"Tidurlah dengan nyenyak ...." ucap Spencer lirih. Mengusap lembut kepala Shaw.
Perapian di dapur sudah dinyalakan. Berat Spencer dan Gracie melajukan tungkai ke kamar, meninggalkan Shaw terbaring sendiri; bermalam di ranjang kayu di dapur, tanpa selimut. Bukan tak ada, hanya saja tak bisa dipakai sesuai fungsinya. Luka di punggung Shaw belum pulih.
Derit pintu terdengar, menandakan Spencer dan Gracie sudah masuk ke ruang peristirahatan mereka. Perlahan Shaw membuka mata, mengerjap tak bersuara. Otak dan batinnya mulai kembali riuh. Kalbu merapal pelajaran yang disampaikan Bailey petang tadi.
"๐๐ข๐ฌ ๐ข๐ฅ๐ข ๐ฑ๐ฆ๐ฏ๐บ๐ข๐ฌ๐ช๐ต ๐บ๐ข๐ฏ๐จ ๐ต๐ข๐ฌ ๐ฃ๐ช๐ด๐ข ๐ฅ๐ช๐ด๐ฆ๐ฎ๐ฃ๐ถ๐ฉ๐ฌ๐ข๐ฏ ๐ฌ๐ฆ๐ค๐ถ๐ข๐ญ๐ช ๐ฌ๐ฆ๐ฎ๐ข๐ญ๐ข๐ด๐ข๐ฏ. ๐๐ข๐ฌ ๐ข๐ฅ๐ข ๐ฐ๐ฃ๐ข๐ต ๐บ๐ข๐ฏ๐จ ๐ต๐ข๐ฌ ๐ฃ๐ฆ๐ณ๐จ๐ถ๐ฏ๐ข ๐ด๐ฆ๐ญ๐ข๐ช๐ฏ ๐ฌ๐ถ๐ณ๐ข๐ฏ๐จ๐ฏ๐บ๐ข ๐ฑ๐ฆ๐ฏ๐จ๐ฆ๐ต๐ข๐ฉ๐ถ๐ข๐ฏ." Hanya sebuah kata mutiara dari Ibnu Sina, yang Bailey hafalkan dari buku yang ia baca. Tentu bukan buku sekolah, melainkan buku ilegal. Ya, ilegal, karena buku tersebut adalah selundupan. Dipesan khusus oleh Edvard dari temannya di negeri seberang; hadiah atas keberhasilan Bailey menghafal satu buku medis bersama detailnya, hanya dalam kurun waktu sepekan.
Sengaja Bailey menghafalkan bagian itu, untuk menyemangati Shaw agar lebih bersemangat untuk sembuh. Mengingat ucapan Edvard hari sebelumnya, yang mana membuat Bailey tak bisa membayangkan bagaimana Shaw menjalani hari dengan luka separah itu. Karena Bailey tahu benar seperti apa Shaw .... Anak lelaki bersurai hitam pekat berwajah ketimuran itu bukan tipe yang senang berdiam diri dan beraktivitas di tempat.
Di hari biasanya, Bailey lebih sering melihat Shaw di tebing batu timur untuk berlatih di pagi buta sembari menunggu mentari, lalu di ladang membantu Spencer saat siang hari hingga menjelang sore, barulah setelah itu Shaw berada di rumah.
Malam kian larut. Shaw masih dengan posisinya, terpekur pada perkataan Bailey. 'Aku harus lebih yakin pada diriku sendiri, aku akan sembuh dengan cepat!' Shaw membatin. Lalu memikirkan bagaimana caranya untuk kembali ke pesisir barat, kemudian meringis sejenak karena nyeri lukanya terasa lagi.
Tubuhnya masih terlalu perih untuk ia gerakkan lebih banyak, apa lagi jika membalik badan dan tidur terlentang seperti biasa.Ditenggelamkannya kepala pada lipatan tangan di atas bantal, membawa serta jiwanya. Dalam pejam ia melangitkan harap; semoga tas pemberian Daniel tak berpindah dari tempatnya.
"Benar, anak itu sudah kembali ke rumahnya. Tuan muda yang membebaskannya," ujar seseorang dengan coat coklat susu.
"Artinya, benarlah kabar burung kemarin sore. Tuan muda dan anak itu, memang, dekat," sahut seseorang di seberang meja. Pria dengan coat peach dan syal merah.
"Lantas, apa yang akan kita lakukan?" tanya seorang pria di kursi paling ujung; menopang dagu. Ia mengenakan kemeja putih panjang berbalut rompi hitam polos dengan coat navy yang disampirkan di kepala kursi.
Ruangan dengan pencahayaan sederhana dari lentera berpancarkan cahaya oranye itu seolah ikut berpikir; senyap namun sibuk. Keheningan di luar membuat siapapun harus menjaga intonasi suara; jika sedang membicarakan hal berbau rahasia dan tidak ingin dicuri dengar orang lain di luaran. Payoda segelap malam berkumpul; menyembunyikan kemilau bintang, seolah tak mengizinkan warna mereka untuk eksis; ikut serta menghias nabastala.
"Dia masih kecil. Sementara biarkan dahulu. Daniel mungkin saja akan kembali untuk menjemput anak itu, atau membawa orang untuk melakukan sesuatu pada Zanwan. Meski kuyakin, untuk pilihan kedua, kemungkinannya kecil untuk sesuatu yang buruk. Tapi untuk melakukan itu, Daniel pasti memikirkannya matang-matang ... yang artinya membutuhkan waktu." Pria lain di hadapannya bersuara. Ia yang paling muda, usiaunya genap 32 tahun beberapa bulan lalu. Coat hitamnya sempurna memancarkan kharisma parasnya yang rupawan.
"Tapi, bagaimana jika Shaw bertindak? Anak itu bisa saja melakukan hal gila. Keberaniannya untuk tidak lari dan justru membiarkan dirinya sendiri ditangkap adalah gambaran yang jelas." Pria bersyal merah melontarkan tanya.
"Itu-" Pria termuda di antara mereka menyesap teh chamomile di cangkir kecil bercorak biru yang indah; cangkir langka peninggalan dinasti china terdahulu. "... bukankah kita bisa membicarakannya lagi nanti?"
"Aku setuju. Membicarakannya sekarang hanya membuang waktu. Sebagaimana pun dan apapun yang bocah itu lakukan, tidak akan melampaui batas. Dan jika pun itu terjadi, kita bisa menjeratnya ke dalam jeruji. Ingat, bocah itu keluar dari dungeon sebelum menyelesaikan hukuman. Ini juga poin yang bagus untuk menekan Tuan Hunt, jika di kemudian hari menunjukkan dukungan dan perlawanan seperti yang dia lakukan di masa lalu," timpal pria dengan coat cokelat susu. Diteguknya teh sampai tak bersisa.
Lilin merah tepat di tengah meja hampir habis. Keempat pria itu mengangguk sepakat untuk menyudahi pertemuan rahasia mereka. Tiga dari keempatnya bangkit; bergantian keluar melalui pintu belakang. Memajukan topi mereka, menengok kanan kiri lalu bubar; melangkah ke kediaman masing-masing. Satu pria tersisa kembali menyesap tehnya. Nampak tenang tanpa suara sampai tegukan terakhir. Beberapa detik kemudian ia berdiri, berjalan ke ruangan lain; memerintahkan pelayan untuk membereskan meja.
'Aku harus terus memantau mereka.' Seseorang membatin, keluar perlahan dari lemari di samping meja.
Kasak-kusuk di Zanwan masih belum reda, bahkan terkesan semakin panas; menjadi gosip diam-diam di kalangan penduduk dari dua distrik. Mereka yang belum tahu bagaimana rupa Shaw pun dibuat penasaran ... bersamaan dengan tanda tanya mereka akan keakraban bocah lelaki itu dengan sang tuan muda.
"Biar kubantu, Kek." Shaw meletakkan ember berisi air 5 meter dari Spencer. Mengambil gayung di dalamnya lalu mulai menyiram tanaman tomat yang terjejer rapi di hadapan.
"Berhati-hatilah ... lukamu belum sembuh benar. Jangan dipaksakan. Hanya untuk melatih badan saja, biar tidak kaku." Spencer menoleh ke samping; memperhatikan cucunya beberapa saat, kemudian kembali meneruskan kegiatannya memotong rumput liar di sekeliling tanaman wortel di depannya. Ia tak bermaksud membiarkan Shaw membantunya, pun tak ingin melarang. Beberapa hari hanya berdiam diri di rumah tentu membuat anak itu bosan. Sedikit olahraga akan bagus untuk kesembuhannya.
"Kakek, mengapa kebanyakan buah akan berwarna oranye gelap atau kemerahan ketika sudah masak?" Shaw menaruh kembali gayungnya ke ember. Berjongkok, memegang satu buah tomat yang kemerahan di salah satu dahan sembari memperhatikannya dengan tomat yang berwarna hijau kekuningan di pohon samping tomat yang sudah memerah.
Spencer melirik. Tersenyum dan menjawab.
"Karena, memang, seperti itu siklusnya. Seperti manusia.""Seperti ... manusia?" Shaw memiringkan kepala dengan dahi berkerut.
Spencer mengambil keranjang kecil dan berjalan ke rumpun pohon buah lain, beberapa meter dari jejer tanaman wortel.
"Benar, seperti manusia."Beberapa buah jeruk sankis yang sudah masak berpindah tempat dari tangkai ke keranjang bambu. Spencer terus memilah jeruk untuk dipetik, mengambil napas sejenak lalu meneruskan, "Hijau itu berarti baru, tunas muda yang masih segar. Kuning perlambang kegembiraan, riang senang dan penuh semangat. Oranye adalah peralihan, dari keceriaan yang bertemu inginnya. Sedang merah adalah bara, tekad yang menemukan tujuannya ... perlambang jiwa yang menyala, telah siap melepaskan diri dari tempat asalnya dan menyelami dunia lepas."
"Begitu, ya ...." Anggukan kecil diberikan. Mengerti akan penjelasan Spencer. Detik berikutnya, Shaw mengangkat kepala, menoleh ke belakang; merespon panggilan sang nenek untuk sarapan. Daksanya kembali tegak, sembari menenteng ember yang telah kosong airnya. Menderap beriringan dengan Spencer; memasuki rumah.
"Nenek akan pergi ke perkampungan bersama Kakek. Kau tetaplah di rumah, jangan ke mana-mana." Gracie mengingatkan. Menutup pintu kamar dan menghampiri Spencer di ruang depan bersama seorang warga distrik Acilav. Shaw mengekor di belakangnya.
"Ingat, jangan ke mana-mana." Sekali lagi Gracie mengingatkan. Mengusap kepala Shaw seraya melemparkan senyum hangat. Shaw mengangguk, balas tersenyum. Melambaikan tangan pada Spencer yang berhenti dan berbalik untuk menutup pagar kayu setelah memajukan gerobak sayur yang didorongnya, dan menyempatkan menoleh pada Shaw barang sesaat.
Penduduk distrik Acilav mengenal Spencer sebagai penjual yang biasa menjajakan hasil kebunnya beberapa hari sekali di pasar. Sementara istrinya, Gracie, dikenal sebagai yang berpengalaman dalam membantu persalinan para ibu yang hendak melahirkan.
"Aku ingat menyimpannya di sini."
3 tumpuk pakaian teronggok di atas ranjang. Shaw berjongkok di depan lemari, memasukkan sebagian tubuhnya ke dalam. Merogoh sudut demi sudut dengan tangan kanan.
"Ini dia!" serunya. Girang. Mengusap gulungan kertas putih sepanjang 100 cm.
Beberapa barang di atas meja dipindahkan ke atas ranjang, bergiliran dengan 3 tumpuk pakaian tadi yang sudah kembali tertata rapi di lemari.
Gulungan dihamparkan di meja, menampilkan gambaran laiknya peta; denah Zanwan.Telunjuk tangan kanan bergerak ke arah barat; menyusuri sungai perbatasan. Matanya memperkirakan; berpindah-pindah antara peta dan arloji yang tergenggam di tangan kiri.
"Hmm ...."
"Penjagaan di selatan lebih ketat ... aku tidak mungkin ke sana. Tapi jalan yang kulewati kemarin lalu bersama Kak Daniel pun tidak bisa kulewati lagi ... penjagaannya pasti ditambah." Mulutnya bergerak, bersahutan dengan pikirannya.".... Hilir sungai perbatasan di barat lebih mudah dicapai, tapi membutuhkan waktu lebih lama. Dan tentu penjagaannya pasti ditambah juga."Shaw menegakkan diri; melipat tangan, mengetuk-ngetuk pelan hidungnya dengan jari telunjuk tangan kanan. Pandangannya masih terarah pada peta, mencari celah sembari otaknya memikirkan cara terbaik untuk sampai ke pesisir dan kembali tanpa ketahuan; secepat mungkin. Sesekali meringis ia, merasakan gelenyar perih di punggungnya.Beberapa hari beristirahat total dengan makan dan obat teratur membuat lukanya berangsur membaik dengan cepat, namun belum bisa dikatakan sembuh 50%."Aha!" Shaw mengangkat jari telunjuk tangan kanannya. Matanya melebar cerah menanggapi ide yang terlin
"Baiklah, apa saja yang perlu kubawa untuk nanti?" Shaw bertanya pada dirinya sendiri. Melangkah lebar-lebar dengan riang dan semangat menuju kamar."Sepertinya aku harus mencatatnya dulu," ucapnya. Menghampiri meja dan meraih buku catatan. Namun tangannya terhenti saat matanya menatap sesuatu yang tidak asing. Tas pemberian Daniel!Mata Shaw membulat. Diraih lalu dirabanya tas yang terpampang di hadapan. Dicek pula isinya. Lalu dimiringkan ke depan, kiri, kanan, belakang. Memastikan itu adalah tas yang sama."Ini tas dari Kak Daniel!" ujarnya dengan nada tidak percaya."Tapi bagaimana bisa ada di sini? Siapa yang membawanya ke sini?" tanyanya. Mengangkat kepala melihat ke jendela yang tertutup. Keningnya berkerut."Aku." Sebuah suara muncul dari belakang. Shaw membalik badan; menatap waspada namun juga penuh tanda tanya pada sosok misterius yang bersandar pada lemari."Siapa?" tanya Shaw penasaran.Sosok itu maju bebera
'Tetap pergi atau batalkan?' Gundah Shaw dalam hati. Tujuan utama pergi mencari panasea dan mengajak Bold adalah agar bisa kembali ke barat daya dan mengambil tas pemberian Daniel, tapi sekarang tas itu sudah kembali padanya."Jadi, kalian akan langsung pergi?" Spencer meletakkan sebuah keranjang penuh apel merah yang sudah dicuci. Ia masukkan apel itu ke dalam dua wadah."Benar, Kek. Kami akan langsung pergi ... biar tidak kesorean nanti pulangnya, soalnya ini sudah mau siang." Shaw menjawab. Merapikan pakaiannya. 'Pergi sajalah ... aku sudah terlanjur bilang, Bailey pun pasti sudah mengatakan itu pada orangtuanya.'"Ya sudah, berhati-hatilah. Ini ada apel yang sudah masak. Kakek memetiknya pagi-pagi sekali hari ini," ujar Spencer. Memberikan sekantung apel merah pada Bailey dan Edvard."Terima kasih, Kek." jawab Bailey dan Edvard.Kuda berpacu menjauh, membelah jenggala. Menuju distrik Aloclya.Shaw menengok ke arah kiri saat s
"Yeayy!!" Shaw melompat riang. Membuat Bailey dan Bold sedikit terkejut. "Bold mau!" serunya. Tersenyum senang."Tidak." Bold menjawab. Membuat air muka Shaw berubah. Ia menunduk murung."Aku akan berubah pikiran kalau kau bisa menjatuhkan pedangku." Bold menambahkan.Shaw mengangkat wajah, mengukir kembali senyumnya."Bertarung?" tanyanya."Shaw belum sembuh benar ... biar kugantikan." Bailey mengusulkan."Tidak apa, Bailey .... Tidak masalah," ujar Shaw kemudian. Mundur beberapa langkah dan mencabut pedang dari sarung di sisi kiri."Haah ... ya sudah." Bailey mengalah. Menepi; membiarkan Shaw dan Bold melanjutkan. Beberapa prajurit di sana menoleh ketika mendengar pedang Shaw dan Bold mulai beradu, kemudian mendekat dan menonton di tepian; penasaran siapa yang akan menang. Ini adalah momen langka bagi mereka juga Bailey. Ia bisa melihat bagaimana Shaw menggerakkan pedangnya jika bertarung dengan orang lain selain
"Shaw. Namaku Shaw.""Hanya Shaw?" tanya Baldric lagi. Shaw mengangguk."Hmm ... baiklah, silakan diminum." Baldric duduk. Mengambil gelas berisikan air jeruk manis dan meminumnya."Tuan Muda ... terima kasih sudah beranjang dan membawa Shaw serta.""Hum. Jadi, kenapa Profesor ingin bertemu Shaw?" Bailey tidak bisa menahan diri lagi untuk tidak mengajukan pertanyaan yang muncul dalam benaknya sejak pagi."Saya hanya ingin melihat secara langsung. Ah, kalian pasti belum makan ... mari kita makan!"Baldric berdiri, menggandeng tangan Bailey dan Shaw hingga keduanya mau tak mau berdiri mengikuti. Sedang Bold tetap diam di tempat. Dalam benaknya, Bold berpikir bahwa dirinya tidaklah pantas untuk ikut serta. Di ruang tamu, mereka semua bisa duduk dalam jajar dan tinggi kursi yang sama. Tapi di meja makan, itu adalah hal lain lagi ... tempat yang berbeda.Baldric menolehkan kepala. Melempar senyum hangat pada Bold yang tak ber
Dunia sedang tertidur. Pekat malam menyelimuti raga dalam lelap, menemani sukma dalam bunga mimpi."Siapa kau?"Mata bulat hitamnya menyipit mencoba menyingkap entitas di balik jubah dan topeng hitam sesosok di depan jeruji. Sisi lain memperhatikan gerak jemari sang sosok yang tampak menggerakkan sesuatu. Sebuah kunci.Temaram lentera menghasilkan siluet sang sosok yang justru semakin menyembunyikan dirinya. Hanya berupa bayang hitam yang mengecewakan."Mau apa kau?"Matanya terus mengawasi, sementara daksa memasang kuda-kuda. Tubuh yang melemah kehilangan banyak tenaga oleh luka ia abaikan. Tungkai mundur merapat dinding, bersamaan sang sosok yang berhasil membuka gembok yang mengunci pintu jeruji besi. Melangkah masuk mendekat pada gelapnya ruang.Dan apa yang akan kau temui di pekat lain saat diri memutuskan terjaga di titik tergelapnya malam? Ketika kau tahu bahwa pekat malam menyimpan berjuta misteri. Semua hal bisa
"Apakah Anda terluka, Tuan muda?" Orang yang memanggil Bailey bertanya."Aku tidak apa-apa, Bexter. Tapi kudaku sepertinya tidak bisa berdiri." Bailey menjawab pelan; melihat ke arah sosok misterius yang tersisa. Satu prajurit mengunci kedua tangan orang itu dengan rantai. Sesaat mata keduanya bersirobok saat sang sosok didorong untuk berjalan; melewati Bailey. Sementara keempat orang lainnya yang sudah tidak bernyawa dibopong di pundak oleh empat prajurit berbadan kekar.Bexter menoleh pada kuda Bailey, lalu memerintahkan prajurit lain untuk mengobatinya."Biar prajurit membawa kudanya ke mansion nanti. Tuan muda, oh-! Leher Anda terluka!" Bexter berseru terkejut sekaligus panik. Guratan lukanya tidak besar dan dalam, bahkan tipis. Tapi masalah yang akan timbul karenanya itulah yang membuat Bexter lebih panik. Karena pasti akan ada lebih dari satu punggung yang menerima cambukan nantinya.Bailey meraba lehernya, melihat darah di tangannya d
"Bentuknya seperti peti. Kau tahu ini apa, Bold?"Benda di tangan disodorkan pada Bold agar bisa melihat lebih jelas."Kurasa, memang, peti. Ada tempat kunci, lihatlah." Bold menunjuk pada satu lubang kecil di tengah benda itu."Tapi tidak ada kuncinya.""Mungkin Kakek dan Nenekmu tahu.""Hmm ... benar juga." Shaw menanggapi dengan lesu perkataan Bold barusan. Kakek dan neneknya mungkin tahu, tapi masalahnya adalah ... apakah mereka akan memberikan kunci itu padanya jika mereka tahu dan memilikinya? Sisi muara pikiran buruk dan cemas menghinggapi isi kepala Shaw; gundah ia dibuatnya."Eeeehhhh ... kenapa masih di situ?" Satu dari dua yang baru saja dibicarakan datang. Panjang umur Gracie yang muncul dari pintu, mencari keduanya. "Ayo masuk, hari sudah gelap," ujarnya lagi.Shaw dan Bold saling berpandangan sesaat, lalu berjalan mengikuti Gracie."Nah, ada satu kamar lagi yang kosong, sudah Nenek bersihkan. Bold bi