"Kau yakin dengan keputusanmu, Shaw? Aku hanya mengajak, tidak memaksa." Seorang remaja tengah fokus merapikan barang-barang yang akan dibawa, menyusunnya rapi ke dalam tas.
"Hum!" Shaw mengangguk mantap.
"Baiklah. Tapi ingat yang kukatakan! Segera pergi begitu aku naik helikopter. Atau, setidaknya segera pergi begitu helikopter mengudara. Mengerti?" Daniel menoleh, bertanya lagi. Masih terlihat guratan ragu padanya, mengingat rencananya ini sangat beresiko. Shaw mengangguk kembali.
"Kita akan menyusuri perbatasan distrik Aloclya dan distrik Acilav di sisi barat. Sekolah, jembatan, rumah sakit, beberapa rumah makan dan rumah penduduk masih dalam tahap perbaikan di dekat perbatasan itu. Jadi, orang lain yang tidak berkepentingan dilarang untuk ke sana ... dan di sana akan sepi saat malam hari. Hanya beberapa pengawal yang berjaga." Daniel menjelaskan hati-hati. "Kau tahu, 'kan, resikonya? Jadi, sekali lagi aku bertanya padamu, kau yakin ikut? Karena jika kau ikut, maka kita akan pergi berdua ... lalu kau akan pulang sendirian," imbuhnya.
Shaw mengangguk, lagi. Ia sudah memikirkan masak-masak. Ini adalah kesempatan langka, tidak ada orang yang berani merencanakan dan melakukan ini selain Daniel.
Remaja 17 tahun itu mengajukan izin untuk melanjutkan sekolah ke negeri seberang, tetapi izin yang diinginkannya tak bersambut dengan baik; permohonan izin Daniel ditolak.
Ada beberapa alasan mengapa petinggi desa alot untuk mengizinkannya ... dua di antaranya adalah karena Daniel bukan berasal dari distrik Aloclya, dan karena para petinggi desa merasa bahwa Daniel memiliki bibit pemberontak.
Hal ini berdasar pada catatan hasil belajar Daniel di sekolah, yang mana berulang kali ia menunjukkan sikap kontra terhadap sistem, aturan, kepemimpinan dan pemerintahan di Zanwan. Juga laporan mengenai keseharian Daniel di luar sekolah dari seorang mata-mata yang diutus selepas Daniel mengajukan permohonan itu.
Suara terbanyak dari penolakan tersebut adalah para petinggi desa yang tidak menginginkan perubahan lebih jauh terhadap Zanwan. Mereka tidak menginginkan adanya bibit-bibit pemberontak yang bisa mengancam posisi mereka nantinya. Kendati demikian, mereka sepakat mengakui jikalau Daniel adalah anak yang cerdas, berkemauan keras dan berpendirian teguh.
Terbukti dengan Daniel yang tetap bersikukuh mengatakan bahwa ia pasti akan keluar dari Zanwan. Pernyataan yang membuatnya diawasi dengan lebih ekstra. Namun benar adanya tentang fakta Daniel yang beredar luas itu, karena meski petinggi desa sudah mengirim lebih banyak mata-mata untuk mengawasi, Daniel masih bisa terlepas darinya. Seperti malam ini.
Setelah mengecek sekali lagi barang-barang yang dibawanya, Daniel menggendong satu ransel di punggung dan satu lagi di dadanya.
"Ayo, kita bisa pergi sekarang!" serunya.
Sempat terjadi perbincangan alot sesaat antara Shaw dengan kakek dan neneknya, hingga butuh beberapa menit lebih lama untuk meyakinkan kakek dan nenek agar mengizinkan Shaw ikut serta. Sampai akhirnya kakek dan nenek mengizinkan dan mereka pergi keluar rumah; mulai menjalankan rencana yang sudah disusun rapi.
Perbatasan distrik ditandai dengan sungai yang diapit dua hutan kecil, dengan hamparan rumput dan sawah mengapit jalanan yang menghubungkan kedua distrik.
Daniel dan Shaw berlari secepat yang mereka bisa tanpa menimbulkan suara apapun saat melewati padang rumput; penanda mereka sudah dekat ke perbatasan, berpacu dengan waktu dan sorot lampu dari para penjaga yang terus berputar mengawasi sekitar. Lalu keduanya berjalan mengendap, berhati-hati begitu memasuki kawasan yang dalam perbaikan akibat perang dengan para perompak beberapa waktu lalu. Sesuai perkiraan, keadaan sunyi sepi ... hanya ada beberapa pengawal yang berjaga.
Mereka melewati celah dinding tembok sekolah yang belum selesai direnovasi, kembali berlari saat melewati tanah lapang, mengendap lagi melewati restoran, masuk ke gang kecil rumah-rumah penduduk; merapat pada sisi dinding yang tidak terkena cahaya lampu. Berhenti dan melihat sekitar saat sampai di ujung bangunan sisi barat yang paling dekat perbatasan jenggala Zanwan, lalu berlari cepat menuju jenggala saat keadaan dirasa sudah aman.
"Bagaimana ini? Penjagaannya sangat ketat!" Shaw berbisik sangat pelan. Matanya jeli mengawasi gerak-gerik 5 jagawana yang bertugas di bawah; mengarahkan senter ke sekeliling. Sementara di atas menara, 3 orang memantau melalui sorot lampu menara yang jangkauan cahayanya lebih jauh dan lebih jelas. Shaw cemas, agaknya rencana mereka akan lebih sulit untuk diwujudkan. Benaknya. Otaknya berpikir keras apa kiranya yang harus ia lakukan jika ketahuan dan semua tak sesuai rencana. Karena untuk sampai ke jenggala saja mereka sudah kepayahan, ditambah harus melewati jenggala dengan banyak pos berjarak di sepanjang jenggala dan bibir pantai.
Memikirkan kemungkinan terburuk membuat Shaw lebih menajamkan pendengaran dan penglihatannya. Pelarian sangat dilarang di Zanwan, hukumannya tak main-main.
"6 menit lagi pergantian shift. Kita bisa melewati pos saat keadaan lengang. Terus perhatikan! Kudengar para jagawana yang bertugas di malam hari adalah yang terpilih, terbaik dari yang terbaik. Pendengaran mereka tajam, dan mereka sudah sangat terbiasa berada di alam bebas. Suara daun kering yang diremas dari jarak 50 meter pun bisa sampai ke telinga mereka," sahut Daniel. Berbisik tak kalah pelan, bahkan sangat pelan nyaris tak terdengar. Ia sama cemasnya dengan Shaw namun tak ia tunjukkan.
Shaw melotot mendengar penuturan Daniel di sampingnya, lalu matanya sesaat beralih pada sekitar kaki mereka. Memastikan tidak ada daun kering ataupun ranting di sana.
"Mereka sudah kembali. Hanya butuh 7 menit untuk jagawana berikutnya datang, jadi kita harus bergegas. Ikuti aku." Daniel melangkah cepat sambil berjongkok di balik semak belukar, diikuti Shaw. Tujuan mereka adalah pantai di barat daya, sudut yang cukup sepi dengan jenggala yang sangat lebat. Sempurna untuk mendukung rencana pelarian mereka.
Sesampainya di bibir pantai, Shaw mengedarkan pandangan menyusuri jenggala, sementara Daniel menyisir nabastala. Matanya melebar berbinar kala melihat sebuah helikopter mendekat lalu mendarat. Lampu menara akan kembali bergerak dalam 10 menit setelah dinyalakan. Cukup untuk helikopter mendarat, menunggu penumpangnya masuk, lalu kembali mengudara.
"Ini ambillah ...." Daniel menyerahkan satu tas berukuran sedang berwarna krem yang dia gendong di dada pada Shaw. Melihat Shaw mengerutkan kening tanpa menerima tasnya, Daniel meraih tangan Shaw lalu menyerahkan tas dan kembali berujar, "Ada beberapa benda di dalamnya. Semoga itu bisa bermanfaat untukmu."
"Dan, cepatlah!" Seorang pria menghampiri mereka dengan sorot mata khawatir. Ia menunjuk ke arah jenggala, tepatnya menara pengawas terdekat dari mereka. Lalu turun ke bawah, menunjuk jagawana baru yang sudah setengah jarak dari pos.
Daniel mengangguk, kembali menoleh menatap Shaw.
"Aku percaya padamu, Shaw. Kau mampu ... aku bisa melihat itu. Karenanya aku membawamu ke sini. Setelah ini kau harus segera sembunyi, dan pulang dengan aman." Shaw diam, mendengarkan dengan baik. Ia tahu, mungkin saja ini akan menjadi pertemuan terakhir mereka. Jadi Shaw ingin mendengar semua yang dikatakan Daniel, mengingat suara dan wajahnya.
Daniel memegang kedua pundak Shaw, menatap lekat anak lelaki yang sudah ia anggap seperti adik kandungnya sendiri.
".... Kau pasti bisa membebaskan Zanwan. Suatu saat nanti, orang-orang pasti akan mendengarkanmu. Dan untuk itu, kau harus bisa membebaskan dirimu dari jeruji tanah anarki ini. Hadapi dirimu dahulu ... ketakutanmu, kekhawatiranmu, keraguanmu, kegundahanmu. Menangkan perang di dalam dirimu dahulu, kuasai dunia di dalam dirimu, maka kau bisa meruntuhkan benteng Zanwan. Tanah anarki ini, kelak pasti bisa kau taklukan. Jaga dirimu baik-baik, Shaw ...."
Dipeluknya Shaw erat untuk sesaat sebelum naik ke helikopter. Ada rasa bersalah menyelimutinya. Daniel tahu benar, mengajak Shaw terlibat dalam rencana ini bukanlah sepenuhnya keputusan bijak. Meski Shaw sangat lincah dan cerdas, namun Shaw tetaplah anak-anak.
Melihat Shaw tak bergeming di tempatnya, Daniel menggunakan bahasa isyarat; menyuruh Shaw pergi. Tapi Shaw masih saja tak bergeming, menatap tenang dengan senyum pada helikopter yang mulai mengudara.
Shaw mengalihkan pandangan; menatap tas di genggaman, lalu berbalik dan menyembunyikan tas itu di semak-semak. Setelahnya, ia kembali ke posisinya semula; tersenyum menatap helikopter yang terus menjauh. Hingga akhirnya aksi mereka tertangkap oleh para jagawana yang kemudian melapor pada atasan mereka pun, Shaw tetap bertahan pada posisinya. Kedua tangan ia tautkan di belakang, mengambil sikap beristirahat ketika derap langkah lari para jagawana terdengar menuju ke arahnya.
"Cepat pergi dari sana, Shaw!!" Sekali lagi Daniel mengintruksi menggunakan bahasa isyarat, dan sekali lagi pula Shaw tak mengindahkan. Ia terus saja menatap dengan tenang dan tersenyum. Pias wajah Daniel dibuatnya kini.
"Jika resiko tertangkap adalah seperti yang kau ceritakan, maka anak itu akan berada dalam masalah serius. Dia antara bodoh dan keren, menyerah hidup atau memiliki ide gila." Seseorang yang tadi menghampiri Daniel bersuara. Dari kursi depan di samping pilot, ia terus memperhatikan Shaw.Daniel diam tak mengatakan apapun. Mulutnya seakan terkunci melihat Shaw membalasnya dengan bahasa isyarat, "Aku tak akan lari. Aku tidak pantas dan tidak akan pernah mampu menjadi penakluk Zanwan jika aku lari." Lalu kembali menautkan tangan di belakang."Apa yang kau lakukan, Bocah?!" Pekik tegas penuh amarah terdengar jelas dari arah belakang. Matanya memicing ke atas; menatap helikopter. Shaw berbalik, menatap tenang lima jagawana yang menghampirinya."Siapa yang di sana itu?" tanya ketua tim jagawana itu, masih memicingkan mata menatap helikopter yang terus menjauh. Tak mendapat jawaban, sang ketua menoleh pada Shaw. "Dan siapa namamu?"Shaw mengerjapkan mata, m
Note : Mulai dari bab ini ... mengandung unsur kekerasan, luka, dan darah! Mohon sikapi dengan bijak, yaa~!(๑˃̵ ᴗ ˂̵)وKalau tidak, tulis komen minimal 30 kata!( ̄へ  ̄)»»————>‧✧༺♡♡♡༻✧<————««Ctash!Suara cambukan memenuhi ruangan rustic itu, diiringi isak tangis pilu wanita paruh baya di sana; nenek Shaw.Pagi buta, seorang penduduk memberitahu kakek Shaw yang sedang memotong kayu di belakang rumah bahwa Shaw ditangkap dan dibawa ke dungeon, sedang nenek Shaw tengah memotong sayuran di ranjang kayu dekat pintu. Setelah mengunci pintu, kakek dan nenek bergegas pergi ke dungeon.Ctash!"Kenakalan apa lagi yang kau lakukan, hah?" Pria bertubuh tegap melangkah mendekat
Bailey mengabaikannya. Yang ada dipikirannya saat ini adalah cepat keluar dari dungeon."Hukum Zanwan, memang, tegas. Namun juga keterlaluan!" Seorang dari jeruji lain menimpali. Bailey terus berjalan tanpa menoleh ke kanan kiri."Mau bagaimana lagi? Memasukkan toleransi dan sedikit hati ke dalam hukum Zanwan bagaikan mengharap oasis di tengah padang pasir." Lagi, seorang pria bersua dari balik jeruji yang baru saja dilalui Bailey, Shaw, kakek dan nenek."Benar. Itupun jika mungkin. Para cecunguk itu tentu tak akan tinggal diam," timpal tahanan yang lain.Semua tahanan di lorong ini adalah lelaki. Sel jeruji bagi perempuan terpisah; guna mencegah hal yang tidak diinginkan. Ada juga penjaga dan pengawal wanita, tetapi jumlahnya masih sebatas hitungan jari. Sedikit sekali.Lagi, Bailey mengeratkan pegangan tangannya, menaiki tangga dengan hati-hati. Kakek Shaw kembali berjalan ke depan
Suara kekehan lolos dari bibir Shaw. Membuat Bailey, Edvard, dan Spencer menoleh. Gracie yang baru kembali dari ruang tamu menatap Shaw dengan terharu. Ia mendekat; membantu Shaw yang berusaha duduk."Kau bilang kau punya uang?" tanya Shaw. Menatap Bailey yang dibalas anggukan sang tuan muda.Lagi, Shaw terkekeh. Menampilkan sedikit deretan gigi putihnya."Kalau uang yang kau maksud itu adalah pemberian dari ayah atau keluargamu yang lain, kerabatmu, petinggi desa atau lainnya, maka urungkan niatmu. Bagimu itu uangmu, tapi bagiku itu bukan uangmu.""Kenapa?" Bailey menatap polos penuh tanya."Semua uang itu, bisa saja menjadi pemicu ... bahan bakar masalah di kemudian hari, dan kau mungkin saja akan tersudutkan. Aku tidak ingin ada resiko, perintah atau hukuman yang tidak berdaya untuk ditentang ketika kita seharusnya mampu melakukannya." Shaw menjelaskan."Aku mengerti. Kalau begitu aku akan bekerja dan menghasilkan uangku sendiri." Bailey me
Bailey berdecak."Ketahuilah, Ayah ... kebenaran adalah kebenaran. Tak ada seorangpun yang dapat membendung ketika kebenaran sudah tiba pada waktu untuk menunjukkan dirinya. Ayah tidak tahu, 'kan, apa yang sebenarnya diinginkan dan diharapkan penduduk Zanwan?" tanya Bailey seraya menatap lekat Ascal. Berharap ayahnya itu akan memahami maksud dari perkataan juga sorot matanya."Zaman sudah berubah. Aku menginginkan kebebasan sebagaimana orang lain menginginkannya." Suaranya lebih tenang kali ini.Sejenak Bailey menghela napas, mengalihkan pandangan; menatap roti di piring, lalu melanjutkan, "Akan kupikul beban berat di pundak Ayah. Aku ... Aku tak keberatan untuk menggantikan Ayah nantinya, meneruskan tahta Ayah seperti yang seharusnya. Aku tak keberatan mengorbankan hidupku untuk Zanwan, melupakan semua mimpi menjelajah dunia luar dan mengabdi pada Zanwan. Tapi--"Lagi, Bailey mengh
"Tidurlah dengan nyenyak ...." ucap Spencer lirih. Mengusap lembut kepala Shaw.Perapian di dapur sudah dinyalakan. Berat Spencer dan Gracie melajukan tungkai ke kamar, meninggalkan Shaw terbaring sendiri; bermalam di ranjang kayu di dapur, tanpa selimut. Bukan tak ada, hanya saja tak bisa dipakai sesuai fungsinya. Luka di punggung Shaw belum pulih.Derit pintu terdengar, menandakan Spencer dan Gracie sudah masuk ke ruang peristirahatan mereka. Perlahan Shaw membuka mata, mengerjap tak bersuara. Otak dan batinnya mulai kembali riuh. Kalbu merapal pelajaran yang disampaikan Bailey petang tadi."𝘛𝘢𝘬 𝘢𝘥𝘢 𝘱𝘦𝘯𝘺𝘢𝘬𝘪𝘵 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘢𝘬 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘥𝘪𝘴𝘦𝘮𝘣𝘶𝘩𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘤𝘶𝘢𝘭𝘪 𝘬𝘦𝘮𝘢𝘭𝘢𝘴𝘢𝘯. 𝘛𝘢𝘬 𝘢𝘥𝘢 𝘰𝘣𝘢𝘵 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘢𝘬 𝘣𝘦𝘳𝘨𝘶𝘯𝘢 𝘴𝘦𝘭𝘢𝘪𝘯 𝘬𝘶𝘳𝘢𝘯𝘨𝘯𝘺𝘢 𝘱𝘦𝘯𝘨𝘦𝘵𝘢𝘩𝘶𝘢𝘯." Hanya sebuah kata mutiara dari Ibnu Sina, yang Bailey hafalkan dari buku yang
"Penjagaan di selatan lebih ketat ... aku tidak mungkin ke sana. Tapi jalan yang kulewati kemarin lalu bersama Kak Daniel pun tidak bisa kulewati lagi ... penjagaannya pasti ditambah." Mulutnya bergerak, bersahutan dengan pikirannya.".... Hilir sungai perbatasan di barat lebih mudah dicapai, tapi membutuhkan waktu lebih lama. Dan tentu penjagaannya pasti ditambah juga."Shaw menegakkan diri; melipat tangan, mengetuk-ngetuk pelan hidungnya dengan jari telunjuk tangan kanan. Pandangannya masih terarah pada peta, mencari celah sembari otaknya memikirkan cara terbaik untuk sampai ke pesisir dan kembali tanpa ketahuan; secepat mungkin. Sesekali meringis ia, merasakan gelenyar perih di punggungnya.Beberapa hari beristirahat total dengan makan dan obat teratur membuat lukanya berangsur membaik dengan cepat, namun belum bisa dikatakan sembuh 50%."Aha!" Shaw mengangkat jari telunjuk tangan kanannya. Matanya melebar cerah menanggapi ide yang terlin
"Baiklah, apa saja yang perlu kubawa untuk nanti?" Shaw bertanya pada dirinya sendiri. Melangkah lebar-lebar dengan riang dan semangat menuju kamar."Sepertinya aku harus mencatatnya dulu," ucapnya. Menghampiri meja dan meraih buku catatan. Namun tangannya terhenti saat matanya menatap sesuatu yang tidak asing. Tas pemberian Daniel!Mata Shaw membulat. Diraih lalu dirabanya tas yang terpampang di hadapan. Dicek pula isinya. Lalu dimiringkan ke depan, kiri, kanan, belakang. Memastikan itu adalah tas yang sama."Ini tas dari Kak Daniel!" ujarnya dengan nada tidak percaya."Tapi bagaimana bisa ada di sini? Siapa yang membawanya ke sini?" tanyanya. Mengangkat kepala melihat ke jendela yang tertutup. Keningnya berkerut."Aku." Sebuah suara muncul dari belakang. Shaw membalik badan; menatap waspada namun juga penuh tanda tanya pada sosok misterius yang bersandar pada lemari."Siapa?" tanya Shaw penasaran.Sosok itu maju bebera
Atmosfer terasa lebih ramah. Irama dari ranting-ranting dan dahan oleh angin terdengar lebih wajar dibandingkan tadi. Shaw makin yakin, semua karena Morth. Atmosfer, halusinasi, entah apa lagi yang Morth sebabkan. Satu pertanyaan besar dalam benak Shaw, siapa Morth sesungguhnya? Mengapa seisi jenggala sunyi hingga seluruh penjurunya seakan-akan berada di bawah kaki tangan Morth?“Kau pikirkan aku?” Morth tiba-tiba bertanya. Rupanya ia mengekori Shaw.Huh? Apa Morth juga bisa membaca pikiran?Shaw menengok ke belakang, langkahnya melambat. “Jangan katakan kau dapat menembus kepala orang.”“Kau banyak bertanya, belum tuntas seluruhnya.” Morth mensejajarkan diri. Sejenak, ia melihat Shaw dari atas ke bawah. “Orang keras kepala seperti kau tentu akan merenungkannya. Aku benar, bukan?”“Kita baru saling tahu beberapa saat lalu dan kau yakin sekali dengan kata-katamu. Antara kau pandai menilai atau hanya pandai berasumsi.” Shaw menggeleng. Pandangan ia tujukan ke depan.Morth menyentuh leng
Tanduk. Hal pertama yang dilihat oleh Shaw dari sumber suara adalah tanduk, tersembunyi di antara dedaunan semak belukar setinggi pinggang orang dewasa.Shaw mengernyit, kemudian bergumam lirih, nyaris tak bersuara, "Itu seperti tanduk rusa."Sepasang mata semerah darah terlihat dari celah dedaunan. Shaw menelan ludah. Ia tahu betul itu bukan mata hewan biasa, apalagi manusia. Tidak ada satu pun penduduk desa yang pernah ditemuinya memiliki mata seperti itu.Mungkinkah ini yang Fu maksud? Apapun itu, merasakan haki tidak biasa dari sang sosok misterius membuat Shaw merasa dirinya tidak boleh berlama-lama.Diliputi kewaspadaan dan dengan suara tercekat, ia berucap dalam hati, "Aku harus segera pergi dari sini."Tanpa melakukan pergerakan yang kentara serta dengan posisi kepala yang masih sama, tatapan Shaw menyisir sekitar; memastikan tidak ada keanehan lain. Ia yang semula berjongkok pun perlahan berdiri sepelan mungkin. Namun, bak lelah bermain petak umpet, ransel yang Shaw gendong m
"Tetap tidak bisa! Terlalu berbahaya. Kau kan tahu lebih baik daripada aku, Tibate." Fu mengangkat kepala, menatap lurus Tibate dan Baldor. Ini bukan waktu yang tepat, pikir Fu. "Lagi pula aku bisa menjaga diri. Akan kupanggil kalian jika hal buruk terjadi dan aku tidak bisa mengatasinya.""Kau bisa tinggal, Fu. Aku akan melanjutkan perjalananku seorang diri," sela Shaw, angkat bicara setelah menimang-nimang."Tidak―""Aku juga akan meninggalkan kudaku di sini." Shaw menepuk pundak Fu. Ia serius ingin Fu tinggal. "Bold bilang ada danau dan tebing. Jadi, aku tidak bisa membawa kudaku. Selain itu, kau bisa mengawasi keadaan hutan dan mengabariku. Kau juga terluka, Fu. Jangan bersikeras seolah kau baik-baik saja. Bagaimanapun kau juga masih anak-anak."Ini adalah tugas Shaw. Sejak awal, Shaw memulainya sendiri, dan ia harus melanjutkannya sendiri. Shaw tidak ingin merepotkan.Fu berdecak, tidak terima, tetapi juga tidak menyangkal ataupun menyanggah. Bertemu Baldor dan Tibate membuatnya
Pria berjanggut memperhatikan sambil mengusap-usap janggut dan kumisnya. Saat otaknya mengingat sesuatu tentang Fu, matanya seketika melebar."Kau ingin aku mencincangmu, hah?!" Tibate berseru.Setelah ikan bakarnya rusak, sekarang dirinya yang nyaris terbakar. Pria plontos itu tidak terima.Tibate menghentak tanah dengan kakinya, bergantian kaki kanan dan kaki kiri. Pegangannya pada gagang pedang semakin erat dan erat.Fu melompat mundur, mengambil sikap siaga dan meningkatkan kewaspadaannya. Ia siap dengan apapun yang akan Tibate lakukan untuk membalasnya.Sebelum Tibate menyerang balik, pria berjanggut yang masih menggenggam keranjang bambu itu berjalan ke depan Tibate, lalu berdiri memunggungi Fu dan Shaw."Kau mau dikutuk atau sudah bosan hidup?!" tanyanya."Apa maksudmu? Kalau kau hanya ingin aku berhenti memberi anak itu pelajaran, sebaiknya kau minggir!" balas Tibate."Kau tahu kau sedang berhadapan dengan siapa? Kau tidak berencana mengingkari janjimu pada Jenderal Besar, 'ka
"Apa kau sedang bercanda?" Tibate mendengus kasar. Ia tampak tidak suka.Pria plontos itu tahu dirinya sudah hidup lama, tetapi bukan berarti ingatannya menua. Ia tahu ingatannya masih berfungsi dengan sangat baik. Ia sangat meyakini itu."Aku tidak bercanda," sanggah Fu, berkacak pinggang. "Kau memberitahukannya sendiri padaku saat aku memberimu buah persik. Kalau kau masih tidak ingat, berarti ada yang salah dengan ingatanmu," imbuhnya.Buah persik?Tibate mengerutkan kening. Ia merasa tidak asing, tetapi tidak mengingat apapun."Sudahlah. Lebih baik kalian pulang sekarang, dan akan kuanggap ini tidak pernah terjadi," ujar Tibate seraya memasang wajah serius."Tidak bisa!" Shaw berseru. "Aku harus pergi ke tenggara!""Ya. Kami tidak bisa kembali ke desa saat ini," Fu menimpali.Tibate memukulkan ujung pedangnya ke tanah, menimbulkan gelombang angin yang kencang. Dedaunan dan batu kerikil tersapu, begitu pun Fu dan Shaw yang ikut terpental."Aduh ...." Shaw mengerang, berusaha bangun
Menjelang pagi, suara kehidupan awal sekali menggaung. Beberapa penduduk desa sudah mulai melakukan aktivitas mereka. Sebagian di dalam rumah, sebagian di luar rumah.Satu di antara manusia yang telah lepas dari peraduannya adalah Wilton. Ia bertugas pagi kali ini."Selalu rajin, ya." Zander berkomentar. Kuda-kuda di kandang bersuara antusias saat Zander memberi mereka makan."Tidak juga. Aku hanya tidur cukup nyenyak semalam, dan tubuhku merasa lebih segar saat aku bangun. Jadi, ya, mungkin lebih bersemangat," sahut Wilson seraya terkekeh kecil."Padahal kau hanya tidur sebentar, 'kan, semalam," Celetuk Zander. Tangannya cekatan melipat karung-karung rumput yang sudah kosong.Wilton tersenyum cerah menanggapinya. Ia memeras kain yang dipakai untuk mengelap kuda yang akan ia pakai untuk mengantar Bailey ke sekolah."Sebentar pun tetap saja namanya tidur, Zan," kata Wilton, keluar dari kandang sambil membawa kain basah dan ember hitam kecil."Ya, tidak salah."Suara derap kaki nyaring
"Ada yang menarik perhatianmu, Vid? Aku sampai mengantuk menunggumu." Bailey menimpali."Ah, maaf maaf .... Tadi ada yang harus kulakukan. Ada sesuatu! Jadi, aku kembali lebih lama," ujar Avidius seraya tersenyum canggung.Avidius adalah cucu Barid. Ia satu sekolah dengan Leonere."Sesuatu apa?" Leonere bertanya.Avidius, remaja berkulit putih kemerahan dengan senyum manis dan lesung pipi itu mengeluarkan sebuah kain merah dari saku pakaian di balik jubahnya. Saat kain dibuka, Leonere dan Bailey membulatkan mata melihat benda yang terpampang di sana."Bukankah itu—" Kata-kata Leonere terhenti. Ia mendekat tergesa dan memegang benda yang ditunjukkan Avidius. "Ini kan ....""Dari mana kau menemukan itu?" tanya Bailey yang juga mendekat.Avidius melirik ke arah belakang sesaat, memastikan sekitarnya aman. Senyumnya pudar seketika."Dari hutan barat laut. Aku menemukannya tadi," bisik Avidius, tampak serius.Bailey dan Leonere tercengang lalu saling menatap. Pikiran keduanya seolah tersam
"Tidak ada yang gratis," sahut Fu seraya menyeringai tipis.Shaw berdecak. "Kubayar dengan manisan.""Apa itu? Tidak cukup! Informasiku sangat mahal, kau tahu.""Ck, kubayar dengan makanan lain. Kau bebas memintanya, dan aku akan membuatkannya untukmu," tawar Shaw.Fu menyeringai penuh kemenangan kini. Sebuah siasat terlintas di benaknya."Bisa dipertimbangkan," kata Fu. Sesaat kemudian seringai di wajahnya hilang, berganti raut serius. "Kurangi kecepatan kudanya. Melewati batang pohon besar di depan itu, buat kudanya berjalan biasa.""Huh? Oke."Shaw percaya pada Fu. Ia mengikuti instruksi Fu tanpa ragu.Pohon-pohon besar yang dimaksud Fu berada 20 meter dari mereka. Warna pohonnya gelap, seolah melambangkan sesuatu yang misterius dan tampak mati. Pepohonan itu seakan telah terbakar. Meski begitu, dedaunannya sangat rimbun.Melewati dua pohon besar tersebut, kuda memasuki jenggala yang lebih gelap dan sunyi dari sebelumnya. Sekeliling tampak benar-benar gelap dengan aura yang terasa
"Ya sudah." Eroth menghela napas.Selain belajar bersikap baik pada budaknya, Eroth pun belajar untuk tidak memaksakan kehendak. Ya, itu sungguhan, bukan sandiwara yang dibuat-buat.Di depan mereka, Aaban mendengarkan dalam diam. Komandan itu sibuk dengan pikirannya.Menjelang ujung dari jenggala ketiga, Fu tiba-tiba berujar. Suaranya terdengar serius di telinga Shaw."Berhenti, Shaw."Shaw menghentikan laju kuda dan melirik Fu. "Ada apa?""Kita ambil jalan lain," tukas Fu."Kenapa? Ada apa dengan jalan ini?""Ada sesuatu di depan. Hakinya tidak jauh berbeda dengan Kaye dan teman-temannya.""Ha?"Shaw menatap lurus, lalu memejamkan mata. Ia mencoba merasakan haki di depan, tetapi tidak merasakan atau melihat apapun."Aku tidak merasakan apapun," kata Shaw seraya membuka mata.Fu berdecak dan memegang kedua pundak Shaw. Aliran haki mengalir dari tangannya."Coba lihat lagi," kata Fu. Shaw mengiyakan.Bayangan sosok berjumlah lebih dari 10 terlihat di kejauhan di depan, dengan haki yang