Beranda / Romansa / Jejak Langkah Sang CEO / Konspirasi Yang Terbuka

Share

Konspirasi Yang Terbuka

Penulis: ENDRA
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-10 18:45:39

Pagi itu, Alya menatap layar laptopnya sambil menyeruput kopi yang mulai dingin. Ia bolak-balik membaca catatan dari Evelyn dan mencoba mencocokkannya dengan beberapa dokumen lain yang ia temukan. Semuanya terasa seperti teka-teki besar yang belum ada gambarnya.

“Lo nggak tidur, ya?” suara Mira yang baru bangun terdengar dari dapur kecil.

“Sebentar aja,” jawab Alya singkat.

“Sebentar yang udah masuk hari ketiga?” Mira mendekati meja kerja Alya sambil membawa roti bakar. “Lo serius banget. Awas, jangan sampai burnout.”

Alya mendesah. “Gue nggak bisa berhenti, Mir. Semuanya makin jelas. Gue cuma butuh satu bukti lagi buat tahu siapa dalang sabotase Zenith ini.”

Mira duduk di samping Alya, mengunyah pelan. “Lo yakin ini bukan cuma permainan Evelyn? Dia tuh manipulatif banget.”

“Itu yang bikin gue pusing,” jawab Alya sambil mengusap wajah. “Tapi fakta yang dia kasih cocok sama investigasi gue.”

Mira mengangkat bahu. “Yaudah, kalau lo yakin, gas terus. Tapi jangan lupa istirahat.”

Di sisi lain, Aiden duduk di ruang meeting bersama Nathaniel, Jessica, dan Lucas. Aura di ruangan itu tegang. Nathaniel melaporkan perkembangan sabotase di Zenith yang makin kacau.

“Samuel nggak main-main kali ini,” kata Nathaniel. “Dia bahkan punya hacker yang bisa masuk ke sistem kita dalam waktu singkat.”

Lucas menambahkan, “Kita harus tingkatin keamanan. Gue udah minta tim buat double-check semua celah di server.”

Aiden mendengarkan dengan ekspresi dingin, lalu menatap Nathaniel. “Gue mau nama hackernya. Cepat.”

Jessica yang dari tadi diam tiba-tiba angkat bicara. “Tapi ini lebih dari soal sistem, Aiden. Ada kebocoran internal. Gue yakin ada yang ngebocorin info penting ke mereka.”

“Siapa?” tanya Aiden tajam.

Jessica menggeleng. “Belum tahu. Tapi gue lagi nyari petunjuk. Gue cuma minta lo jangan terlalu percaya sama semua orang di sini.”

Aiden mendengus, lalu berdiri. “Gue nggak pernah percaya siapa pun.”

Sore harinya, Alya akhirnya memberanikan diri menemui seseorang yang menurutnya punya jawaban. Dia berdiri di depan sebuah apartemen mewah, jantungnya berdebar keras.

Ketika pintu terbuka, sosok Evelyn muncul dengan senyuman misterius.

“Alya Mahendra,” sapanya. “Masuklah. Aku sudah menunggu.”

Alya melangkah masuk, menatap Evelyn dengan waspada. “Aku butuh penjelasan.”

“Tentu. Tapi pertanyaannya, kamu siap dengar semuanya?” Evelyn duduk di sofa sambil menyilangkan kaki.

Alya mendekat, duduk di hadapannya. “Kenapa kamu kasih aku semua ini? Apa sebenarnya hubunganmu dengan Aiden dan Samuel?”

Evelyn tertawa kecil. “Aiden itu pintar, tapi dia terlalu percaya diri. Dia pikir bisa main bersih di dunia yang penuh kotoran. Sedangkan Samuel? Dia cuma serigala yang lapar kekuasaan.”

“Dan kamu ada di sisi siapa?” Alya balas menantang.

“Sisiku sendiri,” jawab Evelyn santai. “Tapi aku nggak bohong soal ini.” Dia menyerahkan dokumen lain ke Alya.

Alya membaca cepat, matanya membesar. “Ini… data transaksi ilegal?”

“Ya. Bukti bahwa ada orang dalam Zenith yang membantu Samuel,” kata Evelyn.

Alya mendongak, menatap Evelyn. “Siapa orangnya?”

Evelyn tersenyum lebar, tapi tatapannya penuh teka-teki. “Itu tugasmu untuk menemukan.”

Sementara itu, di kantor Zenith, Nathaniel mendatangi ruang kerja Aiden dengan wajah serius.

“Aiden, lo harus tahu ini,” kata Nathaniel sambil meletakkan laporan di meja. “Ada yang coba akses file rahasia lo.”

Aiden memicingkan mata. “Siapa?”

“Belum jelas. Tapi gue curiga ini ulah Alya,” jawab Nathaniel dengan nada hati-hati.

Aiden terdiam beberapa detik sebelum berkata, “Gue yang urus Alya. Fokus ke sabotase.”

Nathaniel mengangguk, meskipun raut wajahnya menunjukkan keraguan.

Begitu Nathaniel keluar, Aiden memandangi foto Alya yang tersimpan di laci meja. Dia tahu Alya nggak akan berhenti sampai tahu semuanya.

“Lo main api, Alya,” gumamnya pelan. “Tapi gue nggak bakal biarin lo terbakar.”

Alya duduk di kafe favoritnya, menatap dokumen yang baru dia terima dari Evelyn. Rasanya masih sulit percaya kalau ada orang dalam Zenith yang ngasih akses ke Samuel. Tapi fakta nggak pernah bohong.

“Lo serius banget, Ly,” suara Zaki terdengar sambil meletakkan segelas latte di depan adiknya. “Gue udah liat muka lo kayak gini sejak lo SMA. Pasti lagi ngotot sama sesuatu.”

Alya mendongak, mencoba senyum kecil. “Biasa, lagi nyari tahu sesuatu.”

Zaki duduk di seberangnya, matanya tajam memeriksa wajah Alya. “Dan sesuatu itu kayaknya bahaya banget. Lo kerja sama siapa sekarang?”

Alya ragu menjawab. “Aku… cuma nemu petunjuk aja. Tapi ini penting.”

Zaki mendesah. “Alya, gue tahu lo keras kepala. Tapi gue juga tahu kalau lo nggak akan berhenti sampai selesai. Jadi, jujur aja sama gue.”

Alya akhirnya menyerahkan dokumen itu. “Aku nggak tahu siapa orangnya, Kak. Tapi aku yakin dia kunci semua ini.”

Zaki membaca cepat, lalu mengangkat alis. “Kalau lo bawa ini ke publik tanpa bukti jelas, lo bisa kena tuntut. Lo yakin mau ngelanjutin?”

Alya mengangguk. “Aku nggak bisa diam, Kak. Zenith bisa hancur kalau sabotase ini terus berjalan.”

“Dan kenapa lo peduli sama Zenith?” tanya Zaki serius. “Apa ini ada hubungannya sama CEO dingin itu?”

Alya terdiam sejenak, lalu menggeleng. “Ini bukan soal dia. Ini soal kebenaran.”

Zaki mendengus. “Kebenaran kadang nggak cukup buat nyelamatin lo, Alya. Tapi, kalau lo butuh bantuan, gue ada.”

Di Zenith, Aiden memanggil Tara ke ruang kerjanya.

“Tara, lo kenal sama semua orang yang punya akses ke file rahasia gue, kan?” tanya Aiden sambil membaca laporan di tangannya.

Tara mengangguk cepat. “Ya, Pak. Cuma beberapa orang yang punya akses itu.”

“Periksa semuanya. Gue mau tahu siapa yang berkhianat,” perintah Aiden dingin.

Tara mengangguk lagi, lalu keluar dengan wajah tegang. Begitu pintu menutup, Aiden melemparkan laporan ke meja. Dia merasa semua orang mulai bermain di belakangnya, dan itu membuatnya nggak bisa tidur.

Nathaniel masuk tanpa mengetuk. “Ada kabar buruk.”

Aiden memandangnya tajam. “Apa lagi sekarang?”

“Samuel mulai mendekati investor kita. Gue dapat laporan dia udah ngobrol sama George Lim,” kata Nathaniel.

Aiden terdiam. George adalah investor terbesar Zenith, dan kepercayaannya adalah aset yang nggak ternilai.

“Gue akan bicara sama George sendiri,” kata Aiden akhirnya.

Nathaniel terlihat ragu. “Lo yakin? Kalau Samuel udah punya sesuatu buat nyerang, lo bisa kalah.”

Aiden memicingkan mata. “Gue nggak pernah kalah, Nate. Dan gue nggak akan mulai sekarang.”

Sore itu, Alya kembali ke apartemennya dengan kepala penuh. Tapi baru aja dia mau duduk, ada ketukan di pintu.

Ketika dia membuka, Aiden berdiri di sana. Matanya tajam, tapi raut wajahnya lebih tenang dari biasanya.

“Aiden?” Alya terkejut. “Kenapa lo ada di sini?”

“Kita perlu bicara,” jawab Aiden tanpa basa-basi.

Alya mundur, membiarkannya masuk. “Tentang apa?”

Aiden berdiri di tengah ruangan, seperti singa di wilayah baru. “Gue tahu lo lagi nyari tahu soal sabotase Zenith.”

Alya terdiam, mencoba membaca ekspresi Aiden. “Dan lo di sini buat ngelarang gue?”

“Enggak,” jawab Aiden sambil menatapnya langsung. “Gue di sini buat kerja sama.”

Alya tercengang. “Kerja sama? Dengan lo? Bukannya lo paling nggak suka orang masuk ke urusan lo?”

Aiden mendekat selangkah. “Gue nggak punya pilihan. Kalau lo terus jalan sendirian, lo bakal bahaya. Gue tahu siapa musuh kita. Dan gue tahu gimana cara main mereka.”

Alya masih nggak percaya. “Dan kenapa gue harus percaya lo?”

Aiden menatapnya dalam. “Karena kalau lo gagal, bukan cuma lo yang kena. Gue juga.”

Alya masih memandang Aiden dengan tatapan penuh curiga. Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat dia nggak yakin sepenuhnya.

“Jadi, lo sekarang mau main tim sama gue?” tanya Alya sambil menyilangkan tangan di depan dada.

Aiden mengangguk kecil, tapi matanya nggak meninggalkan Alya. “Gue nggak bilang gue suka ide ini. Tapi gue tahu kalau kita nggak gabungin informasi kita, semuanya bisa kacau.”

Alya menghela napas panjang. “Lo sadar, kan? Gue ini cuma jurnalis. Gue bukan detektif, apalagi orang perusahaan lo.”

“Dan itu alasan kenapa gue butuh lo,” jawab Aiden dingin. “Lo punya akses ke orang-orang dan informasi yang gue nggak punya. Lo lihat dari sudut pandang yang beda.”

Alya mengerutkan kening. “Lo bilang lo tahu siapa musuhnya. Siapa?”

Aiden berjalan mendekat ke jendela apartemen Alya, menatap keluar. “Samuel,” jawabnya tanpa ragu. “Dia main kotor, tapi dia nggak jalan sendiri. Ada orang dalam Zenith yang bantu dia.”

Alya langsung terpaku. “Orang dalam? Siapa?”

“Belum tahu. Tapi gue yakin dia ada di lingkaran inti gue,” kata Aiden sambil berbalik, menatap Alya tajam. “Dan lo yang bisa bantu gue cari tahu siapa.”

Alya tertawa kecil, hampir sinis. “Lo sadar nggak betapa gila kedengarannya ini? Gue bantu CEO yang gue tulis artikelnya, buat ngungkap konspirasi yang bahkan nggak jelas gue bisa percaya lo atau nggak?”

Aiden mendekat, ekspresinya serius. “Kalau lo nggak percaya gue, percayalah pada fakta. Zenith lagi disabotase. Dan kalau perusahaan ini jatuh, ribuan orang kehilangan pekerjaan, termasuk mereka yang kerja di divisi kecil yang lo bilang ‘nggak tersentuh’ itu. Lo mau biarin itu terjadi?”

Kata-kata Aiden menusuk Alya. Dia terdiam, mencoba mencerna semuanya.

“Gue butuh waktu,” akhirnya Alya berkata.

Aiden mengangguk, menghormati keputusannya. “Tapi jangan lama-lama. Samuel nggak akan nunggu.”

Di tempat lain, Nathaniel duduk di kantornya sambil memeriksa laporan keuangan Zenith yang aneh. Beberapa angka nggak sinkron, tapi nggak ada bukti nyata sabotase di sini.

Jessica mengetuk pintu lalu masuk tanpa menunggu jawaban. “Nathaniel, gue dengar lo lagi investigasi.”

Nathaniel mendongak, ekspresi wajahnya menunjukkan kejengkelan. “Dan lo dengar dari mana?”

Jessica tersenyum samar. “Gue punya telinga di mana-mana. Lo tahu itu. Jadi, apa lo butuh bantuan?”

Nathaniel memiringkan kepala, mencoba membaca maksud Jessica. “Bantuan? Dari lo?”

Jessica duduk santai di kursi di depannya. “Zenith hancur, gue hancur. Gue punya banyak alasan buat jaga perusahaan ini. Jadi, apa yang bisa gue bantu?”

Nathaniel mendengus. “Gue bakal minta kalau butuh. Sekarang gue cuma butuh lo fokus di marketing, Jess. Biar gue yang urus ini.”

Jessica berdiri, lalu berjalan ke pintu. “Jangan terlalu lama, Nate. Kalau gue dengar ada yang lebih gawat lagi, gue nggak akan diam.”

Nathaniel hanya mendesah pelan.

Sementara itu, di kafe kecil di pinggiran kota, Samuel duduk bersama seseorang yang mengenakan hoodie hitam. Mereka bicara pelan, hampir berbisik.

“Kita butuh langkah berikutnya,” kata Samuel tegas. “Aiden mulai curiga.”

Orang itu mengangguk. “Gue udah punya rencana. Tapi butuh waktu. Lo yakin kita harus lanjut?”

Samuel tersenyum sinis. “Lanjutkan. Aiden Ravindra bukan dewa. Dia bisa jatuh, sama kayak orang lain.”

Di apartemen Alya, dia duduk di depan laptopnya sambil menatap layar kosong. Ada banyak hal di pikirannya sekarang, tapi dia tahu satu hal pasti: dia nggak bisa mundur.

Handphone-nya bergetar, ada pesan masuk dari nomor nggak dikenal:

“Kalau lo terus gali ini, lo akan nyesel.”

Alya menelan ludah, tapi kemudian mengetik balasan:

“Kalau lo pikir gue takut, lo salah besar.”

Bab terkait

  • Jejak Langkah Sang CEO   Langkah Yang Berani

    Alya mengetuk meja kafe kecil itu sambil melirik pintu. Dia udah duduk di sana selama 15 menit, menunggu seseorang. Kopi di depannya udah setengah dingin, tapi pikirannya masih sibuk dengan pesan ancaman yang dia terima tadi malam.“Maaf, telat,” suara berat menginterupsi lamunannya. Nathaniel duduk di kursi di seberangnya dengan wajah serius.Alya melipat tangannya di meja. “Lo yakin nggak bakal ada yang curiga lo ketemu sama gue?”Nathaniel tersenyum tipis. “Gue bisa bikin ini keliatan kayak meeting kerja biasa. Lagian, gue COO. Siapa yang bakal nanya?”Alya mengangkat alis. “Oke, jadi kenapa lo minta ketemu?”Nathaniel mengeluarkan amplop cokelat dari tasnya. “Gue nemu sesuatu di laporan keuangan Zenith. Ini kayak… pola yang aneh, tapi gue nggak bisa pastiin ini sabotase atau cuma salah input data.”Alya mengambil amplop itu, membuka isinya, dan mulai membaca cepat. “Ini… transfer dana kecil, tapi sering. Ke akun yang beda-beda?”Nathaniel mengangguk. “Tepat. Kalau dilihat sekilas,

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-10
  • Jejak Langkah Sang CEO   Di Balik Layar

    Pagi itu, Alya duduk di ruang redaksi dengan segelas kopi dingin yang sudah setengah habis. Matanya terpaku ke layar laptop, mengetik cepat sambil sesekali menghela napas panjang. Di sebelahnya, Dio menyandarkan tubuh di kursi dengan ekspresi santai tapi usil.“Artikel lo soal Zenith udah kelar?” tanya Dio sambil melirik layar laptop Alya.“Belum,” jawab Alya singkat tanpa mengalihkan pandangan.“Lo serius banget, kayak mau nulis tesis.” Dio terkekeh.“Dio, kalau nggak ada yang penting, tolong jangan ganggu,” balas Alya sambil mengetik lebih cepat.Reza Hartono, editor senior sekaligus mentor Alya, tiba-tiba muncul dari balik meja. “Alya, gue butuh artikel itu sebelum jam makan siang. Lo masih punya waktu dua jam.”“Iya, Pak Reza. Hampir selesai,” kata Alya sambil mengangguk cepat.“Bagus. Gue percaya lo bisa handle ini,” ujar Reza sambil menepuk bahunya.Setelah Reza pergi, Dio menyeringai kecil. “Jangan lupa kasih gue bocoran soal Aiden Ravindra. CEO misterius itu pasti punya sisi g

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-10
  • Jejak Langkah Sang CEO   Titik Awal

    “Udah sampai, Mbak Alya.” Alya melongok dari jendela mobil taksi online. Kantor Zenith Corp menjulang tinggi di tengah hiruk pikuk Jakarta. Gedung itu terasa dingin, sama seperti reputasi CEO-nya, Aiden Ravindra. Alya menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang sedikit lebih cepat dari biasanya. “Semangat, Alya. Ingat, lo wartawan. Nggak ada yang nggak bisa lo hadapin,” gumamnya pelan sebelum membayar ongkos dan turun. Begitu masuk ke lobi, dia disambut suasana yang penuh profesionalisme. Semua serba rapi, elegan, tapi juga terasa… kaku. Seorang resepsionis perempuan menyapanya dengan senyum tipis. “Selamat siang. Ada yang bisa saya bantu?” Alya memberikan ID persnya. “Alya Mahendra, dari Insight Media. Saya ada janji wawancara sama Pak Aiden Ravindra jam dua.” Resepsionis itu mengangguk sambil memeriksa daftar tamu. “Silakan tunggu sebentar, Mbak. Saya panggilkan Mbak Tara untuk mengantar Anda.” Beberapa menit kemudian, seorang perempuan muda dengan blazer

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-04
  • Jejak Langkah Sang CEO   Pertemuan Yang Tak Terduga

    Alya sibuk mengetik di laptopnya di meja kerja kecil di kantor redaksi. Ruangan itu nggak besar, tapi selalu ramai. Suara keyboard dari semua penjuru, telepon berdering, dan obrolan rekan kerja jadi soundtrack sehari-hari. “Masih soal Aiden Ravindra?” suara Dio, rekan sekaligus saingannya, tiba-tiba muncul dari belakang. Alya mendongak, agak terganggu. “Ya, kenapa?” Dio menyandarkan diri ke dinding sambil tersenyum kecil. “Lo sadar nggak, kebanyakan artikel lo tuh berat ke sisi kemanusiaan. Bagus sih, tapi kadang gue mikir, apa semua CEO itu punya sisi manusiawi?” Alya mendengus, lalu melipat tangannya di meja. “Lo skeptis banget. Justru itu tugas kita, kan? Bukan cuma ngegali fakta, tapi nyari cerita di balik fakta itu.” Dio mengangkat bahu. “Well, good luck sama si robot es itu. Gue dengar dia baru aja nge-‘terminate’ kontrak gede tadi pagi.” Alya langsung berhenti mengetik. “Serius? Kontrak yang mana?” “BrightFuture Holdings,” jawab Dio dengan nada santai. Alya memicingkan

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-04
  • Jejak Langkah Sang CEO   Rahasia Yang Mulai Terkuak

    Alya duduk di depan laptopnya, menatap layar kosong. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja sambil memikirkan bagaimana memulai tulisan tentang wawancaranya dengan Aiden. Dia tahu, artikel ini harus beda—bukan cuma soal angka, kesuksesan, atau bisnis besar.“Ini harus nyentuh sisi manusianya,” gumam Alya.Pikirannya terhenti ketika notifikasi pesan muncul di ponselnya. Dari Mira.“Gue lagi di tempat biasa. Ngobrol yuk, ada info penting.”Alya langsung berkemas. Kalau Mira bilang info penting, pasti ada sesuatu yang menarik.Sementara itu, di kantor Zenith, Aiden berdiri di depan jendela ruangannya yang besar. Nathaniel duduk di sofa dengan ekspresi serius.“Ada perkembangan soal Victor?” tanya Aiden tanpa menoleh.Nathaniel mengangguk. “Andre dapet data tambahan. Ada jejak transaksi mencurigakan yang melibatkan orang dalam Zenith.”Aiden berbalik, ekspresinya dingin tapi penuh perhatian. “Siapa?”Nathaniel menyerahkan dokumen. “Clara Hadi. Tapi ini belum pasti. Bisa jadi dia cuma korban m

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-04
  • Jejak Langkah Sang CEO   Jejak Di Balik Bayangan

    Alya menatap layar laptopnya sambil menggigit ujung pulpen. Data yang ia kumpulkan dari informannya, Vina, terasa seperti potongan puzzle yang belum lengkap. Sesuatu mengganggunya—tapi dia nggak tahu pasti apa.“Lo masih ngeliatin itu?” tanya Mira, yang baru aja balik dari pantry kantor sambil membawa dua cangkir kopi.“Masih,” gumam Alya sambil menghela napas. “Gue ngerasa ada sesuatu yang besar di balik ini semua, tapi kayak ada yang sengaja nutupin jejaknya.”Mira duduk di kursi sebelahnya, menyerahkan secangkir kopi. “Lo yakin Aiden bakal percaya sama lo?”“Gue nggak peduli dia percaya atau nggak,” jawab Alya. “Yang penting, gue udah kasih dia data itu. Sekarang gue harus cari bukti lebih kuat.”Mira menyeruput kopinya sambil melipat kakinya di kursi. “Tapi lo sadar kan, lo lagi main di zona bahaya? Kalau bener ini soal sabotase, pelakunya nggak bakal tinggal diam.”Alya terdiam. Kata-kata Mira bikin dia makin sadar risiko yang dia ambil. Tapi di sisi lain, dia tahu dia nggak bisa

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-04
  • Jejak Langkah Sang CEO   Langkah Di Antara Bahaya

    Pagi itu di ruang meeting Zenith Corp, suasana tegang. Aiden duduk di ujung meja, dikelilingi Nathaniel, Clara, Lucas, dan Jessica. Di tengah meja, sebuah layar besar menampilkan grafik penurunan performa saham Zenith dalam sepekan terakhir.“Ini nggak bisa dibiarkan,” suara Aiden terdengar tegas, dingin seperti biasa.Lucas mengangguk, membuka file di laptopnya. “Gue udah nge-trace beberapa aktivitas mencurigakan di sistem internal kita. Gue yakin, ini kerjaan orang dalam.”“Lo yakin, Lucas?” Jessica menyela, ragu. “Kalau ini kerjaan orang dalam, siapa yang berani? Semua karyawan udah di-screening ketat.”Nathaniel menghela napas. “Masalahnya bukan siapa yang berani, tapi siapa yang cukup pintar buat bikin semua ini kelihatan kayak kesalahan teknis biasa.”Clara, yang sejak tadi diam, akhirnya buka suara. “Kalau ini bener sabotase, lo mau langkah pertama apa, Aiden?”Aiden mengarahkan pandangannya ke semua orang di ruangan itu. “Cari siapa pelakunya. Hentikan mereka sebelum kerusakan

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-04
  • Jejak Langkah Sang CEO   Konfrontasi Tak Terduga

    Pagi itu di kantor Zenith Corp, Aiden duduk di ruangannya yang luas, dikelilingi oleh tumpukan dokumen dan laporan. Pandangannya tajam, tapi ada sedikit kerutan di keningnya. Pikirannya masih dipenuhi dengan kejadian sabotase yang terus menggoyang perusahaannya.Nathaniel masuk dengan langkah cepat tanpa mengetuk, seperti biasanya. “Gue dapet update dari Andre. Mereka nemuin server yang dipake buat ngelakuin sabotase itu. Lokasinya di kawasan milik Samuel.”Aiden menyandarkan diri di kursinya, ekspresinya datar tapi matanya penuh ketegangan. “Samuel lagi nyari gara-gara. Kalau dia pikir gue bakal duduk diam, dia salah besar.”“Lo mau ngelakuin apa?” tanya Nathaniel sambil melipat tangan di dadanya.Aiden diam sejenak, lalu menjawab dengan nada tegas. “Kita bikin dia nyesel pernah main-main sama Zenith. Tapi sebelum itu, gue butuh bukti konkret. Gue nggak mau bergerak tanpa strategi yang jelas.”Nathaniel mengangguk. “Gue bakal terusin penyelidikannya.”Di sisi lain kota, Alya duduk di

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-10

Bab terbaru

  • Jejak Langkah Sang CEO   Di Balik Layar

    Pagi itu, Alya duduk di ruang redaksi dengan segelas kopi dingin yang sudah setengah habis. Matanya terpaku ke layar laptop, mengetik cepat sambil sesekali menghela napas panjang. Di sebelahnya, Dio menyandarkan tubuh di kursi dengan ekspresi santai tapi usil.“Artikel lo soal Zenith udah kelar?” tanya Dio sambil melirik layar laptop Alya.“Belum,” jawab Alya singkat tanpa mengalihkan pandangan.“Lo serius banget, kayak mau nulis tesis.” Dio terkekeh.“Dio, kalau nggak ada yang penting, tolong jangan ganggu,” balas Alya sambil mengetik lebih cepat.Reza Hartono, editor senior sekaligus mentor Alya, tiba-tiba muncul dari balik meja. “Alya, gue butuh artikel itu sebelum jam makan siang. Lo masih punya waktu dua jam.”“Iya, Pak Reza. Hampir selesai,” kata Alya sambil mengangguk cepat.“Bagus. Gue percaya lo bisa handle ini,” ujar Reza sambil menepuk bahunya.Setelah Reza pergi, Dio menyeringai kecil. “Jangan lupa kasih gue bocoran soal Aiden Ravindra. CEO misterius itu pasti punya sisi g

  • Jejak Langkah Sang CEO   Langkah Yang Berani

    Alya mengetuk meja kafe kecil itu sambil melirik pintu. Dia udah duduk di sana selama 15 menit, menunggu seseorang. Kopi di depannya udah setengah dingin, tapi pikirannya masih sibuk dengan pesan ancaman yang dia terima tadi malam.“Maaf, telat,” suara berat menginterupsi lamunannya. Nathaniel duduk di kursi di seberangnya dengan wajah serius.Alya melipat tangannya di meja. “Lo yakin nggak bakal ada yang curiga lo ketemu sama gue?”Nathaniel tersenyum tipis. “Gue bisa bikin ini keliatan kayak meeting kerja biasa. Lagian, gue COO. Siapa yang bakal nanya?”Alya mengangkat alis. “Oke, jadi kenapa lo minta ketemu?”Nathaniel mengeluarkan amplop cokelat dari tasnya. “Gue nemu sesuatu di laporan keuangan Zenith. Ini kayak… pola yang aneh, tapi gue nggak bisa pastiin ini sabotase atau cuma salah input data.”Alya mengambil amplop itu, membuka isinya, dan mulai membaca cepat. “Ini… transfer dana kecil, tapi sering. Ke akun yang beda-beda?”Nathaniel mengangguk. “Tepat. Kalau dilihat sekilas,

  • Jejak Langkah Sang CEO   Konspirasi Yang Terbuka

    Pagi itu, Alya menatap layar laptopnya sambil menyeruput kopi yang mulai dingin. Ia bolak-balik membaca catatan dari Evelyn dan mencoba mencocokkannya dengan beberapa dokumen lain yang ia temukan. Semuanya terasa seperti teka-teki besar yang belum ada gambarnya.“Lo nggak tidur, ya?” suara Mira yang baru bangun terdengar dari dapur kecil.“Sebentar aja,” jawab Alya singkat.“Sebentar yang udah masuk hari ketiga?” Mira mendekati meja kerja Alya sambil membawa roti bakar. “Lo serius banget. Awas, jangan sampai burnout.”Alya mendesah. “Gue nggak bisa berhenti, Mir. Semuanya makin jelas. Gue cuma butuh satu bukti lagi buat tahu siapa dalang sabotase Zenith ini.”Mira duduk di samping Alya, mengunyah pelan. “Lo yakin ini bukan cuma permainan Evelyn? Dia tuh manipulatif banget.”“Itu yang bikin gue pusing,” jawab Alya sambil mengusap wajah. “Tapi fakta yang dia kasih cocok sama investigasi gue.”Mira mengangkat bahu. “Yaudah, kalau lo yakin, gas terus. Tapi jangan lupa istirahat.”Di sisi

  • Jejak Langkah Sang CEO   Kepingan Rahasia

    Alya duduk di ruang tamu sambil menatap layar laptopnya. Matanya berkedip pelan, tapi pikirannya nggak berhenti muter-muter. Malam itu, setelah kejadian di gudang, dia nggak bisa tidur. Bukan cuma soal adrenalin yang masih tersisa, tapi juga karena satu nama yang terus ada di kepalanya: Aiden Ravindra.“Lo beneran bakal ngelaporin ini?” Mira muncul dari dapur sambil nenteng dua cangkir kopi.Alya mendesah, menerima cangkir dari Mira. “Gue masih belum yakin. Berita ini gede banget, Mir. Tapi, gue nggak mau asal nulis tanpa fakta lengkap.”“Dan lo yakin Aiden bakal kasih lo akses buat fakta lengkap itu?” Mira menaikkan alis.Alya terdiam sejenak, lalu menggeleng pelan. “Nggak. Dia tipe orang yang bakal ngelindungin rahasianya mati-matian.”Mira duduk di sebelah Alya. “Kalau gitu, kenapa lo nggak fokus ke hal lain dulu? Lo punya banyak bahan liputan, kan? Jangan lupa, ada Samuel Aditya di balik semua ini. Dia musuh nyata lo sekarang.”Alya menatap Mira, lalu menyesap kopinya. “Lo bener.

  • Jejak Langkah Sang CEO   Perang Dimulai

    Alya menatap Randy Suhartono yang berdiri di depan pintunya. Lelaki itu tampak kusut, matanya waspada sambil terus mengawasi lorong apartemen.“Masuk,” Alya akhirnya berkata, meski dalam hati masih ragu. Mira langsung berdiri dari sofa, memasang wajah curiga.“Lo ngapain di sini?” Mira memotong sebelum Randy sempat bicara.Randy mengangkat tangannya, seolah memberi tanda kalau dia nggak punya niat buruk. “Gue datang buat nyerah.”“Ny… nyerah?” Alya mengerutkan dahi, nggak percaya dengan apa yang baru dia dengar.Randy mengangguk pelan. “Samuel nggak tahu kalau gue di sini. Gue udah muak jadi pionnya dia. Dia nggak cuma mau ngancurin Zenith, tapi juga orang-orang kayak lo.”“Ngapain kita percaya lo?” Mira mendesis. “Lo tuh hacker bayaran. Lo bisa aja pura-pura baik buat jebak kita.”“Gue punya bukti lebih banyak tentang Samuel,” Randy bersikeras. “Semua rencananya ada di laptop gue. Kalau lo nggak percaya, gue bisa kasih itu sekarang.”Alya memutar otaknya cepat. Di satu sisi, ini kese

  • Jejak Langkah Sang CEO   Konfrontasi Tak Terduga

    Pagi itu di kantor Zenith Corp, Aiden duduk di ruangannya yang luas, dikelilingi oleh tumpukan dokumen dan laporan. Pandangannya tajam, tapi ada sedikit kerutan di keningnya. Pikirannya masih dipenuhi dengan kejadian sabotase yang terus menggoyang perusahaannya.Nathaniel masuk dengan langkah cepat tanpa mengetuk, seperti biasanya. “Gue dapet update dari Andre. Mereka nemuin server yang dipake buat ngelakuin sabotase itu. Lokasinya di kawasan milik Samuel.”Aiden menyandarkan diri di kursinya, ekspresinya datar tapi matanya penuh ketegangan. “Samuel lagi nyari gara-gara. Kalau dia pikir gue bakal duduk diam, dia salah besar.”“Lo mau ngelakuin apa?” tanya Nathaniel sambil melipat tangan di dadanya.Aiden diam sejenak, lalu menjawab dengan nada tegas. “Kita bikin dia nyesel pernah main-main sama Zenith. Tapi sebelum itu, gue butuh bukti konkret. Gue nggak mau bergerak tanpa strategi yang jelas.”Nathaniel mengangguk. “Gue bakal terusin penyelidikannya.”Di sisi lain kota, Alya duduk di

  • Jejak Langkah Sang CEO   Langkah Di Antara Bahaya

    Pagi itu di ruang meeting Zenith Corp, suasana tegang. Aiden duduk di ujung meja, dikelilingi Nathaniel, Clara, Lucas, dan Jessica. Di tengah meja, sebuah layar besar menampilkan grafik penurunan performa saham Zenith dalam sepekan terakhir.“Ini nggak bisa dibiarkan,” suara Aiden terdengar tegas, dingin seperti biasa.Lucas mengangguk, membuka file di laptopnya. “Gue udah nge-trace beberapa aktivitas mencurigakan di sistem internal kita. Gue yakin, ini kerjaan orang dalam.”“Lo yakin, Lucas?” Jessica menyela, ragu. “Kalau ini kerjaan orang dalam, siapa yang berani? Semua karyawan udah di-screening ketat.”Nathaniel menghela napas. “Masalahnya bukan siapa yang berani, tapi siapa yang cukup pintar buat bikin semua ini kelihatan kayak kesalahan teknis biasa.”Clara, yang sejak tadi diam, akhirnya buka suara. “Kalau ini bener sabotase, lo mau langkah pertama apa, Aiden?”Aiden mengarahkan pandangannya ke semua orang di ruangan itu. “Cari siapa pelakunya. Hentikan mereka sebelum kerusakan

  • Jejak Langkah Sang CEO   Jejak Di Balik Bayangan

    Alya menatap layar laptopnya sambil menggigit ujung pulpen. Data yang ia kumpulkan dari informannya, Vina, terasa seperti potongan puzzle yang belum lengkap. Sesuatu mengganggunya—tapi dia nggak tahu pasti apa.“Lo masih ngeliatin itu?” tanya Mira, yang baru aja balik dari pantry kantor sambil membawa dua cangkir kopi.“Masih,” gumam Alya sambil menghela napas. “Gue ngerasa ada sesuatu yang besar di balik ini semua, tapi kayak ada yang sengaja nutupin jejaknya.”Mira duduk di kursi sebelahnya, menyerahkan secangkir kopi. “Lo yakin Aiden bakal percaya sama lo?”“Gue nggak peduli dia percaya atau nggak,” jawab Alya. “Yang penting, gue udah kasih dia data itu. Sekarang gue harus cari bukti lebih kuat.”Mira menyeruput kopinya sambil melipat kakinya di kursi. “Tapi lo sadar kan, lo lagi main di zona bahaya? Kalau bener ini soal sabotase, pelakunya nggak bakal tinggal diam.”Alya terdiam. Kata-kata Mira bikin dia makin sadar risiko yang dia ambil. Tapi di sisi lain, dia tahu dia nggak bisa

  • Jejak Langkah Sang CEO   Rahasia Yang Mulai Terkuak

    Alya duduk di depan laptopnya, menatap layar kosong. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja sambil memikirkan bagaimana memulai tulisan tentang wawancaranya dengan Aiden. Dia tahu, artikel ini harus beda—bukan cuma soal angka, kesuksesan, atau bisnis besar.“Ini harus nyentuh sisi manusianya,” gumam Alya.Pikirannya terhenti ketika notifikasi pesan muncul di ponselnya. Dari Mira.“Gue lagi di tempat biasa. Ngobrol yuk, ada info penting.”Alya langsung berkemas. Kalau Mira bilang info penting, pasti ada sesuatu yang menarik.Sementara itu, di kantor Zenith, Aiden berdiri di depan jendela ruangannya yang besar. Nathaniel duduk di sofa dengan ekspresi serius.“Ada perkembangan soal Victor?” tanya Aiden tanpa menoleh.Nathaniel mengangguk. “Andre dapet data tambahan. Ada jejak transaksi mencurigakan yang melibatkan orang dalam Zenith.”Aiden berbalik, ekspresinya dingin tapi penuh perhatian. “Siapa?”Nathaniel menyerahkan dokumen. “Clara Hadi. Tapi ini belum pasti. Bisa jadi dia cuma korban m

DMCA.com Protection Status