Share

7. Lilin merah

Penulis: Maula Faza
last update Terakhir Diperbarui: 2021-07-25 14:48:02

“Tidurlah dengan nyenyak.” Spencer mengusap lembut kepala Shaw.

Perapian di dapur sudah dinyalakan. Berat Spencer dan Gracie melajukan tungkai ke kamar, meninggalkan Shaw terbaring sendiri; bermalam di ranjang kayu di dapur, tanpa selimut. Bukan tidak ada, cuma tidak bisa dipakai sesuai fungsinya. Luka di punggung Shaw belum pulih.

Derit pintu terdengar menandakan Spencer dan Gracie sudah masuk ke ruang peristirahatan mereka. Perlahan Shaw membuka mata, mengerjap. Otak dan batinnya mulai riuh. Hati merapal pelajaran yang disampaikan Bailey petang tadi.

“Tidak ada penyakit yang tidak bisa disembuhkan kecuali kemalasan. Tidak ada obat yang tidak berguna selain kurangnya ilmu pengetahuan.”

Sebuah kata mutiara dari Ibnu Sina yang Bailey hafalkan dari buku bacaannya. Tentu bukan buku sekolah, melainkan buku ilegal. Ya, ilegal, karena buku tersebut adalah selundupan. Dipesan khusus oleh Edvard dari temannya di negeri seberang, hadiah atas keberhasilan Bailey menghafal satu buku medis bersama detailnya dalam kurun waktu sepekan.

Sengaja Bailey menghafalkan bagian itu untuk menyemangati Shaw agar lebih bersemangat untuk sembuh. Mengingat ucapan Edvard di hari sebelumnya, Bailey tidak bisa membayangkan bagaimana Shaw menjalani hari dengan luka separah itu. Bailey tahu benar seperti apa Shaw. Sahabatnya ini bukan tipe yang senang berdiam diri dan beraktivitas di tempat.

Di hari biasanya, Bailey lebih sering melihat Shaw di tebing batu timur untuk berlatih di pagi buta sembari menunggu mentari, lalu di ladang membantu Spencer saat siang hari hingga menjelang sore, barulah setelah itu Shaw berada di rumah.

Malam kian larut. Shaw masih dengan posisinya, merenungi perkataan Bailey.

“Aku harus lebih yakin pada diriku sendiri. Aku akan sembuh dengan cepat!” Shaw membatin, lalu memikirkan bagaimana cara untuk kembali ke pesisir barat, kemudian meringis sejenak karena nyeri lukanya terasa lagi. Tubuhnya masih terlalu perih untuk ia gerakkan lebih banyak, apalagi jika membalik badan dan tidur telentang seperti biasa.

Ditenggelamkannya kepala pada lipatan tangan di atas bantal, membawa serta jiwanya. Dalam pejam ia melangitkan harap, moga-moga tas pemberian Daniel tidak berpindah dari tempatnya.

Berbeda dari Shaw yang mulai terlelap, beberapa orang masih terjaga di tempat lain, berkumpul.

“Benar, anak itu sudah kembali ke rumahnya. Tuan Muda Bailey yang membebaskannya,” kata seseorang dengan mantel cokelat susu.

“Artinya, benarlah kabar burung kemarin sore. Tuan Muda dan anak itu memang dekat,” sahut seseorang di seberang meja. Pria dengan mantel warna pastel dan syal merah.

“Lantas, apa yang akan kita lakukan?” tanya seorang pria di kursi paling ujung seraya menopang dagu. Ia mengenakan kemeja putih panjang berbalut rompi hitam polos dengan mantel biru laut yang disampirkan di kepala kursi.

Ruangan dengan pencahayaan sederhana dari lentera berpancarkan cahaya oranye itu seolah-olah ikut berpikir; senyap, tetapi sibuk. Keheningan di luar membuat siapa pun harus menjaga intonasi suara jika sedang membicarakan hal berbau rahasia dan tidak ingin dicuri dengar orang lain di luaran. Awan segelap malam berkumpul, menyembunyikan kemilau bintang seolah-olah tidak mengizinkan warna mereka untuk eksis; ikut serta menghias langit.

“Dia masih kecil. Sementara biarkan dahulu. Daniel mungkin saja akan kembali untuk menjemput anak itu atau membawa orang untuk melakukan sesuatu pada Zanwan. Ya, meski kuyakin untuk pilihan kedua kemungkinannya kecil untuk sesuatu yang buruk. Namun, untuk melakukan itu, Daniel pasti memikirkannya matang-matang yang artinya membutuhkan waktu.” Pria lain bersuara. Ia yang paling muda, usianya genap 32 tahun beberapa bulan lalu. Mantel hitamnya sempurna memancarkan kharisma parasnya yang rupawan.

“Tapi, bagaimana jika Shaw bertindak? Anak itu bisa saja melakukan hal gila. Keberaniannya untuk tidak lari dan justru membiarkan dirinya sendiri ditangkap adalah gambaran yang jelas.” Pria bersyal merah melontar tanya.

“Itu ….” Pria termuda di antara mereka menyesap teh chamomile di cangkir kecil bercorak biru yang indah; cangkir langka peninggalan dinasti China terdahulu. “Bukankah kita bisa membicarakannya lagi nanti?”

“Aku setuju. Membicarakannya sekarang hanya membuang waktu. Sebagaimanapun dan apa pun yang bocah itu lakukan, tidak akan melampaui batas. Jika pun itu terjadi, kita bisa menjeratnya ke dalam jeruji. Ingat, bocah itu keluar dari dungeon sebelum menyelesaikan hukuman. Ini juga poin yang bagus untuk menekan Tuan Hunt jika di kemudian hari menunjukkan dukungan dan perlawanan seperti yang dia lakukan di masa lalu,” timpal pria dengan mantel cokelat susu. Diteguknya teh hingga tandas.

Lilin merah tepat di tengah meja hampir habis. Keempat pria itu mengangguk, sepakat untuk menyudahi pertemuan rahasia mereka. Tiga dari keempatnya bangkit, bergantian keluar melalui pintu belakang, memajukan topi mereka, menengok kanan kiri, lalu bubar; pergi ke kediaman masing-masing. Satu pria tersisa kembali menyesap tehnya. Tampak tenang tanpa suara sampai tegukan terakhir. Beberapa detik kemudian ia berdiri, berjalan ke ruangan lain, dan memerintahkan pelayan untuk membereskan meja.

“Aku harus terus memantau mereka.” Seseorang membatin, keluar perlahan dari lemari di samping meja.

Kasak-kusuk di Zanwan masih belum reda, bahkan terkesan makin panas, menjadi gosip diam-diam di kalangan penduduk dua distrik. Mereka yang belum tahu bagaimana rupa Shaw pun dibuat penasaran bersamaan dengan tanda tanya mereka akan keakraban bocah lelaki itu dengan Bailey Hunt.

Beberapa hari berlalu, Shaw sudah bisa meninggalkan ranjang kayu.

“Biar kubantu, Kek.” Shaw meletakkan ember berisi air lima meter dari Spencer, mengambil gayung di dalamnya, mulai menyiram tanaman tomat yang terjejer rapi di hadapan.

“Berhati-hatilah ... lukamu belum sembuh benar. Jangan dipaksakan. Hanya untuk melatih badan saja biar tidak kaku.” Spencer menoleh ke samping, memperhatikan Shaw beberapa saat, kemudian kembali meneruskan kegiatannya memotong rumput liar di sekeliling tanaman wortel di depannya. Ia tidak bermaksud membiarkan Shaw membantunya, pun tidak ingin melarang. Beberapa hari hanya berdiam diri di rumah tentu membuat anak itu bosan. Sedikit olahraga akan bagus untuk kesembuhannya.

“Kakek, mengapa kebanyakan buah akan berwarna oranye gelap atau kemerahan ketika sudah masak?”

Shaw menaruh gayung ke ember. Berjongkok ia, memegang satu buah tomat kemerahan di salah satu dahan sembari memperhatikannya dengan tomat hijau kekuningan di pohon samping tomat merah.

Spencer melirik, tersenyum, lalu menjawab, “Karena memang seperti itu siklusnya. Seperti manusia.”

“Seperti ... manusia?” Shaw memiringkan kepala dengan dahi mengerut.

Spencer mengambil keranjang kecil dan berjalan ke rumpun pohon buah lain, beberapa meter dari jejer tanaman wortel.

“Benar, seperti manusia.”

Beberapa buah jeruk sankis yang sudah masak berpindah tempat dari tangkai ke keranjang bambu. Spencer terus memilah jeruk untuk dipetik, menghirup udara sejenak.

“Hijau itu berarti baru, tunas muda yang masih segar. Kuning perlambang kegembiraan, riang senang, dan penuh semangat. Oranye adalah peralihan dari keceriaan yang bertemu inginnya. Merah adalah bara, tekad yang menemukan tujuannya, perlambang jiwa yang menyala, telah siap melepaskan diri dari tempat asalnya untuk menyelami dunia lepas.”

“Begitu, ya ....” Anggukan kecil Shaw berikan. Detik berikutnya, Shaw mengangkat kepala, menoleh ke belakang, merespon panggilan sang nenek untuk sarapan. Raganya kembali tegak sembari menenteng ember yang telah kosong airnya, menderap beriringan Spencer, memasuki rumah.

Selesai sarapan, rumah mereka kedatangan tamu.

“Nenek akan pergi ke perkampungan bersama Kakek. Kau tetaplah di rumah, jangan ke mana-mana.” Gracie mengingatkan, menutup pintu kamar dan menghampiri Spencer di ruang depan yang sedang mengobrol bersama seorang warga distrik Acilav. Shaw mengekor di belakangnya.

“Ingat, jangan ke mana-mana.” Sekali lagi Gracie mengingatkan, mengusap kepala Shaw dan melempar senyum hangat.

Shaw mengangguk, balas tersenyum, melambaikan tangan pada Spencer yang berhenti dan berbalik untuk menutup pagar kayu setelah memajukan gerobak sayur yang didorongnya. Sekilas Spencer menyempatkan menoleh pada Shaw.

Penduduk distrik Acilav mengenal Spencer sebagai penjual yang biasa menjajakan hasil kebun beberapa hari sekali di pasar. Istrinya, Gracie, dikenal sebagai yang berpengalaman dalam membantu persalinan para ibu yang hendak melahirkan.

“Aku ingat menyimpannya di sini.”

Tiga tumpuk pakaian teronggok di atas ranjang. Shaw berjongkok di depan lemari, memasukkan sebagian tubuhnya ke dalam, merogoh sudut demi sudut dengan tangan kanan.

“Ini dia!” seru Shaw, girang, mengusap gulungan kertas putih sepanjang seratus sentimeter.

Beberapa barang di atas meja dipindahkan ke ranjang, bergiliran dengan tiga tumpuk pakaian tadi yang sudah kembali tertata rapi di lemari. Gulungan dihamparkan di meja, menampilkan gambaran laiknya peta; denah Zanwan.

Telunjuk tangan kanan bergerak ke arah barat, menyusuri sungai perbatasan. Mata Shaw jeli memperhatikan, otaknya memperkirakan, berpindah-pindah antara peta dan arloji yang tergenggam di tangan kiri.

“Hmm ....”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Jeruji Tanah Anarki   8. Menyusun rencana

    “Penjagaan di selatan lebih ketat. Aku tidak mungkin ke sana, tapi jalan yang kulewati bersama Kak Daniel pun tidak bisa kulewati lagi. Penjagaannya pasti ditambah.” Mulut Shaw bergerak, bersahutan dengan pikirannya. “Hilir sungai perbatasan di barat lebih mudah dicapai, tapi butuh waktu lebih lama. Penjagaannya pasti ditambah juga.”Shaw menegakkan badan, melipat tangan, mengetuk-ngetuk pelan hidungnya dengan jari telunjuk tangan kanan. Tatapnya masih terarah pada peta, mencari celah sembari otaknya memikirkan cara terbaik untuk sampai ke pesisir dan kembali tanpa ketahuan secepat mungkin. Sesekali meringis ia, merasakan gelenyar perih di punggungnya.Beberapa hari beristirahat total dengan makan dan obat teratur membuat lukanya berangsur membaik, cepat walau belum bisa dikatakan sembuh 50%.“Aha!” Shaw mengangkat jari telunjuk tangan kanan. Matanya melebar cerah menanggapi ide yang terlintas dalam benak. “Kurasa aku bisa menggunakan cara itu. Yah, meski akan memakan waktu lebih lama,

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-26
  • Jeruji Tanah Anarki   9. Jika kau mati lima menit setelah ini

    “Baiklah. Apa saja yang perlu kubawa untuk nanti?”Shaw melangkah lebar-lebar, riang, dan semangat menuju kamar.“Sepertinya aku harus mencatatnya dulu.”Ia menghampiri meja dan meraih buku catatan. Namun, tangannya terhenti saat matanya menangkap sesuatu yang tidak asing.Tas pemberian Daniel!Mata Shaw membulat. Diraih dan dirabanya tas yang terpampang di hadapan. Dicek pula isinya. Dimiringkan ke depan, kiri, kanan, belakang, memastikan itu adalah tas yang sama.“Ini tas dari Kak Daniel!” Shaw nyaris berteriak. “Tapi bagaimana bisa ada di sini? Siapa yang membawanya ke sini?”Shaw mengangkat kepala, menoleh ke jendela yang tertutup. Keningnya berkerut.“Aku.” Sebuah suara muncul dari belakang.Shaw membalik badan, menatap waspada, tetapi juga penuh tanda tanya akan sosok misterius yang bersandar pada lemari.“Siapa?” Shaw bertanya.Sosok itu maju beberapa langkah, menautkan tangan di belakang, di balik jubahnya, sembari pandang mengitari kamar. Topeng yang dikenakannya menutup sempu

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-27
  • Jeruji Tanah Anarki   10. Tuan, Anda berdarah!

    “Tetap pergi atau batalkan?” Shaw berpikir.Shaw dilema. Tujuan utama pergi mencari panasea dan mengajak Bold adalah agar bisa kembali ke barat daya, mengambil tas pemberian Daniel, tetapi sekarang tas itu sudah kembali padanya.“Jadi, kalian akan langsung pergi?”Spencer meletakkan sebuah keranjang penuh apel merah yang sudah dicuci. Ia masukkan apel itu ke dalam dua wadah.“Benar, Kek. Kami akan langsung pergi biar tidak kesorean nanti pulangnya soalnya ini sudah mau siang,” jawab Shaw sambil merapikan pakaian setelah Edvard mengobatinya. Ia menambahkan dalam hati, “Pergi sajalah. Aku sudah terlanjur bilang, Bailey pun pasti sudah mengatakan itu pada orangtuanya. Dia juga sudah di sini.”“Ya sudah, berhati-hatilah. Ini ada apel yang sudah masak. Kakek memetiknya pagi-pagi sekali hari ini,” ujar Spencer, memberikan sekantung apel merah pada Bailey dan Edvard.“Terima kasih, Kek,” jawab Bailey dan Edvard.Shaw, Bailey, dan Edvard lantas pamit. Spencer dan Gracie melepas kepergian ketig

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-28
  • Jeruji Tanah Anarki   11. Siapa namamu?

    “Yeayy!” Shaw melompat riang. Ia berseru lagi, “Bold mau!”Air muka tenang Bailey berubah. Sekejap ia terkesiap oleh teriakan Shaw. Tingkah Shaw yang langsung menyimpulkan padahal Bold belum menjawab adalah faktor lainnya.“Tidak.” Bold akhirnya menjawab.Sekarang air muka Shaw yang berubah. Ia menunduk murung.Bold mengernyit.“Aku akan berubah pikiran kalau kau bisa menjatuhkan pedangku.”Shaw mengangkat wajah, mengukir kembali senyumnya.“Bertarung?”“Shaw belum sembuh benar. Biar kugantikan.” Bailey mengajukan usul.“Tidak apa, Bailey. Aku saja. Tidak masalah.”Shaw mundur beberapa langkah dan mencabut pedang dari sarung di sisi kiri tubuhnya.“Haah ... ya sudah.”Bailey mengalah, menepi, membiarkan Shaw dan Bold melanjutkan. Beberapa prajurit menengok ketika mendengar pedang Shaw dan Bold mulai beradu, kemudian mendekat dan menonton di tepian. Ini adalah momen langka bagi mereka juga Bailey. Sang Tuan Muda bisa melihat bagaimana Shaw menggerakkan pedangnya jika bertarung dengan or

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-29
  • Jeruji Tanah Anarki   12. Riuh di alun-alun

    “Shaw. Namaku Shaw.”“Hanya Shaw?” tanya Barid lagi.Shaw mengangguk.“Hmm ... baiklah. Silakan diminum.”Barid duduk, mengambil gelas berisikan air jeruk manis dan meminumnya.“Tuan Muda, terima kasih sudah beranjang dan membawa Shaw serta.”“Hum. Jadi, kenapa Profesor ingin bertemu Shaw?”Bailey tidak bisa menahan diri lagi untuk tidak mengajukan pertanyaan yang muncul dalam benaknya sejak pagi. Nama Shaw sedang melambung dalam rumor, Bailey tahu benar, tetapi keraguan menyusupinya bahwa Barid ingin bertemu Shaw karena hal tersebut.“Saya hanya ingin melihat secara langsung. Ah, kalian pasti belum makan. Mari kita makan!”Barid berdiri, menggandeng tangan Bailey dan Shaw hingga keduanya mau tak mau berdiri mengikuti.Bold tetap diam di tempat. Dalam benaknya, Bold berpikir bahwa dirinya tidaklah pantas untuk ikut serta. Di ruang tamu, mereka semua bisa duduk dalam jajar dan tinggi kursi yang sama, tetapi di meja makan, itu adalah hal lain lagi. Tempat yang berbeda.Barid menolehkan k

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-30
  • Jeruji Tanah Anarki   13. Menghilangnya lima tahanan

    Dunia sedang tertidur. Pekat malam menyelimuti raga dalam lelap, menemani sukma dalam bunga mimpi.“Siapa kau?”Mata bulat hitamnya menyipit, mencoba menyingkap entitas di balik jubah dan topeng hitam sesosok di depan jeruji. Sisi lain memperhatikan gerak jemari sang sosok yang tampak menggerakkan sesuatu. Sebuah kunci.Temaram lentera menghasilkan siluet sang sosok yang justru makin menyembunyikan dirinya. Hanya berupa bayang hitam yang mengecewakan.“Mau apa kau?”Matanya terus mengawasi sementara raga memasang kuda-kuda. Tubuh yang melemah kehilangan banyak tenaga oleh luka ia abaikan. Tungkai mundur merapat dinding bersamaan sang sosok yang berhasil membuka gembok yang mengunci pintu jeruji besi. Sekarang sang sosok melangkah masuk, mendekat pada gelapnya ruang.Ketika kau tahu bahwa pekat malam menyimpan berjuta misteri, kau kira, apa yang akan kau temui saat memutuskan terjaga di titik tergelap malam? Dalam setarik napas, dalam sekejap, semua hal bisa terjadi.“Tuan, lima tahanan

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-31
  • Jeruji Tanah Anarki   14. Mata yang familier

    “Apakah Anda terluka, Tuan muda?” Bexter bertanya sambil memindai keadaan Bailey.“Aku tidak apa-apa, Bexter, tapi kudaku sepertinya tidak bisa berdiri.”Bailey melirik sosok misterius yang tersisa. Satu prajurit mengunci kedua tangan sosok tersebut dengan rantai. Sesaat mata keduanya bersirobok saat sang sosok didorong untuk berjalan, melewati Bailey. Keempat sosok lain yang sudah tidak bernyawa digendong di pundak oleh empat prajurit berbadan kekar.“Biar prajurit membawa kudanya ke mansion nanti. Tuan muda, oh! Leher Anda terluka!”Seruan Bexter memancing atensi prajurit lain dan dalam sekejap ketegangan tercipta. Satu dua dari mereka meneguk ludah, lainnya berusaha bersikap biasa.Bailey meraba lehernya, melihat darah di tangannya dari luka itu.“Hanya luka kecil, tidak usah khawatir. Cukup tidak memberitahukannya pada orang lain, maka ini tidak akan jadi masalah.”Bailey tahu apa yang akan terjadi. Meskipun luka di lehernya cenderung tipis, tidak besar dan dalam, masalah tetap aka

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-01
  • Jeruji Tanah Anarki   15. Bekal

    “Bentuknya seperti peti. Kau tahu ini apa, Bold?”Benda di tangannya Shaw sodorkan pada Bold agar dapat melihat lebih jelas. Mereka masih di gudang.“Kurasa memang peti. Ada tempat kunci, lihatlah.” Bold menunjuk satu lubang kecil di tengah benda itu.“Tapi tidak ada kuncinya.”“Mungkin kakek dan nenekmu tahu.”“Hmm ... benar juga.”Lesu Shaw menanggapi perkataan Bold barusan. Kakek dan neneknya mungkin tahu, tetapi masalahnya adalah apakah mereka akan memberikan kunci itu padanya jika mereka tahu dan memilikinya? Sisi muara pikiran buruk dan cemas menghinggapi isi kepala Shaw. Gundah ia dibuatnya.“Eeeehhhh ... kenapa masih di situ?”Satu dari dua yang baru saja dibicarakan datang. Panjang umur Gracie yang muncul dari pintu, mencari keduanya.“Ayo, masuk. Hari sudah gelap.”Shaw dan Bold saling berpandangan sesaat, lalu berjalan mengikuti Gracie.Bold agak canggung, tetapi perlakuan hangat kakek nenek Shaw perlahan mencairkannya. Ia bahkan ikut bersenda gurau saat makan malam bersama.

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-02

Bab terbaru

  • Jeruji Tanah Anarki   102. Markas naga hibrid

    Kilau cahaya pohon dan jalan memandu Bailey ke kaki gunung sisi utara, melewati area yang Bailey datangi tempo lalu bersama Shaw dan yang lain pada malam operasi penambangan ilegal. Semak belukar lebih tinggi, lalu ketika Bailey sampai di timur, menuju belokan ke tenggara, kilau cahaya kemerahan berkelap-kelip di depan.Bailey segera menghentikan laju kudanya.“Profesor bilang warna lain selain hitam dan putih akan cenderung samar, tapi merah itu terlalu jelas,” gumam Bailey.Menggeser fokus tatapannya, Bailey menemukan lebih banyak siluet merah dengan haki yang menguar di dalam sebuah gua. Bailey mengamati sekitar lebih jeli. Terlihat oleh matanya dinding seperti kubah di atas.Bailey menyalurkan hakinya ke kuda, tetapi tetap menyamarkannya, kemudian membuat kuda berderap pelan dan santai. Sang kuda bagai berjalan di atas angin; tidak ada suara yang terdengar tiap kali kakinya memijak.Mendekati gua, Bailey turun dari kuda. Ia ikatkan tali kuda ke sebuah pohon, kemudian melanjutkan d

  • Jeruji Tanah Anarki   101. Monokrom

    Aaban mengangguk, kemudian beralih tatap pada prajurit yang tadi membawakan kuda.“Buka gerbangnya.”Sang prajurit mengangguk patuh, kemudian berlari menuju pos jaga di sisi salah satu gerbang. Model pos agak tinggi dari permukaan tanah, jadi, ia mendongak dan berseru pada prajurit yang berada di pos.“Buka gerbangnyaaaa!”Prajurit di pos segera menjalankan perintah. Engsel gerbang segera berbunyi, lalu gerbang berderit, perlahan terbuka seiring Bailey menunggangi kuda.“Hati-hati, Tuan Muda!” kata Aaban.Bailey mengangguk. “Aku pergi.”Prajurit yang berseru pada prajurit di gerbang menyingkir, kembali ke sisi Aaban. Bailey menghentak tali kuda, melewati gerbang begitu gerbang terbuka lebar.“Tuan Muda sangat berani dan cerdik,” celetuk prajurit di sisi Aaban. Ia memandangi kepergian Bailey dengan binar takjub di matanya.“Dia putra pemimpin Zanwan. Keberanian dan kecerdikan akan bagus untuk menjadi bagian dari dirinya,” kata Aaban sambil memandangi Bailey yang menjauh, membelah padan

  • Jeruji Tanah Anarki   100. Ancaman Jillian

    Matahari telah terbenam di ufuk barat. Malam telah bertakhta. Dinginnya udara menerpa Zanwan sedingin suasana di meja makan mansion Hunt.“Wilton, di mana Bailey?” Jillian bertanya.Piring-piring masih terisi, belum habis setengah hidangan di atasnya. Satu kursi di meja makan, kursi yang biasa diduduki Bailey, kini kosong. Wilton berdiri di belakang samping kursi tersebut.Pelayan mengatakan Bailey tidak ada di kamarnya beberapa saat lalu. Sebentar sebelum duduk ke kursinya, Jillian pun mengecek kamar Bailey, hanya menemukan ruangan kosong. Sampai Ascal tiba, Bailey belum juga muncul. Tak ayal Ascal memanggil Wilton.“Tuan Muda ….” Wilton bicara serupa suara bisikan di keramaian, nyaris tidak terdengar saking lirihnya.Jillian mengerjap. Ia melirik Wilton sambil makan. Wilton terus menunduk, bahkan tidak kunjung menyelesaikan bicaranya. Ascal berganti melontarkan tanya tanpa menoleh.“Wilton, di mana Bailey?”“Tuan Muda pergi ….” Wilton masih serupa anak kecil yang bersembunyi.“Wilto

  • Jeruji Tanah Anarki   99. Jawaban Bailey

    Bailey manggut-manggut. “Aku tidak mengira kalian akan mengajukan pertanyaan semacam itu, bahkan tidak mengira kalian akan pernah menghiraukan hal semacam itu. Terima kasih, kurasa.”Senyum terukir di hati Bailey. Sebuah kabar gembira bagai menggema di dalam dirinya. Begitu pula yang dirasakan Otto dan Milo. Bailey menyambut baik, tentu itu kabar besar yang membahagiakan. Sekali lagi, perkiraan mereka salah. Sepertinya Bailey tidak mendengar pembicaraan mereka di kelas atau mungkin mendengar, tetapi tidak mempermasalahkan, dan itu membuat kegembiraan mereka kian bertambah.“Sanjungan lebih pantas untukmu,” kata Milo.Bailey merespon itu dengan senyum kecil. Otto dan Milo mengerjap, segera berpikir apakah mereka salah lihat. Namun, mereka dapati bahwa mereka tidak salah lihat. Bailey memang tersenyum. Senyum itu, Bailey tujukan kepada mereka.“Aku mulai dari pertanyaan pertama, ya,” kata Bailey, kemudian menghirup udara sejenak.Otto dan Milo mengangguk dan memasang telinga baik-baik.

  • Jeruji Tanah Anarki   98. Pertanyaan Otto dan Milo

    “Kau mendengarnya?” Otto bertanya dengan wajah memucat. Suaranya amat pelan sampai nyaris tidak terdengar.Milo mengangguk kecil dalam gerakan patah-patah dan sarat keraguan. Ekspresi pada wajahnya tidak jauh berbeda.Kepala mereka kemudian bergerak bersamaan, berpaling tatap ke baris terdepan, lalu mereka melihat Bailey beranjak dari duduknya, pergi keluar.“Apa Tuan Muda mendengar pembicaraan kita?” Milo bertanya dalam suara lebih rendah, serupa bisik-bisik yang mungkin saja akan hanyut terbawa angin.Otto menggeleng. Bukan jawaban meyakinkan, hanya harapan bahwa itu adalah kenyataan yang terjadi.“Kalau benar, semesta mungkin tidak akan berpihak pada kita setelah ini,” kata Otto.Cemas menyerang Otto. Kalau Bailey benar mendengar pembicaraan mereka, apakah kali ini Bailey akan tersinggung? Kesal? Emosi dan apa pun yang lebih buruk?“Kurasa kita sebaiknya bergegas?” Milo melirik Otto.“Itu keputusan paling baik.” Otto berdiri.Milo memasukkan buku catatan yang baru sebentar ia baca

  • Jeruji Tanah Anarki   97. Temui aku di perpustakaan

    “Katakan saja,” ucap Bailey di sela makannya.Bailey tahu dua anak lelaki ini takkan mendatanginya kalau hanya untuk makan. Ada meja-meja kosong lain yang siap untuk ditempati, pun keduanya belum pernah begitu pada Bailey sepanjang sejarah bersekolah walau satu kelas dengan Bailey.“Kami … agak … penasaran. Apa Tuan Muda akan mendaftar untuk turnamen?” Otto Atrius yang duduk di sebelah Milo bertanya. Bibir merah cerahnya berulang kali mengatup dan terbuka setelah pertanyaan diajukan. Otaknya berpikir apakah pertanyaan itu sudah pas atau tidak.“Turnamen umum, maksudmu?” tanya Bailey.Otto mengangguk. “Kami dengar-dengar tahun ini murid yang terpilih untuk mewakili sekolah boleh mendaftar turnamen umum. Kami juga baca informasinya di mading pagi ini.”“Kalau terpilih mewakili sekolah, lalu mendaftar di turnamen umum dan ternyata lolos dalam keduanya ke final, terlebih keluar sebagai juara di peringkat satu, akan otomatis mendapat tiket emas dan bonus berlipat.” Milo turut bicara setela

  • Jeruji Tanah Anarki   96. Keluarga yang sempurna

    “Ayah dan Ibu bawa apa? Itu terlihat banyak sekali!” Shaw mengamati tas-tas belanjaan dengan antusias. Salah satu isi yang tertangkap matanya adalah pakaian.“Oh, ini untuk putra Ibu yang paling manis!” Suara wanita menjawab.“Asyik! Pakaian, ya?” tanya Shaw.“Betul. Ada mainan juga!” Suara pria yang bicara.“Horeeee … mainan!” Shaw berseru gembira. Kebahagiaan meluap-luap pada suaranya.Di atas kaca, Shaw gemetar. Ia tidak mengira danau kaca keyakinan akan menampilkan momen seperti itu. Ia kira itu hanya akan berkisar perjalanannya, rencananya dengan Bailey, tantangan yang dihadapi dalam upaya mewujudkan impian tentang Zanwan. Namun, apa yang ia dengar sepenuhnya berbeda. Sama sekali tidak ada dalam bayangannya. Tidak sedikit pun.Mata Shaw bergetar. Air makin banyak di sana, lalu tumpah kala Shaw dengar suara yang sangat familier.“Shaw, jangan melompat-lompat tinggi begitu.” Itu suara Spencer, terdengar riang dan penuh kasih.“Shaw gembira sekali sepertinya.” Gracie menyusul bicara

  • Jeruji Tanah Anarki   95. Kaca keyakinan

    “Ini danaunya.”Shaw sampai di ujung hutan lain setelah dari hutan sunyi dan melewati padang rumput. Di hadapannya membentang danau jernih yang berkilau, besar dan luas yang tidak mampu Shaw ukur dengan pasti. Ia perkirakan luasnya sama atau bahkan melebihi lapangan alun-alun distrik Acilav.“Sampai di danau itu, cara paling cepat untuk melewatinya adalah membelahnya. Menyeberanginya,” kata Fu dalam pesannya sebelum berpisah. “Jangan terkecoh dengan ukurannya yang kau mungkin kira tidak seberapa luas; masih sangat mungkin untuk dilewati dengan mengitarinya. Terkadang dalam waktu dan untuk alasan yang tidak terduga, setelah melihat wujudnya, begitu kau berjalan, mencoba memutari danau untuk sampai di seberang, di sisi lain, kau akan dapati bahwa ujung danau bahkan tidak kautemukan. Semua yang kaulihat mungkin hanya akan menjadi hamparan air. Tidak ada lagi pepohonan, tidak ada lagi daratan selain tempat kau berpijak dan sekitar.”Shaw berjinjit, mencoba menjangkau seberang danau dengan

  • Jeruji Tanah Anarki   94. Bakat alam

    “Ada rencana untuk keluar lagi di sisa hari ini, Tuan Muda?” Wilton bertanya seturunnya ia dari kuda, memegangi tali setelah Bailey turun. Mereka baru sampai di mansion, pulang dari sekolah.“Kurasa tidak. Sepertinya aku akan habiskan waktu di meja belajar.”“Baik. Saya akan ada di pos malam ini kalau Tuan Muda butuh sesuatu.”“Ya. Aku masuk, ya. Terima kasih untuk hari ini, Wilton.”Bailey pergi, masuk ke mansion. Wilton mengiringi kepergian Bailey dengan anggukan penuh hormat. Bibirnya melengkung membentuk senyum. Usai Bailey tidak lagi terlihat, Wilton membawa kuda ke kandang.Sampai kamar, Bailey menyalakan penerangan, melepaskan ransel, dan bersih-bersih. Ia melanjutkan dengan menekuri buku-buku mata pelajaran sampai pelayan memanggil namanya dari luar pintu.Makan malam tiba, Bailey berseri-seri menemukan Jillian di meja makan. Canda tawa Jillian serupa bunga-bunga di musim semi dan keceriaan Bariela adalah penyempurna. Jillian telah kembali dengan warna cerahnya, tidak lagi ber

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status