Pagi itu, Alya duduk di ruang redaksi dengan segelas kopi dingin yang sudah setengah habis. Matanya terpaku ke layar laptop, mengetik cepat sambil sesekali menghela napas panjang. Di sebelahnya, Dio menyandarkan tubuh di kursi dengan ekspresi santai tapi usil.
“Artikel lo soal Zenith udah kelar?” tanya Dio sambil melirik layar laptop Alya. “Belum,” jawab Alya singkat tanpa mengalihkan pandangan. “Lo serius banget, kayak mau nulis tesis.” Dio terkekeh. “Dio, kalau nggak ada yang penting, tolong jangan ganggu,” balas Alya sambil mengetik lebih cepat. Reza Hartono, editor senior sekaligus mentor Alya, tiba-tiba muncul dari balik meja. “Alya, gue butuh artikel itu sebelum jam makan siang. Lo masih punya waktu dua jam.” “Iya, Pak Reza. Hampir selesai,” kata Alya sambil mengangguk cepat. “Bagus. Gue percaya lo bisa handle ini,” ujar Reza sambil menepuk bahunya. Setelah Reza pergi, Dio menyeringai kecil. “Jangan lupa kasih gue bocoran soal Aiden Ravindra. CEO misterius itu pasti punya sisi gelap, kan?” Alya menoleh dengan tatapan tajam. “Dio, lo ini reporter atau gosipers sih?” “Hei, tenang. Gue cuma penasaran,” Dio mengangkat tangan, seolah menyerah. Alya hanya menggeleng dan kembali fokus. Tapi di dalam hatinya, dia tahu pertanyaan Dio nggak sepenuhnya salah. Aiden Ravindra memang punya banyak sisi yang masih misterius, dan itu bikin penasaran. Di kantor Zenith Corp, Aiden berjalan cepat menuju ruangannya. Nathaniel sudah menunggu di dalam dengan ekspresi serius. “Gue udah cek lagi data dari flash drive itu,” kata Nathaniel tanpa basa-basi. “Nggak ada keraguan lagi, Samuel Aditya ada di balik ini.” Aiden meletakkan jasnya di kursi, lalu menatap Nathaniel tajam. “Apa dia langsung terlibat, atau ada pihak ketiga?” “Ada hacker yang dia sewa. Randy Suhartono,” jawab Nathaniel. “Dia bukan nama kecil di dunia cybercrime.” “Kalau gitu, gue harus pastiin dia nggak bisa nyentuh Zenith lagi,” kata Aiden. Nathaniel mengerutkan kening. “Lo mau gimana caranya? Samuel nggak akan main sendirian. Dia pasti udah siapkan backup.” “Gue nggak peduli. Samuel main di wilayah gue, dan gue nggak akan biarin dia menang,” balas Aiden dingin. Nathaniel mendesah. “Oke, gue bakal minta Andre buat tingkatin keamanan internal kita. Tapi lo harus hati-hati, Aiden. Dia licik.” Aiden hanya mengangguk, lalu berjalan menuju jendela besar di ruangannya. Di luar sana, dunia bisnis terus berputar tanpa ampun. Malamnya, Alya menerima pesan anonim di emailnya. Subject: “Penasaran dengan Samuel Aditya?” Isi pesannya hanya satu kalimat: Datang ke kafe Jalan Langsat, jam 8 malam. Jangan kasih tahu siapa-siapa. Alya menatap layar laptopnya dengan dahi berkerut. Insting jurnalistiknya langsung tergelitik. Tapi di sisi lain, ini jelas bisa jadi jebakan. Mira, yang sedang duduk di sofa dekat meja kerja Alya, memperhatikan ekspresinya. “Lo kenapa, Al? Kelihatan kayak habis liat hantu.” “Ada orang nggak dikenal yang ngajak gue ketemuan soal Samuel Aditya,” jawab Alya sambil menunjukkan pesan itu ke Mira. Mira langsung bangkit. “Lo nggak mungkin mau dateng sendiri, kan?” Alya mengangguk ragu. “Gue nggak tahu. Kalau ini petunjuk penting, gue harus pergi.” “Kalau lo tetep nekat, gue ikut,” kata Mira tegas. Alya tersenyum kecil. “Thanks, Mir. Tapi gue rasa gue bisa handle ini.” “Lo yakin?” Alya menatap sahabatnya dengan serius. “Iya. Kalau gue butuh bantuan, gue bakal hubungin lo.” Mira akhirnya menyerah. “Hati-hati, oke?” Jam 8 malam, Alya tiba di kafe Jalan Langsat. Tempatnya kecil dan sepi, hanya ada beberapa pengunjung yang duduk di sudut. Dia melangkah masuk dan melihat seorang pria paruh baya dengan jaket kulit duduk sendirian di meja dekat jendela. “Lo Alya Mahendra?” pria itu bertanya ketika Alya mendekat. “Iya. Lo siapa?” “Nama gue nggak penting. Tapi gue tahu lo lagi cari informasi soal Samuel Aditya,” katanya sambil melirik sekeliling. Alya duduk dengan hati-hati. “Apa yang lo tahu?” Pria itu mendekatkan wajahnya dan berbisik, “Samuel nggak cuma nyerang Zenith. Dia punya agenda yang lebih besar, dan itu bisa ngancam lebih dari satu perusahaan.” Alya mengernyit. “Maksud lo apa?” “Sabar,” pria itu menyandarkan tubuhnya lagi. “Gue cuma mau bilang, lo harus siap kalau mau terus gali ini. Samuel nggak bakal segan buat nutup mulut lo.” Alya merasa bulu kuduknya meremang, tapi dia tetap mencoba terlihat tenang. “Kenapa lo bantu gue?” Pria itu hanya tersenyum samar. “Karena lo satu-satunya yang cukup nekat buat ngungkap kebenaran.” Sebelum Alya sempat bertanya lebih lanjut, pria itu berdiri dan pergi, meninggalkan Alya dengan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Alya kembali ke apartemennya dengan kepala penuh pertanyaan. Dia masih memikirkan pertemuannya tadi. Siapa pria itu? Dan apa maksudnya dengan “agenda lebih besar”? Dia membuka laptop, mulai mengetik semua detail yang dia ingat. Tapi otaknya terus terganggu. Ada rasa takut, tapi juga penasaran. Belum lama dia menulis, HP-nya bergetar. Nomor tak dikenal. “Halo?” “Alya Mahendra?” Suara berat di seberang. “Ya, ini siapa?” “Ini Kapten Bimo Santoso. Saya dengar Anda sedang menyelidiki Samuel Aditya.” Alya membelalak. “Bagaimana Anda tahu?” “Informasi bergerak cepat, terutama kalau menyangkut orang seperti dia. Saya ingin ketemu Anda. Ini soal keselamatan Anda.” Esok paginya, Alya menemui Kapten Bimo di sebuah kafe dekat kantor polisi. Sosok pria bertubuh kekar dengan wajah serius sudah menunggu di pojok ruangan. “Terima kasih sudah datang,” ujar Bimo sambil mempersilakan Alya duduk. “Kenapa polisi tertarik dengan kasus ini?” tanya Alya langsung. “Kami sudah lama mengawasi Samuel Aditya. Tapi bukti yang kami punya belum cukup. Dan kalau Anda benar-benar menyelidiki ini, Anda perlu tahu risikonya.” “Risiko seperti apa?” “Samuel adalah pria yang berbahaya. Dia punya koneksi di mana-mana, termasuk di instansi seperti milik kami. Itu sebabnya dia selalu lolos.” Alya menarik napas panjang. “Kalau gitu, kenapa Anda memperingatkan saya? Bukannya lebih baik kalau saya diam?” Bimo tersenyum tipis. “Karena saya tahu Anda berbeda. Anda berani, dan itu bisa jadi senjata, tapi juga kelemahan. Kalau Anda terus maju, pastikan Anda punya bukti yang cukup kuat. Jangan cuma andalkan insting.” Di sisi lain, di kantor Zenith Corp, Nathaniel mengetuk pintu ruang kerja Aiden dengan ekspresi cemas. “Ada masalah lagi?” tanya Aiden sambil menutup dokumen yang sedang dia baca. “Kita dapat laporan kalau Samuel sekarang coba mendekati beberapa investor kecil kita. Dia pakai strategi untuk pecah belah aliansi,” kata Nathaniel. Aiden menyandarkan tubuhnya di kursi. “Investor mana saja?” “Lima nama, termasuk George Lim,” jawab Nathaniel serius. Aiden terdiam sejenak. George adalah salah satu pendukung terbesarnya. Kalau Samuel berhasil menggoyahkan kepercayaan George, itu bisa jadi bencana. “Lo yakin George bakal goyah?” tanya Aiden. Nathaniel mengangguk. “Samuel punya cara untuk bikin orang berubah pikiran.” Aiden menatap tajam. “Kalau dia mau main kotor, gue juga bisa. Pastikan George tetap di pihak kita. Lo tahu apa yang harus lo lakuin.” Nathaniel mengangguk sebelum keluar dari ruangan. Setelah Nathaniel pergi, Aiden menatap jendela besar di kantornya. Dunia bisnis memang seperti medan perang, dan dia tahu, ini baru permulaan. Sore itu, Alya menerima pesan baru di emailnya. Kali ini, pengirimnya anonim lagi. Subject: “Bukti Baru.” Isi pesan: Cek flash drive yang gue tinggal di meja resepsionis kantor lo. Jangan sampai salah orang yang buka. Alya langsung berdiri dan meraih tasnya. Dia menuju kantor dengan langkah cepat, dadanya berdebar. Setibanya di meja resepsionis, dia menemukan sebuah amplop kecil. Tanpa banyak bicara, dia membawa amplop itu ke mejanya. Mira, yang kebetulan ada di sana, memperhatikan gerak-geriknya. “Itu apa, Al?” “Nggak tahu. Kayaknya petunjuk baru,” jawab Alya. Mira mengernyit. “Lo yakin itu aman?” “Entahlah,” Alya membuka amplop itu perlahan dan menemukan sebuah flash drive di dalamnya. “Gue harus cek ini,” kata Alya sambil menancapkan flash drive itu ke laptopnya. File pertama yang muncul adalah kumpulan email dan dokumen rahasia. Mata Alya melebar saat dia membaca isinya. “Ini bukti kalau Samuel nyuap beberapa pejabat untuk sabotase Zenith,” bisiknya. Mira mencondongkan tubuhnya untuk melihat layar. “Gila. Ini serius banget. Lo mau ngapain sekarang?” Alya menatap Mira dengan ekspresi tegas. “Gue harus publikasikan ini.” Mira menghela napas panjang. “Al, kalau lo ngelakuin ini, lo bakal perang sama orang sekelas Samuel Aditya. Lo siap?” Alya diam sejenak sebelum menjawab. “Ini risiko yang harus gue ambil.” Alya duduk terpaku di depan laptopnya. File-file di flash drive itu seperti bom waktu. Setiap dokumen yang dia baca mengungkap lebih banyak kejahatan Samuel Aditya. Tapi dia sadar, menerbitkan ini nggak akan semudah klik tombol “publish.” Pikirannya berputar. Kalau dia bergerak gegabah, bukan cuma dia yang kena. Orang-orang terdekatnya juga bisa jadi sasaran. “Lo mau cerita nggak?” Mira duduk di kursi sebelah, menatap Alya serius. Alya menutup laptopnya, menghela napas panjang. “Gue tahu ini penting, Mir. Tapi… ada hal-hal yang bikin gue ragu.” Mira mencondongkan tubuhnya. “Kayak apa?” “Samuel. Kapten Bimo bilang dia punya koneksi luas. Lo tahu, kan? Gue cuma seorang jurnalis biasa. Gue nggak yakin ini cukup buat ngalahin dia.” Mira terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Lo nggak sendiri, Al. Gue ada di sini. Kita cari cara bareng-bareng. Tapi kalau lo takut, nggak apa-apa juga buat mundur.” Alya menatap sahabatnya itu. Mira selalu ada untuknya, meskipun terkadang ceroboh. Tapi kali ini, Alya tahu Mira benar. Kalau dia takut, semua ini sia-sia. Di tempat lain, Aiden duduk di meja konferensi besar bersama Nathaniel dan tim inti Zenith. “Jessica, update soal kampanye marketing kita?” tanya Aiden dingin. Jessica Wong membuka laptopnya. “Kita masih unggul, tapi gue dapet info kalau Samuel udah mulai kampanye black ops di media sosial. Tim kita udah coba damage control, tapi efeknya belum maksimal.” “Berarti dia main cara kotor lagi,” ujar Nathaniel dengan nada geram. Aiden mengetuk-ngetukkan jarinya di meja. “Kalau dia mau main kotor, kita harus lebih pintar. Jessica, tingkatkan kerja sama sama partner media kita. Gue nggak mau satu berita buruk pun lolos.” Jessica mengangguk cepat. “Siap, Pak.” “Lalu, soal sabotase IT,” lanjut Aiden, menatap Lucas Tan. Lucas mengangguk sambil membagikan laporan. “Randy Suhartono, hacker yang mereka pake, udah mulai masuk ke sistem kecil kita. Tim gue udah blok beberapa pintu masuk, tapi dia masih coba ngacak-ngacak server internal.” Aiden mengerutkan kening. “Berarti dia main psikologi. Ganggu stabilitas internal biar kita panik. Gue nggak mau itu kejadian.” “Jadi langkah berikutnya apa?” tanya Nathaniel. Aiden berdiri, menatap timnya dengan tatapan tajam. “Kita nggak kasih dia kesempatan. Pastikan nggak ada celah di keamanan kita. Lucas, kerja sama sama Andre buat amankan semua sistem. Jessica, lo handle PR. Nathaniel, lo fokus ke investor. Gue sendiri yang akan hadapin Samuel.” Semua orang mengangguk, tahu kalau Aiden nggak main-main. Malam itu, Alya kembali ke apartemennya dengan perasaan campur aduk. Dia menghabiskan waktu berjam-jam membaca file dari flash drive, mencoba menyusun langkah berikutnya. Pikirannya terganggu saat ada suara ketukan di pintu. “Siapa?” tanyanya waspada. “Ini gue, Zaki.” Alya membuka pintu, dan kakaknya berdiri di sana dengan ekspresi serius. “Apa lo ngelakuin sesuatu yang nggak biasa akhir-akhir ini?” tanya Zaki tanpa basa-basi. Alya tertegun. “Apa maksud lo?” “Barusan ada seseorang yang nelpon gue. Mereka bilang lo harus berhenti ngelakuin sesuatu yang bikin mereka nggak nyaman. Kalau nggak, mereka bakal… gue nggak tahu, Al.” Alya merasakan jantungnya berdebar lebih cepat. “Lo yakin itu ancaman?” Zaki menatapnya tajam. “Lo pikir apa, Al? Kalau ini cuma main-main, mereka nggak akan nelpon gue. Lo harus berhenti sebelum semuanya makin parah.” “Tapi, Kak, ini penting!” Alya bersikeras. “Apapun itu, keselamatan lo lebih penting,” tegas Zaki. Alya terdiam. Dia tahu Zaki benar, tapi hatinya nggak bisa tenang kalau dia mundur sekarang. Sementara itu, Aiden berdiri di balkon kantornya, memandang lampu kota yang bersinar terang. Dia menggenggam ponselnya, ada nama Alya di layar. Setelah ragu beberapa saat, dia akhirnya menekan tombol panggil. “Ya?” suara Alya terdengar di seberang. “Ada sesuatu yang harus kita bicarakan,” kata Aiden singkat. Alya mengernyit. “Soal apa?” “Samuel Aditya,” jawab Aiden dingin.“Udah sampai, Mbak Alya.” Alya melongok dari jendela mobil taksi online. Kantor Zenith Corp menjulang tinggi di tengah hiruk pikuk Jakarta. Gedung itu terasa dingin, sama seperti reputasi CEO-nya, Aiden Ravindra. Alya menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang sedikit lebih cepat dari biasanya. “Semangat, Alya. Ingat, lo wartawan. Nggak ada yang nggak bisa lo hadapin,” gumamnya pelan sebelum membayar ongkos dan turun. Begitu masuk ke lobi, dia disambut suasana yang penuh profesionalisme. Semua serba rapi, elegan, tapi juga terasa… kaku. Seorang resepsionis perempuan menyapanya dengan senyum tipis. “Selamat siang. Ada yang bisa saya bantu?” Alya memberikan ID persnya. “Alya Mahendra, dari Insight Media. Saya ada janji wawancara sama Pak Aiden Ravindra jam dua.” Resepsionis itu mengangguk sambil memeriksa daftar tamu. “Silakan tunggu sebentar, Mbak. Saya panggilkan Mbak Tara untuk mengantar Anda.” Beberapa menit kemudian, seorang perempuan muda dengan blazer
Alya sibuk mengetik di laptopnya di meja kerja kecil di kantor redaksi. Ruangan itu nggak besar, tapi selalu ramai. Suara keyboard dari semua penjuru, telepon berdering, dan obrolan rekan kerja jadi soundtrack sehari-hari. “Masih soal Aiden Ravindra?” suara Dio, rekan sekaligus saingannya, tiba-tiba muncul dari belakang. Alya mendongak, agak terganggu. “Ya, kenapa?” Dio menyandarkan diri ke dinding sambil tersenyum kecil. “Lo sadar nggak, kebanyakan artikel lo tuh berat ke sisi kemanusiaan. Bagus sih, tapi kadang gue mikir, apa semua CEO itu punya sisi manusiawi?” Alya mendengus, lalu melipat tangannya di meja. “Lo skeptis banget. Justru itu tugas kita, kan? Bukan cuma ngegali fakta, tapi nyari cerita di balik fakta itu.” Dio mengangkat bahu. “Well, good luck sama si robot es itu. Gue dengar dia baru aja nge-‘terminate’ kontrak gede tadi pagi.” Alya langsung berhenti mengetik. “Serius? Kontrak yang mana?” “BrightFuture Holdings,” jawab Dio dengan nada santai. Alya memicingkan
Alya duduk di depan laptopnya, menatap layar kosong. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja sambil memikirkan bagaimana memulai tulisan tentang wawancaranya dengan Aiden. Dia tahu, artikel ini harus beda—bukan cuma soal angka, kesuksesan, atau bisnis besar.“Ini harus nyentuh sisi manusianya,” gumam Alya.Pikirannya terhenti ketika notifikasi pesan muncul di ponselnya. Dari Mira.“Gue lagi di tempat biasa. Ngobrol yuk, ada info penting.”Alya langsung berkemas. Kalau Mira bilang info penting, pasti ada sesuatu yang menarik.Sementara itu, di kantor Zenith, Aiden berdiri di depan jendela ruangannya yang besar. Nathaniel duduk di sofa dengan ekspresi serius.“Ada perkembangan soal Victor?” tanya Aiden tanpa menoleh.Nathaniel mengangguk. “Andre dapet data tambahan. Ada jejak transaksi mencurigakan yang melibatkan orang dalam Zenith.”Aiden berbalik, ekspresinya dingin tapi penuh perhatian. “Siapa?”Nathaniel menyerahkan dokumen. “Clara Hadi. Tapi ini belum pasti. Bisa jadi dia cuma korban m
Alya menatap layar laptopnya sambil menggigit ujung pulpen. Data yang ia kumpulkan dari informannya, Vina, terasa seperti potongan puzzle yang belum lengkap. Sesuatu mengganggunya—tapi dia nggak tahu pasti apa.“Lo masih ngeliatin itu?” tanya Mira, yang baru aja balik dari pantry kantor sambil membawa dua cangkir kopi.“Masih,” gumam Alya sambil menghela napas. “Gue ngerasa ada sesuatu yang besar di balik ini semua, tapi kayak ada yang sengaja nutupin jejaknya.”Mira duduk di kursi sebelahnya, menyerahkan secangkir kopi. “Lo yakin Aiden bakal percaya sama lo?”“Gue nggak peduli dia percaya atau nggak,” jawab Alya. “Yang penting, gue udah kasih dia data itu. Sekarang gue harus cari bukti lebih kuat.”Mira menyeruput kopinya sambil melipat kakinya di kursi. “Tapi lo sadar kan, lo lagi main di zona bahaya? Kalau bener ini soal sabotase, pelakunya nggak bakal tinggal diam.”Alya terdiam. Kata-kata Mira bikin dia makin sadar risiko yang dia ambil. Tapi di sisi lain, dia tahu dia nggak bisa
Pagi itu di ruang meeting Zenith Corp, suasana tegang. Aiden duduk di ujung meja, dikelilingi Nathaniel, Clara, Lucas, dan Jessica. Di tengah meja, sebuah layar besar menampilkan grafik penurunan performa saham Zenith dalam sepekan terakhir.“Ini nggak bisa dibiarkan,” suara Aiden terdengar tegas, dingin seperti biasa.Lucas mengangguk, membuka file di laptopnya. “Gue udah nge-trace beberapa aktivitas mencurigakan di sistem internal kita. Gue yakin, ini kerjaan orang dalam.”“Lo yakin, Lucas?” Jessica menyela, ragu. “Kalau ini kerjaan orang dalam, siapa yang berani? Semua karyawan udah di-screening ketat.”Nathaniel menghela napas. “Masalahnya bukan siapa yang berani, tapi siapa yang cukup pintar buat bikin semua ini kelihatan kayak kesalahan teknis biasa.”Clara, yang sejak tadi diam, akhirnya buka suara. “Kalau ini bener sabotase, lo mau langkah pertama apa, Aiden?”Aiden mengarahkan pandangannya ke semua orang di ruangan itu. “Cari siapa pelakunya. Hentikan mereka sebelum kerusakan
Pagi itu di kantor Zenith Corp, Aiden duduk di ruangannya yang luas, dikelilingi oleh tumpukan dokumen dan laporan. Pandangannya tajam, tapi ada sedikit kerutan di keningnya. Pikirannya masih dipenuhi dengan kejadian sabotase yang terus menggoyang perusahaannya.Nathaniel masuk dengan langkah cepat tanpa mengetuk, seperti biasanya. “Gue dapet update dari Andre. Mereka nemuin server yang dipake buat ngelakuin sabotase itu. Lokasinya di kawasan milik Samuel.”Aiden menyandarkan diri di kursinya, ekspresinya datar tapi matanya penuh ketegangan. “Samuel lagi nyari gara-gara. Kalau dia pikir gue bakal duduk diam, dia salah besar.”“Lo mau ngelakuin apa?” tanya Nathaniel sambil melipat tangan di dadanya.Aiden diam sejenak, lalu menjawab dengan nada tegas. “Kita bikin dia nyesel pernah main-main sama Zenith. Tapi sebelum itu, gue butuh bukti konkret. Gue nggak mau bergerak tanpa strategi yang jelas.”Nathaniel mengangguk. “Gue bakal terusin penyelidikannya.”Di sisi lain kota, Alya duduk di
Alya menatap Randy Suhartono yang berdiri di depan pintunya. Lelaki itu tampak kusut, matanya waspada sambil terus mengawasi lorong apartemen.“Masuk,” Alya akhirnya berkata, meski dalam hati masih ragu. Mira langsung berdiri dari sofa, memasang wajah curiga.“Lo ngapain di sini?” Mira memotong sebelum Randy sempat bicara.Randy mengangkat tangannya, seolah memberi tanda kalau dia nggak punya niat buruk. “Gue datang buat nyerah.”“Ny… nyerah?” Alya mengerutkan dahi, nggak percaya dengan apa yang baru dia dengar.Randy mengangguk pelan. “Samuel nggak tahu kalau gue di sini. Gue udah muak jadi pionnya dia. Dia nggak cuma mau ngancurin Zenith, tapi juga orang-orang kayak lo.”“Ngapain kita percaya lo?” Mira mendesis. “Lo tuh hacker bayaran. Lo bisa aja pura-pura baik buat jebak kita.”“Gue punya bukti lebih banyak tentang Samuel,” Randy bersikeras. “Semua rencananya ada di laptop gue. Kalau lo nggak percaya, gue bisa kasih itu sekarang.”Alya memutar otaknya cepat. Di satu sisi, ini kese
Alya duduk di ruang tamu sambil menatap layar laptopnya. Matanya berkedip pelan, tapi pikirannya nggak berhenti muter-muter. Malam itu, setelah kejadian di gudang, dia nggak bisa tidur. Bukan cuma soal adrenalin yang masih tersisa, tapi juga karena satu nama yang terus ada di kepalanya: Aiden Ravindra.“Lo beneran bakal ngelaporin ini?” Mira muncul dari dapur sambil nenteng dua cangkir kopi.Alya mendesah, menerima cangkir dari Mira. “Gue masih belum yakin. Berita ini gede banget, Mir. Tapi, gue nggak mau asal nulis tanpa fakta lengkap.”“Dan lo yakin Aiden bakal kasih lo akses buat fakta lengkap itu?” Mira menaikkan alis.Alya terdiam sejenak, lalu menggeleng pelan. “Nggak. Dia tipe orang yang bakal ngelindungin rahasianya mati-matian.”Mira duduk di sebelah Alya. “Kalau gitu, kenapa lo nggak fokus ke hal lain dulu? Lo punya banyak bahan liputan, kan? Jangan lupa, ada Samuel Aditya di balik semua ini. Dia musuh nyata lo sekarang.”Alya menatap Mira, lalu menyesap kopinya. “Lo bener.
Pagi itu, Alya duduk di ruang redaksi dengan segelas kopi dingin yang sudah setengah habis. Matanya terpaku ke layar laptop, mengetik cepat sambil sesekali menghela napas panjang. Di sebelahnya, Dio menyandarkan tubuh di kursi dengan ekspresi santai tapi usil.“Artikel lo soal Zenith udah kelar?” tanya Dio sambil melirik layar laptop Alya.“Belum,” jawab Alya singkat tanpa mengalihkan pandangan.“Lo serius banget, kayak mau nulis tesis.” Dio terkekeh.“Dio, kalau nggak ada yang penting, tolong jangan ganggu,” balas Alya sambil mengetik lebih cepat.Reza Hartono, editor senior sekaligus mentor Alya, tiba-tiba muncul dari balik meja. “Alya, gue butuh artikel itu sebelum jam makan siang. Lo masih punya waktu dua jam.”“Iya, Pak Reza. Hampir selesai,” kata Alya sambil mengangguk cepat.“Bagus. Gue percaya lo bisa handle ini,” ujar Reza sambil menepuk bahunya.Setelah Reza pergi, Dio menyeringai kecil. “Jangan lupa kasih gue bocoran soal Aiden Ravindra. CEO misterius itu pasti punya sisi g
Alya mengetuk meja kafe kecil itu sambil melirik pintu. Dia udah duduk di sana selama 15 menit, menunggu seseorang. Kopi di depannya udah setengah dingin, tapi pikirannya masih sibuk dengan pesan ancaman yang dia terima tadi malam.“Maaf, telat,” suara berat menginterupsi lamunannya. Nathaniel duduk di kursi di seberangnya dengan wajah serius.Alya melipat tangannya di meja. “Lo yakin nggak bakal ada yang curiga lo ketemu sama gue?”Nathaniel tersenyum tipis. “Gue bisa bikin ini keliatan kayak meeting kerja biasa. Lagian, gue COO. Siapa yang bakal nanya?”Alya mengangkat alis. “Oke, jadi kenapa lo minta ketemu?”Nathaniel mengeluarkan amplop cokelat dari tasnya. “Gue nemu sesuatu di laporan keuangan Zenith. Ini kayak… pola yang aneh, tapi gue nggak bisa pastiin ini sabotase atau cuma salah input data.”Alya mengambil amplop itu, membuka isinya, dan mulai membaca cepat. “Ini… transfer dana kecil, tapi sering. Ke akun yang beda-beda?”Nathaniel mengangguk. “Tepat. Kalau dilihat sekilas,
Pagi itu, Alya menatap layar laptopnya sambil menyeruput kopi yang mulai dingin. Ia bolak-balik membaca catatan dari Evelyn dan mencoba mencocokkannya dengan beberapa dokumen lain yang ia temukan. Semuanya terasa seperti teka-teki besar yang belum ada gambarnya.“Lo nggak tidur, ya?” suara Mira yang baru bangun terdengar dari dapur kecil.“Sebentar aja,” jawab Alya singkat.“Sebentar yang udah masuk hari ketiga?” Mira mendekati meja kerja Alya sambil membawa roti bakar. “Lo serius banget. Awas, jangan sampai burnout.”Alya mendesah. “Gue nggak bisa berhenti, Mir. Semuanya makin jelas. Gue cuma butuh satu bukti lagi buat tahu siapa dalang sabotase Zenith ini.”Mira duduk di samping Alya, mengunyah pelan. “Lo yakin ini bukan cuma permainan Evelyn? Dia tuh manipulatif banget.”“Itu yang bikin gue pusing,” jawab Alya sambil mengusap wajah. “Tapi fakta yang dia kasih cocok sama investigasi gue.”Mira mengangkat bahu. “Yaudah, kalau lo yakin, gas terus. Tapi jangan lupa istirahat.”Di sisi
Alya duduk di ruang tamu sambil menatap layar laptopnya. Matanya berkedip pelan, tapi pikirannya nggak berhenti muter-muter. Malam itu, setelah kejadian di gudang, dia nggak bisa tidur. Bukan cuma soal adrenalin yang masih tersisa, tapi juga karena satu nama yang terus ada di kepalanya: Aiden Ravindra.“Lo beneran bakal ngelaporin ini?” Mira muncul dari dapur sambil nenteng dua cangkir kopi.Alya mendesah, menerima cangkir dari Mira. “Gue masih belum yakin. Berita ini gede banget, Mir. Tapi, gue nggak mau asal nulis tanpa fakta lengkap.”“Dan lo yakin Aiden bakal kasih lo akses buat fakta lengkap itu?” Mira menaikkan alis.Alya terdiam sejenak, lalu menggeleng pelan. “Nggak. Dia tipe orang yang bakal ngelindungin rahasianya mati-matian.”Mira duduk di sebelah Alya. “Kalau gitu, kenapa lo nggak fokus ke hal lain dulu? Lo punya banyak bahan liputan, kan? Jangan lupa, ada Samuel Aditya di balik semua ini. Dia musuh nyata lo sekarang.”Alya menatap Mira, lalu menyesap kopinya. “Lo bener.
Alya menatap Randy Suhartono yang berdiri di depan pintunya. Lelaki itu tampak kusut, matanya waspada sambil terus mengawasi lorong apartemen.“Masuk,” Alya akhirnya berkata, meski dalam hati masih ragu. Mira langsung berdiri dari sofa, memasang wajah curiga.“Lo ngapain di sini?” Mira memotong sebelum Randy sempat bicara.Randy mengangkat tangannya, seolah memberi tanda kalau dia nggak punya niat buruk. “Gue datang buat nyerah.”“Ny… nyerah?” Alya mengerutkan dahi, nggak percaya dengan apa yang baru dia dengar.Randy mengangguk pelan. “Samuel nggak tahu kalau gue di sini. Gue udah muak jadi pionnya dia. Dia nggak cuma mau ngancurin Zenith, tapi juga orang-orang kayak lo.”“Ngapain kita percaya lo?” Mira mendesis. “Lo tuh hacker bayaran. Lo bisa aja pura-pura baik buat jebak kita.”“Gue punya bukti lebih banyak tentang Samuel,” Randy bersikeras. “Semua rencananya ada di laptop gue. Kalau lo nggak percaya, gue bisa kasih itu sekarang.”Alya memutar otaknya cepat. Di satu sisi, ini kese
Pagi itu di kantor Zenith Corp, Aiden duduk di ruangannya yang luas, dikelilingi oleh tumpukan dokumen dan laporan. Pandangannya tajam, tapi ada sedikit kerutan di keningnya. Pikirannya masih dipenuhi dengan kejadian sabotase yang terus menggoyang perusahaannya.Nathaniel masuk dengan langkah cepat tanpa mengetuk, seperti biasanya. “Gue dapet update dari Andre. Mereka nemuin server yang dipake buat ngelakuin sabotase itu. Lokasinya di kawasan milik Samuel.”Aiden menyandarkan diri di kursinya, ekspresinya datar tapi matanya penuh ketegangan. “Samuel lagi nyari gara-gara. Kalau dia pikir gue bakal duduk diam, dia salah besar.”“Lo mau ngelakuin apa?” tanya Nathaniel sambil melipat tangan di dadanya.Aiden diam sejenak, lalu menjawab dengan nada tegas. “Kita bikin dia nyesel pernah main-main sama Zenith. Tapi sebelum itu, gue butuh bukti konkret. Gue nggak mau bergerak tanpa strategi yang jelas.”Nathaniel mengangguk. “Gue bakal terusin penyelidikannya.”Di sisi lain kota, Alya duduk di
Pagi itu di ruang meeting Zenith Corp, suasana tegang. Aiden duduk di ujung meja, dikelilingi Nathaniel, Clara, Lucas, dan Jessica. Di tengah meja, sebuah layar besar menampilkan grafik penurunan performa saham Zenith dalam sepekan terakhir.“Ini nggak bisa dibiarkan,” suara Aiden terdengar tegas, dingin seperti biasa.Lucas mengangguk, membuka file di laptopnya. “Gue udah nge-trace beberapa aktivitas mencurigakan di sistem internal kita. Gue yakin, ini kerjaan orang dalam.”“Lo yakin, Lucas?” Jessica menyela, ragu. “Kalau ini kerjaan orang dalam, siapa yang berani? Semua karyawan udah di-screening ketat.”Nathaniel menghela napas. “Masalahnya bukan siapa yang berani, tapi siapa yang cukup pintar buat bikin semua ini kelihatan kayak kesalahan teknis biasa.”Clara, yang sejak tadi diam, akhirnya buka suara. “Kalau ini bener sabotase, lo mau langkah pertama apa, Aiden?”Aiden mengarahkan pandangannya ke semua orang di ruangan itu. “Cari siapa pelakunya. Hentikan mereka sebelum kerusakan
Alya menatap layar laptopnya sambil menggigit ujung pulpen. Data yang ia kumpulkan dari informannya, Vina, terasa seperti potongan puzzle yang belum lengkap. Sesuatu mengganggunya—tapi dia nggak tahu pasti apa.“Lo masih ngeliatin itu?” tanya Mira, yang baru aja balik dari pantry kantor sambil membawa dua cangkir kopi.“Masih,” gumam Alya sambil menghela napas. “Gue ngerasa ada sesuatu yang besar di balik ini semua, tapi kayak ada yang sengaja nutupin jejaknya.”Mira duduk di kursi sebelahnya, menyerahkan secangkir kopi. “Lo yakin Aiden bakal percaya sama lo?”“Gue nggak peduli dia percaya atau nggak,” jawab Alya. “Yang penting, gue udah kasih dia data itu. Sekarang gue harus cari bukti lebih kuat.”Mira menyeruput kopinya sambil melipat kakinya di kursi. “Tapi lo sadar kan, lo lagi main di zona bahaya? Kalau bener ini soal sabotase, pelakunya nggak bakal tinggal diam.”Alya terdiam. Kata-kata Mira bikin dia makin sadar risiko yang dia ambil. Tapi di sisi lain, dia tahu dia nggak bisa
Alya duduk di depan laptopnya, menatap layar kosong. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja sambil memikirkan bagaimana memulai tulisan tentang wawancaranya dengan Aiden. Dia tahu, artikel ini harus beda—bukan cuma soal angka, kesuksesan, atau bisnis besar.“Ini harus nyentuh sisi manusianya,” gumam Alya.Pikirannya terhenti ketika notifikasi pesan muncul di ponselnya. Dari Mira.“Gue lagi di tempat biasa. Ngobrol yuk, ada info penting.”Alya langsung berkemas. Kalau Mira bilang info penting, pasti ada sesuatu yang menarik.Sementara itu, di kantor Zenith, Aiden berdiri di depan jendela ruangannya yang besar. Nathaniel duduk di sofa dengan ekspresi serius.“Ada perkembangan soal Victor?” tanya Aiden tanpa menoleh.Nathaniel mengangguk. “Andre dapet data tambahan. Ada jejak transaksi mencurigakan yang melibatkan orang dalam Zenith.”Aiden berbalik, ekspresinya dingin tapi penuh perhatian. “Siapa?”Nathaniel menyerahkan dokumen. “Clara Hadi. Tapi ini belum pasti. Bisa jadi dia cuma korban m