Home / Romansa / Jejak Langkah Sang CEO / Pertemuan Yang Tak Terduga

Share

Pertemuan Yang Tak Terduga

Author: ENDRA
last update Huling Na-update: 2025-01-04 17:03:59

Alya sibuk mengetik di laptopnya di meja kerja kecil di kantor redaksi. Ruangan itu nggak besar, tapi selalu ramai. Suara keyboard dari semua penjuru, telepon berdering, dan obrolan rekan kerja jadi soundtrack sehari-hari.

“Masih soal Aiden Ravindra?” suara Dio, rekan sekaligus saingannya, tiba-tiba muncul dari belakang.

Alya mendongak, agak terganggu. “Ya, kenapa?”

Dio menyandarkan diri ke dinding sambil tersenyum kecil. “Lo sadar nggak, kebanyakan artikel lo tuh berat ke sisi kemanusiaan. Bagus sih, tapi kadang gue mikir, apa semua CEO itu punya sisi manusiawi?”

Alya mendengus, lalu melipat tangannya di meja. “Lo skeptis banget. Justru itu tugas kita, kan? Bukan cuma ngegali fakta, tapi nyari cerita di balik fakta itu.”

Dio mengangkat bahu. “Well, good luck sama si robot es itu. Gue dengar dia baru aja nge-‘terminate’ kontrak gede tadi pagi.”

Alya langsung berhenti mengetik. “Serius? Kontrak yang mana?”

“BrightFuture Holdings,” jawab Dio dengan nada santai.

Alya memicingkan mata. “Lo dapet infonya dari mana?”

“Rahasia perusahaan,” Dio terkekeh, lalu berbalik meninggalkan meja Alya.

Alya menatap layar laptopnya dengan pikiran bercabang. Keputusan sepihak Aiden tadi pagi pasti punya alasan. Dia mencatat beberapa hal di notes-nya, lalu menutup laptop dengan tekad baru.

Di ruang gym privatnya, Aiden Ravindra memukul samsak dengan ritme cepat. Keringat membasahi kaos hitamnya, tapi dia nggak peduli. Hanya di tempat seperti ini dia merasa bisa melampiaskan emosinya tanpa penghakiman.

“Lo keras banget hari ini,” suara Sakti Wijaya, pemilik gym, terdengar dari belakang.

Aiden berhenti memukul, lalu menyeka wajahnya dengan handuk. “Gue cuma perlu fokus.”

Sakti tertawa kecil. “Fokus atau kabur? Gue tahu kok, masalah lo bukan cuma kontrak batal.”

Aiden menatapnya sekilas, lalu mengambil botol air mineral di bangku. “Lo tahu terlalu banyak.”

“Dan lo terlalu keras sama diri sendiri,” balas Sakti sambil melipat tangannya. “Lo harusnya kasih diri lo ruang buat napas.”

Aiden nggak menjawab. Dia hanya meneguk air, lalu duduk di bangku kayu di sudut ruangan. Kepalanya terasa berat, bukan karena capek fisik, tapi karena beban yang terus menumpuk.

“Kehilangan BrightFuture mungkin terlihat bodoh buat orang luar,” katanya pelan, “tapi gue nggak mau kompromi sama hal-hal yang merusak fondasi Zenith.”

“Gue nggak ngomongin BrightFuture, Den,” jawab Sakti. “Gue ngomongin lo. Sampai kapan lo mau ngehindar dari diri lo sendiri?”

Aiden diam. Pertanyaan Sakti itu menyentuh sesuatu yang dia coba lupakan. Tapi sebelum dia sempat menjawab, ponselnya bergetar di atas meja. Tara menelepon.

“Ada apa?” Aiden menjawab dengan nada dingin seperti biasa.

“Pak Nathaniel butuh Anda di kantor. Ada masalah baru,” jawab Tara di seberang.

“Baik. Aku ke sana sekarang.”

Aiden mengakhiri panggilan itu, lalu berdiri. “Thanks buat masukannya, Sakti. Tapi sekarang gue harus kerja.”

“Lo selalu kerja,” Sakti membalas dengan nada prihatin. Tapi Aiden sudah pergi tanpa menoleh.

Di kafe langganannya, Alya bertemu Daniel yang seperti biasa menyajikan kopi hitam pesanannya dengan senyum lebar.

“Kayaknya hari ini lo lebih serius dari biasanya,” Daniel berkata sambil menaruh cangkir di meja Alya.

“Kerjaan, Dan. Lo tahu sendiri, CEO kayak Aiden Ravindra tuh penuh misteri,” jawab Alya sambil mengaduk kopinya.

“Misteri atau masalah?” Daniel bercanda.

“Dua-duanya,” Alya mendengus sambil membuka notes-nya. “Gue rasa ada sesuatu yang nggak beres di balik keputusan dia hari ini.”

Daniel tersenyum kecil. “Lo kayak detektif, bukan jurnalis.”

“Bedanya tipis,” jawab Alya sambil tersenyum tipis.

Sementara itu, di ruang rapat Zenith Corp, Aiden duduk bersama Nathaniel dan beberapa staf senior lainnya. Masalah baru ini datang dari pihak luar, dan kali ini ada indikasi sabotase.

“Gue nggak akan biarkan ini berlanjut,” kata Aiden tegas. “Andre, periksa sistem keamanan internal kita. Gue mau laporan lengkap dalam 24 jam.”

Nathaniel mengangguk kecil. “Kalau ini sabotase, kita harus tahu siapa dalangnya.”

Aiden menatap layar proyektor di depan mereka, di mana laporan awal menunjukkan kejanggalan dalam sistem.

Di luar, Alya sedang mempersiapkan langkah berikutnya. Dia nggak tahu bahwa wawancaranya dengan Aiden bukan cuma akan membuka sisi lain sang CEO, tapi juga menyeretnya ke dalam pusaran konflik yang lebih besar.

Pagi berikutnya, Alya sudah berdiri di depan lobi Zenith Corp dengan langkah mantap. Setelah berhasil mendapat izin untuk wawancara lanjutan, dia nggak mau menyia-nyiakan kesempatan ini.

Di dalam, Tara Anindita menunggunya. Sekretaris pribadi Aiden itu tersenyum tipis saat melihat Alya.

“Selamat pagi, Mbak Alya,” sapa Tara ramah. “Pak Aiden sudah menunggu di ruangannya. Tapi, tolong, jangan lebih dari 30 menit. Jadwal beliau padat hari ini.”

Alya mengangguk. “Terima kasih, Mbak Tara. Saya nggak akan lama.”

Mereka berjalan menuju lift dengan suasana formal. Begitu sampai di lantai tertinggi, Alya merasa sedikit gugup, tapi dia menyembunyikannya di balik senyumnya.

“Silakan masuk,” Tara membuka pintu ruangan Aiden.

Aiden duduk di belakang mejanya dengan ekspresi seperti biasa—dingin dan fokus. Dia hanya melirik Alya sekilas sebelum kembali menatap laptop di depannya.

“Selamat pagi, Pak Aiden,” Alya membuka percakapan.

“Langsung ke intinya, Mbak Alya. Waktu saya terbatas,” jawab Aiden tanpa basa-basi.

Alya tersenyum tipis. Dia sudah menduga ini.

“Oke, saya ingin tahu keputusan Anda soal kontrak dengan BrightFuture. Kenapa Anda memilih mundur?” tanyanya sambil membuka notes.

Aiden menatapnya dengan tatapan tajam. “Kenapa itu penting buat artikel Anda?”

“Karena saya percaya ada alasan yang lebih dari sekadar strategi bisnis,” jawab Alya mantap.

Aiden terdiam beberapa detik sebelum akhirnya bicara. “BrightFuture ingin memaksakan syarat yang bertentangan dengan prinsip Zenith. Saya tidak akan mengorbankan integritas perusahaan ini hanya demi uang.”

“Tapi, keputusan itu pasti berdampak besar pada Zenith, kan? Anda nggak takut kehilangan investor?”

“Investor sejati akan melihat nilai jangka panjang, bukan keuntungan sesaat,” jawab Aiden tegas.

Alya mencatat sambil berpikir keras. Jawaban Aiden jelas, tapi tetap terasa terlalu formal. Dia ingin menggali lebih dalam.

“Kalau boleh jujur, Pak Aiden, Anda terlihat seperti seseorang yang selalu memikul beban besar. Apa semua ini pernah membuat Anda merasa… lelah?”

Aiden terdiam lagi, kali ini lebih lama. Tatapannya berubah sedikit, seolah pertanyaan itu menyentuh sesuatu yang pribadi.

“Itu pertanyaan yang menarik,” katanya akhirnya. “Tapi, pekerjaan saya adalah memastikan perusahaan ini berjalan. Kalau saya lelah, saya tidak punya waktu untuk merasakannya.”

Alya menatap Aiden dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. Di balik jawaban itu, dia tahu ada sesuatu yang lebih dalam—sesuatu yang Aiden belum siap untuk bagikan.

Di luar ruangan, Tara mengamati dari kejauhan sambil berbincang dengan Nathaniel Cruz.

“Gimana menurut lo, Nat? Cewek itu bakal berhasil bikin Aiden cerita?” tanya Tara sambil melipat tangan di dada.

Nathaniel tersenyum kecil. “Aiden bukan tipe orang yang gampang terbuka, Tara. Tapi kalau ada yang bisa bikin dia bicara soal masa lalunya, mungkin cewek itu.”

Tara mengangkat alis. “Lo yakin banget.”

Nathaniel mengangguk. “Dia beda. Alya nggak cuma pengen tahu soal Zenith. Dia pengen tahu soal Aiden sebagai manusia. Itu yang bikin gue penasaran.”

Setelah wawancara selesai, Alya berjalan keluar ruangan dengan kepala penuh ide. Dia merasa semakin dekat untuk mengungkap sisi lain Aiden Ravindra.

“Terima kasih, Pak Aiden,” ucapnya sebelum menutup pintu.

Aiden hanya mengangguk singkat, tapi tatapannya mengikuti Alya sampai pintu tertutup. Dia nggak bisa mengabaikan pertanyaan terakhir tadi—pertanyaan yang entah kenapa terasa lebih sulit dijawab daripada semua masalah bisnis yang pernah dia hadapi.

Selesai dari wawancara, Alya keluar dari gedung Zenith Corp sambil mengecek catatan di ponselnya. Beberapa poin penting dari percakapan tadi memenuhi pikirannya. Tapi ada satu hal yang terus mengusiknya—tatapan Aiden saat dia menyinggung soal lelah.

“Kenapa rasanya ada sesuatu yang dia sembunyikan?” gumam Alya pelan.

Saat dia berjalan menuju kafe dekat kantor untuk bertemu Mira, langkahnya terhenti ketika seseorang menabraknya dari belakang.

“Sorry, Mbak!”

Alya hampir jatuh, tapi orang itu dengan cepat memegang bahunya. Alya mendongak dan mendapati seorang pria muda dengan wajah penuh rasa bersalah.

“Lo nggak lihat gue jalan, ya?” tanya Alya, setengah kesal.

“Maaf banget. Gue buru-buru,” jawab pria itu sambil tersenyum kaku. “Gue Dio. Reporter dari…”

“Gue tahu lo siapa,” potong Alya. “Dio Pratama, reporter paling nyebelin di kantor gue.”

Dio tertawa kecil. “Wah, reputasi gue ternyata mendunia.”

Alya menggelengkan kepala, tapi nggak bisa menahan senyum tipis. “Lo ngapain di sini? Nyari gosip soal Aiden juga?”

“Gue nggak kayak lo, Alya,” Dio menjawab dengan nada menggoda. “Gue cuma ngecek potensi berita. Lo aja yang kelihatan sibuk banget ngejar sisi manusia si CEO robot itu.”

Alya mendengus, lalu melangkah pergi. “Good luck, Dio. Gue nggak punya waktu buat debat.”

Dio hanya mengangkat bahu dan melanjutkan jalannya.

Di sisi lain kota, Aiden duduk di ruang meeting kecil bersama Nathaniel dan Andre Hartanto, kepala keamanan Zenith. Mereka membahas indikasi sabotase yang ditemukan di sistem internal perusahaan.

“Gue udah cek ulang data, dan ini bukan kecelakaan,” kata Andre serius. “Ada jejak yang nunjuk ke seseorang dari luar perusahaan.”

Nathaniel mengangguk. “Kita tahu siapa pelakunya?”

Andre menyodorkan dokumen. “Belum pasti, tapi gue punya kandidat kuat. Victor Liem. Dia punya akses ke beberapa informasi kunci setelah pertemuan terakhir kita.”

Aiden membaca dokumen itu dengan ekspresi dingin. Nama Victor Liem sudah lama ada di radarnya. Pria itu pemilik startup teknologi yang mencoba bersaing dengan Zenith, tapi caranya selalu licik.

“Kita nggak bisa tuduh dia tanpa bukti,” kata Aiden. “Tapi gue mau lo perketat semua akses. Pastikan nggak ada celah lagi.”

“Siap,” jawab Andre.

Nathaniel menatap Aiden dengan penuh pertimbangan. “Lo yakin mau ngelakuin ini sendiri? Kita bisa libatkan polisi.”

Aiden menggeleng. “Bukan sekarang. Kalau kita gegabah, dia bisa balik menyerang. Kita main tenang.”

Nathaniel hanya bisa mengangguk. Dia tahu betul bahwa Aiden nggak pernah mengambil langkah tanpa rencana matang.

Di kafe, Mira sudah menunggu Alya dengan senyum lebar.

“Eh, akhirnya lo nongol juga!” Mira menyapa sambil melambaikan tangan.

Alya duduk di depannya, langsung memesan latte. “Sorry, gue tadi ada wawancara di Zenith.”

“Oh, sama si Aiden Ravindra, kan? Gimana? Dia sedingin itu?”

Alya mengangguk sambil tersenyum tipis. “Dingin banget, tapi ada sesuatu di balik itu. Dia bukan cuma robot kaya yang nggak punya perasaan. Gue yakin ada cerita besar di balik cara dia bertingkah.”

Mira menyipitkan mata, jelas penasaran. “Lo serius mau gali lebih dalam?”

“Of course. Ini bisa jadi artikel terbesar gue,” jawab Alya penuh semangat.

Mira mengangguk sambil menyeruput kopinya. “Kalau lo butuh bantuan gue, tinggal bilang aja. Gue selalu siap jadi fotografer lo.”

“Thanks, Mir,” Alya tersenyum. Dia tahu, sahabatnya ini selalu mendukungnya, apapun yang terjadi.

Malam itu, Aiden kembali ke penthouse-nya yang sepi. Di meja kerjanya, dia membuka laptop dan membaca ulang laporan Andre. Fotonya Victor Liem terpampang jelas di layar.

Aiden menghela napas panjang. Di balik ambisi dan strategi dinginnya, ada rasa lelah yang mulai menghantui. Tapi dia nggak punya pilihan selain terus maju. Zenith adalah hidupnya, satu-satunya warisan dari keluarganya yang masih tersisa.

Namun, saat dia menatap layar, pikirannya terlempar ke pertanyaan Alya tadi pagi.

“Pernah lelah?” gumamnya pelan. Dia menutup laptopnya dengan pelan dan menyandarkan tubuhnya di kursi.

Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Aiden merasa pertanyaan sederhana itu jauh lebih berat daripada perang bisnis yang dia hadapi.

Kaugnay na kabanata

  • Jejak Langkah Sang CEO   Rahasia Yang Mulai Terkuak

    Alya duduk di depan laptopnya, menatap layar kosong. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja sambil memikirkan bagaimana memulai tulisan tentang wawancaranya dengan Aiden. Dia tahu, artikel ini harus beda—bukan cuma soal angka, kesuksesan, atau bisnis besar.“Ini harus nyentuh sisi manusianya,” gumam Alya.Pikirannya terhenti ketika notifikasi pesan muncul di ponselnya. Dari Mira.“Gue lagi di tempat biasa. Ngobrol yuk, ada info penting.”Alya langsung berkemas. Kalau Mira bilang info penting, pasti ada sesuatu yang menarik.Sementara itu, di kantor Zenith, Aiden berdiri di depan jendela ruangannya yang besar. Nathaniel duduk di sofa dengan ekspresi serius.“Ada perkembangan soal Victor?” tanya Aiden tanpa menoleh.Nathaniel mengangguk. “Andre dapet data tambahan. Ada jejak transaksi mencurigakan yang melibatkan orang dalam Zenith.”Aiden berbalik, ekspresinya dingin tapi penuh perhatian. “Siapa?”Nathaniel menyerahkan dokumen. “Clara Hadi. Tapi ini belum pasti. Bisa jadi dia cuma korban m

    Huling Na-update : 2025-01-04
  • Jejak Langkah Sang CEO   Jejak Di Balik Bayangan

    Alya menatap layar laptopnya sambil menggigit ujung pulpen. Data yang ia kumpulkan dari informannya, Vina, terasa seperti potongan puzzle yang belum lengkap. Sesuatu mengganggunya—tapi dia nggak tahu pasti apa.“Lo masih ngeliatin itu?” tanya Mira, yang baru aja balik dari pantry kantor sambil membawa dua cangkir kopi.“Masih,” gumam Alya sambil menghela napas. “Gue ngerasa ada sesuatu yang besar di balik ini semua, tapi kayak ada yang sengaja nutupin jejaknya.”Mira duduk di kursi sebelahnya, menyerahkan secangkir kopi. “Lo yakin Aiden bakal percaya sama lo?”“Gue nggak peduli dia percaya atau nggak,” jawab Alya. “Yang penting, gue udah kasih dia data itu. Sekarang gue harus cari bukti lebih kuat.”Mira menyeruput kopinya sambil melipat kakinya di kursi. “Tapi lo sadar kan, lo lagi main di zona bahaya? Kalau bener ini soal sabotase, pelakunya nggak bakal tinggal diam.”Alya terdiam. Kata-kata Mira bikin dia makin sadar risiko yang dia ambil. Tapi di sisi lain, dia tahu dia nggak bisa

    Huling Na-update : 2025-01-04
  • Jejak Langkah Sang CEO   Langkah Di Antara Bahaya

    Pagi itu di ruang meeting Zenith Corp, suasana tegang. Aiden duduk di ujung meja, dikelilingi Nathaniel, Clara, Lucas, dan Jessica. Di tengah meja, sebuah layar besar menampilkan grafik penurunan performa saham Zenith dalam sepekan terakhir.“Ini nggak bisa dibiarkan,” suara Aiden terdengar tegas, dingin seperti biasa.Lucas mengangguk, membuka file di laptopnya. “Gue udah nge-trace beberapa aktivitas mencurigakan di sistem internal kita. Gue yakin, ini kerjaan orang dalam.”“Lo yakin, Lucas?” Jessica menyela, ragu. “Kalau ini kerjaan orang dalam, siapa yang berani? Semua karyawan udah di-screening ketat.”Nathaniel menghela napas. “Masalahnya bukan siapa yang berani, tapi siapa yang cukup pintar buat bikin semua ini kelihatan kayak kesalahan teknis biasa.”Clara, yang sejak tadi diam, akhirnya buka suara. “Kalau ini bener sabotase, lo mau langkah pertama apa, Aiden?”Aiden mengarahkan pandangannya ke semua orang di ruangan itu. “Cari siapa pelakunya. Hentikan mereka sebelum kerusakan

    Huling Na-update : 2025-01-04
  • Jejak Langkah Sang CEO   Konfrontasi Tak Terduga

    Pagi itu di kantor Zenith Corp, Aiden duduk di ruangannya yang luas, dikelilingi oleh tumpukan dokumen dan laporan. Pandangannya tajam, tapi ada sedikit kerutan di keningnya. Pikirannya masih dipenuhi dengan kejadian sabotase yang terus menggoyang perusahaannya.Nathaniel masuk dengan langkah cepat tanpa mengetuk, seperti biasanya. “Gue dapet update dari Andre. Mereka nemuin server yang dipake buat ngelakuin sabotase itu. Lokasinya di kawasan milik Samuel.”Aiden menyandarkan diri di kursinya, ekspresinya datar tapi matanya penuh ketegangan. “Samuel lagi nyari gara-gara. Kalau dia pikir gue bakal duduk diam, dia salah besar.”“Lo mau ngelakuin apa?” tanya Nathaniel sambil melipat tangan di dadanya.Aiden diam sejenak, lalu menjawab dengan nada tegas. “Kita bikin dia nyesel pernah main-main sama Zenith. Tapi sebelum itu, gue butuh bukti konkret. Gue nggak mau bergerak tanpa strategi yang jelas.”Nathaniel mengangguk. “Gue bakal terusin penyelidikannya.”Di sisi lain kota, Alya duduk di

    Huling Na-update : 2025-01-10
  • Jejak Langkah Sang CEO   Perang Dimulai

    Alya menatap Randy Suhartono yang berdiri di depan pintunya. Lelaki itu tampak kusut, matanya waspada sambil terus mengawasi lorong apartemen.“Masuk,” Alya akhirnya berkata, meski dalam hati masih ragu. Mira langsung berdiri dari sofa, memasang wajah curiga.“Lo ngapain di sini?” Mira memotong sebelum Randy sempat bicara.Randy mengangkat tangannya, seolah memberi tanda kalau dia nggak punya niat buruk. “Gue datang buat nyerah.”“Ny… nyerah?” Alya mengerutkan dahi, nggak percaya dengan apa yang baru dia dengar.Randy mengangguk pelan. “Samuel nggak tahu kalau gue di sini. Gue udah muak jadi pionnya dia. Dia nggak cuma mau ngancurin Zenith, tapi juga orang-orang kayak lo.”“Ngapain kita percaya lo?” Mira mendesis. “Lo tuh hacker bayaran. Lo bisa aja pura-pura baik buat jebak kita.”“Gue punya bukti lebih banyak tentang Samuel,” Randy bersikeras. “Semua rencananya ada di laptop gue. Kalau lo nggak percaya, gue bisa kasih itu sekarang.”Alya memutar otaknya cepat. Di satu sisi, ini kese

    Huling Na-update : 2025-01-10
  • Jejak Langkah Sang CEO   Kepingan Rahasia

    Alya duduk di ruang tamu sambil menatap layar laptopnya. Matanya berkedip pelan, tapi pikirannya nggak berhenti muter-muter. Malam itu, setelah kejadian di gudang, dia nggak bisa tidur. Bukan cuma soal adrenalin yang masih tersisa, tapi juga karena satu nama yang terus ada di kepalanya: Aiden Ravindra.“Lo beneran bakal ngelaporin ini?” Mira muncul dari dapur sambil nenteng dua cangkir kopi.Alya mendesah, menerima cangkir dari Mira. “Gue masih belum yakin. Berita ini gede banget, Mir. Tapi, gue nggak mau asal nulis tanpa fakta lengkap.”“Dan lo yakin Aiden bakal kasih lo akses buat fakta lengkap itu?” Mira menaikkan alis.Alya terdiam sejenak, lalu menggeleng pelan. “Nggak. Dia tipe orang yang bakal ngelindungin rahasianya mati-matian.”Mira duduk di sebelah Alya. “Kalau gitu, kenapa lo nggak fokus ke hal lain dulu? Lo punya banyak bahan liputan, kan? Jangan lupa, ada Samuel Aditya di balik semua ini. Dia musuh nyata lo sekarang.”Alya menatap Mira, lalu menyesap kopinya. “Lo bener.

    Huling Na-update : 2025-01-10
  • Jejak Langkah Sang CEO   Konspirasi Yang Terbuka

    Pagi itu, Alya menatap layar laptopnya sambil menyeruput kopi yang mulai dingin. Ia bolak-balik membaca catatan dari Evelyn dan mencoba mencocokkannya dengan beberapa dokumen lain yang ia temukan. Semuanya terasa seperti teka-teki besar yang belum ada gambarnya.“Lo nggak tidur, ya?” suara Mira yang baru bangun terdengar dari dapur kecil.“Sebentar aja,” jawab Alya singkat.“Sebentar yang udah masuk hari ketiga?” Mira mendekati meja kerja Alya sambil membawa roti bakar. “Lo serius banget. Awas, jangan sampai burnout.”Alya mendesah. “Gue nggak bisa berhenti, Mir. Semuanya makin jelas. Gue cuma butuh satu bukti lagi buat tahu siapa dalang sabotase Zenith ini.”Mira duduk di samping Alya, mengunyah pelan. “Lo yakin ini bukan cuma permainan Evelyn? Dia tuh manipulatif banget.”“Itu yang bikin gue pusing,” jawab Alya sambil mengusap wajah. “Tapi fakta yang dia kasih cocok sama investigasi gue.”Mira mengangkat bahu. “Yaudah, kalau lo yakin, gas terus. Tapi jangan lupa istirahat.”Di sisi

    Huling Na-update : 2025-01-10
  • Jejak Langkah Sang CEO   Langkah Yang Berani

    Alya mengetuk meja kafe kecil itu sambil melirik pintu. Dia udah duduk di sana selama 15 menit, menunggu seseorang. Kopi di depannya udah setengah dingin, tapi pikirannya masih sibuk dengan pesan ancaman yang dia terima tadi malam.“Maaf, telat,” suara berat menginterupsi lamunannya. Nathaniel duduk di kursi di seberangnya dengan wajah serius.Alya melipat tangannya di meja. “Lo yakin nggak bakal ada yang curiga lo ketemu sama gue?”Nathaniel tersenyum tipis. “Gue bisa bikin ini keliatan kayak meeting kerja biasa. Lagian, gue COO. Siapa yang bakal nanya?”Alya mengangkat alis. “Oke, jadi kenapa lo minta ketemu?”Nathaniel mengeluarkan amplop cokelat dari tasnya. “Gue nemu sesuatu di laporan keuangan Zenith. Ini kayak… pola yang aneh, tapi gue nggak bisa pastiin ini sabotase atau cuma salah input data.”Alya mengambil amplop itu, membuka isinya, dan mulai membaca cepat. “Ini… transfer dana kecil, tapi sering. Ke akun yang beda-beda?”Nathaniel mengangguk. “Tepat. Kalau dilihat sekilas,

    Huling Na-update : 2025-01-10

Pinakabagong kabanata

  • Jejak Langkah Sang CEO   Di Balik Layar

    Pagi itu, Alya duduk di ruang redaksi dengan segelas kopi dingin yang sudah setengah habis. Matanya terpaku ke layar laptop, mengetik cepat sambil sesekali menghela napas panjang. Di sebelahnya, Dio menyandarkan tubuh di kursi dengan ekspresi santai tapi usil.“Artikel lo soal Zenith udah kelar?” tanya Dio sambil melirik layar laptop Alya.“Belum,” jawab Alya singkat tanpa mengalihkan pandangan.“Lo serius banget, kayak mau nulis tesis.” Dio terkekeh.“Dio, kalau nggak ada yang penting, tolong jangan ganggu,” balas Alya sambil mengetik lebih cepat.Reza Hartono, editor senior sekaligus mentor Alya, tiba-tiba muncul dari balik meja. “Alya, gue butuh artikel itu sebelum jam makan siang. Lo masih punya waktu dua jam.”“Iya, Pak Reza. Hampir selesai,” kata Alya sambil mengangguk cepat.“Bagus. Gue percaya lo bisa handle ini,” ujar Reza sambil menepuk bahunya.Setelah Reza pergi, Dio menyeringai kecil. “Jangan lupa kasih gue bocoran soal Aiden Ravindra. CEO misterius itu pasti punya sisi g

  • Jejak Langkah Sang CEO   Langkah Yang Berani

    Alya mengetuk meja kafe kecil itu sambil melirik pintu. Dia udah duduk di sana selama 15 menit, menunggu seseorang. Kopi di depannya udah setengah dingin, tapi pikirannya masih sibuk dengan pesan ancaman yang dia terima tadi malam.“Maaf, telat,” suara berat menginterupsi lamunannya. Nathaniel duduk di kursi di seberangnya dengan wajah serius.Alya melipat tangannya di meja. “Lo yakin nggak bakal ada yang curiga lo ketemu sama gue?”Nathaniel tersenyum tipis. “Gue bisa bikin ini keliatan kayak meeting kerja biasa. Lagian, gue COO. Siapa yang bakal nanya?”Alya mengangkat alis. “Oke, jadi kenapa lo minta ketemu?”Nathaniel mengeluarkan amplop cokelat dari tasnya. “Gue nemu sesuatu di laporan keuangan Zenith. Ini kayak… pola yang aneh, tapi gue nggak bisa pastiin ini sabotase atau cuma salah input data.”Alya mengambil amplop itu, membuka isinya, dan mulai membaca cepat. “Ini… transfer dana kecil, tapi sering. Ke akun yang beda-beda?”Nathaniel mengangguk. “Tepat. Kalau dilihat sekilas,

  • Jejak Langkah Sang CEO   Konspirasi Yang Terbuka

    Pagi itu, Alya menatap layar laptopnya sambil menyeruput kopi yang mulai dingin. Ia bolak-balik membaca catatan dari Evelyn dan mencoba mencocokkannya dengan beberapa dokumen lain yang ia temukan. Semuanya terasa seperti teka-teki besar yang belum ada gambarnya.“Lo nggak tidur, ya?” suara Mira yang baru bangun terdengar dari dapur kecil.“Sebentar aja,” jawab Alya singkat.“Sebentar yang udah masuk hari ketiga?” Mira mendekati meja kerja Alya sambil membawa roti bakar. “Lo serius banget. Awas, jangan sampai burnout.”Alya mendesah. “Gue nggak bisa berhenti, Mir. Semuanya makin jelas. Gue cuma butuh satu bukti lagi buat tahu siapa dalang sabotase Zenith ini.”Mira duduk di samping Alya, mengunyah pelan. “Lo yakin ini bukan cuma permainan Evelyn? Dia tuh manipulatif banget.”“Itu yang bikin gue pusing,” jawab Alya sambil mengusap wajah. “Tapi fakta yang dia kasih cocok sama investigasi gue.”Mira mengangkat bahu. “Yaudah, kalau lo yakin, gas terus. Tapi jangan lupa istirahat.”Di sisi

  • Jejak Langkah Sang CEO   Kepingan Rahasia

    Alya duduk di ruang tamu sambil menatap layar laptopnya. Matanya berkedip pelan, tapi pikirannya nggak berhenti muter-muter. Malam itu, setelah kejadian di gudang, dia nggak bisa tidur. Bukan cuma soal adrenalin yang masih tersisa, tapi juga karena satu nama yang terus ada di kepalanya: Aiden Ravindra.“Lo beneran bakal ngelaporin ini?” Mira muncul dari dapur sambil nenteng dua cangkir kopi.Alya mendesah, menerima cangkir dari Mira. “Gue masih belum yakin. Berita ini gede banget, Mir. Tapi, gue nggak mau asal nulis tanpa fakta lengkap.”“Dan lo yakin Aiden bakal kasih lo akses buat fakta lengkap itu?” Mira menaikkan alis.Alya terdiam sejenak, lalu menggeleng pelan. “Nggak. Dia tipe orang yang bakal ngelindungin rahasianya mati-matian.”Mira duduk di sebelah Alya. “Kalau gitu, kenapa lo nggak fokus ke hal lain dulu? Lo punya banyak bahan liputan, kan? Jangan lupa, ada Samuel Aditya di balik semua ini. Dia musuh nyata lo sekarang.”Alya menatap Mira, lalu menyesap kopinya. “Lo bener.

  • Jejak Langkah Sang CEO   Perang Dimulai

    Alya menatap Randy Suhartono yang berdiri di depan pintunya. Lelaki itu tampak kusut, matanya waspada sambil terus mengawasi lorong apartemen.“Masuk,” Alya akhirnya berkata, meski dalam hati masih ragu. Mira langsung berdiri dari sofa, memasang wajah curiga.“Lo ngapain di sini?” Mira memotong sebelum Randy sempat bicara.Randy mengangkat tangannya, seolah memberi tanda kalau dia nggak punya niat buruk. “Gue datang buat nyerah.”“Ny… nyerah?” Alya mengerutkan dahi, nggak percaya dengan apa yang baru dia dengar.Randy mengangguk pelan. “Samuel nggak tahu kalau gue di sini. Gue udah muak jadi pionnya dia. Dia nggak cuma mau ngancurin Zenith, tapi juga orang-orang kayak lo.”“Ngapain kita percaya lo?” Mira mendesis. “Lo tuh hacker bayaran. Lo bisa aja pura-pura baik buat jebak kita.”“Gue punya bukti lebih banyak tentang Samuel,” Randy bersikeras. “Semua rencananya ada di laptop gue. Kalau lo nggak percaya, gue bisa kasih itu sekarang.”Alya memutar otaknya cepat. Di satu sisi, ini kese

  • Jejak Langkah Sang CEO   Konfrontasi Tak Terduga

    Pagi itu di kantor Zenith Corp, Aiden duduk di ruangannya yang luas, dikelilingi oleh tumpukan dokumen dan laporan. Pandangannya tajam, tapi ada sedikit kerutan di keningnya. Pikirannya masih dipenuhi dengan kejadian sabotase yang terus menggoyang perusahaannya.Nathaniel masuk dengan langkah cepat tanpa mengetuk, seperti biasanya. “Gue dapet update dari Andre. Mereka nemuin server yang dipake buat ngelakuin sabotase itu. Lokasinya di kawasan milik Samuel.”Aiden menyandarkan diri di kursinya, ekspresinya datar tapi matanya penuh ketegangan. “Samuel lagi nyari gara-gara. Kalau dia pikir gue bakal duduk diam, dia salah besar.”“Lo mau ngelakuin apa?” tanya Nathaniel sambil melipat tangan di dadanya.Aiden diam sejenak, lalu menjawab dengan nada tegas. “Kita bikin dia nyesel pernah main-main sama Zenith. Tapi sebelum itu, gue butuh bukti konkret. Gue nggak mau bergerak tanpa strategi yang jelas.”Nathaniel mengangguk. “Gue bakal terusin penyelidikannya.”Di sisi lain kota, Alya duduk di

  • Jejak Langkah Sang CEO   Langkah Di Antara Bahaya

    Pagi itu di ruang meeting Zenith Corp, suasana tegang. Aiden duduk di ujung meja, dikelilingi Nathaniel, Clara, Lucas, dan Jessica. Di tengah meja, sebuah layar besar menampilkan grafik penurunan performa saham Zenith dalam sepekan terakhir.“Ini nggak bisa dibiarkan,” suara Aiden terdengar tegas, dingin seperti biasa.Lucas mengangguk, membuka file di laptopnya. “Gue udah nge-trace beberapa aktivitas mencurigakan di sistem internal kita. Gue yakin, ini kerjaan orang dalam.”“Lo yakin, Lucas?” Jessica menyela, ragu. “Kalau ini kerjaan orang dalam, siapa yang berani? Semua karyawan udah di-screening ketat.”Nathaniel menghela napas. “Masalahnya bukan siapa yang berani, tapi siapa yang cukup pintar buat bikin semua ini kelihatan kayak kesalahan teknis biasa.”Clara, yang sejak tadi diam, akhirnya buka suara. “Kalau ini bener sabotase, lo mau langkah pertama apa, Aiden?”Aiden mengarahkan pandangannya ke semua orang di ruangan itu. “Cari siapa pelakunya. Hentikan mereka sebelum kerusakan

  • Jejak Langkah Sang CEO   Jejak Di Balik Bayangan

    Alya menatap layar laptopnya sambil menggigit ujung pulpen. Data yang ia kumpulkan dari informannya, Vina, terasa seperti potongan puzzle yang belum lengkap. Sesuatu mengganggunya—tapi dia nggak tahu pasti apa.“Lo masih ngeliatin itu?” tanya Mira, yang baru aja balik dari pantry kantor sambil membawa dua cangkir kopi.“Masih,” gumam Alya sambil menghela napas. “Gue ngerasa ada sesuatu yang besar di balik ini semua, tapi kayak ada yang sengaja nutupin jejaknya.”Mira duduk di kursi sebelahnya, menyerahkan secangkir kopi. “Lo yakin Aiden bakal percaya sama lo?”“Gue nggak peduli dia percaya atau nggak,” jawab Alya. “Yang penting, gue udah kasih dia data itu. Sekarang gue harus cari bukti lebih kuat.”Mira menyeruput kopinya sambil melipat kakinya di kursi. “Tapi lo sadar kan, lo lagi main di zona bahaya? Kalau bener ini soal sabotase, pelakunya nggak bakal tinggal diam.”Alya terdiam. Kata-kata Mira bikin dia makin sadar risiko yang dia ambil. Tapi di sisi lain, dia tahu dia nggak bisa

  • Jejak Langkah Sang CEO   Rahasia Yang Mulai Terkuak

    Alya duduk di depan laptopnya, menatap layar kosong. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja sambil memikirkan bagaimana memulai tulisan tentang wawancaranya dengan Aiden. Dia tahu, artikel ini harus beda—bukan cuma soal angka, kesuksesan, atau bisnis besar.“Ini harus nyentuh sisi manusianya,” gumam Alya.Pikirannya terhenti ketika notifikasi pesan muncul di ponselnya. Dari Mira.“Gue lagi di tempat biasa. Ngobrol yuk, ada info penting.”Alya langsung berkemas. Kalau Mira bilang info penting, pasti ada sesuatu yang menarik.Sementara itu, di kantor Zenith, Aiden berdiri di depan jendela ruangannya yang besar. Nathaniel duduk di sofa dengan ekspresi serius.“Ada perkembangan soal Victor?” tanya Aiden tanpa menoleh.Nathaniel mengangguk. “Andre dapet data tambahan. Ada jejak transaksi mencurigakan yang melibatkan orang dalam Zenith.”Aiden berbalik, ekspresinya dingin tapi penuh perhatian. “Siapa?”Nathaniel menyerahkan dokumen. “Clara Hadi. Tapi ini belum pasti. Bisa jadi dia cuma korban m

DMCA.com Protection Status