Beranda / Romansa / Jejak Langkah Sang CEO / Langkah Yang Berani

Share

Langkah Yang Berani

Penulis: ENDRA
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-10 18:58:02

Alya mengetuk meja kafe kecil itu sambil melirik pintu. Dia udah duduk di sana selama 15 menit, menunggu seseorang. Kopi di depannya udah setengah dingin, tapi pikirannya masih sibuk dengan pesan ancaman yang dia terima tadi malam.

“Maaf, telat,” suara berat menginterupsi lamunannya. Nathaniel duduk di kursi di seberangnya dengan wajah serius.

Alya melipat tangannya di meja. “Lo yakin nggak bakal ada yang curiga lo ketemu sama gue?”

Nathaniel tersenyum tipis. “Gue bisa bikin ini keliatan kayak meeting kerja biasa. Lagian, gue COO. Siapa yang bakal nanya?”

Alya mengangkat alis. “Oke, jadi kenapa lo minta ketemu?”

Nathaniel mengeluarkan amplop cokelat dari tasnya. “Gue nemu sesuatu di laporan keuangan Zenith. Ini kayak… pola yang aneh, tapi gue nggak bisa pastiin ini sabotase atau cuma salah input data.”

Alya mengambil amplop itu, membuka isinya, dan mulai membaca cepat. “Ini… transfer dana kecil, tapi sering. Ke akun yang beda-beda?”

Nathaniel mengangguk. “Tepat. Kalau dilihat sekilas, nggak ada yang salah. Tapi kalau digabungin, totalnya cukup besar.”

Alya menyipitkan mata, mencoba menyambungkan titik-titik. “Lo yakin ini ada hubungannya sama Samuel?”

Nathaniel menarik napas panjang. “Gue nggak yakin sama siapa pun sekarang. Bahkan di dalam perusahaan sendiri.”

Alya menatapnya tajam. “Lo pikir Aiden nggak tahu soal ini?”

Nathaniel ragu sejenak sebelum menjawab. “Aiden tahu banyak, tapi dia nggak mungkin tahu semuanya. Kalau dia tahu, dia nggak bakal biarin gue investigasi sendirian.”

Alya menatap kertas itu lagi. “Gue bakal coba cek ini. Tapi lo harus tahu, gue bukan ahli finansial.”

“Gue nggak butuh lo jadi ahli finansial. Gue butuh lo jadi jurnalis yang cerdas,” kata Nathaniel sambil berdiri. “Dan satu hal lagi, Alya. Hati-hati. Lo udah ada di radar orang-orang yang nggak suka sama lo sekarang.”

Alya mendengus kecil. “Lo baru sadar?”

Nathaniel tersenyum samar sebelum pergi meninggalkan kafe.

Di tempat lain, Aiden berdiri di ruang gym pribadinya, memukul samsak dengan keras. Setiap pukulan seolah menggambarkan frustrasi yang dia tahan selama ini.

Tara masuk pelan, nggak mau mengganggu. “Pak Aiden?”

Aiden berhenti, napasnya memburu. “Ada apa, Tara?”

“Mr. George baru saja menghubungi. Dia minta penjelasan soal laporan keuangan bulan ini,” jawab Tara hati-hati.

Aiden mengusap wajahnya dengan handuk. “Apa dia curiga?”

Tara ragu. “Saya nggak tahu pasti, tapi nada bicaranya… kayak nggak puas.”

Aiden menatap jauh ke depan. “Oke, atur pertemuan dengan dia. Gue bakal jelasin langsung.”

Tara mengangguk dan berbalik pergi, tapi sebelum dia keluar, dia berhenti. “Pak, kalau boleh nanya… apa Anda percaya sama semua orang di tim inti Anda?”

Aiden menatapnya tajam. “Gue percaya mereka cukup untuk menjalankan tugas mereka. Tapi percaya sepenuhnya? Nggak. Itu kesalahan yang nggak akan gue ulang lagi.”

Sementara itu, Samuel tersenyum puas sambil memandang layar laptopnya. Grafik yang ditampilkan menunjukkan kerugian kecil di saham Zenith. Bukan jumlah besar, tapi cukup untuk bikin investor cemas.

“Langkah kecil, tapi signifikan,” kata Samuel kepada seseorang di seberangnya, sosok yang wajahnya tertutup bayangan.

“Lo yakin nggak bakal ada yang tau ini kerjaan lo?” suara orang itu terdengar tenang tapi dingin.

Samuel menyeringai. “Aiden terlalu sibuk ngurus masalah internal. Dia nggak akan punya waktu buat ngeliat yang lebih besar.”

Orang itu mengangguk pelan. “Bagus. Tapi jangan terlalu percaya diri. Aiden nggak gampang dipatahkan.”

Samuel mengangkat bahu. “Semua orang punya titik lemah. Bahkan Aiden Ravindra.”

Malam itu, Alya duduk di meja kerjanya di apartemen. Laptopnya terbuka dengan beberapa tab laporan yang dia dapat dari Nathaniel.

Pikirannya masih terusik sama pesan ancaman kemarin. Tapi, dia tahu satu hal: semakin dia ditakut-takuti, semakin dia nggak mau berhenti.

Dia menekan tombol rekam di ponselnya, berbicara dengan nada tegas.

“Catatan investigasi: Semua bukti yang gue kumpulin bakal gue simpan ganda. Kalau sesuatu terjadi sama gue, kebenaran ini tetap bakal keluar.”

Alya berhenti sejenak, menatap layar dengan pandangan penuh tekad.

“Lo pikir gue gampang ditakutin? Salah besar.”

Nathaniel mengetuk pintu kantor Aiden pagi itu. Biasanya dia langsung masuk tanpa banyak basa-basi, tapi kali ini rasanya beda. Ada ketegangan yang sulit dijelaskan.

“Masuk,” suara Aiden terdengar, seperti biasa—tenang, tapi dingin.

Nathaniel masuk dengan wajah serius. “Gue punya sesuatu buat lo, Aiden.”

Aiden mengangkat pandangannya dari dokumen yang sedang dia baca. “Apa sekarang?”

Nathaniel menaruh amplop cokelat di meja. “Ini transfer keuangan yang mencurigakan. Udah jalan beberapa bulan, tapi baru sekarang gue sadar polanya.”

Aiden membuka amplop itu dengan alis mengernyit. Dia membaca laporan yang disodorkan Nathaniel, matanya fokus dan tajam. “Ini bukan kebetulan.”

“Gue juga pikir gitu,” Nathaniel menimpali. “Pertanyaannya, siapa yang cukup berani buat ngelakuin ini?”

Aiden menutup dokumen itu dengan pelan, tapi sorot matanya penuh amarah yang terpendam. “Gue bakal cari tahu. Tapi jangan bilang siapa pun dulu, bahkan tim inti.”

Nathaniel mengangguk. “Gue ngerti. Tapi lo tahu kan, lo nggak bisa jalan sendirian kali ini?”

Aiden menatap Nathaniel tajam. “Gue udah biasa jalan sendirian, Nate.”

Di tempat lain, Alya kembali ke kantor redaksi dengan amplop cokelat yang sama. Reza, editor senior yang selama ini jadi mentornya, sudah menunggu di ruangannya.

“Kabar terbaru?” Reza membuka percakapan.

Alya menaruh amplop itu di mejanya. “Ini data yang gue dapat dari orang dalam Zenith. Ada pola transfer dana yang nggak jelas.”

Reza membuka dokumen itu dan membaca cepat. Wajahnya berubah serius. “Ini bukti kuat, Alya. Tapi lo harus hati-hati. Kalau ini bener sabotase, kita nggak tahu siapa yang di belakangnya.”

Alya mengangguk. “Gue tahu. Tapi kalau gue berhenti sekarang, ini bakal sia-sia.”

Reza tersenyum kecil, meski ada kekhawatiran di matanya. “Lo terlalu keras kepala, tahu nggak?”

“Lo yang ngajarin gue, Mas.” Alya tersenyum sekilas.

“Tapi gue juga ngajarin lo buat tahu kapan harus mundur,” Reza membalas sambil menutup dokumen itu. “Jangan terlalu nekat, Alya. Lo cuma manusia biasa.”

“Manusia biasa yang nggak takut cari kebenaran,” Alya menegaskan sebelum keluar dari ruangan.

Sore itu, Aiden memanggil Tara ke ruangannya. Sekretaris pribadinya itu masuk dengan langkah cepat, seperti biasa.

“Lo tahu sesuatu soal laporan keuangan bulan ini?” tanya Aiden langsung.

Tara terlihat bingung. “Maksud Bapak?”

“Transfer kecil tapi sering. Ada pola aneh yang muncul di laporan,” jelas Aiden sambil menatap Tara. “Gue butuh lo cek semua data internal yang pernah lo tangani.”

Tara mengangguk cepat. “Saya akan periksa, Pak. Tapi… kalau boleh tahu, apa ini masalah besar?”

Aiden terdiam sejenak sebelum menjawab. “Ini lebih besar dari yang lo pikir.”

Tara menggigit bibirnya, merasa ada sesuatu yang nggak beres. “Baik, Pak. Saya akan lapor begitu nemu sesuatu.”

Setelah Tara keluar, Aiden menatap jendela kantornya dengan pandangan tajam. Pikirannya penuh kemungkinan—siapa yang cukup nekat buat main belakang di perusahaannya?

Di tempat lain, Samuel menerima laporan dari seorang informan. Wajahnya santai, tapi nada suaranya tajam.

“Aiden udah mulai curiga,” kata informan itu.

Samuel menyandarkan tubuhnya ke kursi, tersenyum kecil. “Bagus. Itu artinya rencana kita berhasil.”

“Lo yakin dia nggak bakal bisa ngelacak?”

Samuel terkekeh. “Aiden itu pintar, tapi dia nggak bisa melawan musuh yang nggak kelihatan.”

Informan itu mengangguk sebelum pergi meninggalkan ruangan.

Setelah sendiri, Samuel mengambil ponselnya dan mengirim pesan singkat: “Tahap satu berhasil. Siap lanjut ke tahap dua.”

Dia menutup ponsel itu dengan senyum penuh kemenangan.

Malamnya, Alya duduk di depan laptopnya lagi, mencoba menyusun timeline dari semua informasi yang dia dapat. Setiap detail kecil dia catat, mencoba mencari pola.

Ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal.

“Hati-hati, Alya. Lo main di medan yang salah.”

Alya menelan ludah, tapi dia nggak mau kelihatan takut. Dia langsung membalas: “Kalau lo mau gue berhenti, kasih alasan yang masuk akal. Ancaman kayak gini nggak bakal bikin gue mundur.”

Pesan itu nggak dibalas.

Alya menarik napas dalam, lalu berkata pada dirinya sendiri, “Kalau mereka udah mulai ngancam, berarti gue di jalan yang benar.”

Pagi itu, suasana di Zenith Corp lebih tegang dari biasanya. Aiden duduk di ruang meeting bersama Nathaniel, Lucas, dan Clara. Dokumen-dokumen berserakan di atas meja, tapi fokus mereka cuma satu: pola transfer misterius yang ditemukan Nathaniel.

“Ini jelas sabotase,” Nathaniel membuka diskusi, suaranya rendah tapi tegas. “Gue udah cek ulang data yang gue kasih lo kemarin, dan ada keterlibatan pihak eksternal.”

Lucas mengangkat alis. “Hacker?”

“Kelihatannya begitu,” Nathaniel menjawab.

Clara yang biasanya tenang terlihat resah. “Kalau ini bocor ke publik sebelum kita selesaikan, dampaknya bisa fatal buat reputasi Zenith.”

Aiden memutar pena di tangannya, ekspresinya nggak berubah. “Nate, lo bisa lacak siapa yang bertanggung jawab?”

Nathaniel mengangguk. “Gue punya beberapa nama yang gue curigai, tapi gue butuh waktu buat memastikan.”

“Gue nggak punya waktu banyak.” Suara Aiden terdengar tegas. “Kasih gue nama-nama itu. Gue bakal urus sendiri.”

Lucas menggeleng pelan. “Lo nggak bisa jalan sendiri, Aiden. Kalau ini benar-benar sabotase, mereka nggak akan berhenti sampai lo jatuh.”

Aiden menatap Lucas dengan tajam. “Gue nggak akan jatuh.”

Clara mencoba meredakan ketegangan. “Mungkin kita bisa libatkan tim keamanan internal dulu. Andre bisa bantu…”

“Gue bilang, gue urus sendiri.” Aiden berdiri, mengakhiri diskusi. “Lo semua fokus di proyek yang lain. Gue nggak mau ini ganggu operasional Zenith.”

Sementara itu, Alya sibuk dengan misinya sendiri. Dia duduk di kafe kecil tempat biasa dia bekerja, laptopnya terbuka dengan file-file laporan yang berhasil dia kumpulkan. Di depannya, Mira, sahabat sekaligus fotografer, mengamati Alya dengan ekspresi penuh penasaran.

“Apa nggak terlalu berisiko, Al?” Mira bertanya sambil menyeruput kopinya.

Alya mendesah. “Iya, gue tahu ini bahaya. Tapi gue nggak bisa berhenti sekarang, Mir. Ini soal tanggung jawab.”

Mira mengangkat bahu. “Gue cuma nggak mau lo kenapa-kenapa. Dunia bisnis itu kotor, lo tahu kan? Mereka bisa aja nyerang lo balik.”

Alya terdiam sejenak, tapi akhirnya tersenyum kecil. “Kalau gue takut, nggak ada yang bakal berani ngungkap kebenaran.”

“Klise banget,” Mira menggerutu, tapi dia tersenyum juga. “Tapi kalau lo butuh bantuan, lo tahu gue selalu ada.”

Alya mengangguk. “Thanks, Mir. Gue cuma butuh lo siap kapan aja kalau gue perlu foto atau bukti tambahan.”

“Deal,” jawab Mira.

Di tempat lain, Aiden menemui Sakti Wijaya di gym tempat dia biasa melampiaskan emosinya. Setelah beberapa ronde sparring, mereka duduk di bangku, sama-sama terengah-engah.

“Ada yang aneh belakangan ini,” kata Sakti, membuka obrolan. “Lo keliatan lebih tegang dari biasanya.”

Aiden mengusap keringat di wajahnya, tapi nggak langsung menjawab.

“Sabotase lagi?” Sakti menebak.

Aiden menoleh dengan tatapan tajam. “Lo tahu lebih dari yang lo biarkan, kayaknya.”

Sakti tersenyum kecil. “Gue cuma baca berita dan ngeliat ekspresi lo. Dunia lo emang nggak pernah tenang, ya?”

“Bukan dunia gue,” Aiden membalas pelan. “Ini soal Zenith. Kalau perusahaan gue jatuh, banyak orang yang bakal kehilangan segalanya.”

Sakti mengangguk pelan. “Dan lo bawa semua beban itu sendiri?”

Aiden nggak menjawab. Dia hanya menatap lantai gym dengan ekspresi yang sulit ditebak.

“Lo tahu, Aiden, nggak ada yang salah minta bantuan,” Sakti menambahkan sebelum berdiri. “Kadang, orang terkuat adalah yang tahu kapan harus berbagi beban.”

Aiden nggak menanggapi. Tapi kata-kata itu jelas tertinggal di benaknya.

Malam itu, Alya menerima panggilan dari nomor tak dikenal.

“Siapa ini?” tanya Alya.

“Alya Mahendra?” suara di ujung sana terdengar serak dan penuh ancaman.

“Iya. Lo siapa?”

“Kalau lo tahu yang terbaik buat lo, berhenti ngegali soal Zenith,” suara itu memperingatkan.

Alya tersenyum tipis meski jantungnya berdebar. “Kalau lo sampai repot nelpon gue, artinya gue udah di jalur yang benar.”

Telepon itu langsung diputus. Alya menatap layar ponselnya, lalu bergumam pelan, “Gue nggak takut sama lo.”

Di kantor pusat Zenith, Aiden berdiri di depan jendela besar ruangannya. Nathaniel masuk dengan membawa sebuah flash drive.

“Aiden,” katanya. “Gue punya sesuatu yang lo harus lihat.”

Aiden berbalik dan menerima flash drive itu. Nathaniel melanjutkan, “Ini data yang gue temuin hari ini. Ada koneksi langsung ke salah satu rival kita.”

“Siapa?” tanya Aiden.

Nathaniel menatapnya serius. “Samuel Aditya.”

Bab terkait

  • Jejak Langkah Sang CEO   Di Balik Layar

    Pagi itu, Alya duduk di ruang redaksi dengan segelas kopi dingin yang sudah setengah habis. Matanya terpaku ke layar laptop, mengetik cepat sambil sesekali menghela napas panjang. Di sebelahnya, Dio menyandarkan tubuh di kursi dengan ekspresi santai tapi usil.“Artikel lo soal Zenith udah kelar?” tanya Dio sambil melirik layar laptop Alya.“Belum,” jawab Alya singkat tanpa mengalihkan pandangan.“Lo serius banget, kayak mau nulis tesis.” Dio terkekeh.“Dio, kalau nggak ada yang penting, tolong jangan ganggu,” balas Alya sambil mengetik lebih cepat.Reza Hartono, editor senior sekaligus mentor Alya, tiba-tiba muncul dari balik meja. “Alya, gue butuh artikel itu sebelum jam makan siang. Lo masih punya waktu dua jam.”“Iya, Pak Reza. Hampir selesai,” kata Alya sambil mengangguk cepat.“Bagus. Gue percaya lo bisa handle ini,” ujar Reza sambil menepuk bahunya.Setelah Reza pergi, Dio menyeringai kecil. “Jangan lupa kasih gue bocoran soal Aiden Ravindra. CEO misterius itu pasti punya sisi g

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-10
  • Jejak Langkah Sang CEO   Titik Awal

    “Udah sampai, Mbak Alya.” Alya melongok dari jendela mobil taksi online. Kantor Zenith Corp menjulang tinggi di tengah hiruk pikuk Jakarta. Gedung itu terasa dingin, sama seperti reputasi CEO-nya, Aiden Ravindra. Alya menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang sedikit lebih cepat dari biasanya. “Semangat, Alya. Ingat, lo wartawan. Nggak ada yang nggak bisa lo hadapin,” gumamnya pelan sebelum membayar ongkos dan turun. Begitu masuk ke lobi, dia disambut suasana yang penuh profesionalisme. Semua serba rapi, elegan, tapi juga terasa… kaku. Seorang resepsionis perempuan menyapanya dengan senyum tipis. “Selamat siang. Ada yang bisa saya bantu?” Alya memberikan ID persnya. “Alya Mahendra, dari Insight Media. Saya ada janji wawancara sama Pak Aiden Ravindra jam dua.” Resepsionis itu mengangguk sambil memeriksa daftar tamu. “Silakan tunggu sebentar, Mbak. Saya panggilkan Mbak Tara untuk mengantar Anda.” Beberapa menit kemudian, seorang perempuan muda dengan blazer

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-04
  • Jejak Langkah Sang CEO   Pertemuan Yang Tak Terduga

    Alya sibuk mengetik di laptopnya di meja kerja kecil di kantor redaksi. Ruangan itu nggak besar, tapi selalu ramai. Suara keyboard dari semua penjuru, telepon berdering, dan obrolan rekan kerja jadi soundtrack sehari-hari. “Masih soal Aiden Ravindra?” suara Dio, rekan sekaligus saingannya, tiba-tiba muncul dari belakang. Alya mendongak, agak terganggu. “Ya, kenapa?” Dio menyandarkan diri ke dinding sambil tersenyum kecil. “Lo sadar nggak, kebanyakan artikel lo tuh berat ke sisi kemanusiaan. Bagus sih, tapi kadang gue mikir, apa semua CEO itu punya sisi manusiawi?” Alya mendengus, lalu melipat tangannya di meja. “Lo skeptis banget. Justru itu tugas kita, kan? Bukan cuma ngegali fakta, tapi nyari cerita di balik fakta itu.” Dio mengangkat bahu. “Well, good luck sama si robot es itu. Gue dengar dia baru aja nge-‘terminate’ kontrak gede tadi pagi.” Alya langsung berhenti mengetik. “Serius? Kontrak yang mana?” “BrightFuture Holdings,” jawab Dio dengan nada santai. Alya memicingkan

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-04
  • Jejak Langkah Sang CEO   Rahasia Yang Mulai Terkuak

    Alya duduk di depan laptopnya, menatap layar kosong. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja sambil memikirkan bagaimana memulai tulisan tentang wawancaranya dengan Aiden. Dia tahu, artikel ini harus beda—bukan cuma soal angka, kesuksesan, atau bisnis besar.“Ini harus nyentuh sisi manusianya,” gumam Alya.Pikirannya terhenti ketika notifikasi pesan muncul di ponselnya. Dari Mira.“Gue lagi di tempat biasa. Ngobrol yuk, ada info penting.”Alya langsung berkemas. Kalau Mira bilang info penting, pasti ada sesuatu yang menarik.Sementara itu, di kantor Zenith, Aiden berdiri di depan jendela ruangannya yang besar. Nathaniel duduk di sofa dengan ekspresi serius.“Ada perkembangan soal Victor?” tanya Aiden tanpa menoleh.Nathaniel mengangguk. “Andre dapet data tambahan. Ada jejak transaksi mencurigakan yang melibatkan orang dalam Zenith.”Aiden berbalik, ekspresinya dingin tapi penuh perhatian. “Siapa?”Nathaniel menyerahkan dokumen. “Clara Hadi. Tapi ini belum pasti. Bisa jadi dia cuma korban m

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-04
  • Jejak Langkah Sang CEO   Jejak Di Balik Bayangan

    Alya menatap layar laptopnya sambil menggigit ujung pulpen. Data yang ia kumpulkan dari informannya, Vina, terasa seperti potongan puzzle yang belum lengkap. Sesuatu mengganggunya—tapi dia nggak tahu pasti apa.“Lo masih ngeliatin itu?” tanya Mira, yang baru aja balik dari pantry kantor sambil membawa dua cangkir kopi.“Masih,” gumam Alya sambil menghela napas. “Gue ngerasa ada sesuatu yang besar di balik ini semua, tapi kayak ada yang sengaja nutupin jejaknya.”Mira duduk di kursi sebelahnya, menyerahkan secangkir kopi. “Lo yakin Aiden bakal percaya sama lo?”“Gue nggak peduli dia percaya atau nggak,” jawab Alya. “Yang penting, gue udah kasih dia data itu. Sekarang gue harus cari bukti lebih kuat.”Mira menyeruput kopinya sambil melipat kakinya di kursi. “Tapi lo sadar kan, lo lagi main di zona bahaya? Kalau bener ini soal sabotase, pelakunya nggak bakal tinggal diam.”Alya terdiam. Kata-kata Mira bikin dia makin sadar risiko yang dia ambil. Tapi di sisi lain, dia tahu dia nggak bisa

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-04
  • Jejak Langkah Sang CEO   Langkah Di Antara Bahaya

    Pagi itu di ruang meeting Zenith Corp, suasana tegang. Aiden duduk di ujung meja, dikelilingi Nathaniel, Clara, Lucas, dan Jessica. Di tengah meja, sebuah layar besar menampilkan grafik penurunan performa saham Zenith dalam sepekan terakhir.“Ini nggak bisa dibiarkan,” suara Aiden terdengar tegas, dingin seperti biasa.Lucas mengangguk, membuka file di laptopnya. “Gue udah nge-trace beberapa aktivitas mencurigakan di sistem internal kita. Gue yakin, ini kerjaan orang dalam.”“Lo yakin, Lucas?” Jessica menyela, ragu. “Kalau ini kerjaan orang dalam, siapa yang berani? Semua karyawan udah di-screening ketat.”Nathaniel menghela napas. “Masalahnya bukan siapa yang berani, tapi siapa yang cukup pintar buat bikin semua ini kelihatan kayak kesalahan teknis biasa.”Clara, yang sejak tadi diam, akhirnya buka suara. “Kalau ini bener sabotase, lo mau langkah pertama apa, Aiden?”Aiden mengarahkan pandangannya ke semua orang di ruangan itu. “Cari siapa pelakunya. Hentikan mereka sebelum kerusakan

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-04
  • Jejak Langkah Sang CEO   Konfrontasi Tak Terduga

    Pagi itu di kantor Zenith Corp, Aiden duduk di ruangannya yang luas, dikelilingi oleh tumpukan dokumen dan laporan. Pandangannya tajam, tapi ada sedikit kerutan di keningnya. Pikirannya masih dipenuhi dengan kejadian sabotase yang terus menggoyang perusahaannya.Nathaniel masuk dengan langkah cepat tanpa mengetuk, seperti biasanya. “Gue dapet update dari Andre. Mereka nemuin server yang dipake buat ngelakuin sabotase itu. Lokasinya di kawasan milik Samuel.”Aiden menyandarkan diri di kursinya, ekspresinya datar tapi matanya penuh ketegangan. “Samuel lagi nyari gara-gara. Kalau dia pikir gue bakal duduk diam, dia salah besar.”“Lo mau ngelakuin apa?” tanya Nathaniel sambil melipat tangan di dadanya.Aiden diam sejenak, lalu menjawab dengan nada tegas. “Kita bikin dia nyesel pernah main-main sama Zenith. Tapi sebelum itu, gue butuh bukti konkret. Gue nggak mau bergerak tanpa strategi yang jelas.”Nathaniel mengangguk. “Gue bakal terusin penyelidikannya.”Di sisi lain kota, Alya duduk di

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-10
  • Jejak Langkah Sang CEO   Perang Dimulai

    Alya menatap Randy Suhartono yang berdiri di depan pintunya. Lelaki itu tampak kusut, matanya waspada sambil terus mengawasi lorong apartemen.“Masuk,” Alya akhirnya berkata, meski dalam hati masih ragu. Mira langsung berdiri dari sofa, memasang wajah curiga.“Lo ngapain di sini?” Mira memotong sebelum Randy sempat bicara.Randy mengangkat tangannya, seolah memberi tanda kalau dia nggak punya niat buruk. “Gue datang buat nyerah.”“Ny… nyerah?” Alya mengerutkan dahi, nggak percaya dengan apa yang baru dia dengar.Randy mengangguk pelan. “Samuel nggak tahu kalau gue di sini. Gue udah muak jadi pionnya dia. Dia nggak cuma mau ngancurin Zenith, tapi juga orang-orang kayak lo.”“Ngapain kita percaya lo?” Mira mendesis. “Lo tuh hacker bayaran. Lo bisa aja pura-pura baik buat jebak kita.”“Gue punya bukti lebih banyak tentang Samuel,” Randy bersikeras. “Semua rencananya ada di laptop gue. Kalau lo nggak percaya, gue bisa kasih itu sekarang.”Alya memutar otaknya cepat. Di satu sisi, ini kese

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-10

Bab terbaru

  • Jejak Langkah Sang CEO   Di Balik Layar

    Pagi itu, Alya duduk di ruang redaksi dengan segelas kopi dingin yang sudah setengah habis. Matanya terpaku ke layar laptop, mengetik cepat sambil sesekali menghela napas panjang. Di sebelahnya, Dio menyandarkan tubuh di kursi dengan ekspresi santai tapi usil.“Artikel lo soal Zenith udah kelar?” tanya Dio sambil melirik layar laptop Alya.“Belum,” jawab Alya singkat tanpa mengalihkan pandangan.“Lo serius banget, kayak mau nulis tesis.” Dio terkekeh.“Dio, kalau nggak ada yang penting, tolong jangan ganggu,” balas Alya sambil mengetik lebih cepat.Reza Hartono, editor senior sekaligus mentor Alya, tiba-tiba muncul dari balik meja. “Alya, gue butuh artikel itu sebelum jam makan siang. Lo masih punya waktu dua jam.”“Iya, Pak Reza. Hampir selesai,” kata Alya sambil mengangguk cepat.“Bagus. Gue percaya lo bisa handle ini,” ujar Reza sambil menepuk bahunya.Setelah Reza pergi, Dio menyeringai kecil. “Jangan lupa kasih gue bocoran soal Aiden Ravindra. CEO misterius itu pasti punya sisi g

  • Jejak Langkah Sang CEO   Langkah Yang Berani

    Alya mengetuk meja kafe kecil itu sambil melirik pintu. Dia udah duduk di sana selama 15 menit, menunggu seseorang. Kopi di depannya udah setengah dingin, tapi pikirannya masih sibuk dengan pesan ancaman yang dia terima tadi malam.“Maaf, telat,” suara berat menginterupsi lamunannya. Nathaniel duduk di kursi di seberangnya dengan wajah serius.Alya melipat tangannya di meja. “Lo yakin nggak bakal ada yang curiga lo ketemu sama gue?”Nathaniel tersenyum tipis. “Gue bisa bikin ini keliatan kayak meeting kerja biasa. Lagian, gue COO. Siapa yang bakal nanya?”Alya mengangkat alis. “Oke, jadi kenapa lo minta ketemu?”Nathaniel mengeluarkan amplop cokelat dari tasnya. “Gue nemu sesuatu di laporan keuangan Zenith. Ini kayak… pola yang aneh, tapi gue nggak bisa pastiin ini sabotase atau cuma salah input data.”Alya mengambil amplop itu, membuka isinya, dan mulai membaca cepat. “Ini… transfer dana kecil, tapi sering. Ke akun yang beda-beda?”Nathaniel mengangguk. “Tepat. Kalau dilihat sekilas,

  • Jejak Langkah Sang CEO   Konspirasi Yang Terbuka

    Pagi itu, Alya menatap layar laptopnya sambil menyeruput kopi yang mulai dingin. Ia bolak-balik membaca catatan dari Evelyn dan mencoba mencocokkannya dengan beberapa dokumen lain yang ia temukan. Semuanya terasa seperti teka-teki besar yang belum ada gambarnya.“Lo nggak tidur, ya?” suara Mira yang baru bangun terdengar dari dapur kecil.“Sebentar aja,” jawab Alya singkat.“Sebentar yang udah masuk hari ketiga?” Mira mendekati meja kerja Alya sambil membawa roti bakar. “Lo serius banget. Awas, jangan sampai burnout.”Alya mendesah. “Gue nggak bisa berhenti, Mir. Semuanya makin jelas. Gue cuma butuh satu bukti lagi buat tahu siapa dalang sabotase Zenith ini.”Mira duduk di samping Alya, mengunyah pelan. “Lo yakin ini bukan cuma permainan Evelyn? Dia tuh manipulatif banget.”“Itu yang bikin gue pusing,” jawab Alya sambil mengusap wajah. “Tapi fakta yang dia kasih cocok sama investigasi gue.”Mira mengangkat bahu. “Yaudah, kalau lo yakin, gas terus. Tapi jangan lupa istirahat.”Di sisi

  • Jejak Langkah Sang CEO   Kepingan Rahasia

    Alya duduk di ruang tamu sambil menatap layar laptopnya. Matanya berkedip pelan, tapi pikirannya nggak berhenti muter-muter. Malam itu, setelah kejadian di gudang, dia nggak bisa tidur. Bukan cuma soal adrenalin yang masih tersisa, tapi juga karena satu nama yang terus ada di kepalanya: Aiden Ravindra.“Lo beneran bakal ngelaporin ini?” Mira muncul dari dapur sambil nenteng dua cangkir kopi.Alya mendesah, menerima cangkir dari Mira. “Gue masih belum yakin. Berita ini gede banget, Mir. Tapi, gue nggak mau asal nulis tanpa fakta lengkap.”“Dan lo yakin Aiden bakal kasih lo akses buat fakta lengkap itu?” Mira menaikkan alis.Alya terdiam sejenak, lalu menggeleng pelan. “Nggak. Dia tipe orang yang bakal ngelindungin rahasianya mati-matian.”Mira duduk di sebelah Alya. “Kalau gitu, kenapa lo nggak fokus ke hal lain dulu? Lo punya banyak bahan liputan, kan? Jangan lupa, ada Samuel Aditya di balik semua ini. Dia musuh nyata lo sekarang.”Alya menatap Mira, lalu menyesap kopinya. “Lo bener.

  • Jejak Langkah Sang CEO   Perang Dimulai

    Alya menatap Randy Suhartono yang berdiri di depan pintunya. Lelaki itu tampak kusut, matanya waspada sambil terus mengawasi lorong apartemen.“Masuk,” Alya akhirnya berkata, meski dalam hati masih ragu. Mira langsung berdiri dari sofa, memasang wajah curiga.“Lo ngapain di sini?” Mira memotong sebelum Randy sempat bicara.Randy mengangkat tangannya, seolah memberi tanda kalau dia nggak punya niat buruk. “Gue datang buat nyerah.”“Ny… nyerah?” Alya mengerutkan dahi, nggak percaya dengan apa yang baru dia dengar.Randy mengangguk pelan. “Samuel nggak tahu kalau gue di sini. Gue udah muak jadi pionnya dia. Dia nggak cuma mau ngancurin Zenith, tapi juga orang-orang kayak lo.”“Ngapain kita percaya lo?” Mira mendesis. “Lo tuh hacker bayaran. Lo bisa aja pura-pura baik buat jebak kita.”“Gue punya bukti lebih banyak tentang Samuel,” Randy bersikeras. “Semua rencananya ada di laptop gue. Kalau lo nggak percaya, gue bisa kasih itu sekarang.”Alya memutar otaknya cepat. Di satu sisi, ini kese

  • Jejak Langkah Sang CEO   Konfrontasi Tak Terduga

    Pagi itu di kantor Zenith Corp, Aiden duduk di ruangannya yang luas, dikelilingi oleh tumpukan dokumen dan laporan. Pandangannya tajam, tapi ada sedikit kerutan di keningnya. Pikirannya masih dipenuhi dengan kejadian sabotase yang terus menggoyang perusahaannya.Nathaniel masuk dengan langkah cepat tanpa mengetuk, seperti biasanya. “Gue dapet update dari Andre. Mereka nemuin server yang dipake buat ngelakuin sabotase itu. Lokasinya di kawasan milik Samuel.”Aiden menyandarkan diri di kursinya, ekspresinya datar tapi matanya penuh ketegangan. “Samuel lagi nyari gara-gara. Kalau dia pikir gue bakal duduk diam, dia salah besar.”“Lo mau ngelakuin apa?” tanya Nathaniel sambil melipat tangan di dadanya.Aiden diam sejenak, lalu menjawab dengan nada tegas. “Kita bikin dia nyesel pernah main-main sama Zenith. Tapi sebelum itu, gue butuh bukti konkret. Gue nggak mau bergerak tanpa strategi yang jelas.”Nathaniel mengangguk. “Gue bakal terusin penyelidikannya.”Di sisi lain kota, Alya duduk di

  • Jejak Langkah Sang CEO   Langkah Di Antara Bahaya

    Pagi itu di ruang meeting Zenith Corp, suasana tegang. Aiden duduk di ujung meja, dikelilingi Nathaniel, Clara, Lucas, dan Jessica. Di tengah meja, sebuah layar besar menampilkan grafik penurunan performa saham Zenith dalam sepekan terakhir.“Ini nggak bisa dibiarkan,” suara Aiden terdengar tegas, dingin seperti biasa.Lucas mengangguk, membuka file di laptopnya. “Gue udah nge-trace beberapa aktivitas mencurigakan di sistem internal kita. Gue yakin, ini kerjaan orang dalam.”“Lo yakin, Lucas?” Jessica menyela, ragu. “Kalau ini kerjaan orang dalam, siapa yang berani? Semua karyawan udah di-screening ketat.”Nathaniel menghela napas. “Masalahnya bukan siapa yang berani, tapi siapa yang cukup pintar buat bikin semua ini kelihatan kayak kesalahan teknis biasa.”Clara, yang sejak tadi diam, akhirnya buka suara. “Kalau ini bener sabotase, lo mau langkah pertama apa, Aiden?”Aiden mengarahkan pandangannya ke semua orang di ruangan itu. “Cari siapa pelakunya. Hentikan mereka sebelum kerusakan

  • Jejak Langkah Sang CEO   Jejak Di Balik Bayangan

    Alya menatap layar laptopnya sambil menggigit ujung pulpen. Data yang ia kumpulkan dari informannya, Vina, terasa seperti potongan puzzle yang belum lengkap. Sesuatu mengganggunya—tapi dia nggak tahu pasti apa.“Lo masih ngeliatin itu?” tanya Mira, yang baru aja balik dari pantry kantor sambil membawa dua cangkir kopi.“Masih,” gumam Alya sambil menghela napas. “Gue ngerasa ada sesuatu yang besar di balik ini semua, tapi kayak ada yang sengaja nutupin jejaknya.”Mira duduk di kursi sebelahnya, menyerahkan secangkir kopi. “Lo yakin Aiden bakal percaya sama lo?”“Gue nggak peduli dia percaya atau nggak,” jawab Alya. “Yang penting, gue udah kasih dia data itu. Sekarang gue harus cari bukti lebih kuat.”Mira menyeruput kopinya sambil melipat kakinya di kursi. “Tapi lo sadar kan, lo lagi main di zona bahaya? Kalau bener ini soal sabotase, pelakunya nggak bakal tinggal diam.”Alya terdiam. Kata-kata Mira bikin dia makin sadar risiko yang dia ambil. Tapi di sisi lain, dia tahu dia nggak bisa

  • Jejak Langkah Sang CEO   Rahasia Yang Mulai Terkuak

    Alya duduk di depan laptopnya, menatap layar kosong. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja sambil memikirkan bagaimana memulai tulisan tentang wawancaranya dengan Aiden. Dia tahu, artikel ini harus beda—bukan cuma soal angka, kesuksesan, atau bisnis besar.“Ini harus nyentuh sisi manusianya,” gumam Alya.Pikirannya terhenti ketika notifikasi pesan muncul di ponselnya. Dari Mira.“Gue lagi di tempat biasa. Ngobrol yuk, ada info penting.”Alya langsung berkemas. Kalau Mira bilang info penting, pasti ada sesuatu yang menarik.Sementara itu, di kantor Zenith, Aiden berdiri di depan jendela ruangannya yang besar. Nathaniel duduk di sofa dengan ekspresi serius.“Ada perkembangan soal Victor?” tanya Aiden tanpa menoleh.Nathaniel mengangguk. “Andre dapet data tambahan. Ada jejak transaksi mencurigakan yang melibatkan orang dalam Zenith.”Aiden berbalik, ekspresinya dingin tapi penuh perhatian. “Siapa?”Nathaniel menyerahkan dokumen. “Clara Hadi. Tapi ini belum pasti. Bisa jadi dia cuma korban m

DMCA.com Protection Status