Share

Perang Dimulai

Penulis: ENDRA
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-10 14:32:30

Alya menatap Randy Suhartono yang berdiri di depan pintunya. Lelaki itu tampak kusut, matanya waspada sambil terus mengawasi lorong apartemen.

“Masuk,” Alya akhirnya berkata, meski dalam hati masih ragu. Mira langsung berdiri dari sofa, memasang wajah curiga.

“Lo ngapain di sini?” Mira memotong sebelum Randy sempat bicara.

Randy mengangkat tangannya, seolah memberi tanda kalau dia nggak punya niat buruk. “Gue datang buat nyerah.”

“Ny… nyerah?” Alya mengerutkan dahi, nggak percaya dengan apa yang baru dia dengar.

Randy mengangguk pelan. “Samuel nggak tahu kalau gue di sini. Gue udah muak jadi pionnya dia. Dia nggak cuma mau ngancurin Zenith, tapi juga orang-orang kayak lo.”

“Ngapain kita percaya lo?” Mira mendesis. “Lo tuh hacker bayaran. Lo bisa aja pura-pura baik buat jebak kita.”

“Gue punya bukti lebih banyak tentang Samuel,” Randy bersikeras. “Semua rencananya ada di laptop gue. Kalau lo nggak percaya, gue bisa kasih itu sekarang.”

Alya memutar otaknya cepat. Di satu sisi, ini kesempatan emas buat membongkar semuanya. Tapi, di sisi lain, Randy ini nggak bisa diandalkan.

“Gue harus mikir dulu,” Alya akhirnya bilang. “Gue nggak bisa langsung percaya omongan lo begitu aja.”

“Tapi waktu lo nggak banyak,” Randy balas, suaranya tegas. “Samuel bakal tahu kalau gue udah kabur. Dan lo tahu apa yang dia lakuin ke orang yang berani ngelawan dia.”

Di kantor Zenith, Aiden sedang duduk di ruang rapat bersama Nathaniel, Lucas, dan Clara. Peta digital terpampang di layar besar, menunjukkan lokasi gudang tempat Randy disembunyikan.

“Dia masih di sana?” Aiden bertanya dengan nada datar.

Nathaniel mengangguk. “Tim kita terus memantau. Tapi ada pergerakan mencurigakan dari orang-orang Samuel.”

“Berarti ini waktunya kita bertindak,” Lucas ikut angkat bicara. “Kalau Randy kabur, kita kehilangan kesempatan buat tahu semua rencana Samuel.”

Clara menyandarkan diri di kursinya, menatap Aiden tajam. “Tapi ini bukan cuma soal Randy, kan? Kita juga harus pastiin media nggak tahu terlalu banyak. Kalau informasi ini bocor ke publik sebelum kita siap, reputasi Zenith bisa tambah ancur.”

Aiden mengangguk pelan. “Makanya kita harus lebih cepat dari mereka. Gue nggak mau Samuel dapet kesempatan buat gerak duluan.”

“Tim gue udah siap kapan aja,” Nathaniel menambahkan.

“Bagus. Jangan kasih dia napas.” Aiden berdiri, aura dinginnya langsung memenuhi ruangan.

Sementara itu, Samuel duduk di kantornya, senyumnya penuh kemenangan. Evelyn berdiri di dekat jendela, masih tampak ragu dengan semua ini.

“Apa Randy udah ngasih laporan terbaru?” tanya Evelyn, mencoba memecah keheningan.

Samuel tertawa kecil. “Randy? Dia cuma alat. Gue nggak perlu dia buat langkah berikutnya.”

“Jadi, lo udah siap buat ngejatuhin Aiden sepenuhnya?” Evelyn menatapnya tajam.

“Udah dari dulu gue siap,” Samuel menjawab sambil memutar kursinya menghadap Evelyn. “Ini bukan soal bisnis lagi, Evelyn. Ini soal ngebuktiin siapa yang lebih kuat.”

Evelyn terdiam. Dalam hatinya, dia tahu Samuel mulai kehilangan batas antara ambisi dan obsesi.

Di apartemen Alya, Randy menyerahkan sebuah flash drive kepada Alya.

“Ini sebagian dari bukti yang gue punya,” katanya. “Kalau lo mau semuanya, gue harus ambil laptop gue di gudang.”

“Berarti lo mau gue percaya sama lo dan bantu lo keluar dari semua ini?” Alya mendesah. “Lo tahu ini gila, kan?”

“Lo nggak punya pilihan lain,” Randy menjawab. “Kalau gue jatuh, lo bakal jadi target berikutnya.”

Alya menatap Mira. Sahabatnya itu menggeleng pelan, seolah memberi peringatan. Tapi di dalam hati, Alya tahu ini mungkin satu-satunya jalan.

“Gue bakal ikut ke gudang,” Alya akhirnya berkata.

“Lo gila?!” Mira langsung protes. “Kalau ini jebakan, lo bakal jadi korban!”

“Gue harus ambil risiko,” Alya bersikeras. “Ini bukan cuma soal gue. Ini soal ngehancurin Samuel sebelum dia ngehancurin lebih banyak orang.”

Mira mendesah panjang. “Kalau lo ke sana, gue ikut.”

Randy mengangguk. “Semakin banyak orang, semakin aman.”

Di tempat lain, Aiden baru saja mendapat kabar dari timnya. Lokasi Randy terdeteksi bergerak.

“Dia pergi ke arah mana?” Aiden bertanya sambil mengencangkan jasnya.

“Keluar dari gudang, kemungkinan besar menuju kota,” Nathaniel melapor.

Aiden menyipitkan mata. “Kejar dia. Gue mau dia nggak punya tempat buat sembunyi.”

Dan di saat itulah, dua jalur takdir mulai bertemu.

Alya dan Mira berdiri di depan sebuah gudang tua di pinggiran kota. Udara malam terasa dingin, dan suasana di sekitar mereka bikin suasana makin tegang. Randy mengintip dari balik pintu besi yang sudah berkarat.

“Ini tempatnya,” bisik Randy sambil menunjuk ke dalam. “Laptop gue ada di lantai dua, di ruangan pojok kanan.”

“Tempat ini kayak sarang jebakan,” Mira bergumam sambil melirik Alya. “Lo yakin mau masuk?”

Alya mengangguk, mencoba tampak lebih berani dari yang sebenarnya dia rasain. “Kita nggak punya pilihan lain.”

Randy menarik napas dalam sebelum membuka pintu sedikit. Mereka bertiga masuk pelan-pelan, suara pintu berderit bikin bulu kuduk berdiri.

Di dalam, gudang itu terasa lebih menyeramkan. Lampu-lampu neon berkedip, dan aroma debu bercampur oli mengisi udara. Alya menggenggam ponselnya erat, siap merekam apapun yang terjadi.

“Di mana pastinya?” tanya Alya dengan suara rendah.

“Lantai atas,” jawab Randy sambil melangkah lebih dulu.

Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari kejauhan. Randy langsung berhenti.

“Mereka tahu kita di sini,” bisiknya panik.

“Siapa?” Mira melirik sekeliling, waspada.

“Orang-orang Samuel,” Randy menjawab sambil menatap Alya. “Kita harus cepet!”

Di luar gudang, Aiden duduk di dalam mobilnya, memantau layar tablet yang menampilkan peta lokasi. Nathaniel duduk di sampingnya, wajahnya serius.

“Tim kita udah di posisi,” Nathaniel melapor. “Tapi ada laporan kalau Alya juga ada di dalam.”

Aiden terdiam sejenak. Namanya nggak asing lagi. Alya Mahendra. Perempuan keras kepala yang entah kenapa selalu berhasil masuk ke tengah semua masalah ini.

“Pastikan dia aman,” Aiden akhirnya berkata, nada suaranya dingin tapi tegas.

“Dan Randy?” Nathaniel bertanya.

“Kalau dia punya informasi, bawa dia. Kalau nggak, pastikan dia nggak jadi masalah lagi,” jawab Aiden tanpa ragu.

Nathaniel mengangguk, langsung memberi instruksi ke timnya.

Di dalam gudang, Randy membuka pintu ke sebuah ruangan kecil di lantai dua. Dia langsung menuju meja kayu tua di sudut, tempat laptopnya tergeletak.

“Ini dia,” katanya sambil menyalakan laptop tersebut.

Alya mendekat, mencoba melihat isi layar. Tapi sebelum mereka sempat melakukan apapun, pintu di belakang mereka terbuka lebar.

Tiga orang berbadan besar masuk, wajah mereka jelas menunjukkan niat buruk.

“Randy,” salah satu dari mereka berbicara dengan nada mengancam. “Bos udah bilang lo nggak boleh ke mana-mana.”

Randy langsung panik, mundur beberapa langkah sambil mengangkat tangan. “Gue nggak mau masalah! Gue cuma mau keluar dari ini semua!”

Alya melirik Mira, mencoba memberi isyarat untuk mundur. Tapi salah satu dari mereka menangkap gerakan itu.

“Hei, lo! Jangan coba-coba kabur!” teriak pria itu.

Mira langsung menarik Alya ke belakang, melindungi sahabatnya. “Kita nggak ngapa-ngapain, oke?! Tenang dulu!”

“Lo pikir kita bodoh?” pria lainnya mendekat, matanya menyipit curiga. “Lo bawa informasi buat keluarin Randy dari sini?”

Randy mencoba berbicara, tapi salah satu dari mereka langsung mendorongnya ke dinding.

“Bos nggak suka pengkhianat,” katanya dingin.

Di luar, Aiden akhirnya keluar dari mobilnya, langkahnya tenang tapi penuh wibawa. Nathaniel mengikutinya dari belakang.

“Kita masuk sekarang?” Nathaniel bertanya.

Aiden mengangguk. “Jangan tunggu lebih lama.”

Beberapa tim keamanan Zenith yang sudah menunggu langsung bergerak, menyusup ke gudang dengan senjata non-lethal.

Ketegangan di dalam ruangan memuncak. Alya mencoba berpikir cepat, mencari cara untuk keluar dari situasi itu.

Tiba-tiba, suara ledakan kecil terdengar di lantai bawah. Lampu di gudang berkedip-kedip, dan suasana jadi kacau.

“Apa itu?!” salah satu pria berteriak.

Ini kesempatan mereka. Mira langsung menarik Alya keluar dari ruangan sementara Randy mencoba menyusul di belakang mereka. Tapi pria-pria itu nggak membiarkan mereka kabur begitu saja.

Mereka berlari menuruni tangga, melewati koridor sempit yang penuh dengan barang-barang berantakan. Suara tembakan peringatan terdengar, tapi bukan dari mereka. Tim keamanan Zenith sudah masuk dan langsung membuat situasi jadi semakin kacau.

Aiden muncul di tengah kekacauan, matanya tajam mencari seseorang. Dan ketika dia melihat Alya, dia berhenti sejenak, sedikit terkejut.

“Alya?” gumamnya pelan.

Alya yang juga melihat Aiden langsung melangkah mundur, terkejut. “Aiden? Lo ngapain di sini?”

“Bantu lo,” jawab Aiden datar sambil melangkah mendekat.

“Ini rencana lo?” Alya menatapnya dengan campuran marah dan bingung.

“Bukan. Tapi gue nggak bakal biarin lo terluka,” jawab Aiden sambil menariknya ke arah aman.

Alya berdiri terpaku, masih belum percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Aiden Ravindra, CEO yang katanya dingin dan nggak peduli, tiba-tiba muncul di tengah kekacauan ini.

“Lo serius? Kenapa lo di sini?” Alya akhirnya bertanya, nada suaranya masih ketus meskipun jantungnya berdebar nggak karuan.

Aiden menghela napas, jelas nggak mau memperpanjang drama. “Lo ada di tengah masalah yang bukan urusan lo. Kalau gue nggak datang, lo bakal jadi korban.”

Alya menyipitkan mata. “Masalah ini nggak urusan gue? Lo pikir gue bakal diem aja kalau ada sabotase di Zenith? Ini berita besar!”

Aiden mendekat, matanya menatap tajam ke arah Alya. “Dan berita itu bisa bikin lo mati kalau lo nggak hati-hati.”

“Wow, lo peduli?” Alya balas dengan nada sinis.

Mira yang berdiri di belakang Alya langsung menarik lengan sahabatnya. “Alya, udah. Kita cari aman dulu, oke?”

Tapi sebelum mereka bisa bergerak lebih jauh, salah satu pria yang mengejar mereka muncul lagi, kali ini membawa linggis. “Nggak ada yang keluar dari sini hidup-hidup!”

Aiden bereaksi cepat. Dia berdiri di depan Alya dan Mira, melindungi mereka. “Gue nggak nyari ribut, tapi kalau lo mau, gue siap.”

Pria itu mendekat, tapi sebelum sempat menyerang, Nathaniel muncul dari sisi lain, langsung menendang linggis dari tangan pria itu. “Bos, gue urus ini.”

Aiden mengangguk. “Pastikan nggak ada yang terluka.”

Nathaniel dan beberapa anggota tim keamanan dengan cepat mengamankan pria itu. Tapi suasana masih belum aman sepenuhnya. Gudang mulai terasa lebih tegang dengan suara langkah kaki yang mendekat dari segala arah.

“Kayaknya kita harus pergi sekarang,” Mira berbisik panik.

Alya melihat sekeliling, mencoba menilai situasi. Randy muncul lagi dari balik pintu, wajahnya pucat. “Laptop gue! Kita nggak bisa ninggalin data di situ!”

Aiden melirik Randy dengan pandangan penuh rasa jijik. “Lo pikir data itu lebih penting dari nyawa lo?”

“Kalau data itu jatuh ke tangan mereka, Zenith selesai!” Randy memohon, nadanya putus asa.

Alya menarik napas dalam. Dia tahu Randy nggak salah. Tapi dia juga sadar mereka nggak punya banyak waktu.

Aiden akhirnya mengambil keputusan. “Nathaniel, ambil laptop itu. Kita pergi sekarang.”

Nathaniel mengangguk tanpa banyak tanya, langsung bergerak ke lantai atas. Sementara itu, Aiden menarik Alya dan Mira ke arah pintu keluar.

“Lo pikir lo bisa nyuruh-nyuruh gue?” protes Alya sambil mencoba melepaskan tangannya dari genggaman Aiden.

“Kalau gue nggak nyuruh lo, lo udah mati sekarang,” balas Aiden dingin. “Jadi ikut aja!”

Mira melirik Alya dengan pandangan yang jelas-jelas bilang, “Ikutin aja, please.”

Alya akhirnya menyerah.

Di luar gudang, suasana lebih kacau lagi. Tim keamanan Zenith sedang melawan beberapa anak buah Samuel. Suara tembakan non-lethal terdengar sesekali, bikin Alya makin panik.

“Aiden, ini gila!” Alya akhirnya bersuara. “Kenapa mereka sampai segininya?”

Aiden nggak langsung jawab. Dia hanya terus berjalan sambil memastikan Alya tetap di dekatnya. Tapi akhirnya, dia bicara dengan nada pelan. “Samuel tahu kalau Zenith adalah ancaman buat bisnisnya. Dia nggak bakal berhenti sampai gue jatuh.”

“Dan lo nggak takut?” Alya bertanya lagi, matanya menatap tajam ke arah Aiden.

Aiden berhenti sejenak, menatap balik Alya. “Gue nggak punya pilihan untuk takut.”

Jawaban itu bikin Alya terdiam.

Tiba-tiba, suara Nathaniel terdengar dari earphone Aiden. “Bos, gue udah dapet datanya. Tapi mereka makin banyak. Kita harus keluar sekarang.”

Aiden mengangguk. “Bawa tim mundur. Gue bakal pastiin semuanya aman.”

Dalam beberapa menit, mereka berhasil keluar dari gudang dengan selamat. Randy dibawa oleh tim keamanan Zenith untuk diinterogasi lebih lanjut. Alya dan Mira duduk di dalam mobil yang berbeda, masih mencoba memproses apa yang baru aja terjadi.

“Lo gila, Alya,” kata Mira akhirnya. “Tapi kayaknya lo baru aja nyelametin Zenith.”

Alya tersenyum kecil, tapi pikirannya masih penuh dengan pertanyaan. Dan satu nama terus berputar di kepalanya: Aiden Ravindra.

Bab terkait

  • Jejak Langkah Sang CEO   Kepingan Rahasia

    Alya duduk di ruang tamu sambil menatap layar laptopnya. Matanya berkedip pelan, tapi pikirannya nggak berhenti muter-muter. Malam itu, setelah kejadian di gudang, dia nggak bisa tidur. Bukan cuma soal adrenalin yang masih tersisa, tapi juga karena satu nama yang terus ada di kepalanya: Aiden Ravindra.“Lo beneran bakal ngelaporin ini?” Mira muncul dari dapur sambil nenteng dua cangkir kopi.Alya mendesah, menerima cangkir dari Mira. “Gue masih belum yakin. Berita ini gede banget, Mir. Tapi, gue nggak mau asal nulis tanpa fakta lengkap.”“Dan lo yakin Aiden bakal kasih lo akses buat fakta lengkap itu?” Mira menaikkan alis.Alya terdiam sejenak, lalu menggeleng pelan. “Nggak. Dia tipe orang yang bakal ngelindungin rahasianya mati-matian.”Mira duduk di sebelah Alya. “Kalau gitu, kenapa lo nggak fokus ke hal lain dulu? Lo punya banyak bahan liputan, kan? Jangan lupa, ada Samuel Aditya di balik semua ini. Dia musuh nyata lo sekarang.”Alya menatap Mira, lalu menyesap kopinya. “Lo bener.

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-10
  • Jejak Langkah Sang CEO   Konspirasi Yang Terbuka

    Pagi itu, Alya menatap layar laptopnya sambil menyeruput kopi yang mulai dingin. Ia bolak-balik membaca catatan dari Evelyn dan mencoba mencocokkannya dengan beberapa dokumen lain yang ia temukan. Semuanya terasa seperti teka-teki besar yang belum ada gambarnya.“Lo nggak tidur, ya?” suara Mira yang baru bangun terdengar dari dapur kecil.“Sebentar aja,” jawab Alya singkat.“Sebentar yang udah masuk hari ketiga?” Mira mendekati meja kerja Alya sambil membawa roti bakar. “Lo serius banget. Awas, jangan sampai burnout.”Alya mendesah. “Gue nggak bisa berhenti, Mir. Semuanya makin jelas. Gue cuma butuh satu bukti lagi buat tahu siapa dalang sabotase Zenith ini.”Mira duduk di samping Alya, mengunyah pelan. “Lo yakin ini bukan cuma permainan Evelyn? Dia tuh manipulatif banget.”“Itu yang bikin gue pusing,” jawab Alya sambil mengusap wajah. “Tapi fakta yang dia kasih cocok sama investigasi gue.”Mira mengangkat bahu. “Yaudah, kalau lo yakin, gas terus. Tapi jangan lupa istirahat.”Di sisi

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-10
  • Jejak Langkah Sang CEO   Langkah Yang Berani

    Alya mengetuk meja kafe kecil itu sambil melirik pintu. Dia udah duduk di sana selama 15 menit, menunggu seseorang. Kopi di depannya udah setengah dingin, tapi pikirannya masih sibuk dengan pesan ancaman yang dia terima tadi malam.“Maaf, telat,” suara berat menginterupsi lamunannya. Nathaniel duduk di kursi di seberangnya dengan wajah serius.Alya melipat tangannya di meja. “Lo yakin nggak bakal ada yang curiga lo ketemu sama gue?”Nathaniel tersenyum tipis. “Gue bisa bikin ini keliatan kayak meeting kerja biasa. Lagian, gue COO. Siapa yang bakal nanya?”Alya mengangkat alis. “Oke, jadi kenapa lo minta ketemu?”Nathaniel mengeluarkan amplop cokelat dari tasnya. “Gue nemu sesuatu di laporan keuangan Zenith. Ini kayak… pola yang aneh, tapi gue nggak bisa pastiin ini sabotase atau cuma salah input data.”Alya mengambil amplop itu, membuka isinya, dan mulai membaca cepat. “Ini… transfer dana kecil, tapi sering. Ke akun yang beda-beda?”Nathaniel mengangguk. “Tepat. Kalau dilihat sekilas,

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-10
  • Jejak Langkah Sang CEO   Di Balik Layar

    Pagi itu, Alya duduk di ruang redaksi dengan segelas kopi dingin yang sudah setengah habis. Matanya terpaku ke layar laptop, mengetik cepat sambil sesekali menghela napas panjang. Di sebelahnya, Dio menyandarkan tubuh di kursi dengan ekspresi santai tapi usil.“Artikel lo soal Zenith udah kelar?” tanya Dio sambil melirik layar laptop Alya.“Belum,” jawab Alya singkat tanpa mengalihkan pandangan.“Lo serius banget, kayak mau nulis tesis.” Dio terkekeh.“Dio, kalau nggak ada yang penting, tolong jangan ganggu,” balas Alya sambil mengetik lebih cepat.Reza Hartono, editor senior sekaligus mentor Alya, tiba-tiba muncul dari balik meja. “Alya, gue butuh artikel itu sebelum jam makan siang. Lo masih punya waktu dua jam.”“Iya, Pak Reza. Hampir selesai,” kata Alya sambil mengangguk cepat.“Bagus. Gue percaya lo bisa handle ini,” ujar Reza sambil menepuk bahunya.Setelah Reza pergi, Dio menyeringai kecil. “Jangan lupa kasih gue bocoran soal Aiden Ravindra. CEO misterius itu pasti punya sisi g

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-10
  • Jejak Langkah Sang CEO   Titik Awal

    “Udah sampai, Mbak Alya.” Alya melongok dari jendela mobil taksi online. Kantor Zenith Corp menjulang tinggi di tengah hiruk pikuk Jakarta. Gedung itu terasa dingin, sama seperti reputasi CEO-nya, Aiden Ravindra. Alya menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang sedikit lebih cepat dari biasanya. “Semangat, Alya. Ingat, lo wartawan. Nggak ada yang nggak bisa lo hadapin,” gumamnya pelan sebelum membayar ongkos dan turun. Begitu masuk ke lobi, dia disambut suasana yang penuh profesionalisme. Semua serba rapi, elegan, tapi juga terasa… kaku. Seorang resepsionis perempuan menyapanya dengan senyum tipis. “Selamat siang. Ada yang bisa saya bantu?” Alya memberikan ID persnya. “Alya Mahendra, dari Insight Media. Saya ada janji wawancara sama Pak Aiden Ravindra jam dua.” Resepsionis itu mengangguk sambil memeriksa daftar tamu. “Silakan tunggu sebentar, Mbak. Saya panggilkan Mbak Tara untuk mengantar Anda.” Beberapa menit kemudian, seorang perempuan muda dengan blazer

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-04
  • Jejak Langkah Sang CEO   Pertemuan Yang Tak Terduga

    Alya sibuk mengetik di laptopnya di meja kerja kecil di kantor redaksi. Ruangan itu nggak besar, tapi selalu ramai. Suara keyboard dari semua penjuru, telepon berdering, dan obrolan rekan kerja jadi soundtrack sehari-hari. “Masih soal Aiden Ravindra?” suara Dio, rekan sekaligus saingannya, tiba-tiba muncul dari belakang. Alya mendongak, agak terganggu. “Ya, kenapa?” Dio menyandarkan diri ke dinding sambil tersenyum kecil. “Lo sadar nggak, kebanyakan artikel lo tuh berat ke sisi kemanusiaan. Bagus sih, tapi kadang gue mikir, apa semua CEO itu punya sisi manusiawi?” Alya mendengus, lalu melipat tangannya di meja. “Lo skeptis banget. Justru itu tugas kita, kan? Bukan cuma ngegali fakta, tapi nyari cerita di balik fakta itu.” Dio mengangkat bahu. “Well, good luck sama si robot es itu. Gue dengar dia baru aja nge-‘terminate’ kontrak gede tadi pagi.” Alya langsung berhenti mengetik. “Serius? Kontrak yang mana?” “BrightFuture Holdings,” jawab Dio dengan nada santai. Alya memicingkan

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-04
  • Jejak Langkah Sang CEO   Rahasia Yang Mulai Terkuak

    Alya duduk di depan laptopnya, menatap layar kosong. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja sambil memikirkan bagaimana memulai tulisan tentang wawancaranya dengan Aiden. Dia tahu, artikel ini harus beda—bukan cuma soal angka, kesuksesan, atau bisnis besar.“Ini harus nyentuh sisi manusianya,” gumam Alya.Pikirannya terhenti ketika notifikasi pesan muncul di ponselnya. Dari Mira.“Gue lagi di tempat biasa. Ngobrol yuk, ada info penting.”Alya langsung berkemas. Kalau Mira bilang info penting, pasti ada sesuatu yang menarik.Sementara itu, di kantor Zenith, Aiden berdiri di depan jendela ruangannya yang besar. Nathaniel duduk di sofa dengan ekspresi serius.“Ada perkembangan soal Victor?” tanya Aiden tanpa menoleh.Nathaniel mengangguk. “Andre dapet data tambahan. Ada jejak transaksi mencurigakan yang melibatkan orang dalam Zenith.”Aiden berbalik, ekspresinya dingin tapi penuh perhatian. “Siapa?”Nathaniel menyerahkan dokumen. “Clara Hadi. Tapi ini belum pasti. Bisa jadi dia cuma korban m

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-04
  • Jejak Langkah Sang CEO   Jejak Di Balik Bayangan

    Alya menatap layar laptopnya sambil menggigit ujung pulpen. Data yang ia kumpulkan dari informannya, Vina, terasa seperti potongan puzzle yang belum lengkap. Sesuatu mengganggunya—tapi dia nggak tahu pasti apa.“Lo masih ngeliatin itu?” tanya Mira, yang baru aja balik dari pantry kantor sambil membawa dua cangkir kopi.“Masih,” gumam Alya sambil menghela napas. “Gue ngerasa ada sesuatu yang besar di balik ini semua, tapi kayak ada yang sengaja nutupin jejaknya.”Mira duduk di kursi sebelahnya, menyerahkan secangkir kopi. “Lo yakin Aiden bakal percaya sama lo?”“Gue nggak peduli dia percaya atau nggak,” jawab Alya. “Yang penting, gue udah kasih dia data itu. Sekarang gue harus cari bukti lebih kuat.”Mira menyeruput kopinya sambil melipat kakinya di kursi. “Tapi lo sadar kan, lo lagi main di zona bahaya? Kalau bener ini soal sabotase, pelakunya nggak bakal tinggal diam.”Alya terdiam. Kata-kata Mira bikin dia makin sadar risiko yang dia ambil. Tapi di sisi lain, dia tahu dia nggak bisa

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-04

Bab terbaru

  • Jejak Langkah Sang CEO   Di Balik Layar

    Pagi itu, Alya duduk di ruang redaksi dengan segelas kopi dingin yang sudah setengah habis. Matanya terpaku ke layar laptop, mengetik cepat sambil sesekali menghela napas panjang. Di sebelahnya, Dio menyandarkan tubuh di kursi dengan ekspresi santai tapi usil.“Artikel lo soal Zenith udah kelar?” tanya Dio sambil melirik layar laptop Alya.“Belum,” jawab Alya singkat tanpa mengalihkan pandangan.“Lo serius banget, kayak mau nulis tesis.” Dio terkekeh.“Dio, kalau nggak ada yang penting, tolong jangan ganggu,” balas Alya sambil mengetik lebih cepat.Reza Hartono, editor senior sekaligus mentor Alya, tiba-tiba muncul dari balik meja. “Alya, gue butuh artikel itu sebelum jam makan siang. Lo masih punya waktu dua jam.”“Iya, Pak Reza. Hampir selesai,” kata Alya sambil mengangguk cepat.“Bagus. Gue percaya lo bisa handle ini,” ujar Reza sambil menepuk bahunya.Setelah Reza pergi, Dio menyeringai kecil. “Jangan lupa kasih gue bocoran soal Aiden Ravindra. CEO misterius itu pasti punya sisi g

  • Jejak Langkah Sang CEO   Langkah Yang Berani

    Alya mengetuk meja kafe kecil itu sambil melirik pintu. Dia udah duduk di sana selama 15 menit, menunggu seseorang. Kopi di depannya udah setengah dingin, tapi pikirannya masih sibuk dengan pesan ancaman yang dia terima tadi malam.“Maaf, telat,” suara berat menginterupsi lamunannya. Nathaniel duduk di kursi di seberangnya dengan wajah serius.Alya melipat tangannya di meja. “Lo yakin nggak bakal ada yang curiga lo ketemu sama gue?”Nathaniel tersenyum tipis. “Gue bisa bikin ini keliatan kayak meeting kerja biasa. Lagian, gue COO. Siapa yang bakal nanya?”Alya mengangkat alis. “Oke, jadi kenapa lo minta ketemu?”Nathaniel mengeluarkan amplop cokelat dari tasnya. “Gue nemu sesuatu di laporan keuangan Zenith. Ini kayak… pola yang aneh, tapi gue nggak bisa pastiin ini sabotase atau cuma salah input data.”Alya mengambil amplop itu, membuka isinya, dan mulai membaca cepat. “Ini… transfer dana kecil, tapi sering. Ke akun yang beda-beda?”Nathaniel mengangguk. “Tepat. Kalau dilihat sekilas,

  • Jejak Langkah Sang CEO   Konspirasi Yang Terbuka

    Pagi itu, Alya menatap layar laptopnya sambil menyeruput kopi yang mulai dingin. Ia bolak-balik membaca catatan dari Evelyn dan mencoba mencocokkannya dengan beberapa dokumen lain yang ia temukan. Semuanya terasa seperti teka-teki besar yang belum ada gambarnya.“Lo nggak tidur, ya?” suara Mira yang baru bangun terdengar dari dapur kecil.“Sebentar aja,” jawab Alya singkat.“Sebentar yang udah masuk hari ketiga?” Mira mendekati meja kerja Alya sambil membawa roti bakar. “Lo serius banget. Awas, jangan sampai burnout.”Alya mendesah. “Gue nggak bisa berhenti, Mir. Semuanya makin jelas. Gue cuma butuh satu bukti lagi buat tahu siapa dalang sabotase Zenith ini.”Mira duduk di samping Alya, mengunyah pelan. “Lo yakin ini bukan cuma permainan Evelyn? Dia tuh manipulatif banget.”“Itu yang bikin gue pusing,” jawab Alya sambil mengusap wajah. “Tapi fakta yang dia kasih cocok sama investigasi gue.”Mira mengangkat bahu. “Yaudah, kalau lo yakin, gas terus. Tapi jangan lupa istirahat.”Di sisi

  • Jejak Langkah Sang CEO   Kepingan Rahasia

    Alya duduk di ruang tamu sambil menatap layar laptopnya. Matanya berkedip pelan, tapi pikirannya nggak berhenti muter-muter. Malam itu, setelah kejadian di gudang, dia nggak bisa tidur. Bukan cuma soal adrenalin yang masih tersisa, tapi juga karena satu nama yang terus ada di kepalanya: Aiden Ravindra.“Lo beneran bakal ngelaporin ini?” Mira muncul dari dapur sambil nenteng dua cangkir kopi.Alya mendesah, menerima cangkir dari Mira. “Gue masih belum yakin. Berita ini gede banget, Mir. Tapi, gue nggak mau asal nulis tanpa fakta lengkap.”“Dan lo yakin Aiden bakal kasih lo akses buat fakta lengkap itu?” Mira menaikkan alis.Alya terdiam sejenak, lalu menggeleng pelan. “Nggak. Dia tipe orang yang bakal ngelindungin rahasianya mati-matian.”Mira duduk di sebelah Alya. “Kalau gitu, kenapa lo nggak fokus ke hal lain dulu? Lo punya banyak bahan liputan, kan? Jangan lupa, ada Samuel Aditya di balik semua ini. Dia musuh nyata lo sekarang.”Alya menatap Mira, lalu menyesap kopinya. “Lo bener.

  • Jejak Langkah Sang CEO   Perang Dimulai

    Alya menatap Randy Suhartono yang berdiri di depan pintunya. Lelaki itu tampak kusut, matanya waspada sambil terus mengawasi lorong apartemen.“Masuk,” Alya akhirnya berkata, meski dalam hati masih ragu. Mira langsung berdiri dari sofa, memasang wajah curiga.“Lo ngapain di sini?” Mira memotong sebelum Randy sempat bicara.Randy mengangkat tangannya, seolah memberi tanda kalau dia nggak punya niat buruk. “Gue datang buat nyerah.”“Ny… nyerah?” Alya mengerutkan dahi, nggak percaya dengan apa yang baru dia dengar.Randy mengangguk pelan. “Samuel nggak tahu kalau gue di sini. Gue udah muak jadi pionnya dia. Dia nggak cuma mau ngancurin Zenith, tapi juga orang-orang kayak lo.”“Ngapain kita percaya lo?” Mira mendesis. “Lo tuh hacker bayaran. Lo bisa aja pura-pura baik buat jebak kita.”“Gue punya bukti lebih banyak tentang Samuel,” Randy bersikeras. “Semua rencananya ada di laptop gue. Kalau lo nggak percaya, gue bisa kasih itu sekarang.”Alya memutar otaknya cepat. Di satu sisi, ini kese

  • Jejak Langkah Sang CEO   Konfrontasi Tak Terduga

    Pagi itu di kantor Zenith Corp, Aiden duduk di ruangannya yang luas, dikelilingi oleh tumpukan dokumen dan laporan. Pandangannya tajam, tapi ada sedikit kerutan di keningnya. Pikirannya masih dipenuhi dengan kejadian sabotase yang terus menggoyang perusahaannya.Nathaniel masuk dengan langkah cepat tanpa mengetuk, seperti biasanya. “Gue dapet update dari Andre. Mereka nemuin server yang dipake buat ngelakuin sabotase itu. Lokasinya di kawasan milik Samuel.”Aiden menyandarkan diri di kursinya, ekspresinya datar tapi matanya penuh ketegangan. “Samuel lagi nyari gara-gara. Kalau dia pikir gue bakal duduk diam, dia salah besar.”“Lo mau ngelakuin apa?” tanya Nathaniel sambil melipat tangan di dadanya.Aiden diam sejenak, lalu menjawab dengan nada tegas. “Kita bikin dia nyesel pernah main-main sama Zenith. Tapi sebelum itu, gue butuh bukti konkret. Gue nggak mau bergerak tanpa strategi yang jelas.”Nathaniel mengangguk. “Gue bakal terusin penyelidikannya.”Di sisi lain kota, Alya duduk di

  • Jejak Langkah Sang CEO   Langkah Di Antara Bahaya

    Pagi itu di ruang meeting Zenith Corp, suasana tegang. Aiden duduk di ujung meja, dikelilingi Nathaniel, Clara, Lucas, dan Jessica. Di tengah meja, sebuah layar besar menampilkan grafik penurunan performa saham Zenith dalam sepekan terakhir.“Ini nggak bisa dibiarkan,” suara Aiden terdengar tegas, dingin seperti biasa.Lucas mengangguk, membuka file di laptopnya. “Gue udah nge-trace beberapa aktivitas mencurigakan di sistem internal kita. Gue yakin, ini kerjaan orang dalam.”“Lo yakin, Lucas?” Jessica menyela, ragu. “Kalau ini kerjaan orang dalam, siapa yang berani? Semua karyawan udah di-screening ketat.”Nathaniel menghela napas. “Masalahnya bukan siapa yang berani, tapi siapa yang cukup pintar buat bikin semua ini kelihatan kayak kesalahan teknis biasa.”Clara, yang sejak tadi diam, akhirnya buka suara. “Kalau ini bener sabotase, lo mau langkah pertama apa, Aiden?”Aiden mengarahkan pandangannya ke semua orang di ruangan itu. “Cari siapa pelakunya. Hentikan mereka sebelum kerusakan

  • Jejak Langkah Sang CEO   Jejak Di Balik Bayangan

    Alya menatap layar laptopnya sambil menggigit ujung pulpen. Data yang ia kumpulkan dari informannya, Vina, terasa seperti potongan puzzle yang belum lengkap. Sesuatu mengganggunya—tapi dia nggak tahu pasti apa.“Lo masih ngeliatin itu?” tanya Mira, yang baru aja balik dari pantry kantor sambil membawa dua cangkir kopi.“Masih,” gumam Alya sambil menghela napas. “Gue ngerasa ada sesuatu yang besar di balik ini semua, tapi kayak ada yang sengaja nutupin jejaknya.”Mira duduk di kursi sebelahnya, menyerahkan secangkir kopi. “Lo yakin Aiden bakal percaya sama lo?”“Gue nggak peduli dia percaya atau nggak,” jawab Alya. “Yang penting, gue udah kasih dia data itu. Sekarang gue harus cari bukti lebih kuat.”Mira menyeruput kopinya sambil melipat kakinya di kursi. “Tapi lo sadar kan, lo lagi main di zona bahaya? Kalau bener ini soal sabotase, pelakunya nggak bakal tinggal diam.”Alya terdiam. Kata-kata Mira bikin dia makin sadar risiko yang dia ambil. Tapi di sisi lain, dia tahu dia nggak bisa

  • Jejak Langkah Sang CEO   Rahasia Yang Mulai Terkuak

    Alya duduk di depan laptopnya, menatap layar kosong. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja sambil memikirkan bagaimana memulai tulisan tentang wawancaranya dengan Aiden. Dia tahu, artikel ini harus beda—bukan cuma soal angka, kesuksesan, atau bisnis besar.“Ini harus nyentuh sisi manusianya,” gumam Alya.Pikirannya terhenti ketika notifikasi pesan muncul di ponselnya. Dari Mira.“Gue lagi di tempat biasa. Ngobrol yuk, ada info penting.”Alya langsung berkemas. Kalau Mira bilang info penting, pasti ada sesuatu yang menarik.Sementara itu, di kantor Zenith, Aiden berdiri di depan jendela ruangannya yang besar. Nathaniel duduk di sofa dengan ekspresi serius.“Ada perkembangan soal Victor?” tanya Aiden tanpa menoleh.Nathaniel mengangguk. “Andre dapet data tambahan. Ada jejak transaksi mencurigakan yang melibatkan orang dalam Zenith.”Aiden berbalik, ekspresinya dingin tapi penuh perhatian. “Siapa?”Nathaniel menyerahkan dokumen. “Clara Hadi. Tapi ini belum pasti. Bisa jadi dia cuma korban m

DMCA.com Protection Status