Bailey berdecak.
“Ketahuilah, Ayah. Kebenaran adalah kebenaran. Tidak ada seorang pun yang dapat membendung ketika kebenaran sudah tiba pada waktu untuk menunjukkan dirinya. Ayah tidak tahu, kan, apa yang sebenarnya diinginkan dan diharapkan penduduk Zanwan?” Bailey memberi atensi penuh kepada Ascal, berharap ayahnya akan memahami maksud dari perkataan dan sorot matanya.
“Zaman sudah berubah. Aku menginginkan kebebasan sebagaimana orang lain menginginkannya.” Suara Bailey lebih tenang kali ini.
Sejenak Bailey menghela napas, mengalihkan tatap pada roti di piring, lalu melanjutkan, “Akan kupikul beban berat di pundak Ayah. Aku ... aku tidak keberatan untuk menggantikan Ayah nantinya, meneruskan takhta Ayah seperti yang seharusnya. Aku tidak keberatan mengorbankan hidupku untuk Zanwan, melupakan semua mimpi menjelajah dunia luar untuk mengabdi pada Zanwan, tapi ….”
Menjeda sejenak, Bailey menyunggingkan senyum. Seutas senyum pedih.
“Sebelum hari itu tiba, biarkan aku menjadi diriku sendiri. Biarkan aku melakukan apa yang ingin kulakukan. Aku ... ingin menjadi pemimpin yang dihormati dan disegani, bukan ditakuti dan dijauhi. Aku ingin penduduk setia padaku, bertahan bersamaku karena mereka menginginkannya, bukan karena terpaksa dan tak punya pilihan … dan aku butuh Shaw untuk itu.”
Sorot mata Bailey menajam, memberi peringatan.
“Kalau Ayah menyentuh atau berusaha menghancurkan dan menyingkirkan Shaw, Kakek, dan Nenek, aku tidak akan segan menghancurkan kebanggaan Ayah. Menyakiti Shaw, Kakek, dan Nenek sama saja dengan menyakitiku. Kalau Shaw hilang satu hari, Ayah akan mendengar kabar yang sama tentangku. Kalau Shaw tiada, Ayah bersiaplah untuk kehilanganku juga.”
Bailey beranjak, mengambil ransel dan menggendongnya. Ia menatap Ascal untuk terakhir kali.
“Tolong jangan halangi aku kalau Ayah saja tidak punya waktu untukku. Jangan halangi aku kecuali Ayah ingin aku hancur dan mati.”
Bailey mendorong kursi, melirik Jillian yang tiba-tiba menunduk.
“Aku berangkat.”
Tanpa menghabiskan rotinya, Bailey berlalu, menyisakan Ascal yang mengepalkan tangan dan berdiri tidak lama setelahnya. Ia pergi ke ruang kerjanya tanpa satu kata pun dan tanpa menghabiskan sarapannya.
Di kursi lain, Jillian bertopang siku, memijat pelipisnya. Ia menginstruksi pelayan untuk membereskan meja makan, kemudian menyusul Selise dan Bariela ke taman. Kepalanya berdenyut. Suami dan anak lelakinya itu memiliki watak yang sama kerasnya. Mencoba menengahi hanya akan membuat keduanya makin panas.
Memasuki ruang kerja, Ascal membawa serta emosinya.
“Aku membencimu, Hao Yi!” Lirih dan penuh penekanan Ascal berucap sambil menjatuhkan diri di kursinya. “Aku membencimu, Hao Yi! Aku sangat membencimu!”
Mata Ascal penuh oleh emosi, tertuju kepada awang-awang. Amarah menyelimuti dirinya. Tangannya mengepal. Ia sandarkan tubuh dan memejam, berusaha menenangkan diri.
Di lain tempat, pagi yang berbeda melingkupi rumah Spencer. Gracie yang selesai masak mengusap kepala Shaw penuh kasih sayang.
“Shaw,” panggil Gracie. Yang dipanggil membuka mata, menoleh dengan sorot mata sayu.
“Ayo, makan.” Gracie menunjukkan sepiring nasi dengan sup. Asap mengepul darinya.
Shaw bangun, mencoba duduk tegap, membiarkan Gracie memberinya beberapa suapan sementara pandangannya melirik-lirik sekitar.
Ada Spencer di ambang pintu keluar, berjalan untuk mencuci tangan, lalu bergerak ke meja makan.
“Ingat kata Dokter Ed. Kau harus makan yang banyak,” kata Spencer sembari mengambil lauk ke piring yang sudah tersedia nasi di atasnya.
“Aku akan makan banyak, tapi aku ingin makan sendiri,” sahut Shaw, melempar tatapan memohon pada Gracie.
Gracie geleng-geleng kepala dan tersenyum. “Baiklah. Makan pelan-pelan. Kalau sakit, beritahu Nenek, ya.”
Shaw mengiyakan, menerima piring dari Gracie dan melanjutkan makan dengan lahap sedangkan Gracie beranjak ke meja makan.
Bukan Shaw menolak disuapi. Ia cuma ingin Gracie segera makan. Shaw yakin, neneknya pasti lelah. Di usia senja, memasak bukan lagi pekerjaan ringan, apalagi setelah peristiwa semalam. Shaw bahkan tidak tahu apakah kakek neneknya sudah tidur atau belum.
Waktu berjalan sangat lama bagi Shaw yang tidak biasa berdiam diri. Hari sangat membosankan baginya. Bangun dari ranjang bambu pun hanya untuk ke kamar mandi, lalu kembali lagi. Obat yang dibalurkan pada luka Shaw berbentuk cairan dari tanaman herbal, persis obat merah dalam medis dan itu belum kering. Karenanya, Shaw belum bisa pindah ke kamar, barangkali cairannya akan menetes ke kasur.
Shaw yang baru duduk kembali ke ranjang sesudah membasuh wajah memandang ke ruang tamu, mendengar pintu depan di ketuk.
“Silakan masuk, Tuan Muda dan Dokter.” Suara Spencer terdengar sampai ke dapur.
Menepati ucapan, Bailey datang lagi.
“Bagaimana keadaanmu, Shaw?” Edvard bertanya, meletakkan tas obat di samping Shaw.
“Aku masih merasa tidak nyaman, tapi perihnya sudah berkurang,” jawab Shaw, jujur, sembari melirik Bailey dan sedikit memiringkan kepala melihat ransel yang dipegang Bailey. “Apa yang kau bawa, Bailey?”
“Hmm? Oh, ini?” Bailey mengangkat ransel, lalu mendekat, menaruh ransel di hadapan Shaw. “Aku bawa makanan, buah-buahan untukmu, Kakek, dan Nenek.”
Isi ransel dikeluarkan. Semuanya makanan berkualitas bagus.
“Dari siapa?” Shaw tidak tertarik sama sekali.
Bailey mengangkat kepala.
“Tentu saja dariku! Tadi sepulang sekolah aku bekerja. Aku minta pekerjaan pada ibuku dan Ibu menyuruhku menjaga Bariela. Aku membeli semuanya saat perjalanan ke sini tadi.”
“Bailey ….” Shaw mengerjap. “Demi apa pun, kau sungguh bekerja dan beli ini semua?! Kau tidak serius, kan?”
“Wah, kau terlalu meremehkanku, Shaw. Apa aku terlihat semeragukan itu?”
“Bukan. Maksudku ….”
Ah, bagaimana mengatakannya? Bailey bekerja untuk Shaw?
Shaw tersenyum kikuk.
Ada beberapa hal yang masih belum Shaw mengerti tentang Bailey. Namun, Shaw selalu yakin akan satu hal: Bailey selalu bersungguh-sungguh.
“Apa? Maksudnya apa?”
“Maksudku, ya, kau memang meragukan. Seorang pangeran Zanwan bekerja untuk beli makanan? Aku tidak yakin.”
“Wah, kau benar-benar meremehkanku, ya!?”
Shaw terkikik.
Edvard mengulum senyum atas interaksi dua bocah tersebut.
Dinding rumah yang tidak seberapa tebal menghantarkan percakapan itu kepada Spencer dan Gracie di kamar mereka.
Bailey menjatuhkan diri di sebelah Shaw. Terlihat gurat lelah di wajah sang tuan muda. Shaw menebak ada banyak hal yang terjadi pada Bailey hari ini hingga tiba di rumah Shaw ketika hari sudah sampai pada lembayungnya.
Satu jam berlalu. Malam telah datang. Dingin udara kian merebak, tetapi tidak mampu mengusik suasana di rumah Spencer.
“Ayo, setelah ini makan malam, ya. Nenek sudah masak sup jamur dan tofu asam manis.”
Ucapan Gracie menghentikan perbincangan seru Shaw, Bailey, dan Edvard di ranjang kayu.
Tidak sampai menginap, Bailey dan Edvard pamit seusai makan malam. Ada banyak yang dipelajari baik oleh Shaw, Bailey, Kakek, Nenek, dan Edvard sendiri.
Sang dokter kini memahami mengapa tuan mudanya begitu betah berlama-lama bersama keluarga yang mengasingkan diri itu. Nyatanya, dirinya pun terbuai nyaris lupa untuk pulang. Ada rasa yang jarang ditemukan di tempat lain. Sebuah rasa nyaman, hangat. Perasaan yang sangat khas ketika berada di rumah. Rumah yang benar-benar rumah.
Edvard mengerti satu hal lain: Shaw dan Bailey terlihat menyatu bukan hanya karena persamaan mereka saja, tetapi justru karena perbedaannya jua. Terlalu muda untuk bisa memahami itu. Apa mau dikata? Keduanya memang masih bocah. Belum banyak melihat dunia, tetapi seakan-akan merekalah sang penguasa.
Sepanjang perjalanan, Edvard terus memikirkannya. Betapa iri sungguh dalam hatinya, bertanya tentang mengapa ia tidak pernah menyadari semua. Teringat pula ia pada kawan-kawannya, di Zanwan dan di negeri seberang, lalu rindu hadir menyelusup. Berandai pula ia pada hal yang bisa dibilang mustahil untuk terjadi padanya, juga teman-temannya, di Zanwan, pada masa ini. Tiba-tiba suara hatinya menginterupsi, “Aku akan berdiri bersama mereka.”
Satu temali dengan Bailey, diam dan hanyut dalam pikiran. Teringat ia akan percakapannya dengan Shaw yang membuka mata hati juga pikirannya akan sesuatu. Ternyata, memiliki segalanya tidak berarti akan mendapatkan segalanya dan tiap hari adalah pembelajaran bagi siapa pun yang bersedia mempelajarinya.
Bailey berpikir jika Shaw sekolah bersamanya, pastilah Shaw akan menjadi murid kesayangan Profesor Barid Baldric. Seorang sujana, kepala sekolah yang terkenal akan bijaknya. Ia lelaki tua yang sudah dianggap seperti guru dan kakek bagi Bailey.
Tiba di kamarnya, mulut Bailey gatal; bergerak membuka suara, mengulangi apa yang dikatakan Shaw padanya.
“Seseorang tidak harus memiliki jabatan untuk menjadi pemimpin,” kata Shaw saat berbincang menunggu makan malam. “Yang terpenting adalah jiwa. Kau harus memahami dirimu lebih dahulu. Apa yang kau inginkan, lalu gerakkan dirimu melawan segala takut, resah, ragu, dan teman-temannya untuk mencapai keselarasan antara hati, pikiran, jiwa, raga, lalu menjadi pemimpin atas diri dan kehidupanmu. Dengan begitu, barulah kau akan jadi pemimpin untuk apa yang ada di luar dirimu. Tidak harus memiliki jabatan, kukatakan sekali lagi. Cukup memiliki jiwa yang mengerti makna kepemimpinan itu sendiri. Karena dengan begitu, kau akan melakukan apa yang dilakukan para pemimpin: mendapatkan jalan dan memberinya pada orang lain, menjadi pengarah dan lentera penerang bagi mereka.”
Bahkan di detik-detik sebelum matanya terpejam pun, Bailey masih memikirkannya bersama perkataan ayah dan ibunya, bersama perkataan petinggi desa lain yang sampai ke telinganya, bersama perkataan orang-orang lain di depan dan di belakangnya yang juga sampai ke telinganya. Sampai lelap membawa seluruh kesadarannya bersama segala keluhan lugunya perihal masa kini, keluarganya, batasan, dan aturan yang diberikan Ascal juga Zanwan padanya, masa depan, hidup, dan dunia.
Tanpa Bailey sadari, Ascal berdiri di ambang pintu sedari tadi, memperhatikan dengan sorot mata yang sulit diartikan.
“Tidurlah dengan nyenyak.” Spencer mengusap lembut kepala Shaw.Perapian di dapur sudah dinyalakan. Berat Spencer dan Gracie melajukan tungkai ke kamar, meninggalkan Shaw terbaring sendiri; bermalam di ranjang kayu di dapur, tanpa selimut. Bukan tidak ada, cuma tidak bisa dipakai sesuai fungsinya. Luka di punggung Shaw belum pulih.Derit pintu terdengar menandakan Spencer dan Gracie sudah masuk ke ruang peristirahatan mereka. Perlahan Shaw membuka mata, mengerjap. Otak dan batinnya mulai riuh. Hati merapal pelajaran yang disampaikan Bailey petang tadi.“Tidak ada penyakit yang tidak bisa disembuhkan kecuali kemalasan. Tidak ada obat yang tidak berguna selain kurangnya ilmu pengetahuan.”Sebuah kata mutiara dari Ibnu Sina yang Bailey hafalkan dari buku bacaannya. Tentu bukan buku sekolah, melainkan buku ilegal. Ya, ilegal, karena buku tersebut adalah selundupan. Dipesan khusus oleh Edvard dari temannya di negeri seberang, hadiah atas keberhasilan Bailey menghafal satu buku medis bersama
“Penjagaan di selatan lebih ketat. Aku tidak mungkin ke sana, tapi jalan yang kulewati bersama Kak Daniel pun tidak bisa kulewati lagi. Penjagaannya pasti ditambah.” Mulut Shaw bergerak, bersahutan dengan pikirannya. “Hilir sungai perbatasan di barat lebih mudah dicapai, tapi butuh waktu lebih lama. Penjagaannya pasti ditambah juga.”Shaw menegakkan badan, melipat tangan, mengetuk-ngetuk pelan hidungnya dengan jari telunjuk tangan kanan. Tatapnya masih terarah pada peta, mencari celah sembari otaknya memikirkan cara terbaik untuk sampai ke pesisir dan kembali tanpa ketahuan secepat mungkin. Sesekali meringis ia, merasakan gelenyar perih di punggungnya.Beberapa hari beristirahat total dengan makan dan obat teratur membuat lukanya berangsur membaik, cepat walau belum bisa dikatakan sembuh 50%.“Aha!” Shaw mengangkat jari telunjuk tangan kanan. Matanya melebar cerah menanggapi ide yang terlintas dalam benak. “Kurasa aku bisa menggunakan cara itu. Yah, meski akan memakan waktu lebih lama,
“Baiklah. Apa saja yang perlu kubawa untuk nanti?”Shaw melangkah lebar-lebar, riang, dan semangat menuju kamar.“Sepertinya aku harus mencatatnya dulu.”Ia menghampiri meja dan meraih buku catatan. Namun, tangannya terhenti saat matanya menangkap sesuatu yang tidak asing.Tas pemberian Daniel!Mata Shaw membulat. Diraih dan dirabanya tas yang terpampang di hadapan. Dicek pula isinya. Dimiringkan ke depan, kiri, kanan, belakang, memastikan itu adalah tas yang sama.“Ini tas dari Kak Daniel!” Shaw nyaris berteriak. “Tapi bagaimana bisa ada di sini? Siapa yang membawanya ke sini?”Shaw mengangkat kepala, menoleh ke jendela yang tertutup. Keningnya berkerut.“Aku.” Sebuah suara muncul dari belakang.Shaw membalik badan, menatap waspada, tetapi juga penuh tanda tanya akan sosok misterius yang bersandar pada lemari.“Siapa?” Shaw bertanya.Sosok itu maju beberapa langkah, menautkan tangan di belakang, di balik jubahnya, sembari pandang mengitari kamar. Topeng yang dikenakannya menutup sempu
“Tetap pergi atau batalkan?” Shaw berpikir.Shaw dilema. Tujuan utama pergi mencari panasea dan mengajak Bold adalah agar bisa kembali ke barat daya, mengambil tas pemberian Daniel, tetapi sekarang tas itu sudah kembali padanya.“Jadi, kalian akan langsung pergi?”Spencer meletakkan sebuah keranjang penuh apel merah yang sudah dicuci. Ia masukkan apel itu ke dalam dua wadah.“Benar, Kek. Kami akan langsung pergi biar tidak kesorean nanti pulangnya soalnya ini sudah mau siang,” jawab Shaw sambil merapikan pakaian setelah Edvard mengobatinya. Ia menambahkan dalam hati, “Pergi sajalah. Aku sudah terlanjur bilang, Bailey pun pasti sudah mengatakan itu pada orangtuanya. Dia juga sudah di sini.”“Ya sudah, berhati-hatilah. Ini ada apel yang sudah masak. Kakek memetiknya pagi-pagi sekali hari ini,” ujar Spencer, memberikan sekantung apel merah pada Bailey dan Edvard.“Terima kasih, Kek,” jawab Bailey dan Edvard.Shaw, Bailey, dan Edvard lantas pamit. Spencer dan Gracie melepas kepergian ketig
“Yeayy!” Shaw melompat riang. Ia berseru lagi, “Bold mau!”Air muka tenang Bailey berubah. Sekejap ia terkesiap oleh teriakan Shaw. Tingkah Shaw yang langsung menyimpulkan padahal Bold belum menjawab adalah faktor lainnya.“Tidak.” Bold akhirnya menjawab.Sekarang air muka Shaw yang berubah. Ia menunduk murung.Bold mengernyit.“Aku akan berubah pikiran kalau kau bisa menjatuhkan pedangku.”Shaw mengangkat wajah, mengukir kembali senyumnya.“Bertarung?”“Shaw belum sembuh benar. Biar kugantikan.” Bailey mengajukan usul.“Tidak apa, Bailey. Aku saja. Tidak masalah.”Shaw mundur beberapa langkah dan mencabut pedang dari sarung di sisi kiri tubuhnya.“Haah ... ya sudah.”Bailey mengalah, menepi, membiarkan Shaw dan Bold melanjutkan. Beberapa prajurit menengok ketika mendengar pedang Shaw dan Bold mulai beradu, kemudian mendekat dan menonton di tepian. Ini adalah momen langka bagi mereka juga Bailey. Sang Tuan Muda bisa melihat bagaimana Shaw menggerakkan pedangnya jika bertarung dengan or
“Shaw. Namaku Shaw.”“Hanya Shaw?” tanya Barid lagi.Shaw mengangguk.“Hmm ... baiklah. Silakan diminum.”Barid duduk, mengambil gelas berisikan air jeruk manis dan meminumnya.“Tuan Muda, terima kasih sudah beranjang dan membawa Shaw serta.”“Hum. Jadi, kenapa Profesor ingin bertemu Shaw?”Bailey tidak bisa menahan diri lagi untuk tidak mengajukan pertanyaan yang muncul dalam benaknya sejak pagi. Nama Shaw sedang melambung dalam rumor, Bailey tahu benar, tetapi keraguan menyusupinya bahwa Barid ingin bertemu Shaw karena hal tersebut.“Saya hanya ingin melihat secara langsung. Ah, kalian pasti belum makan. Mari kita makan!”Barid berdiri, menggandeng tangan Bailey dan Shaw hingga keduanya mau tak mau berdiri mengikuti.Bold tetap diam di tempat. Dalam benaknya, Bold berpikir bahwa dirinya tidaklah pantas untuk ikut serta. Di ruang tamu, mereka semua bisa duduk dalam jajar dan tinggi kursi yang sama, tetapi di meja makan, itu adalah hal lain lagi. Tempat yang berbeda.Barid menolehkan k
Dunia sedang tertidur. Pekat malam menyelimuti raga dalam lelap, menemani sukma dalam bunga mimpi.“Siapa kau?”Mata bulat hitamnya menyipit, mencoba menyingkap entitas di balik jubah dan topeng hitam sesosok di depan jeruji. Sisi lain memperhatikan gerak jemari sang sosok yang tampak menggerakkan sesuatu. Sebuah kunci.Temaram lentera menghasilkan siluet sang sosok yang justru makin menyembunyikan dirinya. Hanya berupa bayang hitam yang mengecewakan.“Mau apa kau?”Matanya terus mengawasi sementara raga memasang kuda-kuda. Tubuh yang melemah kehilangan banyak tenaga oleh luka ia abaikan. Tungkai mundur merapat dinding bersamaan sang sosok yang berhasil membuka gembok yang mengunci pintu jeruji besi. Sekarang sang sosok melangkah masuk, mendekat pada gelapnya ruang.Ketika kau tahu bahwa pekat malam menyimpan berjuta misteri, kau kira, apa yang akan kau temui saat memutuskan terjaga di titik tergelap malam? Dalam setarik napas, dalam sekejap, semua hal bisa terjadi.“Tuan, lima tahanan
“Apakah Anda terluka, Tuan muda?” Bexter bertanya sambil memindai keadaan Bailey.“Aku tidak apa-apa, Bexter, tapi kudaku sepertinya tidak bisa berdiri.”Bailey melirik sosok misterius yang tersisa. Satu prajurit mengunci kedua tangan sosok tersebut dengan rantai. Sesaat mata keduanya bersirobok saat sang sosok didorong untuk berjalan, melewati Bailey. Keempat sosok lain yang sudah tidak bernyawa digendong di pundak oleh empat prajurit berbadan kekar.“Biar prajurit membawa kudanya ke mansion nanti. Tuan muda, oh! Leher Anda terluka!”Seruan Bexter memancing atensi prajurit lain dan dalam sekejap ketegangan tercipta. Satu dua dari mereka meneguk ludah, lainnya berusaha bersikap biasa.Bailey meraba lehernya, melihat darah di tangannya dari luka itu.“Hanya luka kecil, tidak usah khawatir. Cukup tidak memberitahukannya pada orang lain, maka ini tidak akan jadi masalah.”Bailey tahu apa yang akan terjadi. Meskipun luka di lehernya cenderung tipis, tidak besar dan dalam, masalah tetap aka
“Kau mendengarnya?” Otto bertanya dengan wajah memucat. Suaranya amat pelan sampai nyaris tidak terdengar.Milo mengangguk kecil dalam gerakan patah-patah dan sarat keraguan. Ekspresi pada wajahnya tidak jauh berbeda.Kepala mereka kemudian bergerak bersamaan, berpaling tatap ke baris terdepan, lalu mereka melihat Bailey beranjak dari duduknya, pergi keluar.“Apa Tuan Muda mendengar pembicaraan kita?” Milo bertanya dalam suara lebih rendah, serupa bisik-bisik yang mungkin saja akan hanyut terbawa angin.Otto menggeleng. Bukan jawaban meyakinkan, hanya harapan bahwa itu adalah kenyataan yang terjadi.“Kalau benar, semesta mungkin tidak akan berpihak pada kita setelah ini,” kata Otto.Cemas menyerang Otto. Kalau Bailey benar mendengar pembicaraan mereka, apakah kali ini Bailey akan tersinggung? Kesal? Emosi dan apa pun yang lebih buruk?“Kurasa kita sebaiknya bergegas?” Milo melirik Otto.“Itu keputusan paling baik.” Otto berdiri.Milo memasukkan buku catatan yang baru sebentar ia baca
“Katakan saja,” ucap Bailey di sela makannya.Bailey tahu dua anak lelaki ini takkan mendatanginya kalau hanya untuk makan. Ada meja-meja kosong lain yang siap untuk ditempati, pun keduanya belum pernah begitu pada Bailey sepanjang sejarah bersekolah walau satu kelas dengan Bailey.“Kami … agak … penasaran. Apa Tuan Muda akan mendaftar untuk turnamen?” Otto Atrius yang duduk di sebelah Milo bertanya. Bibir merah cerahnya berulang kali mengatup dan terbuka setelah pertanyaan diajukan. Otaknya berpikir apakah pertanyaan itu sudah pas atau tidak.“Turnamen umum, maksudmu?” tanya Bailey.Otto mengangguk. “Kami dengar-dengar tahun ini murid yang terpilih untuk mewakili sekolah boleh mendaftar turnamen umum. Kami juga baca informasinya di mading pagi ini.”“Kalau terpilih mewakili sekolah, lalu mendaftar di turnamen umum dan ternyata lolos dalam keduanya ke final, terlebih keluar sebagai juara di peringkat satu, akan otomatis mendapat tiket emas dan bonus berlipat.” Milo turut bicara setela
“Ayah dan Ibu bawa apa? Itu terlihat banyak sekali!” Shaw mengamati tas-tas belanjaan dengan antusias. Salah satu isi yang tertangkap matanya adalah pakaian.“Oh, ini untuk putra Ibu yang paling manis!” Suara wanita menjawab.“Asyik! Pakaian, ya?” tanya Shaw.“Betul. Ada mainan juga!” Suara pria yang bicara.“Horeeee … mainan!” Shaw berseru gembira. Kebahagiaan meluap-luap pada suaranya.Di atas kaca, Shaw gemetar. Ia tidak mengira danau kaca keyakinan akan menampilkan momen seperti itu. Ia kira itu hanya akan berkisar perjalanannya, rencananya dengan Bailey, tantangan yang dihadapi dalam upaya mewujudkan impian tentang Zanwan. Namun, apa yang ia dengar sepenuhnya berbeda. Sama sekali tidak ada dalam bayangannya. Tidak sedikit pun.Mata Shaw bergetar. Air makin banyak di sana, lalu tumpah kala Shaw dengar suara yang sangat familier.“Shaw, jangan melompat-lompat tinggi begitu.” Itu suara Spencer, terdengar riang dan penuh kasih.“Shaw gembira sekali sepertinya.” Gracie menyusul bicara
“Ini danaunya.”Shaw sampai di ujung hutan lain setelah dari hutan sunyi dan melewati padang rumput. Di hadapannya membentang danau jernih yang berkilau, besar dan luas yang tidak mampu Shaw ukur dengan pasti. Ia perkirakan luasnya sama atau bahkan melebihi lapangan alun-alun distrik Acilav.“Sampai di danau itu, cara paling cepat untuk melewatinya adalah membelahnya. Menyeberanginya,” kata Fu dalam pesannya sebelum berpisah. “Jangan terkecoh dengan ukurannya yang kau mungkin kira tidak seberapa luas; masih sangat mungkin untuk dilewati dengan mengitarinya. Terkadang dalam waktu dan untuk alasan yang tidak terduga, setelah melihat wujudnya, begitu kau berjalan, mencoba memutari danau untuk sampai di seberang, di sisi lain, kau akan dapati bahwa ujung danau bahkan tidak kautemukan. Semua yang kaulihat mungkin hanya akan menjadi hamparan air. Tidak ada lagi pepohonan, tidak ada lagi daratan selain tempat kau berpijak dan sekitar.”Shaw berjinjit, mencoba menjangkau seberang danau dengan
“Ada rencana untuk keluar lagi di sisa hari ini, Tuan Muda?” Wilton bertanya seturunnya ia dari kuda, memegangi tali setelah Bailey turun. Mereka baru sampai di mansion, pulang dari sekolah.“Kurasa tidak. Sepertinya aku akan habiskan waktu di meja belajar.”“Baik. Saya akan ada di pos malam ini kalau Tuan Muda butuh sesuatu.”“Ya. Aku masuk, ya. Terima kasih untuk hari ini, Wilton.”Bailey pergi, masuk ke mansion. Wilton mengiringi kepergian Bailey dengan anggukan penuh hormat. Bibirnya melengkung membentuk senyum. Usai Bailey tidak lagi terlihat, Wilton membawa kuda ke kandang.Sampai kamar, Bailey menyalakan penerangan, melepaskan ransel, dan bersih-bersih. Ia melanjutkan dengan menekuri buku-buku mata pelajaran sampai pelayan memanggil namanya dari luar pintu.Makan malam tiba, Bailey berseri-seri menemukan Jillian di meja makan. Canda tawa Jillian serupa bunga-bunga di musim semi dan keceriaan Bariela adalah penyempurna. Jillian telah kembali dengan warna cerahnya, tidak lagi ber
Atmosfer terasa lebih ramah. Irama dari ranting-ranting dan dahan oleh angin terdengar lebih wajar dibandingkan tadi. Shaw makin yakin, semua karena Morth. Atmosfer, halusinasi, entah apa lagi yang Morth sebabkan.Satu pertanyaan besar dalam benak Shaw. Siapa Morth sesungguhnya? Mengapa seisi hutan sunyi hingga seluruh penjurunya seakan-akan berada di bawah kaki tangan Morth?“Kau memikirkan aku?” Morth tiba-tiba bertanya. Rupanya ia mengekori Shaw.Huh? Apa Morth juga bisa membaca pikiran?!Shaw menengok ke belakang, langkahnya melambat.“Jangan katakan kau dapat menembus kepala orang.”“Kau banyak bertanya, belum tuntas seluruhnya.” Morth mensejajarkan diri. Sejenak, ia melihat Shaw dari atas ke bawah. “Orang keras kepala seperti kau tentu akan merenungkannya. Aku benar, bukan?”“Kita baru saling tahu beberapa saat lalu dan kau yakin sekali dengan kata-katamu. Antara kau pandai menilai atau hanya pandai berasumsi.” Shaw menggeleng. Pandangan ia tujukan ke depan.Morth menyentuh lenga
Tanduk. Hal pertama yang dilihat oleh Shaw dari sumber suara adalah tanduk, tersembunyi di antara dedaunan semak belukar setinggi pinggang orang dewasa.Shaw mengernyit, kemudian bergumam lirih dalam hati, “Itu seperti tanduk rusa.”Sepasang mata semerah darah terlihat dari celah dedaunan. Shaw menelan ludah. Ia tahu betul itu bukan mata hewan biasa, apalagi manusia. Tidak ada satu pun penduduk desa yang pernah ditemuinya memiliki mata seperti itu.Mungkinkah ini yang Fu maksud? Apa pun itu, merasakan haki tidak biasa dari sang sosok misterius membuat Shaw merasa dirinya tidak boleh berlama-lama.Diliputi kewaspadaan dan dengan suara tercekat, ia berucap dalam hati, “Aku harus segera pergi dari sini.”Tanpa melakukan pergerakan yang kentara serta dengan posisi kepala yang masih sama, tatapan Shaw menyisir sekitar; memastikan tidak ada keanehan lain. Ia yang semula berjongkok pun perlahan berdiri sepelan mungkin. Namun, bak lelah bermain petak umpet, ransel yang Shaw gendong mengeluarka
“Tetap tidak bisa! Terlalu berbahaya. Kau, kan, tahu lebih baik daripada aku, Tibate.” Fu mengangkat kepala, menatap lurus Tibate dan Baldor. Ini bukan waktu yang tepat, pikir Fu. “Lagi pula aku bisa menjaga diri. Akan kupanggil kalian jika hal buruk terjadi dan aku tidak bisa mengatasinya.”“Kau bisa tinggal, Fu. Aku akan melanjutkan perjalananku seorang diri,” sela Shaw, angkat bicara setelah menimang-nimang.“Tidak ....”“Aku juga akan meninggalkan kudaku di sini.” Shaw menepuk pundak Fu. Ia serius ingin Fu tinggal. “Bold bilang ada danau dan tebing. Jadi, aku tidak bisa membawa kudaku. Selain itu, kau bisa mengawasi keadaan hutan dan mengabariku. Kau juga terluka, Fu. Jangan bersikeras seolah-olah kau baik-baik saja. Bagaimanapun kau juga masih anak-anak.”Ini adalah tugas Shaw. Sejak awal, Shaw memulainya sendiri dan ia harus melanjutkannya sendiri. Shaw tidak ingin merepotkan.Fu berdecak, tidak terima, tetapi juga tidak menyangkal ataupun menyanggah. Bertemu Baldor dan Tibate me
Pria berjanggut memperhatikan sambil mengusap-usap janggut dan kumisnya. Saat otaknya mengingat sesuatu tentang Fu, matanya melebar.“Kau ingin aku mencincangmu, hah?!” Tibate berseru.Setelah ikan bakarnya rusak, sekarang dirinya yang nyaris terbakar. Pria plontos itu tidak terima.Tibate menghentak tanah dengan kakinya, bergantian kaki kanan dan kaki kiri. Pegangannya pada gagang pedang makin erat.Fu melompat mundur, mengambil sikap siaga, meningkatkan kewaspadaannya. Ia siap dengan apa pun yang akan Tibate lakukan untuk membalasnya.Sebelum Tibate menyerang balik, pria berjanggut yang masih menggenggam keranjang bambu berjalan ke depan Tibate, lalu berdiri memunggungi Fu dan Shaw.“Kau mau dikutuk atau sudah bosan hidup?!” tanya pria berjanggut.“Apa maksudmu? Kalau kau hanya ingin aku berhenti memberi anak itu pelajaran, sebaiknya kau minggir!” balas Tibate.“Kau tahu kau sedang berhadapan dengan siapa? Kau tidak berencana mengingkari janjimu pada Jenderal Besar, 'kan?! Ini memang