Bailey berdecak.
"Ketahuilah, Ayah ... kebenaran adalah kebenaran. Tak ada seorangpun yang dapat membendung ketika kebenaran sudah tiba pada waktu untuk menunjukkan dirinya. Ayah tidak tahu, 'kan, apa yang sebenarnya diinginkan dan diharapkan penduduk Zanwan?" tanya Bailey seraya menatap lekat Ascal. Berharap ayahnya itu akan memahami maksud dari perkataan juga sorot matanya.
"Zaman sudah berubah. Aku menginginkan kebebasan sebagaimana orang lain menginginkannya." Suaranya lebih tenang kali ini.
Sejenak Bailey menghela napas, mengalihkan pandangan; menatap roti di piring, lalu melanjutkan, "Akan kupikul beban berat di pundak Ayah. Aku ... Aku tak keberatan untuk menggantikan Ayah nantinya, meneruskan tahta Ayah seperti yang seharusnya. Aku tak keberatan mengorbankan hidupku untuk Zanwan, melupakan semua mimpi menjelajah dunia luar dan mengabdi pada Zanwan. Tapi--"
Lagi, Bailey menghela napas. Tersenyum pedih.
".... Tapi sebelum hari itu tiba, biarkan aku menjadi diriku sendiri. Biarkan aku melakukan apa yang ingin kulakukan. Aku ... ingin menjadi pemimpin yang dihormati dan disegani, bukan ditakuti dan dijauhi. Aku ingin penduduk setia padaku, bertahan bersamaku karena mereka menginginkannya. Bukan karena terpaksa dan tak punya pilihan."
Lalu sorot matanya menajam, seolah memberi peringatan.
"Jika Ayah menyentuh atau berusaha menghancurkan dan menyingkirkan Shaw, Kakek, dan Nenek, maka aku tak akan segan menghancurkan kebanggaan Ayah. Menyakiti Shaw, Kakek, dan Nenek sama saja dengan menyakitiku. Jika Shaw hilang satu hari, maka ayah akan mendengar kabar yang sama tentangku. Jika Shaw tiada, maka Ayah bersiaplah untuk kehilanganku juga." Bailey berdiri, mengambil tas dan menggendongnya.
"Aku berangkat dulu," pamitnya. Pergi tanpa menghabiskan rotinya. Menyisakan Ascal yang mengepalkan tangan dan berdiri tak lama kemudian, pergi ke ruang kerjanya tanpa satu katapun ... juga tanpa menghabiskan makanannya. Dan Jillian, bertopang siku memijat pilipisnya. Menginstruksi pelayan agar membereskan meja makan, kemudian berdiri; menyusul Selise dan Bariela ke taman. Suami dan anak lelakinya itu memiliki watak yang sama kerasnya ... mencoba menengahi hanya akan membuat keduanya semakin memburu.
"Aku membencimu, Hao Yi!" ucap Ascal lirih. Menjatuhkan diri di kursi ruang kerjanya dengan kasar. "Aku membencimu, Hao Yi! Aku sangat membencimu!" sulutnya emosi. Menatap awang penuh amarah dan mengepalkan tangan, menyandarkan tubuh dan memejamkan mata; berusaha menenangkan diri.
"Shaw," panggil Gracie. Lembut mengusap kepala Shaw. Yang dipanggil membuka mata, menoleh dengan pandangan sayu.
"Ayo makan." Gracie menunjukkan sepiring nasi dengan sup. Terlihat asap mengepul pertanda makanan masih hangat.
Shaw bangkit, mencoba duduk tegap. Membiarkan neneknya memberi beberapa suapan sementara pandangannya melirik-lirik sekitar.
Ada Spencer di ambang pintu keluar, berjalan untuk mencuci tangan lalu bergerak ke meja makan.
"Ingat kata Tuan Dokter, kau harus makan yang banyak," tuturnya. Mengambil lauk ke piring yang sudah tersedia nasi di atasnya."Ya, aku akan makan yang banyak. Tapi aku akan makan sendiri," sahut Shaw. Melempar tatapan memohon pada Gracie.
"Ya sudah, makan pelan-pelan. Kalau sakit beritahu Nenek, ya." Shaw mengangguk. Menerima piring yang diberikan Gracie dan melanjutkan makan dengan lahap, sementara Gracie beranjak ke meja makan.
Waktu berjalan sangat lama bagi Shaw yang tidak biasa berdiam diri seharian. Bangun dari ranjang bambu pun hanya untuk ke kamar mandi, lalu kembali lagi. Obat yang dibalurkan pada Shaw tadi berbentuk cairan dari tanaman herbal, seperti obat merah dalam medis. Dan itu belum kering. Karenanya, Shaw belum bisa pindah ke kamar; barangkali cairannya akan menetes ke kasur.
Shaw yang baru duduk kembali ke ranjang seusai memembasuh wajah menatap ke arah ruang tamu, mendengar pintu depan di ketuk.
"Silakan masuk, Tuan Muda dan Tuan Dokter." Suara Spencer terdengar sampai ke dapur.
"Bagaimana keadaanmu, Shaw?" Edvard bertanya. Meletakkan tas obatnya di samping Shaw.
"Aku masih merasa tidak nyaman, tapi perihnya sudah berkurang," jawab Shaw jujur sembari melirik Bailey dan sedikit memiringkan kepala melihat tas yang dipegangnya. "Apa yang kau bawa?" tanyanya.
"Hmm? Oh, ini?" Bailey mengangkat tas lalu mendekat; menaruh tas di hadapannya. "Aku bawa makanan, buah-buahan untukmu, Kakek, dan Nenek," terangnya. Membuka tas dan mengeluarkan satu per satu benda di dalamnya.
"Dari siapa?" Shaw nampak tak tertarik sama sekali.
Bailey mengangkat kepalanya.
"Tentu saja dariku! Tadi sepulang sekolah aku bekerja. Aku meminta pekerjaan pada ibuku, dan ibu menyuruhku menjaga Bariela. Aku membeli semuanya saat perjalanan ke sini tadi."Sesaat Shaw menatap sahabatnya. Ada beberapa hal yang masih belum Shaw mengerti tentang Bailey. Namun, ia selalu yakin akan satu hal; Bailey selalu bersungguh-sungguh.
Shaw masih menatap ketika Bailey menjatuhkan diri di ranjang kayu di sampingnya. Terlihat gurat lelah di wajah sang tuan muda, membuat Shaw yakin ada banyak hal yang terjadi pada Bailey hari ini, hingga tiba di rumah Shaw ketika hari sudah sampai pada lembayungnya.
Sementara Edvard kembali setelah mencuci tangan, lalu dengan lihai membuka kotak obat dan mulai membersihkan luka-luka Shaw juga membalutnya dengan obat baru.
"Ayo, setelah ini makan malam, yaa .... Nenek sudah memasak sup jamur dan tofu asam manis." Ucapan Gracie menghentikan perbincangan seru Shaw, Bailey, dan Edvard di ranjang kayu.
Tidak sampai menginap, Bailey dan Edvard pamit seusai makan malam. Ada banyak yang dipelajari, baik oleh Shaw, Bailey, Kakek, Nenek, dan Edvard sendiri.
Sang dokter kini memahami mengapa tuan mudanya begitu betah berlama-lama bersama keluarga yang mengasingkan diri itu. Nyatanya, dirinya pun terbuai nyaris lupa untuk pulang. Ada rasa yang jarang ditemukan di tempat lain, sebuah rasa nyaman. Perasaan yang sangat khas ketika berada di rumah ... rumah yang benar-benar rumah.
Pun Edvard mengerti satu hal lain; bahwa Shaw dan Bailey terlihat menyatu bukan hanya karena persamaan mereka, tapi justru karena perbedaannya jua. Terlalu muda untuk bisa memahami itu. Apa mau dikata? Keduanya, memang, masih bocah. Belum banyak melihat dunia, tapi seakan mereka lah Sang Penguasa.
Sepanjang perjalanan, Edvard terus memikirkannya. Betapa iri sungguh dalam hatinya, bertanya tentang mengapa ia tak pernah menyadari semua. Teringat pula ia pada kawan-kawannya, di Zanwan dan di negeri seberang. Lalu rindu hadir menyelusup, berandai pula ia pada hal yang bisa dibilang mustahil untuk terjadi ... padanya, juga teman-temannya, di Zanwan; pada masa ini. Tiba-tiba suara hatinya mengintrupsi, 'Aku akan berdiri bersama mereka.' Begitu ujarnya.
Satu temali dengan Bailey, diam dan hanyut dalam pikirannya. Teringat percakapannya dengan Shaw, yang membuka mata hati juga pikirannya akan sesuatu; ternyata memiliki segalanya tak berarti akan mendapatkan segalanya, dan setiap hari adalah pembelajaran, bagi siapapun yang bersedia mempelajarinya.
Bailey berpikir, jika Shaw bersekolah bersamanya, maka pastilah Shaw akan menjadi murid kesayangan Profesor Baldric. Seorang sujana; kepala sekolah yang terkenal akan bijaknya. Lelaki tua yang sudah dianggap seperti guru dan kakek bagi Bailey.
Mulutnya gatal; bergerak dan membuka suara. Mengulangi apa yang dikatakan Shaw padanya.
"๐๐ฆ๐ด๐ฆ๐ฐ๐ณ๐ข๐ฏ๐จ ๐ต๐ช๐ฅ๐ข๐ฌ ๐ฉ๐ข๐ณ๐ถ๐ด ๐ฎ๐ฆ๐ฎ๐ช๐ญ๐ช๐ฌ๐ช ๐ซ๐ข๐ฃ๐ข๐ต๐ข๐ฏ ๐ถ๐ฏ๐ต๐ถ๐ฌ ๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐ซ๐ข๐ฅ๐ช ๐ฑ๐ฆ๐ฎ๐ช๐ฎ๐ฑ๐ช๐ฏ," kata Shaw, tadi, saat berbincang menunggu makan malam. "๐ ๐ข๐ฏ๐จ ๐ต๐ฆ๐ณ๐ฑ๐ฆ๐ฏ๐ต๐ช๐ฏ๐จ ๐ข๐ฅ๐ข๐ญ๐ข๐ฉ ๐ซ๐ช๐ธ๐ข. ๐๐ข๐ถ ๐ฉ๐ข๐ณ๐ถ๐ด ๐ฎ๐ฆ๐ฎ๐ข๐ฉ๐ข๐ฎ๐ช ๐ฅ๐ช๐ณ๐ช๐ฎ๐ถ ๐ญ๐ฆ๐ฃ๐ช๐ฉ ๐ฅ๐ข๐ฉ๐ถ๐ญ๐ถ .... A๐ฑ๐ข ๐บ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฌ๐ข๐ถ ๐ช๐ฏ๐จ๐ช๐ฏ๐ฌ๐ข๐ฏ. ๐๐ข๐ญ๐ถ ๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐จ๐จ๐ฆ๐ณ๐ข๐ฌ๐ฌ๐ข๐ฏ ๐ฅ๐ช๐ณ๐ช๐ฎ๐ถ, ๐ฎ๐ฆ๐ญ๐ข๐ธ๐ข๐ฏ ๐ด๐ฆ๐จ๐ข๐ญ๐ข ๐ต๐ข๐ฌ๐ถ๐ต, ๐ณ๐ฆ๐ด๐ข๐ฉ, ๐ณ๐ข๐จ๐ถ, ๐ฅ๐ข๐ฏ ๐ต๐ฆ๐ฎ๐ข๐ฏ-๐ต๐ฆ๐ฎ๐ข๐ฏ๐ฏ๐บ๐ข ... ๐ถ๐ฏ๐ต๐ถ๐ฌ ๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐ค๐ข๐ฑ๐ข๐ช ๐ฌ๐ฆ๐ด๐ฆ๐ญ๐ข๐ณ๐ข๐ด๐ข๐ฏ ๐ข๐ฏ๐ต๐ข๐ณ๐ข ๐ฉ๐ข๐ต๐ช, ๐ฑ๐ช๐ฌ๐ช๐ณ๐ข๐ฏ, ๐ซ๐ช๐ธ๐ข, ๐ณ๐ข๐จ๐ข. ๐๐ข๐ญ๐ถ ๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐ซ๐ข๐ฅ๐ช ๐ฑ๐ฆ๐ฎ๐ช๐ฎ๐ฑ๐ช๐ฏ ๐ข๐ต๐ข๐ด ๐ฅ๐ช๐ณ๐ช ๐ฅ๐ข๐ฏ ๐ฌ๐ฆ๐ฉ๐ช๐ฅ๐ถ๐ฑ๐ข๐ฏ๐ฎ๐ถ, ๐ฎ๐ข๐ฌ๐ข ๐ฃ๐ข๐ณ๐ถ๐ญ๐ข๐ฉ ๐ฌ๐ข๐ถ ๐ข๐ฌ๐ข๐ฏ ๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐ซ๐ข๐ฅ๐ช ๐ฑ๐ฆ๐ฎ๐ช๐ฎ๐ฑ๐ช๐ฏ ๐ถ๐ฏ๐ต๐ถ๐ฌ ๐ข๐ฑ๐ข ๐บ๐ข๐ฏ๐จ ๐ข๐ฅ๐ข ๐ฅ๐ช ๐ญ๐ถ๐ข๐ณ ๐ฅ๐ช๐ณ๐ช๐ฎ๐ถ. ๐๐ช๐ฅ๐ข๐ฌ ๐ฉ๐ข๐ณ๐ถ๐ด ๐ฎ๐ฆ๐ฎ๐ช๐ญ๐ช๐ฌ๐ช ๐ซ๐ข๐ฃ๐ข๐ต๐ข๐ฏ, ๐ฌ๐ถ๐ฌ๐ข๐ต๐ข๐ฌ๐ข๐ฏ ๐ด๐ฆ๐ฌ๐ข๐ญ๐ช ๐ญ๐ข๐จ๐ช. C๐ถ๐ฌ๐ถ๐ฑ ๐ฎ๐ฆ๐ฎ๐ช๐ญ๐ช๐ฌ๐ช ๐ซ๐ช๐ธ๐ข ๐บ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐จ๐ฆ๐ณ๐ต๐ช ๐ฎ๐ข๐ฌ๐ฏ๐ข ๐ฌ๐ฆ๐ฑ๐ฆ๐ฎ๐ช๐ฎ๐ฑ๐ช๐ฏ๐ข๐ฏ ๐ช๐ต๐ถ ๐ด๐ฆ๐ฏ๐ฅ๐ช๐ณ๐ช. ๐๐ข๐ณ๐ฆ๐ฏ๐ข ๐ฅ๐ฆ๐ฏ๐จ๐ข๐ฏ ๐ฃ๐ฆ๐จ๐ช๐ต๐ถ, ๐ฌ๐ข๐ถ ๐ข๐ฌ๐ข๐ฏ ๐ฎ๐ฆ๐ญ๐ข๐ฌ๐ถ๐ฌ๐ข๐ฏ ๐ข๐ฑ๐ข ๐บ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฅ๐ช๐ญ๐ข๐ฌ๐ถ๐ฌ๐ข๐ฏ ๐ฑ๐ข๐ณ๐ข ๐ฑ๐ฆ๐ฎ๐ช๐ฎ๐ฑ๐ช๐ฏ; ๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐ฅ๐ข๐ฑ๐ข๐ต๐ฌ๐ข๐ฏ ๐ซ๐ข๐ญ๐ข๐ฏ, ๐ฎ๐ฆ๐ฎ๐ฃ๐ฆ๐ณ๐ช๐ฏ๐บ๐ข ๐ฑ๐ข๐ฅ๐ข ๐ฐ๐ณ๐ข๐ฏ๐จ ๐ญ๐ข๐ช๐ฏ, ๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐ซ๐ข๐ฅ๐ช ๐ฑ๐ฆ๐ฏ๐จ๐ข๐ณ๐ข๐ฉ ๐ฅ๐ข๐ฏ ๐ญ๐ฆ๐ฏ๐ต๐ฆ๐ณ๐ข ๐ฑ๐ฆ๐ฏ๐ฆ๐ณ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฃ๐ข๐จ๐ช ๐ฎ๐ฆ๐ณ๐ฆ๐ฌ๐ข."Bahkan didetik-detik sebelum matanya terpejam pun, Bailey masih memikirkannya. Bersama perkataan ayah dan ibunya, bersama perkataan petinggi desa lain yang sampai ke telinganya, bersama perkataan orang-orang lain di depan dan di belakangnya--yang juga sampai ke telinganya. Sampai lelap membawa seluruh kesadarannya, bersama segala keluhan lugunya perihal masa kini, keluarganya, batasan dan aturan yang diberikan Ascal juga Zanwan padanya, masa depan, hidup, dan dunia.
Tanpa Bailey sadari, Ascal berdiri di ambang pintu. Menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan; sedari tadi.
"Tidurlah dengan nyenyak ...." ucap Spencer lirih. Mengusap lembut kepala Shaw.Perapian di dapur sudah dinyalakan. Berat Spencer dan Gracie melajukan tungkai ke kamar, meninggalkan Shaw terbaring sendiri; bermalam di ranjang kayu di dapur, tanpa selimut. Bukan tak ada, hanya saja tak bisa dipakai sesuai fungsinya. Luka di punggung Shaw belum pulih.Derit pintu terdengar, menandakan Spencer dan Gracie sudah masuk ke ruang peristirahatan mereka. Perlahan Shaw membuka mata, mengerjap tak bersuara. Otak dan batinnya mulai kembali riuh. Kalbu merapal pelajaran yang disampaikan Bailey petang tadi."๐๐ข๐ฌ ๐ข๐ฅ๐ข ๐ฑ๐ฆ๐ฏ๐บ๐ข๐ฌ๐ช๐ต ๐บ๐ข๐ฏ๐จ ๐ต๐ข๐ฌ ๐ฃ๐ช๐ด๐ข ๐ฅ๐ช๐ด๐ฆ๐ฎ๐ฃ๐ถ๐ฉ๐ฌ๐ข๐ฏ ๐ฌ๐ฆ๐ค๐ถ๐ข๐ญ๐ช ๐ฌ๐ฆ๐ฎ๐ข๐ญ๐ข๐ด๐ข๐ฏ. ๐๐ข๐ฌ ๐ข๐ฅ๐ข ๐ฐ๐ฃ๐ข๐ต ๐บ๐ข๐ฏ๐จ ๐ต๐ข๐ฌ ๐ฃ๐ฆ๐ณ๐จ๐ถ๐ฏ๐ข ๐ด๐ฆ๐ญ๐ข๐ช๐ฏ ๐ฌ๐ถ๐ณ๐ข๐ฏ๐จ๐ฏ๐บ๐ข ๐ฑ๐ฆ๐ฏ๐จ๐ฆ๐ต๐ข๐ฉ๐ถ๐ข๐ฏ." Hanya sebuah kata mutiara dari Ibnu Sina, yang Bailey hafalkan dari buku yang
"Penjagaan di selatan lebih ketat ... aku tidak mungkin ke sana. Tapi jalan yang kulewati kemarin lalu bersama Kak Daniel pun tidak bisa kulewati lagi ... penjagaannya pasti ditambah." Mulutnya bergerak, bersahutan dengan pikirannya.".... Hilir sungai perbatasan di barat lebih mudah dicapai, tapi membutuhkan waktu lebih lama. Dan tentu penjagaannya pasti ditambah juga."Shaw menegakkan diri; melipat tangan, mengetuk-ngetuk pelan hidungnya dengan jari telunjuk tangan kanan. Pandangannya masih terarah pada peta, mencari celah sembari otaknya memikirkan cara terbaik untuk sampai ke pesisir dan kembali tanpa ketahuan; secepat mungkin. Sesekali meringis ia, merasakan gelenyar perih di punggungnya.Beberapa hari beristirahat total dengan makan dan obat teratur membuat lukanya berangsur membaik dengan cepat, namun belum bisa dikatakan sembuh 50%."Aha!" Shaw mengangkat jari telunjuk tangan kanannya. Matanya melebar cerah menanggapi ide yang terlin
"Baiklah, apa saja yang perlu kubawa untuk nanti?" Shaw bertanya pada dirinya sendiri. Melangkah lebar-lebar dengan riang dan semangat menuju kamar."Sepertinya aku harus mencatatnya dulu," ucapnya. Menghampiri meja dan meraih buku catatan. Namun tangannya terhenti saat matanya menatap sesuatu yang tidak asing. Tas pemberian Daniel!Mata Shaw membulat. Diraih lalu dirabanya tas yang terpampang di hadapan. Dicek pula isinya. Lalu dimiringkan ke depan, kiri, kanan, belakang. Memastikan itu adalah tas yang sama."Ini tas dari Kak Daniel!" ujarnya dengan nada tidak percaya."Tapi bagaimana bisa ada di sini? Siapa yang membawanya ke sini?" tanyanya. Mengangkat kepala melihat ke jendela yang tertutup. Keningnya berkerut."Aku." Sebuah suara muncul dari belakang. Shaw membalik badan; menatap waspada namun juga penuh tanda tanya pada sosok misterius yang bersandar pada lemari."Siapa?" tanya Shaw penasaran.Sosok itu maju bebera
'Tetap pergi atau batalkan?' Gundah Shaw dalam hati. Tujuan utama pergi mencari panasea dan mengajak Bold adalah agar bisa kembali ke barat daya dan mengambil tas pemberian Daniel, tapi sekarang tas itu sudah kembali padanya."Jadi, kalian akan langsung pergi?" Spencer meletakkan sebuah keranjang penuh apel merah yang sudah dicuci. Ia masukkan apel itu ke dalam dua wadah."Benar, Kek. Kami akan langsung pergi ... biar tidak kesorean nanti pulangnya, soalnya ini sudah mau siang." Shaw menjawab. Merapikan pakaiannya. 'Pergi sajalah ... aku sudah terlanjur bilang, Bailey pun pasti sudah mengatakan itu pada orangtuanya.'"Ya sudah, berhati-hatilah. Ini ada apel yang sudah masak. Kakek memetiknya pagi-pagi sekali hari ini," ujar Spencer. Memberikan sekantung apel merah pada Bailey dan Edvard."Terima kasih, Kek." jawab Bailey dan Edvard.Kuda berpacu menjauh, membelah jenggala. Menuju distrik Aloclya.Shaw menengok ke arah kiri saat s
"Yeayy!!" Shaw melompat riang. Membuat Bailey dan Bold sedikit terkejut. "Bold mau!" serunya. Tersenyum senang."Tidak." Bold menjawab. Membuat air muka Shaw berubah. Ia menunduk murung."Aku akan berubah pikiran kalau kau bisa menjatuhkan pedangku." Bold menambahkan.Shaw mengangkat wajah, mengukir kembali senyumnya."Bertarung?" tanyanya."Shaw belum sembuh benar ... biar kugantikan." Bailey mengusulkan."Tidak apa, Bailey .... Tidak masalah," ujar Shaw kemudian. Mundur beberapa langkah dan mencabut pedang dari sarung di sisi kiri."Haah ... ya sudah." Bailey mengalah. Menepi; membiarkan Shaw dan Bold melanjutkan. Beberapa prajurit di sana menoleh ketika mendengar pedang Shaw dan Bold mulai beradu, kemudian mendekat dan menonton di tepian; penasaran siapa yang akan menang. Ini adalah momen langka bagi mereka juga Bailey. Ia bisa melihat bagaimana Shaw menggerakkan pedangnya jika bertarung dengan orang lain selain
"Shaw. Namaku Shaw.""Hanya Shaw?" tanya Baldric lagi. Shaw mengangguk."Hmm ... baiklah, silakan diminum." Baldric duduk. Mengambil gelas berisikan air jeruk manis dan meminumnya."Tuan Muda ... terima kasih sudah beranjang dan membawa Shaw serta.""Hum. Jadi, kenapa Profesor ingin bertemu Shaw?" Bailey tidak bisa menahan diri lagi untuk tidak mengajukan pertanyaan yang muncul dalam benaknya sejak pagi."Saya hanya ingin melihat secara langsung. Ah, kalian pasti belum makan ... mari kita makan!"Baldric berdiri, menggandeng tangan Bailey dan Shaw hingga keduanya mau tak mau berdiri mengikuti. Sedang Bold tetap diam di tempat. Dalam benaknya, Bold berpikir bahwa dirinya tidaklah pantas untuk ikut serta. Di ruang tamu, mereka semua bisa duduk dalam jajar dan tinggi kursi yang sama. Tapi di meja makan, itu adalah hal lain lagi ... tempat yang berbeda.Baldric menolehkan kepala. Melempar senyum hangat pada Bold yang tak ber
Dunia sedang tertidur. Pekat malam menyelimuti raga dalam lelap, menemani sukma dalam bunga mimpi."Siapa kau?"Mata bulat hitamnya menyipit mencoba menyingkap entitas di balik jubah dan topeng hitam sesosok di depan jeruji. Sisi lain memperhatikan gerak jemari sang sosok yang tampak menggerakkan sesuatu. Sebuah kunci.Temaram lentera menghasilkan siluet sang sosok yang justru semakin menyembunyikan dirinya. Hanya berupa bayang hitam yang mengecewakan."Mau apa kau?"Matanya terus mengawasi, sementara daksa memasang kuda-kuda. Tubuh yang melemah kehilangan banyak tenaga oleh luka ia abaikan. Tungkai mundur merapat dinding, bersamaan sang sosok yang berhasil membuka gembok yang mengunci pintu jeruji besi. Melangkah masuk mendekat pada gelapnya ruang.Dan apa yang akan kau temui di pekat lain saat diri memutuskan terjaga di titik tergelapnya malam? Ketika kau tahu bahwa pekat malam menyimpan berjuta misteri. Semua hal bisa
"Apakah Anda terluka, Tuan muda?" Orang yang memanggil Bailey bertanya."Aku tidak apa-apa, Bexter. Tapi kudaku sepertinya tidak bisa berdiri." Bailey menjawab pelan; melihat ke arah sosok misterius yang tersisa. Satu prajurit mengunci kedua tangan orang itu dengan rantai. Sesaat mata keduanya bersirobok saat sang sosok didorong untuk berjalan; melewati Bailey. Sementara keempat orang lainnya yang sudah tidak bernyawa dibopong di pundak oleh empat prajurit berbadan kekar.Bexter menoleh pada kuda Bailey, lalu memerintahkan prajurit lain untuk mengobatinya."Biar prajurit membawa kudanya ke mansion nanti. Tuan muda, oh-! Leher Anda terluka!" Bexter berseru terkejut sekaligus panik. Guratan lukanya tidak besar dan dalam, bahkan tipis. Tapi masalah yang akan timbul karenanya itulah yang membuat Bexter lebih panik. Karena pasti akan ada lebih dari satu punggung yang menerima cambukan nantinya.Bailey meraba lehernya, melihat darah di tangannya d
Atmosfer terasa lebih ramah. Irama dari ranting-ranting dan dahan oleh angin terdengar lebih wajar dibandingkan tadi. Shaw makin yakin, semua karena Morth. Atmosfer, halusinasi, entah apa lagi yang Morth sebabkan. Satu pertanyaan besar dalam benak Shaw, siapa Morth sesungguhnya? Mengapa seisi jenggala sunyi hingga seluruh penjurunya seakan-akan berada di bawah kaki tangan Morth?โKau pikirkan aku?โ Morth tiba-tiba bertanya. Rupanya ia mengekori Shaw.Huh? Apa Morth juga bisa membaca pikiran?Shaw menengok ke belakang, langkahnya melambat. โJangan katakan kau dapat menembus kepala orang.โโKau banyak bertanya, belum tuntas seluruhnya.โ Morth mensejajarkan diri. Sejenak, ia melihat Shaw dari atas ke bawah. โOrang keras kepala seperti kau tentu akan merenungkannya. Aku benar, bukan?โโKita baru saling tahu beberapa saat lalu dan kau yakin sekali dengan kata-katamu. Antara kau pandai menilai atau hanya pandai berasumsi.โ Shaw menggeleng. Pandangan ia tujukan ke depan.Morth menyentuh leng
Tanduk. Hal pertama yang dilihat oleh Shaw dari sumber suara adalah tanduk, tersembunyi di antara dedaunan semak belukar setinggi pinggang orang dewasa.Shaw mengernyit, kemudian bergumam lirih, nyaris tak bersuara, "Itu seperti tanduk rusa."Sepasang mata semerah darah terlihat dari celah dedaunan. Shaw menelan ludah. Ia tahu betul itu bukan mata hewan biasa, apalagi manusia. Tidak ada satu pun penduduk desa yang pernah ditemuinya memiliki mata seperti itu.Mungkinkah ini yang Fu maksud? Apapun itu, merasakan haki tidak biasa dari sang sosok misterius membuat Shaw merasa dirinya tidak boleh berlama-lama.Diliputi kewaspadaan dan dengan suara tercekat, ia berucap dalam hati, "Aku harus segera pergi dari sini."Tanpa melakukan pergerakan yang kentara serta dengan posisi kepala yang masih sama, tatapan Shaw menyisir sekitar; memastikan tidak ada keanehan lain. Ia yang semula berjongkok pun perlahan berdiri sepelan mungkin. Namun, bak lelah bermain petak umpet, ransel yang Shaw gendong m
"Tetap tidak bisa! Terlalu berbahaya. Kau kan tahu lebih baik daripada aku, Tibate." Fu mengangkat kepala, menatap lurus Tibate dan Baldor. Ini bukan waktu yang tepat, pikir Fu. "Lagi pula aku bisa menjaga diri. Akan kupanggil kalian jika hal buruk terjadi dan aku tidak bisa mengatasinya.""Kau bisa tinggal, Fu. Aku akan melanjutkan perjalananku seorang diri," sela Shaw, angkat bicara setelah menimang-nimang."Tidakโ""Aku juga akan meninggalkan kudaku di sini." Shaw menepuk pundak Fu. Ia serius ingin Fu tinggal. "Bold bilang ada danau dan tebing. Jadi, aku tidak bisa membawa kudaku. Selain itu, kau bisa mengawasi keadaan hutan dan mengabariku. Kau juga terluka, Fu. Jangan bersikeras seolah kau baik-baik saja. Bagaimanapun kau juga masih anak-anak."Ini adalah tugas Shaw. Sejak awal, Shaw memulainya sendiri, dan ia harus melanjutkannya sendiri. Shaw tidak ingin merepotkan.Fu berdecak, tidak terima, tetapi juga tidak menyangkal ataupun menyanggah. Bertemu Baldor dan Tibate membuatnya
Pria berjanggut memperhatikan sambil mengusap-usap janggut dan kumisnya. Saat otaknya mengingat sesuatu tentang Fu, matanya seketika melebar."Kau ingin aku mencincangmu, hah?!" Tibate berseru.Setelah ikan bakarnya rusak, sekarang dirinya yang nyaris terbakar. Pria plontos itu tidak terima.Tibate menghentak tanah dengan kakinya, bergantian kaki kanan dan kaki kiri. Pegangannya pada gagang pedang semakin erat dan erat.Fu melompat mundur, mengambil sikap siaga dan meningkatkan kewaspadaannya. Ia siap dengan apapun yang akan Tibate lakukan untuk membalasnya.Sebelum Tibate menyerang balik, pria berjanggut yang masih menggenggam keranjang bambu itu berjalan ke depan Tibate, lalu berdiri memunggungi Fu dan Shaw."Kau mau dikutuk atau sudah bosan hidup?!" tanyanya."Apa maksudmu? Kalau kau hanya ingin aku berhenti memberi anak itu pelajaran, sebaiknya kau minggir!" balas Tibate."Kau tahu kau sedang berhadapan dengan siapa? Kau tidak berencana mengingkari janjimu pada Jenderal Besar, 'ka
"Apa kau sedang bercanda?" Tibate mendengus kasar. Ia tampak tidak suka.Pria plontos itu tahu dirinya sudah hidup lama, tetapi bukan berarti ingatannya menua. Ia tahu ingatannya masih berfungsi dengan sangat baik. Ia sangat meyakini itu."Aku tidak bercanda," sanggah Fu, berkacak pinggang. "Kau memberitahukannya sendiri padaku saat aku memberimu buah persik. Kalau kau masih tidak ingat, berarti ada yang salah dengan ingatanmu," imbuhnya.Buah persik?Tibate mengerutkan kening. Ia merasa tidak asing, tetapi tidak mengingat apapun."Sudahlah. Lebih baik kalian pulang sekarang, dan akan kuanggap ini tidak pernah terjadi," ujar Tibate seraya memasang wajah serius."Tidak bisa!" Shaw berseru. "Aku harus pergi ke tenggara!""Ya. Kami tidak bisa kembali ke desa saat ini," Fu menimpali.Tibate memukulkan ujung pedangnya ke tanah, menimbulkan gelombang angin yang kencang. Dedaunan dan batu kerikil tersapu, begitu pun Fu dan Shaw yang ikut terpental."Aduh ...." Shaw mengerang, berusaha bangun
Menjelang pagi, suara kehidupan awal sekali menggaung. Beberapa penduduk desa sudah mulai melakukan aktivitas mereka. Sebagian di dalam rumah, sebagian di luar rumah.Satu di antara manusia yang telah lepas dari peraduannya adalah Wilton. Ia bertugas pagi kali ini."Selalu rajin, ya." Zander berkomentar. Kuda-kuda di kandang bersuara antusias saat Zander memberi mereka makan."Tidak juga. Aku hanya tidur cukup nyenyak semalam, dan tubuhku merasa lebih segar saat aku bangun. Jadi, ya, mungkin lebih bersemangat," sahut Wilson seraya terkekeh kecil."Padahal kau hanya tidur sebentar, 'kan, semalam," Celetuk Zander. Tangannya cekatan melipat karung-karung rumput yang sudah kosong.Wilton tersenyum cerah menanggapinya. Ia memeras kain yang dipakai untuk mengelap kuda yang akan ia pakai untuk mengantar Bailey ke sekolah."Sebentar pun tetap saja namanya tidur, Zan," kata Wilton, keluar dari kandang sambil membawa kain basah dan ember hitam kecil."Ya, tidak salah."Suara derap kaki nyaring
"Ada yang menarik perhatianmu, Vid? Aku sampai mengantuk menunggumu." Bailey menimpali."Ah, maaf maaf .... Tadi ada yang harus kulakukan. Ada sesuatu! Jadi, aku kembali lebih lama," ujar Avidius seraya tersenyum canggung.Avidius adalah cucu Barid. Ia satu sekolah dengan Leonere."Sesuatu apa?" Leonere bertanya.Avidius, remaja berkulit putih kemerahan dengan senyum manis dan lesung pipi itu mengeluarkan sebuah kain merah dari saku pakaian di balik jubahnya. Saat kain dibuka, Leonere dan Bailey membulatkan mata melihat benda yang terpampang di sana."Bukankah ituโ" Kata-kata Leonere terhenti. Ia mendekat tergesa dan memegang benda yang ditunjukkan Avidius. "Ini kan ....""Dari mana kau menemukan itu?" tanya Bailey yang juga mendekat.Avidius melirik ke arah belakang sesaat, memastikan sekitarnya aman. Senyumnya pudar seketika."Dari hutan barat laut. Aku menemukannya tadi," bisik Avidius, tampak serius.Bailey dan Leonere tercengang lalu saling menatap. Pikiran keduanya seolah tersam
"Tidak ada yang gratis," sahut Fu seraya menyeringai tipis.Shaw berdecak. "Kubayar dengan manisan.""Apa itu? Tidak cukup! Informasiku sangat mahal, kau tahu.""Ck, kubayar dengan makanan lain. Kau bebas memintanya, dan aku akan membuatkannya untukmu," tawar Shaw.Fu menyeringai penuh kemenangan kini. Sebuah siasat terlintas di benaknya."Bisa dipertimbangkan," kata Fu. Sesaat kemudian seringai di wajahnya hilang, berganti raut serius. "Kurangi kecepatan kudanya. Melewati batang pohon besar di depan itu, buat kudanya berjalan biasa.""Huh? Oke."Shaw percaya pada Fu. Ia mengikuti instruksi Fu tanpa ragu.Pohon-pohon besar yang dimaksud Fu berada 20 meter dari mereka. Warna pohonnya gelap, seolah melambangkan sesuatu yang misterius dan tampak mati. Pepohonan itu seakan telah terbakar. Meski begitu, dedaunannya sangat rimbun.Melewati dua pohon besar tersebut, kuda memasuki jenggala yang lebih gelap dan sunyi dari sebelumnya. Sekeliling tampak benar-benar gelap dengan aura yang terasa
"Ya sudah." Eroth menghela napas.Selain belajar bersikap baik pada budaknya, Eroth pun belajar untuk tidak memaksakan kehendak. Ya, itu sungguhan, bukan sandiwara yang dibuat-buat.Di depan mereka, Aaban mendengarkan dalam diam. Komandan itu sibuk dengan pikirannya.Menjelang ujung dari jenggala ketiga, Fu tiba-tiba berujar. Suaranya terdengar serius di telinga Shaw."Berhenti, Shaw."Shaw menghentikan laju kuda dan melirik Fu. "Ada apa?""Kita ambil jalan lain," tukas Fu."Kenapa? Ada apa dengan jalan ini?""Ada sesuatu di depan. Hakinya tidak jauh berbeda dengan Kaye dan teman-temannya.""Ha?"Shaw menatap lurus, lalu memejamkan mata. Ia mencoba merasakan haki di depan, tetapi tidak merasakan atau melihat apapun."Aku tidak merasakan apapun," kata Shaw seraya membuka mata.Fu berdecak dan memegang kedua pundak Shaw. Aliran haki mengalir dari tangannya."Coba lihat lagi," kata Fu. Shaw mengiyakan.Bayangan sosok berjumlah lebih dari 10 terlihat di kejauhan di depan, dengan haki yang