Wilton menundukkan kepala lebih rendah sebentar sebelum pergi. Saat akan meraih knop, pintu sudah lebih dahulu dibuka oleh seorang pelayan. Jillian dan seorang balita perempuan di gendongannya muncul di belakang pelayan itu. Sontak Wilton kembali menunduk, bergeser memberi jalan untuk nyonya besarnya.
“Pagi, Wilton!” Jillian menyapa sepintas lalu. Senyum ramahnya seperti satu-satunya nyawa yang menghidupkan ruangan saat ini.
“Pagi, Nyonya.”
“Pagi, Tuan Wilton!” Di belakang Jillian, Selise yang berseragam pelayan turut melontarkan sapaan.
“Pagi, Nona Lise!” Wilton menjawab seraya melempar senyum pada gadis berparas manis itu, berbeda ketika membalas sapaan Jillian. Oh, yang benar saja. Mana mungkin Wilton berani bersikap lancang pada sang nyonya besar.
“Selamat pagi, Wilton. Kau mau ke mana?” Sapaan lain tertuju pada Wilton ketika ia hendak memutar kuda di halaman depan.
“Eh? Ah, pagi, Tuan Muda. Saya diperintahkan Tuan Besar untuk menjemput Tuan Muda.”
Wilton urung melajukan kuda. Ada keterkejutan pada air mukanya karena Bailey tiba-tiba muncul.
“Kau rajin sekali, Wilton, seperti biasa.” Sapaan Edvard agak lain.
Wilton terkekeh. “Aku belum benar-benar mulai bekerja. Kurasa kau harus katakan itu pada diri sendiri.”
Sebenarnya Wilton sudah melakukan beberapa pekerjaan kecil hari ini. Mengurus kuda-kuda, juga membantu pelayan menyiapkan sarapan prajurit. Namun, ia tidak menganggap itu sebagai tugas atau bagian pekerjaannya karena baginya pekerjaan hari ini dimulai dari mengantar Bailey ke sekolah.
“Kau selalu begitu.” Kali ini Edvard yang melepaskan kekehan. Merasai kudanya bergerak, ia segera berpaling tatap. “Sebaiknya Tuan Muda segera masuk.”
Bailey yang baru turun kontan mengangguk. Berlari ia ke mansion.
Edvard pamit kembali ke klinik, Wilton menggiring kuda ke sebuah tiang di halaman berumput samping depan mansion, kemudian bergabung dengan prajurit lain untuk sarapan.
Di ruang makan, sarapan belum dimulai. Bailey menarik kursi usai membersihkan diri.
“Pagi, Bu, Ayah.”
“Pagi, Sayang.” Itu Jillian. Ia seorang yang menyahut. Ascal hanya melirik, lalu sudah, tidak ada suara.
Di saat berikutnya, Bailey melontarkan sapa pada Selise dan Bariela.
Suasana pagi terasa dingin seperti biasa. Meja makan pun hening, hanya ramai oleh celotehan khas Bariela dan suara Jillian yang sesekali bertanya.
“Bailey ….”
Sejenak, kegiatan makan berhenti begitu suara berat Ascal terdengar. Untuk pertama kalinya dalam enam bulan terakhir, Ascal membuka suara saat sedang di meja makan.
“Ayah tak mengizinkanmu bertemu Shaw dan keluarganya lagi.”
Tenang dan datar suara Ascal, tetapi suasana di meja makan makin dingin; membeku.
“Ayah bisa melarangku sesuka hati, tapi tak bisa memaksaku!” Bailey menjawab sama datar, lalu menggigit roti.
“Bailey ....” Ascal menoleh. Tersirat pada wajahnya seakan-akan ia berkata, “Jangan membantah!”
Bailey menghela napas kecil, mengambil satu lembar roti lagi dan melapisinya dengan selai stroberi.
“Ayah mengizinkanku atau tidak, aku akan bertemu Shaw, Kakek, dan Nenek lagi.”
“Jangan buat Ayah turun tangan dan lebih keras padamu, Bailey.” Ascal menurunkan tangan, memotong roti di piring.
Jillian yang merasakan ketegangan di antara suami dan anaknya segera beralih pada Selise, menyuruh gadis itu membawa Bariela pergi. Selise mengangguk mengerti, menggendong Bariela, mengambil sarapan balita itu, dan pergi ke taman.
“Aku hanya ingin punya teman, Ayah!” Bailey menaruh garpu dan pisau di tangannya ke piring dengan kesal. “Aku ingin punya teman yang benar-benar teman, bukan penjilat yang hanya memandangku dari status sosial, mau berteman denganku karena aku anak Ayah!”
Jillian menghirup udara dalam-dalam.
“Shaw mengajarkanku banyak hal baik. Shaw, Kakek, dan Nenek adalah orang baik,” lanjut Bailey.
“Kau tidak tahu apa-apa. Dengarkan kata-kata Ayah dan jangan membantah.” Ascal masih dengan tenangnya.
Makin kesal Bailey pada ayahnya. Pandangan sepenuhnya ditolehkan, menatap orang nomor satu di Zanwan.
“Kalau begitu, beritahu aku. Apa yang tidak kuketahui? Kenapa aku tidak boleh bertemu Shaw lagi? Ayah takut akan sesuatu?”
“Bailey!” Tegas bentakan Ascal, menyentak serta Jillian dan para pelayan di dapur yang letaknya tepat di ruang sebelah.
Bailey berdecak.“Ketahuilah, Ayah. Kebenaran adalah kebenaran. Tidak ada seorang pun yang dapat membendung ketika kebenaran sudah tiba pada waktu untuk menunjukkan dirinya. Ayah tidak tahu, kan, apa yang sebenarnya diinginkan dan diharapkan penduduk Zanwan?” Bailey memberi atensi penuh kepada Ascal, berharap ayahnya akan memahami maksud dari perkataan dan sorot matanya.“Zaman sudah berubah. Aku menginginkan kebebasan sebagaimana orang lain menginginkannya.” Suara Bailey lebih tenang kali ini.Sejenak Bailey menghela napas, mengalihkan tatap pada roti di piring, lalu melanjutkan, “Akan kupikul beban berat di pundak Ayah. Aku ... aku tidak keberatan untuk menggantikan Ayah nantinya, meneruskan takhta Ayah seperti yang seharusnya. Aku tidak keberatan mengorbankan hidupku untuk Zanwan, melupakan semua mimpi menjelajah dunia luar untuk mengabdi pada Zanwan, tapi ….”Menjeda sejenak, Bailey menyunggingkan senyum. Seutas senyum pedih.“Sebelum hari itu tiba, biarkan aku menjadi diriku sendi
“Tidurlah dengan nyenyak.” Spencer mengusap lembut kepala Shaw.Perapian di dapur sudah dinyalakan. Berat Spencer dan Gracie melajukan tungkai ke kamar, meninggalkan Shaw terbaring sendiri; bermalam di ranjang kayu di dapur, tanpa selimut. Bukan tidak ada, cuma tidak bisa dipakai sesuai fungsinya. Luka di punggung Shaw belum pulih.Derit pintu terdengar menandakan Spencer dan Gracie sudah masuk ke ruang peristirahatan mereka. Perlahan Shaw membuka mata, mengerjap. Otak dan batinnya mulai riuh. Hati merapal pelajaran yang disampaikan Bailey petang tadi.“Tidak ada penyakit yang tidak bisa disembuhkan kecuali kemalasan. Tidak ada obat yang tidak berguna selain kurangnya ilmu pengetahuan.”Sebuah kata mutiara dari Ibnu Sina yang Bailey hafalkan dari buku bacaannya. Tentu bukan buku sekolah, melainkan buku ilegal. Ya, ilegal, karena buku tersebut adalah selundupan. Dipesan khusus oleh Edvard dari temannya di negeri seberang, hadiah atas keberhasilan Bailey menghafal satu buku medis bersama
“Penjagaan di selatan lebih ketat. Aku tidak mungkin ke sana, tapi jalan yang kulewati bersama Kak Daniel pun tidak bisa kulewati lagi. Penjagaannya pasti ditambah.” Mulut Shaw bergerak, bersahutan dengan pikirannya. “Hilir sungai perbatasan di barat lebih mudah dicapai, tapi butuh waktu lebih lama. Penjagaannya pasti ditambah juga.”Shaw menegakkan badan, melipat tangan, mengetuk-ngetuk pelan hidungnya dengan jari telunjuk tangan kanan. Tatapnya masih terarah pada peta, mencari celah sembari otaknya memikirkan cara terbaik untuk sampai ke pesisir dan kembali tanpa ketahuan secepat mungkin. Sesekali meringis ia, merasakan gelenyar perih di punggungnya.Beberapa hari beristirahat total dengan makan dan obat teratur membuat lukanya berangsur membaik, cepat walau belum bisa dikatakan sembuh 50%.“Aha!” Shaw mengangkat jari telunjuk tangan kanan. Matanya melebar cerah menanggapi ide yang terlintas dalam benak. “Kurasa aku bisa menggunakan cara itu. Yah, meski akan memakan waktu lebih lama,
“Baiklah. Apa saja yang perlu kubawa untuk nanti?”Shaw melangkah lebar-lebar, riang, dan semangat menuju kamar.“Sepertinya aku harus mencatatnya dulu.”Ia menghampiri meja dan meraih buku catatan. Namun, tangannya terhenti saat matanya menangkap sesuatu yang tidak asing.Tas pemberian Daniel!Mata Shaw membulat. Diraih dan dirabanya tas yang terpampang di hadapan. Dicek pula isinya. Dimiringkan ke depan, kiri, kanan, belakang, memastikan itu adalah tas yang sama.“Ini tas dari Kak Daniel!” Shaw nyaris berteriak. “Tapi bagaimana bisa ada di sini? Siapa yang membawanya ke sini?”Shaw mengangkat kepala, menoleh ke jendela yang tertutup. Keningnya berkerut.“Aku.” Sebuah suara muncul dari belakang.Shaw membalik badan, menatap waspada, tetapi juga penuh tanda tanya akan sosok misterius yang bersandar pada lemari.“Siapa?” Shaw bertanya.Sosok itu maju beberapa langkah, menautkan tangan di belakang, di balik jubahnya, sembari pandang mengitari kamar. Topeng yang dikenakannya menutup sempu
“Tetap pergi atau batalkan?” Shaw berpikir.Shaw dilema. Tujuan utama pergi mencari panasea dan mengajak Bold adalah agar bisa kembali ke barat daya, mengambil tas pemberian Daniel, tetapi sekarang tas itu sudah kembali padanya.“Jadi, kalian akan langsung pergi?”Spencer meletakkan sebuah keranjang penuh apel merah yang sudah dicuci. Ia masukkan apel itu ke dalam dua wadah.“Benar, Kek. Kami akan langsung pergi biar tidak kesorean nanti pulangnya soalnya ini sudah mau siang,” jawab Shaw sambil merapikan pakaian setelah Edvard mengobatinya. Ia menambahkan dalam hati, “Pergi sajalah. Aku sudah terlanjur bilang, Bailey pun pasti sudah mengatakan itu pada orangtuanya. Dia juga sudah di sini.”“Ya sudah, berhati-hatilah. Ini ada apel yang sudah masak. Kakek memetiknya pagi-pagi sekali hari ini,” ujar Spencer, memberikan sekantung apel merah pada Bailey dan Edvard.“Terima kasih, Kek,” jawab Bailey dan Edvard.Shaw, Bailey, dan Edvard lantas pamit. Spencer dan Gracie melepas kepergian ketig
“Yeayy!” Shaw melompat riang. Ia berseru lagi, “Bold mau!”Air muka tenang Bailey berubah. Sekejap ia terkesiap oleh teriakan Shaw. Tingkah Shaw yang langsung menyimpulkan padahal Bold belum menjawab adalah faktor lainnya.“Tidak.” Bold akhirnya menjawab.Sekarang air muka Shaw yang berubah. Ia menunduk murung.Bold mengernyit.“Aku akan berubah pikiran kalau kau bisa menjatuhkan pedangku.”Shaw mengangkat wajah, mengukir kembali senyumnya.“Bertarung?”“Shaw belum sembuh benar. Biar kugantikan.” Bailey mengajukan usul.“Tidak apa, Bailey. Aku saja. Tidak masalah.”Shaw mundur beberapa langkah dan mencabut pedang dari sarung di sisi kiri tubuhnya.“Haah ... ya sudah.”Bailey mengalah, menepi, membiarkan Shaw dan Bold melanjutkan. Beberapa prajurit menengok ketika mendengar pedang Shaw dan Bold mulai beradu, kemudian mendekat dan menonton di tepian. Ini adalah momen langka bagi mereka juga Bailey. Sang Tuan Muda bisa melihat bagaimana Shaw menggerakkan pedangnya jika bertarung dengan or
“Shaw. Namaku Shaw.”“Hanya Shaw?” tanya Barid lagi.Shaw mengangguk.“Hmm ... baiklah. Silakan diminum.”Barid duduk, mengambil gelas berisikan air jeruk manis dan meminumnya.“Tuan Muda, terima kasih sudah beranjang dan membawa Shaw serta.”“Hum. Jadi, kenapa Profesor ingin bertemu Shaw?”Bailey tidak bisa menahan diri lagi untuk tidak mengajukan pertanyaan yang muncul dalam benaknya sejak pagi. Nama Shaw sedang melambung dalam rumor, Bailey tahu benar, tetapi keraguan menyusupinya bahwa Barid ingin bertemu Shaw karena hal tersebut.“Saya hanya ingin melihat secara langsung. Ah, kalian pasti belum makan. Mari kita makan!”Barid berdiri, menggandeng tangan Bailey dan Shaw hingga keduanya mau tak mau berdiri mengikuti.Bold tetap diam di tempat. Dalam benaknya, Bold berpikir bahwa dirinya tidaklah pantas untuk ikut serta. Di ruang tamu, mereka semua bisa duduk dalam jajar dan tinggi kursi yang sama, tetapi di meja makan, itu adalah hal lain lagi. Tempat yang berbeda.Barid menolehkan k
Dunia sedang tertidur. Pekat malam menyelimuti raga dalam lelap, menemani sukma dalam bunga mimpi.“Siapa kau?”Mata bulat hitamnya menyipit, mencoba menyingkap entitas di balik jubah dan topeng hitam sesosok di depan jeruji. Sisi lain memperhatikan gerak jemari sang sosok yang tampak menggerakkan sesuatu. Sebuah kunci.Temaram lentera menghasilkan siluet sang sosok yang justru makin menyembunyikan dirinya. Hanya berupa bayang hitam yang mengecewakan.“Mau apa kau?”Matanya terus mengawasi sementara raga memasang kuda-kuda. Tubuh yang melemah kehilangan banyak tenaga oleh luka ia abaikan. Tungkai mundur merapat dinding bersamaan sang sosok yang berhasil membuka gembok yang mengunci pintu jeruji besi. Sekarang sang sosok melangkah masuk, mendekat pada gelapnya ruang.Ketika kau tahu bahwa pekat malam menyimpan berjuta misteri, kau kira, apa yang akan kau temui saat memutuskan terjaga di titik tergelap malam? Dalam setarik napas, dalam sekejap, semua hal bisa terjadi.“Tuan, lima tahanan
“Kau mendengarnya?” Otto bertanya dengan wajah memucat. Suaranya amat pelan sampai nyaris tidak terdengar.Milo mengangguk kecil dalam gerakan patah-patah dan sarat keraguan. Ekspresi pada wajahnya tidak jauh berbeda.Kepala mereka kemudian bergerak bersamaan, berpaling tatap ke baris terdepan, lalu mereka melihat Bailey beranjak dari duduknya, pergi keluar.“Apa Tuan Muda mendengar pembicaraan kita?” Milo bertanya dalam suara lebih rendah, serupa bisik-bisik yang mungkin saja akan hanyut terbawa angin.Otto menggeleng. Bukan jawaban meyakinkan, hanya harapan bahwa itu adalah kenyataan yang terjadi.“Kalau benar, semesta mungkin tidak akan berpihak pada kita setelah ini,” kata Otto.Cemas menyerang Otto. Kalau Bailey benar mendengar pembicaraan mereka, apakah kali ini Bailey akan tersinggung? Kesal? Emosi dan apa pun yang lebih buruk?“Kurasa kita sebaiknya bergegas?” Milo melirik Otto.“Itu keputusan paling baik.” Otto berdiri.Milo memasukkan buku catatan yang baru sebentar ia baca
“Katakan saja,” ucap Bailey di sela makannya.Bailey tahu dua anak lelaki ini takkan mendatanginya kalau hanya untuk makan. Ada meja-meja kosong lain yang siap untuk ditempati, pun keduanya belum pernah begitu pada Bailey sepanjang sejarah bersekolah walau satu kelas dengan Bailey.“Kami … agak … penasaran. Apa Tuan Muda akan mendaftar untuk turnamen?” Otto Atrius yang duduk di sebelah Milo bertanya. Bibir merah cerahnya berulang kali mengatup dan terbuka setelah pertanyaan diajukan. Otaknya berpikir apakah pertanyaan itu sudah pas atau tidak.“Turnamen umum, maksudmu?” tanya Bailey.Otto mengangguk. “Kami dengar-dengar tahun ini murid yang terpilih untuk mewakili sekolah boleh mendaftar turnamen umum. Kami juga baca informasinya di mading pagi ini.”“Kalau terpilih mewakili sekolah, lalu mendaftar di turnamen umum dan ternyata lolos dalam keduanya ke final, terlebih keluar sebagai juara di peringkat satu, akan otomatis mendapat tiket emas dan bonus berlipat.” Milo turut bicara setela
“Ayah dan Ibu bawa apa? Itu terlihat banyak sekali!” Shaw mengamati tas-tas belanjaan dengan antusias. Salah satu isi yang tertangkap matanya adalah pakaian.“Oh, ini untuk putra Ibu yang paling manis!” Suara wanita menjawab.“Asyik! Pakaian, ya?” tanya Shaw.“Betul. Ada mainan juga!” Suara pria yang bicara.“Horeeee … mainan!” Shaw berseru gembira. Kebahagiaan meluap-luap pada suaranya.Di atas kaca, Shaw gemetar. Ia tidak mengira danau kaca keyakinan akan menampilkan momen seperti itu. Ia kira itu hanya akan berkisar perjalanannya, rencananya dengan Bailey, tantangan yang dihadapi dalam upaya mewujudkan impian tentang Zanwan. Namun, apa yang ia dengar sepenuhnya berbeda. Sama sekali tidak ada dalam bayangannya. Tidak sedikit pun.Mata Shaw bergetar. Air makin banyak di sana, lalu tumpah kala Shaw dengar suara yang sangat familier.“Shaw, jangan melompat-lompat tinggi begitu.” Itu suara Spencer, terdengar riang dan penuh kasih.“Shaw gembira sekali sepertinya.” Gracie menyusul bicara
“Ini danaunya.”Shaw sampai di ujung hutan lain setelah dari hutan sunyi dan melewati padang rumput. Di hadapannya membentang danau jernih yang berkilau, besar dan luas yang tidak mampu Shaw ukur dengan pasti. Ia perkirakan luasnya sama atau bahkan melebihi lapangan alun-alun distrik Acilav.“Sampai di danau itu, cara paling cepat untuk melewatinya adalah membelahnya. Menyeberanginya,” kata Fu dalam pesannya sebelum berpisah. “Jangan terkecoh dengan ukurannya yang kau mungkin kira tidak seberapa luas; masih sangat mungkin untuk dilewati dengan mengitarinya. Terkadang dalam waktu dan untuk alasan yang tidak terduga, setelah melihat wujudnya, begitu kau berjalan, mencoba memutari danau untuk sampai di seberang, di sisi lain, kau akan dapati bahwa ujung danau bahkan tidak kautemukan. Semua yang kaulihat mungkin hanya akan menjadi hamparan air. Tidak ada lagi pepohonan, tidak ada lagi daratan selain tempat kau berpijak dan sekitar.”Shaw berjinjit, mencoba menjangkau seberang danau dengan
“Ada rencana untuk keluar lagi di sisa hari ini, Tuan Muda?” Wilton bertanya seturunnya ia dari kuda, memegangi tali setelah Bailey turun. Mereka baru sampai di mansion, pulang dari sekolah.“Kurasa tidak. Sepertinya aku akan habiskan waktu di meja belajar.”“Baik. Saya akan ada di pos malam ini kalau Tuan Muda butuh sesuatu.”“Ya. Aku masuk, ya. Terima kasih untuk hari ini, Wilton.”Bailey pergi, masuk ke mansion. Wilton mengiringi kepergian Bailey dengan anggukan penuh hormat. Bibirnya melengkung membentuk senyum. Usai Bailey tidak lagi terlihat, Wilton membawa kuda ke kandang.Sampai kamar, Bailey menyalakan penerangan, melepaskan ransel, dan bersih-bersih. Ia melanjutkan dengan menekuri buku-buku mata pelajaran sampai pelayan memanggil namanya dari luar pintu.Makan malam tiba, Bailey berseri-seri menemukan Jillian di meja makan. Canda tawa Jillian serupa bunga-bunga di musim semi dan keceriaan Bariela adalah penyempurna. Jillian telah kembali dengan warna cerahnya, tidak lagi ber
Atmosfer terasa lebih ramah. Irama dari ranting-ranting dan dahan oleh angin terdengar lebih wajar dibandingkan tadi. Shaw makin yakin, semua karena Morth. Atmosfer, halusinasi, entah apa lagi yang Morth sebabkan.Satu pertanyaan besar dalam benak Shaw. Siapa Morth sesungguhnya? Mengapa seisi hutan sunyi hingga seluruh penjurunya seakan-akan berada di bawah kaki tangan Morth?“Kau memikirkan aku?” Morth tiba-tiba bertanya. Rupanya ia mengekori Shaw.Huh? Apa Morth juga bisa membaca pikiran?!Shaw menengok ke belakang, langkahnya melambat.“Jangan katakan kau dapat menembus kepala orang.”“Kau banyak bertanya, belum tuntas seluruhnya.” Morth mensejajarkan diri. Sejenak, ia melihat Shaw dari atas ke bawah. “Orang keras kepala seperti kau tentu akan merenungkannya. Aku benar, bukan?”“Kita baru saling tahu beberapa saat lalu dan kau yakin sekali dengan kata-katamu. Antara kau pandai menilai atau hanya pandai berasumsi.” Shaw menggeleng. Pandangan ia tujukan ke depan.Morth menyentuh lenga
Tanduk. Hal pertama yang dilihat oleh Shaw dari sumber suara adalah tanduk, tersembunyi di antara dedaunan semak belukar setinggi pinggang orang dewasa.Shaw mengernyit, kemudian bergumam lirih dalam hati, “Itu seperti tanduk rusa.”Sepasang mata semerah darah terlihat dari celah dedaunan. Shaw menelan ludah. Ia tahu betul itu bukan mata hewan biasa, apalagi manusia. Tidak ada satu pun penduduk desa yang pernah ditemuinya memiliki mata seperti itu.Mungkinkah ini yang Fu maksud? Apa pun itu, merasakan haki tidak biasa dari sang sosok misterius membuat Shaw merasa dirinya tidak boleh berlama-lama.Diliputi kewaspadaan dan dengan suara tercekat, ia berucap dalam hati, “Aku harus segera pergi dari sini.”Tanpa melakukan pergerakan yang kentara serta dengan posisi kepala yang masih sama, tatapan Shaw menyisir sekitar; memastikan tidak ada keanehan lain. Ia yang semula berjongkok pun perlahan berdiri sepelan mungkin. Namun, bak lelah bermain petak umpet, ransel yang Shaw gendong mengeluarka
“Tetap tidak bisa! Terlalu berbahaya. Kau, kan, tahu lebih baik daripada aku, Tibate.” Fu mengangkat kepala, menatap lurus Tibate dan Baldor. Ini bukan waktu yang tepat, pikir Fu. “Lagi pula aku bisa menjaga diri. Akan kupanggil kalian jika hal buruk terjadi dan aku tidak bisa mengatasinya.”“Kau bisa tinggal, Fu. Aku akan melanjutkan perjalananku seorang diri,” sela Shaw, angkat bicara setelah menimang-nimang.“Tidak ....”“Aku juga akan meninggalkan kudaku di sini.” Shaw menepuk pundak Fu. Ia serius ingin Fu tinggal. “Bold bilang ada danau dan tebing. Jadi, aku tidak bisa membawa kudaku. Selain itu, kau bisa mengawasi keadaan hutan dan mengabariku. Kau juga terluka, Fu. Jangan bersikeras seolah-olah kau baik-baik saja. Bagaimanapun kau juga masih anak-anak.”Ini adalah tugas Shaw. Sejak awal, Shaw memulainya sendiri dan ia harus melanjutkannya sendiri. Shaw tidak ingin merepotkan.Fu berdecak, tidak terima, tetapi juga tidak menyangkal ataupun menyanggah. Bertemu Baldor dan Tibate me
Pria berjanggut memperhatikan sambil mengusap-usap janggut dan kumisnya. Saat otaknya mengingat sesuatu tentang Fu, matanya melebar.“Kau ingin aku mencincangmu, hah?!” Tibate berseru.Setelah ikan bakarnya rusak, sekarang dirinya yang nyaris terbakar. Pria plontos itu tidak terima.Tibate menghentak tanah dengan kakinya, bergantian kaki kanan dan kaki kiri. Pegangannya pada gagang pedang makin erat.Fu melompat mundur, mengambil sikap siaga, meningkatkan kewaspadaannya. Ia siap dengan apa pun yang akan Tibate lakukan untuk membalasnya.Sebelum Tibate menyerang balik, pria berjanggut yang masih menggenggam keranjang bambu berjalan ke depan Tibate, lalu berdiri memunggungi Fu dan Shaw.“Kau mau dikutuk atau sudah bosan hidup?!” tanya pria berjanggut.“Apa maksudmu? Kalau kau hanya ingin aku berhenti memberi anak itu pelajaran, sebaiknya kau minggir!” balas Tibate.“Kau tahu kau sedang berhadapan dengan siapa? Kau tidak berencana mengingkari janjimu pada Jenderal Besar, 'kan?! Ini memang