Share

Jejak Langkah Sang CEO
Jejak Langkah Sang CEO
Penulis: ENDRA

Titik Awal

Penulis: ENDRA
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-04 17:00:38

“Udah sampai, Mbak Alya.”

Alya melongok dari jendela mobil taksi online. Kantor Zenith Corp menjulang tinggi di tengah hiruk pikuk Jakarta. Gedung itu terasa dingin, sama seperti reputasi CEO-nya, Aiden Ravindra. Alya menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang sedikit lebih cepat dari biasanya.

“Semangat, Alya. Ingat, lo wartawan. Nggak ada yang nggak bisa lo hadapin,” gumamnya pelan sebelum membayar ongkos dan turun.

Begitu masuk ke lobi, dia disambut suasana yang penuh profesionalisme. Semua serba rapi, elegan, tapi juga terasa… kaku. Seorang resepsionis perempuan menyapanya dengan senyum tipis.

“Selamat siang. Ada yang bisa saya bantu?”

Alya memberikan ID persnya. “Alya Mahendra, dari Insight Media. Saya ada janji wawancara sama Pak Aiden Ravindra jam dua.”

Resepsionis itu mengangguk sambil memeriksa daftar tamu. “Silakan tunggu sebentar, Mbak. Saya panggilkan Mbak Tara untuk mengantar Anda.”

Beberapa menit kemudian, seorang perempuan muda dengan blazer hitam muncul. Penampilannya profesional banget, tapi matanya hangat.

“Selamat siang, Mbak Alya. Saya Tara, asisten pribadi Pak Aiden. Mari, saya antar ke ruangannya.”

Alya mengikuti Tara menuju lift kaca yang langsung naik ke lantai paling atas. Jantungnya kembali berdetak lebih kencang. Ini bukan wawancara biasa. Aiden Ravindra terkenal susah ditembus media. Orang-orang bilang dia CEO yang dingin, nggak peduli, bahkan kejam kalau bicara soal bisnis. Tapi justru itu yang bikin Alya penasaran.

“Aiden Ravindra… siapa sebenarnya lo?” batinnya.

Lift berhenti dengan bunyi lembut. Tara mengarahkan Alya ke sebuah ruangan besar dengan pemandangan kota Jakarta. Di balik meja kerja megah itu, seorang pria berdiri membelakangi mereka, memandangi jendela.

“Pak Aiden, Mbak Alya sudah tiba,” kata Tara.

Pria itu berbalik perlahan. Wajahnya tegas, dingin, tapi ada sesuatu di matanya yang sulit dijelaskan. Luka? Kemarahan? Atau mungkin, kelelahan?

“Alya Mahendra,” suaranya berat, berwibawa. “Silakan duduk.”

Alya mengangguk dan duduk di kursi di depan meja kerja. Jantungnya berdebar, tapi dia tetap menjaga ekspresi santainya.

“Aiden Ravindra,” dia memulai dengan senyum kecil. “Nama besar yang semua orang tahu. Tapi saya di sini bukan cuma mau tahu soal bisnis. Saya mau tahu sisi lain Anda.”

Aiden menaikkan satu alis. “Sisi lain?”

“Ya,” jawab Alya mantap. “Sisi manusiawi Anda.”

Untuk pertama kalinya, ada sedikit senyum di sudut bibir Aiden. Tapi itu bukan senyum ramah. Lebih seperti… tantangan.

“Kalau begitu, kita lihat apakah Anda siap menghadapi kebenarannya.”

Alya sedikit terguncang oleh ucapan Aiden tadi, tapi dia berusaha tetap tenang. Dia sudah biasa menghadapi orang-orang sulit dalam pekerjaannya, meski kali ini beda. Ada sesuatu dalam cara Aiden berbicara—seolah dia tahu lebih banyak daripada yang terlihat.

“Baik,” Alya berkata sambil membuka notes-nya. “Kita mulai saja. Banyak yang bilang Anda ini CEO yang nggak kenal kompromi. Apa Anda setuju dengan itu?”

Aiden bersandar ke kursinya, ekspresinya tetap netral. “Kalau kompromi artinya harus mengorbankan visi, ya, saya tidak kenal kompromi.”

“Dan kalau kompromi artinya memahami orang-orang di sekitar Anda?” Alya menimpali cepat.

Aiden menatap Alya tajam, tapi tidak langsung menjawab. Alya merasa seperti sedang diuji, tapi dia nggak mau mundur.

“Menarik. Pertanyaan Anda cukup langsung,” kata Aiden akhirnya. “Tapi saya kira, waktu kita lebih baik digunakan untuk hal-hal yang lebih relevan. Zenith Corp adalah perusahaan yang fokus pada inovasi. Anda pasti punya pertanyaan tentang itu.”

Alya tersenyum tipis. “Tentu saja, saya tertarik dengan inovasi Zenith. Tapi pembaca saya lebih ingin tahu tentang orang di baliknya.”

Aiden mendengus pelan, seperti menahan tawa. “Saya tidak yakin pembaca Anda peduli dengan itu.”

“Kalau begitu biarkan saya yang menentukan,” balas Alya dengan nada santai tapi tegas.

Tara, yang berdiri di sudut ruangan, kelihatan sedikit tegang melihat interaksi mereka. Aiden menatap Alya lagi, kali ini lebih dalam.

“Baiklah,” katanya akhirnya. “Tapi jangan harap saya akan menjawab semua pertanyaan Anda.”

Alya mengangguk kecil, puas dengan sedikit kemajuan ini. “Setuju. Jadi, Anda membangun Zenith Corp dari nol setelah kecelakaan yang menimpa keluarga Anda. Apa itu murni motivasi bisnis atau ada alasan pribadi di baliknya?”

Ruangan tiba-tiba terasa lebih sunyi. Ekspresi Aiden berubah. Sekilas terlihat bayangan luka yang dalam di matanya sebelum dia menyembunyikannya lagi di balik wajah dinginnya.

“Itu pertanyaan yang pribadi,” katanya datar.

“Dan itulah yang membuatnya penting,” balas Alya lembut.

Aiden menghela napas panjang, seolah sedang memutuskan apakah dia akan membuka sedikit sisi dirinya atau tetap menutup rapat. “Kehilangan keluarga saya… memberi saya perspektif yang berbeda tentang kehidupan. Saya belajar bahwa waktu adalah aset paling berharga, dan saya tidak punya waktu untuk membuang-buangnya.”

Alya mencatat cepat. “Dan itu alasan Anda begitu fokus pada pekerjaan?”

“Salah satu alasannya,” jawab Aiden singkat.

“Tapi apa nggak ada rasa kesepian? Maksud saya, Anda jelas sukses. Tapi di luar itu, apa Anda merasa puas?”

Aiden terdiam. Pertanyaan itu seperti memukul sesuatu yang dia sembunyikan dalam-dalam. Alya bisa melihat itu di matanya, tapi Aiden buru-buru memalingkan wajah, menatap jendela.

“Pertanyaan yang menarik,” katanya akhirnya. “Tapi saya tidak yakin jawaban saya akan memuaskan Anda.”

“Saya di sini bukan untuk jawaban yang mudah,” kata Alya, mencoba menahan senyumnya.

Sebelum Aiden bisa menjawab, pintu ruangan diketuk. Tara berjalan ke pintu dan membukanya. Nathaniel Cruz, COO Zenith, muncul dengan ekspresi tergesa-gesa.

“Maaf mengganggu, Aiden. Tapi kita ada masalah dengan kontrak dari BrightFuture Holdings. Mereka menuntut revisi mendadak.”

Aiden berdiri, wajahnya langsung berubah serius. Dia melirik Alya. “Sepertinya wawancara kita harus ditunda.”

Alya mengangguk meski agak kecewa. “Baik. Tapi saya akan kembali. Masih banyak yang ingin saya tanyakan.”

Aiden hanya mengangguk kecil sebelum berjalan keluar bersama Nathaniel.

Saat Tara mengantar Alya kembali ke lobi, dia berkomentar dengan nada ramah, “Pak Aiden jarang banget mau buka soal pribadi. Anda punya keberanian.”

Alya tersenyum kecil. “Saya cuma ingin tahu siapa dia sebenarnya. Dan saya nggak akan berhenti sampai saya tahu.”

Tara tersenyum tipis, seolah mengerti tekad Alya. “Semoga berhasil, Mbak Alya. Anda akan butuh itu.”

Setelah keluar dari gedung Zenith Corp, Alya merasa campur aduk. Wawancaranya memang belum selesai, tapi dia bisa melihat celah kecil di balik tembok kokoh Aiden Ravindra. Itu cukup untuk membuatnya yakin dia ada di jalur yang benar.

Di trotoar, Mira Santoso sudah menunggu sambil bersandar di sepeda motornya. Sahabat sekaligus fotografer andalannya itu langsung melambaikan tangan begitu melihat Alya.

“Eh, gimana? Si robot es itu akhirnya ngomong nggak?” Mira menyapa dengan senyum lebar.

Alya mendengus sambil melepaskan kancing blazer. “Ngomong sih ngomong, tapi setengah hati banget. Kayak lagi ngobrol sama tembok.”

Mira tertawa kecil. “Ya ampun, gimana sih rasanya ngadepin CEO setinggi langit gitu? Tegang, ya?”

“Lebih ke capek mental, Mir. Dia tipe orang yang ngomong seperlunya aja. Tapi gue yakin, ada sesuatu yang dia sembunyiin,” jawab Alya sambil masuk ke kursi belakang motor.

“Yakin bisa ngegali?” Mira menoleh sebentar sebelum menyalakan mesin motornya.

Alya tersenyum kecil. “Gue nggak akan nyerah sebelum dapet sisi lain dia. Aiden Ravindra pasti punya cerita, dan gue mau jadi orang pertama yang nulis itu.”

Mira tertawa kecil sambil menjalankan motornya. “Good luck, Mbak Wartawan. Tapi gue rasa lo harus siap mental lebih dari ini.”

Di sisi lain, di lantai paling atas Zenith Corp, Aiden duduk di ruang rapat bersama Nathaniel Cruz dan beberapa staf senior lainnya. Kontrak dengan BrightFuture Holdings sedang menjadi topik panas.

“Ini nggak masuk akal,” Nathaniel berkata dengan nada frustrasi. “Mereka mau mengubah syarat yang sudah kita sepakati di detik terakhir. Kalau kita setuju, ini bakal merugikan kita.”

Aiden duduk diam, mendengarkan. Wajahnya tetap dingin, seperti biasa.

“Kalau kita nggak setuju, mereka bisa mundur dan itu berarti kehilangan mitra strategis,” tambah Jessica Wong, Marketing Director yang selalu penuh ambisi.

Aiden mengetuk meja perlahan, memanggil perhatian semua orang. “Kita nggak punya waktu untuk berdebat. Nathan, negosiasikan ulang. Pastikan syarat baru mereka tidak terlalu merugikan kita. Kalau mereka nggak mau kompromi, kita cari mitra lain.”

“Tapi, Aiden, BrightFuture ini pemain besar. Kehilangan mereka bisa—” Jessica mencoba bicara, tapi Aiden memotong.

“Kehilangan mereka lebih baik daripada kehilangan prinsip kita,” jawab Aiden tegas.

Semua orang terdiam. Keputusan Aiden memang sering terdengar berani, bahkan nekad, tapi hasilnya selalu terbukti benar.

Nathaniel mengangguk kecil. “Baik, saya akan urus itu.”

Setelah rapat selesai, Aiden kembali ke ruangannya. Tapi kali ini, dia merasa gelisah. Bukan soal kontrak, melainkan soal wawancara tadi. Pertanyaan Alya masih menggema di pikirannya.

“Apa Anda merasa puas?”

Dia menghela napas panjang. Pertanyaan itu mengingatkannya pada seseorang—ibunya. Diana Ravindra adalah satu-satunya orang yang pernah bertanya hal serupa kepadanya sebelum kecelakaan itu terjadi.

Tanpa sadar, tangannya meraih bingkai foto kecil di mejanya. Foto lama keluarganya, sebelum semuanya berubah. Ada dirinya, ayahnya, ibunya, dan Elena, adik kesayangannya.

“Kalau kamu puas cuma sama kerjaan, Aiden,” suara ibunya seperti terdengar di kepalanya, “kamu akan kehilangan hidup yang sebenarnya.”

Aiden meletakkan foto itu dengan pelan. Matanya menatap kosong ke luar jendela.

Bagi orang lain, dia mungkin terlihat seperti pria yang punya segalanya. Tapi Alya benar—di dalam, ada ruang kosong yang terus menghantuinya.

Di tempat lain, Alya dan Mira berhenti di sebuah kafe kecil di pinggir jalan. Daniel, barista kafe itu, langsung menyapa mereka dengan ramah.

“Eh, Alya! Akhirnya nongol lagi. Mau pesan apa? Kopi hitam andalan lo?”

Alya tersenyum. “Iya, deh. Tambahin satu croissant, ya.”

Mira mengamati Alya sambil menyeruput es tehnya. “Lo yakin mau terus ngejar cerita ini? Gue tahu lo keras kepala, tapi yang lo hadapin ini bukan orang biasa.”

Alya mengangkat bahu. “Justru itu. Kalau gue berhasil, ini bakal jadi artikel terbaik gue. Dan mungkin… ini juga bakal bantu dia.”

“Bantu? Maksud lo?”

“Gue rasa, dia nggak cuma CEO yang dingin kayak yang orang bilang. Ada sesuatu yang dia sembunyiin, Mir. Dan mungkin, dia juga butuh orang buat ngerti sisi manusianya.”

Mira menatap Alya dengan alis terangkat. “Lo mulai kedengeran kayak lagi peduli lebih dari sekedar kerjaan.”

Alya mendengus. “Jangan mulai, Mir. Gue cuma pengen tahu kebenarannya. Itu aja.”

Mira tersenyum kecil, tapi nggak bilang apa-apa lagi. Di dalam hati, dia tahu sahabatnya ini nggak akan berhenti sampai dia mendapatkan apa yang dia cari—meskipun itu berarti berhadapan langsung dengan pria paling sulit di dunia.

Bab terkait

  • Jejak Langkah Sang CEO   Pertemuan Yang Tak Terduga

    Alya sibuk mengetik di laptopnya di meja kerja kecil di kantor redaksi. Ruangan itu nggak besar, tapi selalu ramai. Suara keyboard dari semua penjuru, telepon berdering, dan obrolan rekan kerja jadi soundtrack sehari-hari. “Masih soal Aiden Ravindra?” suara Dio, rekan sekaligus saingannya, tiba-tiba muncul dari belakang. Alya mendongak, agak terganggu. “Ya, kenapa?” Dio menyandarkan diri ke dinding sambil tersenyum kecil. “Lo sadar nggak, kebanyakan artikel lo tuh berat ke sisi kemanusiaan. Bagus sih, tapi kadang gue mikir, apa semua CEO itu punya sisi manusiawi?” Alya mendengus, lalu melipat tangannya di meja. “Lo skeptis banget. Justru itu tugas kita, kan? Bukan cuma ngegali fakta, tapi nyari cerita di balik fakta itu.” Dio mengangkat bahu. “Well, good luck sama si robot es itu. Gue dengar dia baru aja nge-‘terminate’ kontrak gede tadi pagi.” Alya langsung berhenti mengetik. “Serius? Kontrak yang mana?” “BrightFuture Holdings,” jawab Dio dengan nada santai. Alya memicingkan

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-04
  • Jejak Langkah Sang CEO   Rahasia Yang Mulai Terkuak

    Alya duduk di depan laptopnya, menatap layar kosong. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja sambil memikirkan bagaimana memulai tulisan tentang wawancaranya dengan Aiden. Dia tahu, artikel ini harus beda—bukan cuma soal angka, kesuksesan, atau bisnis besar.“Ini harus nyentuh sisi manusianya,” gumam Alya.Pikirannya terhenti ketika notifikasi pesan muncul di ponselnya. Dari Mira.“Gue lagi di tempat biasa. Ngobrol yuk, ada info penting.”Alya langsung berkemas. Kalau Mira bilang info penting, pasti ada sesuatu yang menarik.Sementara itu, di kantor Zenith, Aiden berdiri di depan jendela ruangannya yang besar. Nathaniel duduk di sofa dengan ekspresi serius.“Ada perkembangan soal Victor?” tanya Aiden tanpa menoleh.Nathaniel mengangguk. “Andre dapet data tambahan. Ada jejak transaksi mencurigakan yang melibatkan orang dalam Zenith.”Aiden berbalik, ekspresinya dingin tapi penuh perhatian. “Siapa?”Nathaniel menyerahkan dokumen. “Clara Hadi. Tapi ini belum pasti. Bisa jadi dia cuma korban m

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-04
  • Jejak Langkah Sang CEO   Jejak Di Balik Bayangan

    Alya menatap layar laptopnya sambil menggigit ujung pulpen. Data yang ia kumpulkan dari informannya, Vina, terasa seperti potongan puzzle yang belum lengkap. Sesuatu mengganggunya—tapi dia nggak tahu pasti apa.“Lo masih ngeliatin itu?” tanya Mira, yang baru aja balik dari pantry kantor sambil membawa dua cangkir kopi.“Masih,” gumam Alya sambil menghela napas. “Gue ngerasa ada sesuatu yang besar di balik ini semua, tapi kayak ada yang sengaja nutupin jejaknya.”Mira duduk di kursi sebelahnya, menyerahkan secangkir kopi. “Lo yakin Aiden bakal percaya sama lo?”“Gue nggak peduli dia percaya atau nggak,” jawab Alya. “Yang penting, gue udah kasih dia data itu. Sekarang gue harus cari bukti lebih kuat.”Mira menyeruput kopinya sambil melipat kakinya di kursi. “Tapi lo sadar kan, lo lagi main di zona bahaya? Kalau bener ini soal sabotase, pelakunya nggak bakal tinggal diam.”Alya terdiam. Kata-kata Mira bikin dia makin sadar risiko yang dia ambil. Tapi di sisi lain, dia tahu dia nggak bisa

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-04
  • Jejak Langkah Sang CEO   Langkah Di Antara Bahaya

    Pagi itu di ruang meeting Zenith Corp, suasana tegang. Aiden duduk di ujung meja, dikelilingi Nathaniel, Clara, Lucas, dan Jessica. Di tengah meja, sebuah layar besar menampilkan grafik penurunan performa saham Zenith dalam sepekan terakhir.“Ini nggak bisa dibiarkan,” suara Aiden terdengar tegas, dingin seperti biasa.Lucas mengangguk, membuka file di laptopnya. “Gue udah nge-trace beberapa aktivitas mencurigakan di sistem internal kita. Gue yakin, ini kerjaan orang dalam.”“Lo yakin, Lucas?” Jessica menyela, ragu. “Kalau ini kerjaan orang dalam, siapa yang berani? Semua karyawan udah di-screening ketat.”Nathaniel menghela napas. “Masalahnya bukan siapa yang berani, tapi siapa yang cukup pintar buat bikin semua ini kelihatan kayak kesalahan teknis biasa.”Clara, yang sejak tadi diam, akhirnya buka suara. “Kalau ini bener sabotase, lo mau langkah pertama apa, Aiden?”Aiden mengarahkan pandangannya ke semua orang di ruangan itu. “Cari siapa pelakunya. Hentikan mereka sebelum kerusakan

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-04
  • Jejak Langkah Sang CEO   Konfrontasi Tak Terduga

    Pagi itu di kantor Zenith Corp, Aiden duduk di ruangannya yang luas, dikelilingi oleh tumpukan dokumen dan laporan. Pandangannya tajam, tapi ada sedikit kerutan di keningnya. Pikirannya masih dipenuhi dengan kejadian sabotase yang terus menggoyang perusahaannya.Nathaniel masuk dengan langkah cepat tanpa mengetuk, seperti biasanya. “Gue dapet update dari Andre. Mereka nemuin server yang dipake buat ngelakuin sabotase itu. Lokasinya di kawasan milik Samuel.”Aiden menyandarkan diri di kursinya, ekspresinya datar tapi matanya penuh ketegangan. “Samuel lagi nyari gara-gara. Kalau dia pikir gue bakal duduk diam, dia salah besar.”“Lo mau ngelakuin apa?” tanya Nathaniel sambil melipat tangan di dadanya.Aiden diam sejenak, lalu menjawab dengan nada tegas. “Kita bikin dia nyesel pernah main-main sama Zenith. Tapi sebelum itu, gue butuh bukti konkret. Gue nggak mau bergerak tanpa strategi yang jelas.”Nathaniel mengangguk. “Gue bakal terusin penyelidikannya.”Di sisi lain kota, Alya duduk di

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-10
  • Jejak Langkah Sang CEO   Perang Dimulai

    Alya menatap Randy Suhartono yang berdiri di depan pintunya. Lelaki itu tampak kusut, matanya waspada sambil terus mengawasi lorong apartemen.“Masuk,” Alya akhirnya berkata, meski dalam hati masih ragu. Mira langsung berdiri dari sofa, memasang wajah curiga.“Lo ngapain di sini?” Mira memotong sebelum Randy sempat bicara.Randy mengangkat tangannya, seolah memberi tanda kalau dia nggak punya niat buruk. “Gue datang buat nyerah.”“Ny… nyerah?” Alya mengerutkan dahi, nggak percaya dengan apa yang baru dia dengar.Randy mengangguk pelan. “Samuel nggak tahu kalau gue di sini. Gue udah muak jadi pionnya dia. Dia nggak cuma mau ngancurin Zenith, tapi juga orang-orang kayak lo.”“Ngapain kita percaya lo?” Mira mendesis. “Lo tuh hacker bayaran. Lo bisa aja pura-pura baik buat jebak kita.”“Gue punya bukti lebih banyak tentang Samuel,” Randy bersikeras. “Semua rencananya ada di laptop gue. Kalau lo nggak percaya, gue bisa kasih itu sekarang.”Alya memutar otaknya cepat. Di satu sisi, ini kese

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-10
  • Jejak Langkah Sang CEO   Kepingan Rahasia

    Alya duduk di ruang tamu sambil menatap layar laptopnya. Matanya berkedip pelan, tapi pikirannya nggak berhenti muter-muter. Malam itu, setelah kejadian di gudang, dia nggak bisa tidur. Bukan cuma soal adrenalin yang masih tersisa, tapi juga karena satu nama yang terus ada di kepalanya: Aiden Ravindra.“Lo beneran bakal ngelaporin ini?” Mira muncul dari dapur sambil nenteng dua cangkir kopi.Alya mendesah, menerima cangkir dari Mira. “Gue masih belum yakin. Berita ini gede banget, Mir. Tapi, gue nggak mau asal nulis tanpa fakta lengkap.”“Dan lo yakin Aiden bakal kasih lo akses buat fakta lengkap itu?” Mira menaikkan alis.Alya terdiam sejenak, lalu menggeleng pelan. “Nggak. Dia tipe orang yang bakal ngelindungin rahasianya mati-matian.”Mira duduk di sebelah Alya. “Kalau gitu, kenapa lo nggak fokus ke hal lain dulu? Lo punya banyak bahan liputan, kan? Jangan lupa, ada Samuel Aditya di balik semua ini. Dia musuh nyata lo sekarang.”Alya menatap Mira, lalu menyesap kopinya. “Lo bener.

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-10
  • Jejak Langkah Sang CEO   Konspirasi Yang Terbuka

    Pagi itu, Alya menatap layar laptopnya sambil menyeruput kopi yang mulai dingin. Ia bolak-balik membaca catatan dari Evelyn dan mencoba mencocokkannya dengan beberapa dokumen lain yang ia temukan. Semuanya terasa seperti teka-teki besar yang belum ada gambarnya.“Lo nggak tidur, ya?” suara Mira yang baru bangun terdengar dari dapur kecil.“Sebentar aja,” jawab Alya singkat.“Sebentar yang udah masuk hari ketiga?” Mira mendekati meja kerja Alya sambil membawa roti bakar. “Lo serius banget. Awas, jangan sampai burnout.”Alya mendesah. “Gue nggak bisa berhenti, Mir. Semuanya makin jelas. Gue cuma butuh satu bukti lagi buat tahu siapa dalang sabotase Zenith ini.”Mira duduk di samping Alya, mengunyah pelan. “Lo yakin ini bukan cuma permainan Evelyn? Dia tuh manipulatif banget.”“Itu yang bikin gue pusing,” jawab Alya sambil mengusap wajah. “Tapi fakta yang dia kasih cocok sama investigasi gue.”Mira mengangkat bahu. “Yaudah, kalau lo yakin, gas terus. Tapi jangan lupa istirahat.”Di sisi

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-10

Bab terbaru

  • Jejak Langkah Sang CEO   Di Balik Layar

    Pagi itu, Alya duduk di ruang redaksi dengan segelas kopi dingin yang sudah setengah habis. Matanya terpaku ke layar laptop, mengetik cepat sambil sesekali menghela napas panjang. Di sebelahnya, Dio menyandarkan tubuh di kursi dengan ekspresi santai tapi usil.“Artikel lo soal Zenith udah kelar?” tanya Dio sambil melirik layar laptop Alya.“Belum,” jawab Alya singkat tanpa mengalihkan pandangan.“Lo serius banget, kayak mau nulis tesis.” Dio terkekeh.“Dio, kalau nggak ada yang penting, tolong jangan ganggu,” balas Alya sambil mengetik lebih cepat.Reza Hartono, editor senior sekaligus mentor Alya, tiba-tiba muncul dari balik meja. “Alya, gue butuh artikel itu sebelum jam makan siang. Lo masih punya waktu dua jam.”“Iya, Pak Reza. Hampir selesai,” kata Alya sambil mengangguk cepat.“Bagus. Gue percaya lo bisa handle ini,” ujar Reza sambil menepuk bahunya.Setelah Reza pergi, Dio menyeringai kecil. “Jangan lupa kasih gue bocoran soal Aiden Ravindra. CEO misterius itu pasti punya sisi g

  • Jejak Langkah Sang CEO   Langkah Yang Berani

    Alya mengetuk meja kafe kecil itu sambil melirik pintu. Dia udah duduk di sana selama 15 menit, menunggu seseorang. Kopi di depannya udah setengah dingin, tapi pikirannya masih sibuk dengan pesan ancaman yang dia terima tadi malam.“Maaf, telat,” suara berat menginterupsi lamunannya. Nathaniel duduk di kursi di seberangnya dengan wajah serius.Alya melipat tangannya di meja. “Lo yakin nggak bakal ada yang curiga lo ketemu sama gue?”Nathaniel tersenyum tipis. “Gue bisa bikin ini keliatan kayak meeting kerja biasa. Lagian, gue COO. Siapa yang bakal nanya?”Alya mengangkat alis. “Oke, jadi kenapa lo minta ketemu?”Nathaniel mengeluarkan amplop cokelat dari tasnya. “Gue nemu sesuatu di laporan keuangan Zenith. Ini kayak… pola yang aneh, tapi gue nggak bisa pastiin ini sabotase atau cuma salah input data.”Alya mengambil amplop itu, membuka isinya, dan mulai membaca cepat. “Ini… transfer dana kecil, tapi sering. Ke akun yang beda-beda?”Nathaniel mengangguk. “Tepat. Kalau dilihat sekilas,

  • Jejak Langkah Sang CEO   Konspirasi Yang Terbuka

    Pagi itu, Alya menatap layar laptopnya sambil menyeruput kopi yang mulai dingin. Ia bolak-balik membaca catatan dari Evelyn dan mencoba mencocokkannya dengan beberapa dokumen lain yang ia temukan. Semuanya terasa seperti teka-teki besar yang belum ada gambarnya.“Lo nggak tidur, ya?” suara Mira yang baru bangun terdengar dari dapur kecil.“Sebentar aja,” jawab Alya singkat.“Sebentar yang udah masuk hari ketiga?” Mira mendekati meja kerja Alya sambil membawa roti bakar. “Lo serius banget. Awas, jangan sampai burnout.”Alya mendesah. “Gue nggak bisa berhenti, Mir. Semuanya makin jelas. Gue cuma butuh satu bukti lagi buat tahu siapa dalang sabotase Zenith ini.”Mira duduk di samping Alya, mengunyah pelan. “Lo yakin ini bukan cuma permainan Evelyn? Dia tuh manipulatif banget.”“Itu yang bikin gue pusing,” jawab Alya sambil mengusap wajah. “Tapi fakta yang dia kasih cocok sama investigasi gue.”Mira mengangkat bahu. “Yaudah, kalau lo yakin, gas terus. Tapi jangan lupa istirahat.”Di sisi

  • Jejak Langkah Sang CEO   Kepingan Rahasia

    Alya duduk di ruang tamu sambil menatap layar laptopnya. Matanya berkedip pelan, tapi pikirannya nggak berhenti muter-muter. Malam itu, setelah kejadian di gudang, dia nggak bisa tidur. Bukan cuma soal adrenalin yang masih tersisa, tapi juga karena satu nama yang terus ada di kepalanya: Aiden Ravindra.“Lo beneran bakal ngelaporin ini?” Mira muncul dari dapur sambil nenteng dua cangkir kopi.Alya mendesah, menerima cangkir dari Mira. “Gue masih belum yakin. Berita ini gede banget, Mir. Tapi, gue nggak mau asal nulis tanpa fakta lengkap.”“Dan lo yakin Aiden bakal kasih lo akses buat fakta lengkap itu?” Mira menaikkan alis.Alya terdiam sejenak, lalu menggeleng pelan. “Nggak. Dia tipe orang yang bakal ngelindungin rahasianya mati-matian.”Mira duduk di sebelah Alya. “Kalau gitu, kenapa lo nggak fokus ke hal lain dulu? Lo punya banyak bahan liputan, kan? Jangan lupa, ada Samuel Aditya di balik semua ini. Dia musuh nyata lo sekarang.”Alya menatap Mira, lalu menyesap kopinya. “Lo bener.

  • Jejak Langkah Sang CEO   Perang Dimulai

    Alya menatap Randy Suhartono yang berdiri di depan pintunya. Lelaki itu tampak kusut, matanya waspada sambil terus mengawasi lorong apartemen.“Masuk,” Alya akhirnya berkata, meski dalam hati masih ragu. Mira langsung berdiri dari sofa, memasang wajah curiga.“Lo ngapain di sini?” Mira memotong sebelum Randy sempat bicara.Randy mengangkat tangannya, seolah memberi tanda kalau dia nggak punya niat buruk. “Gue datang buat nyerah.”“Ny… nyerah?” Alya mengerutkan dahi, nggak percaya dengan apa yang baru dia dengar.Randy mengangguk pelan. “Samuel nggak tahu kalau gue di sini. Gue udah muak jadi pionnya dia. Dia nggak cuma mau ngancurin Zenith, tapi juga orang-orang kayak lo.”“Ngapain kita percaya lo?” Mira mendesis. “Lo tuh hacker bayaran. Lo bisa aja pura-pura baik buat jebak kita.”“Gue punya bukti lebih banyak tentang Samuel,” Randy bersikeras. “Semua rencananya ada di laptop gue. Kalau lo nggak percaya, gue bisa kasih itu sekarang.”Alya memutar otaknya cepat. Di satu sisi, ini kese

  • Jejak Langkah Sang CEO   Konfrontasi Tak Terduga

    Pagi itu di kantor Zenith Corp, Aiden duduk di ruangannya yang luas, dikelilingi oleh tumpukan dokumen dan laporan. Pandangannya tajam, tapi ada sedikit kerutan di keningnya. Pikirannya masih dipenuhi dengan kejadian sabotase yang terus menggoyang perusahaannya.Nathaniel masuk dengan langkah cepat tanpa mengetuk, seperti biasanya. “Gue dapet update dari Andre. Mereka nemuin server yang dipake buat ngelakuin sabotase itu. Lokasinya di kawasan milik Samuel.”Aiden menyandarkan diri di kursinya, ekspresinya datar tapi matanya penuh ketegangan. “Samuel lagi nyari gara-gara. Kalau dia pikir gue bakal duduk diam, dia salah besar.”“Lo mau ngelakuin apa?” tanya Nathaniel sambil melipat tangan di dadanya.Aiden diam sejenak, lalu menjawab dengan nada tegas. “Kita bikin dia nyesel pernah main-main sama Zenith. Tapi sebelum itu, gue butuh bukti konkret. Gue nggak mau bergerak tanpa strategi yang jelas.”Nathaniel mengangguk. “Gue bakal terusin penyelidikannya.”Di sisi lain kota, Alya duduk di

  • Jejak Langkah Sang CEO   Langkah Di Antara Bahaya

    Pagi itu di ruang meeting Zenith Corp, suasana tegang. Aiden duduk di ujung meja, dikelilingi Nathaniel, Clara, Lucas, dan Jessica. Di tengah meja, sebuah layar besar menampilkan grafik penurunan performa saham Zenith dalam sepekan terakhir.“Ini nggak bisa dibiarkan,” suara Aiden terdengar tegas, dingin seperti biasa.Lucas mengangguk, membuka file di laptopnya. “Gue udah nge-trace beberapa aktivitas mencurigakan di sistem internal kita. Gue yakin, ini kerjaan orang dalam.”“Lo yakin, Lucas?” Jessica menyela, ragu. “Kalau ini kerjaan orang dalam, siapa yang berani? Semua karyawan udah di-screening ketat.”Nathaniel menghela napas. “Masalahnya bukan siapa yang berani, tapi siapa yang cukup pintar buat bikin semua ini kelihatan kayak kesalahan teknis biasa.”Clara, yang sejak tadi diam, akhirnya buka suara. “Kalau ini bener sabotase, lo mau langkah pertama apa, Aiden?”Aiden mengarahkan pandangannya ke semua orang di ruangan itu. “Cari siapa pelakunya. Hentikan mereka sebelum kerusakan

  • Jejak Langkah Sang CEO   Jejak Di Balik Bayangan

    Alya menatap layar laptopnya sambil menggigit ujung pulpen. Data yang ia kumpulkan dari informannya, Vina, terasa seperti potongan puzzle yang belum lengkap. Sesuatu mengganggunya—tapi dia nggak tahu pasti apa.“Lo masih ngeliatin itu?” tanya Mira, yang baru aja balik dari pantry kantor sambil membawa dua cangkir kopi.“Masih,” gumam Alya sambil menghela napas. “Gue ngerasa ada sesuatu yang besar di balik ini semua, tapi kayak ada yang sengaja nutupin jejaknya.”Mira duduk di kursi sebelahnya, menyerahkan secangkir kopi. “Lo yakin Aiden bakal percaya sama lo?”“Gue nggak peduli dia percaya atau nggak,” jawab Alya. “Yang penting, gue udah kasih dia data itu. Sekarang gue harus cari bukti lebih kuat.”Mira menyeruput kopinya sambil melipat kakinya di kursi. “Tapi lo sadar kan, lo lagi main di zona bahaya? Kalau bener ini soal sabotase, pelakunya nggak bakal tinggal diam.”Alya terdiam. Kata-kata Mira bikin dia makin sadar risiko yang dia ambil. Tapi di sisi lain, dia tahu dia nggak bisa

  • Jejak Langkah Sang CEO   Rahasia Yang Mulai Terkuak

    Alya duduk di depan laptopnya, menatap layar kosong. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja sambil memikirkan bagaimana memulai tulisan tentang wawancaranya dengan Aiden. Dia tahu, artikel ini harus beda—bukan cuma soal angka, kesuksesan, atau bisnis besar.“Ini harus nyentuh sisi manusianya,” gumam Alya.Pikirannya terhenti ketika notifikasi pesan muncul di ponselnya. Dari Mira.“Gue lagi di tempat biasa. Ngobrol yuk, ada info penting.”Alya langsung berkemas. Kalau Mira bilang info penting, pasti ada sesuatu yang menarik.Sementara itu, di kantor Zenith, Aiden berdiri di depan jendela ruangannya yang besar. Nathaniel duduk di sofa dengan ekspresi serius.“Ada perkembangan soal Victor?” tanya Aiden tanpa menoleh.Nathaniel mengangguk. “Andre dapet data tambahan. Ada jejak transaksi mencurigakan yang melibatkan orang dalam Zenith.”Aiden berbalik, ekspresinya dingin tapi penuh perhatian. “Siapa?”Nathaniel menyerahkan dokumen. “Clara Hadi. Tapi ini belum pasti. Bisa jadi dia cuma korban m

DMCA.com Protection Status