"Tidurlah dengan nyenyak ...." ucap Spencer lirih. Mengusap lembut kepala Shaw.
Perapian di dapur sudah dinyalakan. Berat Spencer dan Gracie melajukan tungkai ke kamar, meninggalkan Shaw terbaring sendiri; bermalam di ranjang kayu di dapur, tanpa selimut. Bukan tak ada, hanya saja tak bisa dipakai sesuai fungsinya. Luka di punggung Shaw belum pulih.
Derit pintu terdengar, menandakan Spencer dan Gracie sudah masuk ke ruang peristirahatan mereka. Perlahan Shaw membuka mata, mengerjap tak bersuara. Otak dan batinnya mulai kembali riuh. Kalbu merapal pelajaran yang disampaikan Bailey petang tadi.
"๐๐ข๐ฌ ๐ข๐ฅ๐ข ๐ฑ๐ฆ๐ฏ๐บ๐ข๐ฌ๐ช๐ต ๐บ๐ข๐ฏ๐จ ๐ต๐ข๐ฌ ๐ฃ๐ช๐ด๐ข ๐ฅ๐ช๐ด๐ฆ๐ฎ๐ฃ๐ถ๐ฉ๐ฌ๐ข๐ฏ ๐ฌ๐ฆ๐ค๐ถ๐ข๐ญ๐ช ๐ฌ๐ฆ๐ฎ๐ข๐ญ๐ข๐ด๐ข๐ฏ. ๐๐ข๐ฌ ๐ข๐ฅ๐ข ๐ฐ๐ฃ๐ข๐ต ๐บ๐ข๐ฏ๐จ ๐ต๐ข๐ฌ ๐ฃ๐ฆ๐ณ๐จ๐ถ๐ฏ๐ข ๐ด๐ฆ๐ญ๐ข๐ช๐ฏ ๐ฌ๐ถ๐ณ๐ข๐ฏ๐จ๐ฏ๐บ๐ข ๐ฑ๐ฆ๐ฏ๐จ๐ฆ๐ต๐ข๐ฉ๐ถ๐ข๐ฏ." Hanya sebuah kata mutiara dari Ibnu Sina, yang Bailey hafalkan dari buku yang ia baca. Tentu bukan buku sekolah, melainkan buku ilegal. Ya, ilegal, karena buku tersebut adalah selundupan. Dipesan khusus oleh Edvard dari temannya di negeri seberang; hadiah atas keberhasilan Bailey menghafal satu buku medis bersama detailnya, hanya dalam kurun waktu sepekan.
Sengaja Bailey menghafalkan bagian itu, untuk menyemangati Shaw agar lebih bersemangat untuk sembuh. Mengingat ucapan Edvard hari sebelumnya, yang mana membuat Bailey tak bisa membayangkan bagaimana Shaw menjalani hari dengan luka separah itu. Karena Bailey tahu benar seperti apa Shaw .... Anak lelaki bersurai hitam pekat berwajah ketimuran itu bukan tipe yang senang berdiam diri dan beraktivitas di tempat.
Di hari biasanya, Bailey lebih sering melihat Shaw di tebing batu timur untuk berlatih di pagi buta sembari menunggu mentari, lalu di ladang membantu Spencer saat siang hari hingga menjelang sore, barulah setelah itu Shaw berada di rumah.
Malam kian larut. Shaw masih dengan posisinya, terpekur pada perkataan Bailey. 'Aku harus lebih yakin pada diriku sendiri, aku akan sembuh dengan cepat!' Shaw membatin. Lalu memikirkan bagaimana caranya untuk kembali ke pesisir barat, kemudian meringis sejenak karena nyeri lukanya terasa lagi.
Tubuhnya masih terlalu perih untuk ia gerakkan lebih banyak, apa lagi jika membalik badan dan tidur terlentang seperti biasa.Ditenggelamkannya kepala pada lipatan tangan di atas bantal, membawa serta jiwanya. Dalam pejam ia melangitkan harap; semoga tas pemberian Daniel tak berpindah dari tempatnya.
"Benar, anak itu sudah kembali ke rumahnya. Tuan muda yang membebaskannya," ujar seseorang dengan coat coklat susu.
"Artinya, benarlah kabar burung kemarin sore. Tuan muda dan anak itu, memang, dekat," sahut seseorang di seberang meja. Pria dengan coat peach dan syal merah.
"Lantas, apa yang akan kita lakukan?" tanya seorang pria di kursi paling ujung; menopang dagu. Ia mengenakan kemeja putih panjang berbalut rompi hitam polos dengan coat navy yang disampirkan di kepala kursi.
Ruangan dengan pencahayaan sederhana dari lentera berpancarkan cahaya oranye itu seolah ikut berpikir; senyap namun sibuk. Keheningan di luar membuat siapapun harus menjaga intonasi suara; jika sedang membicarakan hal berbau rahasia dan tidak ingin dicuri dengar orang lain di luaran. Payoda segelap malam berkumpul; menyembunyikan kemilau bintang, seolah tak mengizinkan warna mereka untuk eksis; ikut serta menghias nabastala.
"Dia masih kecil. Sementara biarkan dahulu. Daniel mungkin saja akan kembali untuk menjemput anak itu, atau membawa orang untuk melakukan sesuatu pada Zanwan. Meski kuyakin, untuk pilihan kedua, kemungkinannya kecil untuk sesuatu yang buruk. Tapi untuk melakukan itu, Daniel pasti memikirkannya matang-matang ... yang artinya membutuhkan waktu." Pria lain di hadapannya bersuara. Ia yang paling muda, usiaunya genap 32 tahun beberapa bulan lalu. Coat hitamnya sempurna memancarkan kharisma parasnya yang rupawan.
"Tapi, bagaimana jika Shaw bertindak? Anak itu bisa saja melakukan hal gila. Keberaniannya untuk tidak lari dan justru membiarkan dirinya sendiri ditangkap adalah gambaran yang jelas." Pria bersyal merah melontarkan tanya.
"Itu-" Pria termuda di antara mereka menyesap teh chamomile di cangkir kecil bercorak biru yang indah; cangkir langka peninggalan dinasti china terdahulu. "... bukankah kita bisa membicarakannya lagi nanti?"
"Aku setuju. Membicarakannya sekarang hanya membuang waktu. Sebagaimana pun dan apapun yang bocah itu lakukan, tidak akan melampaui batas. Dan jika pun itu terjadi, kita bisa menjeratnya ke dalam jeruji. Ingat, bocah itu keluar dari dungeon sebelum menyelesaikan hukuman. Ini juga poin yang bagus untuk menekan Tuan Hunt, jika di kemudian hari menunjukkan dukungan dan perlawanan seperti yang dia lakukan di masa lalu," timpal pria dengan coat cokelat susu. Diteguknya teh sampai tak bersisa.
Lilin merah tepat di tengah meja hampir habis. Keempat pria itu mengangguk sepakat untuk menyudahi pertemuan rahasia mereka. Tiga dari keempatnya bangkit; bergantian keluar melalui pintu belakang. Memajukan topi mereka, menengok kanan kiri lalu bubar; melangkah ke kediaman masing-masing. Satu pria tersisa kembali menyesap tehnya. Nampak tenang tanpa suara sampai tegukan terakhir. Beberapa detik kemudian ia berdiri, berjalan ke ruangan lain; memerintahkan pelayan untuk membereskan meja.
'Aku harus terus memantau mereka.' Seseorang membatin, keluar perlahan dari lemari di samping meja.
Kasak-kusuk di Zanwan masih belum reda, bahkan terkesan semakin panas; menjadi gosip diam-diam di kalangan penduduk dari dua distrik. Mereka yang belum tahu bagaimana rupa Shaw pun dibuat penasaran ... bersamaan dengan tanda tanya mereka akan keakraban bocah lelaki itu dengan sang tuan muda.
"Biar kubantu, Kek." Shaw meletakkan ember berisi air 5 meter dari Spencer. Mengambil gayung di dalamnya lalu mulai menyiram tanaman tomat yang terjejer rapi di hadapan.
"Berhati-hatilah ... lukamu belum sembuh benar. Jangan dipaksakan. Hanya untuk melatih badan saja, biar tidak kaku." Spencer menoleh ke samping; memperhatikan cucunya beberapa saat, kemudian kembali meneruskan kegiatannya memotong rumput liar di sekeliling tanaman wortel di depannya. Ia tak bermaksud membiarkan Shaw membantunya, pun tak ingin melarang. Beberapa hari hanya berdiam diri di rumah tentu membuat anak itu bosan. Sedikit olahraga akan bagus untuk kesembuhannya.
"Kakek, mengapa kebanyakan buah akan berwarna oranye gelap atau kemerahan ketika sudah masak?" Shaw menaruh kembali gayungnya ke ember. Berjongkok, memegang satu buah tomat yang kemerahan di salah satu dahan sembari memperhatikannya dengan tomat yang berwarna hijau kekuningan di pohon samping tomat yang sudah memerah.
Spencer melirik. Tersenyum dan menjawab.
"Karena, memang, seperti itu siklusnya. Seperti manusia.""Seperti ... manusia?" Shaw memiringkan kepala dengan dahi berkerut.
Spencer mengambil keranjang kecil dan berjalan ke rumpun pohon buah lain, beberapa meter dari jejer tanaman wortel.
"Benar, seperti manusia."Beberapa buah jeruk sankis yang sudah masak berpindah tempat dari tangkai ke keranjang bambu. Spencer terus memilah jeruk untuk dipetik, mengambil napas sejenak lalu meneruskan, "Hijau itu berarti baru, tunas muda yang masih segar. Kuning perlambang kegembiraan, riang senang dan penuh semangat. Oranye adalah peralihan, dari keceriaan yang bertemu inginnya. Sedang merah adalah bara, tekad yang menemukan tujuannya ... perlambang jiwa yang menyala, telah siap melepaskan diri dari tempat asalnya dan menyelami dunia lepas."
"Begitu, ya ...." Anggukan kecil diberikan. Mengerti akan penjelasan Spencer. Detik berikutnya, Shaw mengangkat kepala, menoleh ke belakang; merespon panggilan sang nenek untuk sarapan. Daksanya kembali tegak, sembari menenteng ember yang telah kosong airnya. Menderap beriringan dengan Spencer; memasuki rumah.
"Nenek akan pergi ke perkampungan bersama Kakek. Kau tetaplah di rumah, jangan ke mana-mana." Gracie mengingatkan. Menutup pintu kamar dan menghampiri Spencer di ruang depan bersama seorang warga distrik Acilav. Shaw mengekor di belakangnya.
"Ingat, jangan ke mana-mana." Sekali lagi Gracie mengingatkan. Mengusap kepala Shaw seraya melemparkan senyum hangat. Shaw mengangguk, balas tersenyum. Melambaikan tangan pada Spencer yang berhenti dan berbalik untuk menutup pagar kayu setelah memajukan gerobak sayur yang didorongnya, dan menyempatkan menoleh pada Shaw barang sesaat.
Penduduk distrik Acilav mengenal Spencer sebagai penjual yang biasa menjajakan hasil kebunnya beberapa hari sekali di pasar. Sementara istrinya, Gracie, dikenal sebagai yang berpengalaman dalam membantu persalinan para ibu yang hendak melahirkan.
"Aku ingat menyimpannya di sini."
3 tumpuk pakaian teronggok di atas ranjang. Shaw berjongkok di depan lemari, memasukkan sebagian tubuhnya ke dalam. Merogoh sudut demi sudut dengan tangan kanan.
"Ini dia!" serunya. Girang. Mengusap gulungan kertas putih sepanjang 100 cm.
Beberapa barang di atas meja dipindahkan ke atas ranjang, bergiliran dengan 3 tumpuk pakaian tadi yang sudah kembali tertata rapi di lemari.
Gulungan dihamparkan di meja, menampilkan gambaran laiknya peta; denah Zanwan.Telunjuk tangan kanan bergerak ke arah barat; menyusuri sungai perbatasan. Matanya memperkirakan; berpindah-pindah antara peta dan arloji yang tergenggam di tangan kiri.
"Hmm ...."
"Penjagaan di selatan lebih ketat ... aku tidak mungkin ke sana. Tapi jalan yang kulewati kemarin lalu bersama Kak Daniel pun tidak bisa kulewati lagi ... penjagaannya pasti ditambah." Mulutnya bergerak, bersahutan dengan pikirannya.".... Hilir sungai perbatasan di barat lebih mudah dicapai, tapi membutuhkan waktu lebih lama. Dan tentu penjagaannya pasti ditambah juga."Shaw menegakkan diri; melipat tangan, mengetuk-ngetuk pelan hidungnya dengan jari telunjuk tangan kanan. Pandangannya masih terarah pada peta, mencari celah sembari otaknya memikirkan cara terbaik untuk sampai ke pesisir dan kembali tanpa ketahuan; secepat mungkin. Sesekali meringis ia, merasakan gelenyar perih di punggungnya.Beberapa hari beristirahat total dengan makan dan obat teratur membuat lukanya berangsur membaik dengan cepat, namun belum bisa dikatakan sembuh 50%."Aha!" Shaw mengangkat jari telunjuk tangan kanannya. Matanya melebar cerah menanggapi ide yang terlin
"Baiklah, apa saja yang perlu kubawa untuk nanti?" Shaw bertanya pada dirinya sendiri. Melangkah lebar-lebar dengan riang dan semangat menuju kamar."Sepertinya aku harus mencatatnya dulu," ucapnya. Menghampiri meja dan meraih buku catatan. Namun tangannya terhenti saat matanya menatap sesuatu yang tidak asing. Tas pemberian Daniel!Mata Shaw membulat. Diraih lalu dirabanya tas yang terpampang di hadapan. Dicek pula isinya. Lalu dimiringkan ke depan, kiri, kanan, belakang. Memastikan itu adalah tas yang sama."Ini tas dari Kak Daniel!" ujarnya dengan nada tidak percaya."Tapi bagaimana bisa ada di sini? Siapa yang membawanya ke sini?" tanyanya. Mengangkat kepala melihat ke jendela yang tertutup. Keningnya berkerut."Aku." Sebuah suara muncul dari belakang. Shaw membalik badan; menatap waspada namun juga penuh tanda tanya pada sosok misterius yang bersandar pada lemari."Siapa?" tanya Shaw penasaran.Sosok itu maju bebera
'Tetap pergi atau batalkan?' Gundah Shaw dalam hati. Tujuan utama pergi mencari panasea dan mengajak Bold adalah agar bisa kembali ke barat daya dan mengambil tas pemberian Daniel, tapi sekarang tas itu sudah kembali padanya."Jadi, kalian akan langsung pergi?" Spencer meletakkan sebuah keranjang penuh apel merah yang sudah dicuci. Ia masukkan apel itu ke dalam dua wadah."Benar, Kek. Kami akan langsung pergi ... biar tidak kesorean nanti pulangnya, soalnya ini sudah mau siang." Shaw menjawab. Merapikan pakaiannya. 'Pergi sajalah ... aku sudah terlanjur bilang, Bailey pun pasti sudah mengatakan itu pada orangtuanya.'"Ya sudah, berhati-hatilah. Ini ada apel yang sudah masak. Kakek memetiknya pagi-pagi sekali hari ini," ujar Spencer. Memberikan sekantung apel merah pada Bailey dan Edvard."Terima kasih, Kek." jawab Bailey dan Edvard.Kuda berpacu menjauh, membelah jenggala. Menuju distrik Aloclya.Shaw menengok ke arah kiri saat s
"Yeayy!!" Shaw melompat riang. Membuat Bailey dan Bold sedikit terkejut. "Bold mau!" serunya. Tersenyum senang."Tidak." Bold menjawab. Membuat air muka Shaw berubah. Ia menunduk murung."Aku akan berubah pikiran kalau kau bisa menjatuhkan pedangku." Bold menambahkan.Shaw mengangkat wajah, mengukir kembali senyumnya."Bertarung?" tanyanya."Shaw belum sembuh benar ... biar kugantikan." Bailey mengusulkan."Tidak apa, Bailey .... Tidak masalah," ujar Shaw kemudian. Mundur beberapa langkah dan mencabut pedang dari sarung di sisi kiri."Haah ... ya sudah." Bailey mengalah. Menepi; membiarkan Shaw dan Bold melanjutkan. Beberapa prajurit di sana menoleh ketika mendengar pedang Shaw dan Bold mulai beradu, kemudian mendekat dan menonton di tepian; penasaran siapa yang akan menang. Ini adalah momen langka bagi mereka juga Bailey. Ia bisa melihat bagaimana Shaw menggerakkan pedangnya jika bertarung dengan orang lain selain
"Shaw. Namaku Shaw.""Hanya Shaw?" tanya Baldric lagi. Shaw mengangguk."Hmm ... baiklah, silakan diminum." Baldric duduk. Mengambil gelas berisikan air jeruk manis dan meminumnya."Tuan Muda ... terima kasih sudah beranjang dan membawa Shaw serta.""Hum. Jadi, kenapa Profesor ingin bertemu Shaw?" Bailey tidak bisa menahan diri lagi untuk tidak mengajukan pertanyaan yang muncul dalam benaknya sejak pagi."Saya hanya ingin melihat secara langsung. Ah, kalian pasti belum makan ... mari kita makan!"Baldric berdiri, menggandeng tangan Bailey dan Shaw hingga keduanya mau tak mau berdiri mengikuti. Sedang Bold tetap diam di tempat. Dalam benaknya, Bold berpikir bahwa dirinya tidaklah pantas untuk ikut serta. Di ruang tamu, mereka semua bisa duduk dalam jajar dan tinggi kursi yang sama. Tapi di meja makan, itu adalah hal lain lagi ... tempat yang berbeda.Baldric menolehkan kepala. Melempar senyum hangat pada Bold yang tak ber
Dunia sedang tertidur. Pekat malam menyelimuti raga dalam lelap, menemani sukma dalam bunga mimpi."Siapa kau?"Mata bulat hitamnya menyipit mencoba menyingkap entitas di balik jubah dan topeng hitam sesosok di depan jeruji. Sisi lain memperhatikan gerak jemari sang sosok yang tampak menggerakkan sesuatu. Sebuah kunci.Temaram lentera menghasilkan siluet sang sosok yang justru semakin menyembunyikan dirinya. Hanya berupa bayang hitam yang mengecewakan."Mau apa kau?"Matanya terus mengawasi, sementara daksa memasang kuda-kuda. Tubuh yang melemah kehilangan banyak tenaga oleh luka ia abaikan. Tungkai mundur merapat dinding, bersamaan sang sosok yang berhasil membuka gembok yang mengunci pintu jeruji besi. Melangkah masuk mendekat pada gelapnya ruang.Dan apa yang akan kau temui di pekat lain saat diri memutuskan terjaga di titik tergelapnya malam? Ketika kau tahu bahwa pekat malam menyimpan berjuta misteri. Semua hal bisa
"Apakah Anda terluka, Tuan muda?" Orang yang memanggil Bailey bertanya."Aku tidak apa-apa, Bexter. Tapi kudaku sepertinya tidak bisa berdiri." Bailey menjawab pelan; melihat ke arah sosok misterius yang tersisa. Satu prajurit mengunci kedua tangan orang itu dengan rantai. Sesaat mata keduanya bersirobok saat sang sosok didorong untuk berjalan; melewati Bailey. Sementara keempat orang lainnya yang sudah tidak bernyawa dibopong di pundak oleh empat prajurit berbadan kekar.Bexter menoleh pada kuda Bailey, lalu memerintahkan prajurit lain untuk mengobatinya."Biar prajurit membawa kudanya ke mansion nanti. Tuan muda, oh-! Leher Anda terluka!" Bexter berseru terkejut sekaligus panik. Guratan lukanya tidak besar dan dalam, bahkan tipis. Tapi masalah yang akan timbul karenanya itulah yang membuat Bexter lebih panik. Karena pasti akan ada lebih dari satu punggung yang menerima cambukan nantinya.Bailey meraba lehernya, melihat darah di tangannya d
"Bentuknya seperti peti. Kau tahu ini apa, Bold?"Benda di tangan disodorkan pada Bold agar bisa melihat lebih jelas."Kurasa, memang, peti. Ada tempat kunci, lihatlah." Bold menunjuk pada satu lubang kecil di tengah benda itu."Tapi tidak ada kuncinya.""Mungkin Kakek dan Nenekmu tahu.""Hmm ... benar juga." Shaw menanggapi dengan lesu perkataan Bold barusan. Kakek dan neneknya mungkin tahu, tapi masalahnya adalah ... apakah mereka akan memberikan kunci itu padanya jika mereka tahu dan memilikinya? Sisi muara pikiran buruk dan cemas menghinggapi isi kepala Shaw; gundah ia dibuatnya."Eeeehhhh ... kenapa masih di situ?" Satu dari dua yang baru saja dibicarakan datang. Panjang umur Gracie yang muncul dari pintu, mencari keduanya. "Ayo masuk, hari sudah gelap," ujarnya lagi.Shaw dan Bold saling berpandangan sesaat, lalu berjalan mengikuti Gracie."Nah, ada satu kamar lagi yang kosong, sudah Nenek bersihkan. Bold bi
Atmosfer terasa lebih ramah. Irama dari ranting-ranting dan dahan oleh angin terdengar lebih wajar dibandingkan tadi. Shaw makin yakin, semua karena Morth. Atmosfer, halusinasi, entah apa lagi yang Morth sebabkan. Satu pertanyaan besar dalam benak Shaw, siapa Morth sesungguhnya? Mengapa seisi jenggala sunyi hingga seluruh penjurunya seakan-akan berada di bawah kaki tangan Morth?โKau pikirkan aku?โ Morth tiba-tiba bertanya. Rupanya ia mengekori Shaw.Huh? Apa Morth juga bisa membaca pikiran?Shaw menengok ke belakang, langkahnya melambat. โJangan katakan kau dapat menembus kepala orang.โโKau banyak bertanya, belum tuntas seluruhnya.โ Morth mensejajarkan diri. Sejenak, ia melihat Shaw dari atas ke bawah. โOrang keras kepala seperti kau tentu akan merenungkannya. Aku benar, bukan?โโKita baru saling tahu beberapa saat lalu dan kau yakin sekali dengan kata-katamu. Antara kau pandai menilai atau hanya pandai berasumsi.โ Shaw menggeleng. Pandangan ia tujukan ke depan.Morth menyentuh leng
Tanduk. Hal pertama yang dilihat oleh Shaw dari sumber suara adalah tanduk, tersembunyi di antara dedaunan semak belukar setinggi pinggang orang dewasa.Shaw mengernyit, kemudian bergumam lirih, nyaris tak bersuara, "Itu seperti tanduk rusa."Sepasang mata semerah darah terlihat dari celah dedaunan. Shaw menelan ludah. Ia tahu betul itu bukan mata hewan biasa, apalagi manusia. Tidak ada satu pun penduduk desa yang pernah ditemuinya memiliki mata seperti itu.Mungkinkah ini yang Fu maksud? Apapun itu, merasakan haki tidak biasa dari sang sosok misterius membuat Shaw merasa dirinya tidak boleh berlama-lama.Diliputi kewaspadaan dan dengan suara tercekat, ia berucap dalam hati, "Aku harus segera pergi dari sini."Tanpa melakukan pergerakan yang kentara serta dengan posisi kepala yang masih sama, tatapan Shaw menyisir sekitar; memastikan tidak ada keanehan lain. Ia yang semula berjongkok pun perlahan berdiri sepelan mungkin. Namun, bak lelah bermain petak umpet, ransel yang Shaw gendong m
"Tetap tidak bisa! Terlalu berbahaya. Kau kan tahu lebih baik daripada aku, Tibate." Fu mengangkat kepala, menatap lurus Tibate dan Baldor. Ini bukan waktu yang tepat, pikir Fu. "Lagi pula aku bisa menjaga diri. Akan kupanggil kalian jika hal buruk terjadi dan aku tidak bisa mengatasinya.""Kau bisa tinggal, Fu. Aku akan melanjutkan perjalananku seorang diri," sela Shaw, angkat bicara setelah menimang-nimang."Tidakโ""Aku juga akan meninggalkan kudaku di sini." Shaw menepuk pundak Fu. Ia serius ingin Fu tinggal. "Bold bilang ada danau dan tebing. Jadi, aku tidak bisa membawa kudaku. Selain itu, kau bisa mengawasi keadaan hutan dan mengabariku. Kau juga terluka, Fu. Jangan bersikeras seolah kau baik-baik saja. Bagaimanapun kau juga masih anak-anak."Ini adalah tugas Shaw. Sejak awal, Shaw memulainya sendiri, dan ia harus melanjutkannya sendiri. Shaw tidak ingin merepotkan.Fu berdecak, tidak terima, tetapi juga tidak menyangkal ataupun menyanggah. Bertemu Baldor dan Tibate membuatnya
Pria berjanggut memperhatikan sambil mengusap-usap janggut dan kumisnya. Saat otaknya mengingat sesuatu tentang Fu, matanya seketika melebar."Kau ingin aku mencincangmu, hah?!" Tibate berseru.Setelah ikan bakarnya rusak, sekarang dirinya yang nyaris terbakar. Pria plontos itu tidak terima.Tibate menghentak tanah dengan kakinya, bergantian kaki kanan dan kaki kiri. Pegangannya pada gagang pedang semakin erat dan erat.Fu melompat mundur, mengambil sikap siaga dan meningkatkan kewaspadaannya. Ia siap dengan apapun yang akan Tibate lakukan untuk membalasnya.Sebelum Tibate menyerang balik, pria berjanggut yang masih menggenggam keranjang bambu itu berjalan ke depan Tibate, lalu berdiri memunggungi Fu dan Shaw."Kau mau dikutuk atau sudah bosan hidup?!" tanyanya."Apa maksudmu? Kalau kau hanya ingin aku berhenti memberi anak itu pelajaran, sebaiknya kau minggir!" balas Tibate."Kau tahu kau sedang berhadapan dengan siapa? Kau tidak berencana mengingkari janjimu pada Jenderal Besar, 'ka
"Apa kau sedang bercanda?" Tibate mendengus kasar. Ia tampak tidak suka.Pria plontos itu tahu dirinya sudah hidup lama, tetapi bukan berarti ingatannya menua. Ia tahu ingatannya masih berfungsi dengan sangat baik. Ia sangat meyakini itu."Aku tidak bercanda," sanggah Fu, berkacak pinggang. "Kau memberitahukannya sendiri padaku saat aku memberimu buah persik. Kalau kau masih tidak ingat, berarti ada yang salah dengan ingatanmu," imbuhnya.Buah persik?Tibate mengerutkan kening. Ia merasa tidak asing, tetapi tidak mengingat apapun."Sudahlah. Lebih baik kalian pulang sekarang, dan akan kuanggap ini tidak pernah terjadi," ujar Tibate seraya memasang wajah serius."Tidak bisa!" Shaw berseru. "Aku harus pergi ke tenggara!""Ya. Kami tidak bisa kembali ke desa saat ini," Fu menimpali.Tibate memukulkan ujung pedangnya ke tanah, menimbulkan gelombang angin yang kencang. Dedaunan dan batu kerikil tersapu, begitu pun Fu dan Shaw yang ikut terpental."Aduh ...." Shaw mengerang, berusaha bangun
Menjelang pagi, suara kehidupan awal sekali menggaung. Beberapa penduduk desa sudah mulai melakukan aktivitas mereka. Sebagian di dalam rumah, sebagian di luar rumah.Satu di antara manusia yang telah lepas dari peraduannya adalah Wilton. Ia bertugas pagi kali ini."Selalu rajin, ya." Zander berkomentar. Kuda-kuda di kandang bersuara antusias saat Zander memberi mereka makan."Tidak juga. Aku hanya tidur cukup nyenyak semalam, dan tubuhku merasa lebih segar saat aku bangun. Jadi, ya, mungkin lebih bersemangat," sahut Wilson seraya terkekeh kecil."Padahal kau hanya tidur sebentar, 'kan, semalam," Celetuk Zander. Tangannya cekatan melipat karung-karung rumput yang sudah kosong.Wilton tersenyum cerah menanggapinya. Ia memeras kain yang dipakai untuk mengelap kuda yang akan ia pakai untuk mengantar Bailey ke sekolah."Sebentar pun tetap saja namanya tidur, Zan," kata Wilton, keluar dari kandang sambil membawa kain basah dan ember hitam kecil."Ya, tidak salah."Suara derap kaki nyaring
"Ada yang menarik perhatianmu, Vid? Aku sampai mengantuk menunggumu." Bailey menimpali."Ah, maaf maaf .... Tadi ada yang harus kulakukan. Ada sesuatu! Jadi, aku kembali lebih lama," ujar Avidius seraya tersenyum canggung.Avidius adalah cucu Barid. Ia satu sekolah dengan Leonere."Sesuatu apa?" Leonere bertanya.Avidius, remaja berkulit putih kemerahan dengan senyum manis dan lesung pipi itu mengeluarkan sebuah kain merah dari saku pakaian di balik jubahnya. Saat kain dibuka, Leonere dan Bailey membulatkan mata melihat benda yang terpampang di sana."Bukankah ituโ" Kata-kata Leonere terhenti. Ia mendekat tergesa dan memegang benda yang ditunjukkan Avidius. "Ini kan ....""Dari mana kau menemukan itu?" tanya Bailey yang juga mendekat.Avidius melirik ke arah belakang sesaat, memastikan sekitarnya aman. Senyumnya pudar seketika."Dari hutan barat laut. Aku menemukannya tadi," bisik Avidius, tampak serius.Bailey dan Leonere tercengang lalu saling menatap. Pikiran keduanya seolah tersam
"Tidak ada yang gratis," sahut Fu seraya menyeringai tipis.Shaw berdecak. "Kubayar dengan manisan.""Apa itu? Tidak cukup! Informasiku sangat mahal, kau tahu.""Ck, kubayar dengan makanan lain. Kau bebas memintanya, dan aku akan membuatkannya untukmu," tawar Shaw.Fu menyeringai penuh kemenangan kini. Sebuah siasat terlintas di benaknya."Bisa dipertimbangkan," kata Fu. Sesaat kemudian seringai di wajahnya hilang, berganti raut serius. "Kurangi kecepatan kudanya. Melewati batang pohon besar di depan itu, buat kudanya berjalan biasa.""Huh? Oke."Shaw percaya pada Fu. Ia mengikuti instruksi Fu tanpa ragu.Pohon-pohon besar yang dimaksud Fu berada 20 meter dari mereka. Warna pohonnya gelap, seolah melambangkan sesuatu yang misterius dan tampak mati. Pepohonan itu seakan telah terbakar. Meski begitu, dedaunannya sangat rimbun.Melewati dua pohon besar tersebut, kuda memasuki jenggala yang lebih gelap dan sunyi dari sebelumnya. Sekeliling tampak benar-benar gelap dengan aura yang terasa
"Ya sudah." Eroth menghela napas.Selain belajar bersikap baik pada budaknya, Eroth pun belajar untuk tidak memaksakan kehendak. Ya, itu sungguhan, bukan sandiwara yang dibuat-buat.Di depan mereka, Aaban mendengarkan dalam diam. Komandan itu sibuk dengan pikirannya.Menjelang ujung dari jenggala ketiga, Fu tiba-tiba berujar. Suaranya terdengar serius di telinga Shaw."Berhenti, Shaw."Shaw menghentikan laju kuda dan melirik Fu. "Ada apa?""Kita ambil jalan lain," tukas Fu."Kenapa? Ada apa dengan jalan ini?""Ada sesuatu di depan. Hakinya tidak jauh berbeda dengan Kaye dan teman-temannya.""Ha?"Shaw menatap lurus, lalu memejamkan mata. Ia mencoba merasakan haki di depan, tetapi tidak merasakan atau melihat apapun."Aku tidak merasakan apapun," kata Shaw seraya membuka mata.Fu berdecak dan memegang kedua pundak Shaw. Aliran haki mengalir dari tangannya."Coba lihat lagi," kata Fu. Shaw mengiyakan.Bayangan sosok berjumlah lebih dari 10 terlihat di kejauhan di depan, dengan haki yang