Beranda / Romansa / Jejak Langkah Sang CEO / Rahasia Yang Mulai Terkuak

Share

Rahasia Yang Mulai Terkuak

Penulis: ENDRA
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-04 17:54:08

Alya duduk di depan laptopnya, menatap layar kosong. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja sambil memikirkan bagaimana memulai tulisan tentang wawancaranya dengan Aiden. Dia tahu, artikel ini harus beda—bukan cuma soal angka, kesuksesan, atau bisnis besar.

“Ini harus nyentuh sisi manusianya,” gumam Alya.

Pikirannya terhenti ketika notifikasi pesan muncul di ponselnya. Dari Mira.

“Gue lagi di tempat biasa. Ngobrol yuk, ada info penting.”

Alya langsung berkemas. Kalau Mira bilang info penting, pasti ada sesuatu yang menarik.

Sementara itu, di kantor Zenith, Aiden berdiri di depan jendela ruangannya yang besar. Nathaniel duduk di sofa dengan ekspresi serius.

“Ada perkembangan soal Victor?” tanya Aiden tanpa menoleh.

Nathaniel mengangguk. “Andre dapet data tambahan. Ada jejak transaksi mencurigakan yang melibatkan orang dalam Zenith.”

Aiden berbalik, ekspresinya dingin tapi penuh perhatian. “Siapa?”

Nathaniel menyerahkan dokumen. “Clara Hadi. Tapi ini belum pasti. Bisa jadi dia cuma korban manipulasi.”

Aiden membaca dokumen itu dengan seksama. Clara adalah salah satu karyawan paling loyal di Zenith. Tuduhan ini terasa berat.

“Jangan langsung ambil tindakan. Gue mau lihat bukti lebih konkret,” kata Aiden tegas.

“Baik,” jawab Nathaniel. “Gue juga udah minta Andre buat awasi lebih dekat. Kalau ada gerakan aneh, kita langsung tahu.”

Aiden mengangguk. Dia menatap dokumen itu lagi, mencoba menyeimbangkan insting dan logikanya.

Di kafe langganan mereka, Mira sudah menunggu Alya sambil memeriksa kameranya. Begitu Alya tiba, Mira langsung melambaikan tangan.

“Lo nggak bakal percaya apa yang gue dapet,” kata Mira dengan mata berbinar.

Alya duduk dan langsung memesan cappuccino. “Apa? Jangan bikin penasaran!”

Mira membuka ponselnya, menunjukkan beberapa foto. “Ini bocoran dari sumber gue. Ada dokumen penting tentang sabotase di Zenith.”

Mata Alya membesar. “Dari mana lo dapet ini?”

“Sumber rahasia, dong,” jawab Mira sambil menyeringai. “Tapi yang jelas, ini nunjukin kalau ada orang dalam yang terlibat.”

Alya menatap foto-foto itu lama, mencerna informasi. Dia tahu ini bisa jadi pintu masuk besar untuk memahami sisi lain Zenith dan Aiden.

“Lo yakin data ini valid?” tanya Alya.

Mira mengangguk mantap. “Sumber gue udah beberapa kali kasih info yang akurat. Ini bukan pertama kalinya dia kasih sesuatu soal Zenith.”

Alya menarik napas dalam-dalam. “Kalau gitu, gue harus cari cara buat validasi ini. Mungkin gue harus ngomong langsung sama Aiden.”

Mira menatapnya penuh khawatir. “Lo yakin? Aiden itu tipe yang nggak gampang percaya, apalagi sama jurnalis.”

Alya mengangguk. “Gue nggak punya pilihan. Kalau gue mau tulis sesuatu yang benar-benar berarti, gue harus dapet cerita langsung dari sumbernya.”

Di malam yang sama, Aiden kembali ke penthouse-nya. Namun, kali ini dia nggak sendirian. Nathaniel ikut bersamanya untuk diskusi lanjutan soal sabotase.

“Aiden,” Nathaniel memulai sambil menuang kopi. “Lo nggak capek hidup kayak gini? Semua orang selalu jadi ancaman. Lo nggak pernah bener-bener percaya sama siapa pun.”

Aiden terdiam sejenak. Dia tahu pertanyaan Nathaniel tulus, tapi sulit baginya untuk menjawab.

“Gue nggak bisa percaya,” jawab Aiden akhirnya. “Karena setiap kali gue percaya, gue selalu kehilangan.”

Nathaniel mengangguk pelan, memahami maksud Aiden. Kehilangan keluarga adalah luka yang nggak pernah sembuh sepenuhnya bagi sahabatnya itu.

“Tapi kalau lo terus kayak gini, lo juga nggak bakal pernah bahagia,” kata Nathaniel.

Aiden hanya terdiam. Dalam hatinya, dia tahu Nathaniel benar. Tapi dia nggak yakin apakah dia punya keberanian untuk berubah.

Alya melangkah masuk ke kantor redaksi dengan kepala penuh rencana. Data dari Mira semalam masih terngiang-ngiang di benaknya. Kalau benar ada sabotase di Zenith, ini bisa jadi berita besar. Tapi dia tahu, nulis berita ini nggak bisa gegabah.

Langkah Alya terhenti ketika Dio muncul dari arah berlawanan.

“Eh, Alya!” Dio menyeringai kecil sambil bersandar di dinding. “Lo lagi sibuk apa? Lagi cari berita soal CEO ganteng itu, ya?”

Alya meliriknya malas. “Dio, gue nggak ada waktu buat drama lo pagi-pagi.”

“Tunggu dulu,” Dio memotong langkahnya. “Gue cuma mau ngasih tahu, gue juga lagi investigasi soal Zenith.”

Alya mengernyit. “Maksud lo?”

Dio mengangkat alis sambil menyilangkan tangan. “Lo pikir lo doang yang dapet info soal sabotase? Gue juga punya sumber.”

“Kalau lo udah tahu, kenapa lo nggak nulis?” tantang Alya.

“Karena gue mau tahu sejauh mana lo bisa melangkah,” jawab Dio sambil tersenyum licik. “Jangan lupa, Alya. Di dunia ini nggak semua orang main fair. Hati-hati.”

Alya mendengus kecil lalu melewatinya. “Gue nggak butuh saran lo.”

Sementara itu, di kantor Zenith, Aiden duduk di ruang rapat bersama Nathaniel, Andre, dan Clara. Atmosfernya tegang.

“Clara, lo sadar nggak, beberapa transaksi terakhir di divisi lo mencurigakan?” tanya Nathaniel langsung ke intinya.

Clara terlihat terkejut, tapi tetap menjaga ketenangannya. “Maksudnya apa, Nathan? Gue nggak ngerti.”

Nathaniel menyerahkan dokumen. “Ada aliran dana yang nggak wajar lewat rekening salah satu staf lo. Dan, sayangnya, itu terjadi di bawah pengawasan lo.”

Clara membaca dokumen itu dengan dahi berkerut. “Nathan, Aiden, lo berdua tahu gue nggak mungkin terlibat dalam hal semacam ini.”

Aiden hanya menatapnya tanpa ekspresi. Dia tahu Clara adalah pekerja yang jujur, tapi bukti di depan matanya sulit diabaikan.

“Gue nggak nuduh lo, Clara,” kata Aiden akhirnya. “Tapi gue butuh penjelasan. Gue nggak bisa biarkan ada celah di Zenith.”

Clara menarik napas dalam-dalam. “Kasih gue waktu buat investigasi internal. Kalau ada yang main di belakang gue, gue bakal cari tahu.”

Aiden mengangguk singkat. “Lo punya waktu tiga hari. Jangan kecewain gue.”

Di tempat lain, Alya duduk di kafe, menatap daftar kontak di ponselnya. Namanya berhenti di satu nama: Nathaniel Cruz. Dia masih ragu-ragu, tapi akhirnya memberanikan diri mengetik pesan.

“Halo, ini Alya. Saya punya informasi yang mungkin menarik untuk Aiden. Bisa atur waktu untuk diskusi?”

Pesan terkirim. Alya menghela napas. Dia tahu ini risiko besar, tapi dia nggak punya pilihan lain.

Beberapa menit kemudian, notifikasi masuk. Dari Nathaniel.

“Datang ke Zenith besok jam 3 sore. Tapi jangan harap Aiden bakal gampang percaya sama lo.”

Alya tersenyum tipis. Tantangan diterima.

Di malam harinya, Aiden berada di gym, melampiaskan pikirannya pada alat tinju. Keringat mengalir di wajahnya, tapi dia terus memukul seolah ingin melawan sesuatu yang tak terlihat.

Sakti, pemilik gym, menghampirinya. “Lo kelihatan lebih gelisah dari biasanya, Aiden.”

Aiden berhenti memukul, menatap Sakti dengan napas terengah. “Gue cuma punya terlalu banyak hal di kepala.”

Sakti mengangguk. “Lo tahu, kadang lo harus berhenti jadi CEO sebentar dan cuma jadi manusia biasa.”

Aiden tertawa kecil. “Itu lebih mudah diucapin daripada dilakukan.”

“Lo terlalu keras sama diri lo sendiri,” kata Sakti sambil menepuk pundaknya. “Kalau lo terus begini, lo bakal meledak, bro.”

Aiden hanya mengangguk kecil. Dia tahu Sakti benar, tapi dia juga tahu, melepaskan kontrol bukanlah sesuatu yang bisa dia lakukan dengan mudah.

Keesokan harinya, Alya berdiri di lobi Zenith Corp. Dia menatap logo besar perusahaan itu dengan perasaan campur aduk.

Tara menghampirinya dengan senyum tipis. “Alya Mahendra? Aiden sudah menunggu di ruang rapat. Tapi jangan kaget kalau dia nggak terlalu ramah.”

Alya mengangguk, mencoba tetap tenang. “Gue udah siap.”

Tara mempersilakan Alya masuk. Begitu pintu ruang rapat terbuka, Alya langsung disambut tatapan tajam Aiden.

“Jadi, lo punya sesuatu buat gue?” tanyanya tanpa basa-basi.

Alya menatap Aiden dengan percaya diri, meskipun jantungnya berdegup kencang. “Gue rasa ini sesuatu yang nggak bisa lo abaikan.”

Ruangan itu terasa seperti medan perang. Tatapan tajam Aiden bikin Alya harus kerja keras menjaga gesturnya tetap santai. Dia tahu, satu langkah salah, dia bakal kehilangan kesempatan ini.

Aiden melipat tangan di depan dada, menatap Alya tanpa ekspresi. “Gue nggak punya waktu buat hal-hal nggak penting. Jadi, langsung aja ke intinya.”

Alya mengambil napas dalam-dalam, mencoba tetap tenang. “Gue punya informasi soal sabotase di Zenith.”

Nathaniel, yang duduk di sisi Aiden, langsung mengerutkan kening. “Sabotase? Dari mana lo dapet informasi itu?”

Alya membuka tasnya dan mengeluarkan beberapa dokumen yang dia cetak semalam. “Gue dapet ini dari sumber gue. Ada transaksi mencurigakan yang gue temuin, dan beberapa di antaranya mengarah ke proyek Zenith yang lo sebut inovatif.”

Aiden mengambil dokumen itu, membacanya dengan alis terangkat. Nathaniel ikut melirik dokumen tersebut, sementara Tara berdiri di belakang, mengamati dengan cermat.

“Ini data mentah,” komentar Nathaniel. “Nggak ada bukti konkret di sini.”

Alya menatap Nathaniel, lalu Aiden. “Gue tahu ini cuma permukaan. Tapi kalau lo lihat lebih dalam, lo bakal nemuin sesuatu yang besar. Gue yakin ada pihak yang mau ngejatuhin Zenith.”

Aiden menutup dokumen itu perlahan. “Kenapa lo kasih ini ke gue? Apa untungnya buat lo?”

Alya terdiam sesaat. Dia udah mempersiapkan jawaban ini semalaman. “Gue seorang jurnalis, Aiden. Tapi lebih dari itu, gue pengen tahu apa yang sebenernya terjadi. Gue nggak mau ada pihak yang dirugikan cuma karena permainan kotor orang lain.”

Nathaniel menyipitkan mata. “Lo yakin lo nggak punya agenda pribadi di sini?”

Alya balas menatapnya, tegas. “Kalau gue punya agenda, gue nggak bakal repot-repot kasih informasi ini ke lo. Gue bisa langsung publish.”

Suasana hening sesaat. Aiden kembali menatap Alya, mencoba membaca lebih dalam. Dia bisa lihat kejujuran di balik kata-kata itu, tapi dia juga tahu Alya bukan orang yang mudah ditebak.

“Gue akan periksa ini,” ujar Aiden akhirnya. “Kalau informasi lo terbukti salah, gue pastikan lo nggak bakal punya karier lagi di dunia jurnalistik.”

Alya nggak mundur. “Dan kalau gue benar, lo bakal lihat gue nggak cuma jurnalis biasa.”

Aiden berdiri, menyudahi percakapan. “Tara, antar dia keluar.”

Tara mengangguk, memberikan isyarat pada Alya untuk mengikutinya.

Begitu keluar dari gedung Zenith, Alya menghela napas panjang. Rasanya seperti habis lulus ujian berat. Tapi di satu sisi, dia lega. Dia tahu, setidaknya sekarang Aiden memegang informasi itu.

Mira meneleponnya saat dia baru sampai di halte. “Alya, gimana? Mereka percaya?”

“Aiden? Mungkin belum. Tapi dia pasti bakal ngecek data yang gue kasih.”

“Good. Gue yakin lo bakal bikin sesuatu yang besar dari ini.”

Alya tersenyum tipis. “Gue cuma harap gue nggak salah langkah.”

Di sisi lain, Aiden duduk di ruangannya bersama Nathaniel. Dia membaca ulang dokumen yang Alya tinggalkan.

“Lo percaya sama dia?” tanya Nathaniel.

“Gue percaya data,” jawab Aiden dingin. “Kalau ini benar, kita punya masalah besar.”

Nathaniel mengangguk. “Kalau ini ulah Samuel atau Victor, kita harus gerak cepat. Tapi kalau ada orang dalam…”

Aiden menatap Nathaniel dengan serius. “Kalau ini orang dalam, gue nggak bakal ragu buat ngelawan mereka. Nggak peduli siapa.”

Nathaniel mengerti, tapi dia juga tahu ini bukan hal yang sederhana. Dia tahu, sabotase ini bisa lebih rumit daripada yang mereka bayangkan.

Sementara itu, di tempat lain, seorang pria dengan hoodie duduk di depan laptopnya. Di layar, ada data-data Zenith yang sedang dia bongkar. Senyumnya licik.

“Jalan terus, Aiden,” gumamnya. “Lo nggak bakal tahu siapa yang sebenernya main di belakang lo.”

Bab terkait

  • Jejak Langkah Sang CEO   Jejak Di Balik Bayangan

    Alya menatap layar laptopnya sambil menggigit ujung pulpen. Data yang ia kumpulkan dari informannya, Vina, terasa seperti potongan puzzle yang belum lengkap. Sesuatu mengganggunya—tapi dia nggak tahu pasti apa.“Lo masih ngeliatin itu?” tanya Mira, yang baru aja balik dari pantry kantor sambil membawa dua cangkir kopi.“Masih,” gumam Alya sambil menghela napas. “Gue ngerasa ada sesuatu yang besar di balik ini semua, tapi kayak ada yang sengaja nutupin jejaknya.”Mira duduk di kursi sebelahnya, menyerahkan secangkir kopi. “Lo yakin Aiden bakal percaya sama lo?”“Gue nggak peduli dia percaya atau nggak,” jawab Alya. “Yang penting, gue udah kasih dia data itu. Sekarang gue harus cari bukti lebih kuat.”Mira menyeruput kopinya sambil melipat kakinya di kursi. “Tapi lo sadar kan, lo lagi main di zona bahaya? Kalau bener ini soal sabotase, pelakunya nggak bakal tinggal diam.”Alya terdiam. Kata-kata Mira bikin dia makin sadar risiko yang dia ambil. Tapi di sisi lain, dia tahu dia nggak bisa

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-04
  • Jejak Langkah Sang CEO   Langkah Di Antara Bahaya

    Pagi itu di ruang meeting Zenith Corp, suasana tegang. Aiden duduk di ujung meja, dikelilingi Nathaniel, Clara, Lucas, dan Jessica. Di tengah meja, sebuah layar besar menampilkan grafik penurunan performa saham Zenith dalam sepekan terakhir.“Ini nggak bisa dibiarkan,” suara Aiden terdengar tegas, dingin seperti biasa.Lucas mengangguk, membuka file di laptopnya. “Gue udah nge-trace beberapa aktivitas mencurigakan di sistem internal kita. Gue yakin, ini kerjaan orang dalam.”“Lo yakin, Lucas?” Jessica menyela, ragu. “Kalau ini kerjaan orang dalam, siapa yang berani? Semua karyawan udah di-screening ketat.”Nathaniel menghela napas. “Masalahnya bukan siapa yang berani, tapi siapa yang cukup pintar buat bikin semua ini kelihatan kayak kesalahan teknis biasa.”Clara, yang sejak tadi diam, akhirnya buka suara. “Kalau ini bener sabotase, lo mau langkah pertama apa, Aiden?”Aiden mengarahkan pandangannya ke semua orang di ruangan itu. “Cari siapa pelakunya. Hentikan mereka sebelum kerusakan

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-04
  • Jejak Langkah Sang CEO   Konfrontasi Tak Terduga

    Pagi itu di kantor Zenith Corp, Aiden duduk di ruangannya yang luas, dikelilingi oleh tumpukan dokumen dan laporan. Pandangannya tajam, tapi ada sedikit kerutan di keningnya. Pikirannya masih dipenuhi dengan kejadian sabotase yang terus menggoyang perusahaannya.Nathaniel masuk dengan langkah cepat tanpa mengetuk, seperti biasanya. “Gue dapet update dari Andre. Mereka nemuin server yang dipake buat ngelakuin sabotase itu. Lokasinya di kawasan milik Samuel.”Aiden menyandarkan diri di kursinya, ekspresinya datar tapi matanya penuh ketegangan. “Samuel lagi nyari gara-gara. Kalau dia pikir gue bakal duduk diam, dia salah besar.”“Lo mau ngelakuin apa?” tanya Nathaniel sambil melipat tangan di dadanya.Aiden diam sejenak, lalu menjawab dengan nada tegas. “Kita bikin dia nyesel pernah main-main sama Zenith. Tapi sebelum itu, gue butuh bukti konkret. Gue nggak mau bergerak tanpa strategi yang jelas.”Nathaniel mengangguk. “Gue bakal terusin penyelidikannya.”Di sisi lain kota, Alya duduk di

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-10
  • Jejak Langkah Sang CEO   Perang Dimulai

    Alya menatap Randy Suhartono yang berdiri di depan pintunya. Lelaki itu tampak kusut, matanya waspada sambil terus mengawasi lorong apartemen.“Masuk,” Alya akhirnya berkata, meski dalam hati masih ragu. Mira langsung berdiri dari sofa, memasang wajah curiga.“Lo ngapain di sini?” Mira memotong sebelum Randy sempat bicara.Randy mengangkat tangannya, seolah memberi tanda kalau dia nggak punya niat buruk. “Gue datang buat nyerah.”“Ny… nyerah?” Alya mengerutkan dahi, nggak percaya dengan apa yang baru dia dengar.Randy mengangguk pelan. “Samuel nggak tahu kalau gue di sini. Gue udah muak jadi pionnya dia. Dia nggak cuma mau ngancurin Zenith, tapi juga orang-orang kayak lo.”“Ngapain kita percaya lo?” Mira mendesis. “Lo tuh hacker bayaran. Lo bisa aja pura-pura baik buat jebak kita.”“Gue punya bukti lebih banyak tentang Samuel,” Randy bersikeras. “Semua rencananya ada di laptop gue. Kalau lo nggak percaya, gue bisa kasih itu sekarang.”Alya memutar otaknya cepat. Di satu sisi, ini kese

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-10
  • Jejak Langkah Sang CEO   Kepingan Rahasia

    Alya duduk di ruang tamu sambil menatap layar laptopnya. Matanya berkedip pelan, tapi pikirannya nggak berhenti muter-muter. Malam itu, setelah kejadian di gudang, dia nggak bisa tidur. Bukan cuma soal adrenalin yang masih tersisa, tapi juga karena satu nama yang terus ada di kepalanya: Aiden Ravindra.“Lo beneran bakal ngelaporin ini?” Mira muncul dari dapur sambil nenteng dua cangkir kopi.Alya mendesah, menerima cangkir dari Mira. “Gue masih belum yakin. Berita ini gede banget, Mir. Tapi, gue nggak mau asal nulis tanpa fakta lengkap.”“Dan lo yakin Aiden bakal kasih lo akses buat fakta lengkap itu?” Mira menaikkan alis.Alya terdiam sejenak, lalu menggeleng pelan. “Nggak. Dia tipe orang yang bakal ngelindungin rahasianya mati-matian.”Mira duduk di sebelah Alya. “Kalau gitu, kenapa lo nggak fokus ke hal lain dulu? Lo punya banyak bahan liputan, kan? Jangan lupa, ada Samuel Aditya di balik semua ini. Dia musuh nyata lo sekarang.”Alya menatap Mira, lalu menyesap kopinya. “Lo bener.

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-10
  • Jejak Langkah Sang CEO   Konspirasi Yang Terbuka

    Pagi itu, Alya menatap layar laptopnya sambil menyeruput kopi yang mulai dingin. Ia bolak-balik membaca catatan dari Evelyn dan mencoba mencocokkannya dengan beberapa dokumen lain yang ia temukan. Semuanya terasa seperti teka-teki besar yang belum ada gambarnya.“Lo nggak tidur, ya?” suara Mira yang baru bangun terdengar dari dapur kecil.“Sebentar aja,” jawab Alya singkat.“Sebentar yang udah masuk hari ketiga?” Mira mendekati meja kerja Alya sambil membawa roti bakar. “Lo serius banget. Awas, jangan sampai burnout.”Alya mendesah. “Gue nggak bisa berhenti, Mir. Semuanya makin jelas. Gue cuma butuh satu bukti lagi buat tahu siapa dalang sabotase Zenith ini.”Mira duduk di samping Alya, mengunyah pelan. “Lo yakin ini bukan cuma permainan Evelyn? Dia tuh manipulatif banget.”“Itu yang bikin gue pusing,” jawab Alya sambil mengusap wajah. “Tapi fakta yang dia kasih cocok sama investigasi gue.”Mira mengangkat bahu. “Yaudah, kalau lo yakin, gas terus. Tapi jangan lupa istirahat.”Di sisi

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-10
  • Jejak Langkah Sang CEO   Langkah Yang Berani

    Alya mengetuk meja kafe kecil itu sambil melirik pintu. Dia udah duduk di sana selama 15 menit, menunggu seseorang. Kopi di depannya udah setengah dingin, tapi pikirannya masih sibuk dengan pesan ancaman yang dia terima tadi malam.“Maaf, telat,” suara berat menginterupsi lamunannya. Nathaniel duduk di kursi di seberangnya dengan wajah serius.Alya melipat tangannya di meja. “Lo yakin nggak bakal ada yang curiga lo ketemu sama gue?”Nathaniel tersenyum tipis. “Gue bisa bikin ini keliatan kayak meeting kerja biasa. Lagian, gue COO. Siapa yang bakal nanya?”Alya mengangkat alis. “Oke, jadi kenapa lo minta ketemu?”Nathaniel mengeluarkan amplop cokelat dari tasnya. “Gue nemu sesuatu di laporan keuangan Zenith. Ini kayak… pola yang aneh, tapi gue nggak bisa pastiin ini sabotase atau cuma salah input data.”Alya mengambil amplop itu, membuka isinya, dan mulai membaca cepat. “Ini… transfer dana kecil, tapi sering. Ke akun yang beda-beda?”Nathaniel mengangguk. “Tepat. Kalau dilihat sekilas,

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-10
  • Jejak Langkah Sang CEO   Di Balik Layar

    Pagi itu, Alya duduk di ruang redaksi dengan segelas kopi dingin yang sudah setengah habis. Matanya terpaku ke layar laptop, mengetik cepat sambil sesekali menghela napas panjang. Di sebelahnya, Dio menyandarkan tubuh di kursi dengan ekspresi santai tapi usil.“Artikel lo soal Zenith udah kelar?” tanya Dio sambil melirik layar laptop Alya.“Belum,” jawab Alya singkat tanpa mengalihkan pandangan.“Lo serius banget, kayak mau nulis tesis.” Dio terkekeh.“Dio, kalau nggak ada yang penting, tolong jangan ganggu,” balas Alya sambil mengetik lebih cepat.Reza Hartono, editor senior sekaligus mentor Alya, tiba-tiba muncul dari balik meja. “Alya, gue butuh artikel itu sebelum jam makan siang. Lo masih punya waktu dua jam.”“Iya, Pak Reza. Hampir selesai,” kata Alya sambil mengangguk cepat.“Bagus. Gue percaya lo bisa handle ini,” ujar Reza sambil menepuk bahunya.Setelah Reza pergi, Dio menyeringai kecil. “Jangan lupa kasih gue bocoran soal Aiden Ravindra. CEO misterius itu pasti punya sisi g

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-10

Bab terbaru

  • Jejak Langkah Sang CEO   Di Balik Layar

    Pagi itu, Alya duduk di ruang redaksi dengan segelas kopi dingin yang sudah setengah habis. Matanya terpaku ke layar laptop, mengetik cepat sambil sesekali menghela napas panjang. Di sebelahnya, Dio menyandarkan tubuh di kursi dengan ekspresi santai tapi usil.“Artikel lo soal Zenith udah kelar?” tanya Dio sambil melirik layar laptop Alya.“Belum,” jawab Alya singkat tanpa mengalihkan pandangan.“Lo serius banget, kayak mau nulis tesis.” Dio terkekeh.“Dio, kalau nggak ada yang penting, tolong jangan ganggu,” balas Alya sambil mengetik lebih cepat.Reza Hartono, editor senior sekaligus mentor Alya, tiba-tiba muncul dari balik meja. “Alya, gue butuh artikel itu sebelum jam makan siang. Lo masih punya waktu dua jam.”“Iya, Pak Reza. Hampir selesai,” kata Alya sambil mengangguk cepat.“Bagus. Gue percaya lo bisa handle ini,” ujar Reza sambil menepuk bahunya.Setelah Reza pergi, Dio menyeringai kecil. “Jangan lupa kasih gue bocoran soal Aiden Ravindra. CEO misterius itu pasti punya sisi g

  • Jejak Langkah Sang CEO   Langkah Yang Berani

    Alya mengetuk meja kafe kecil itu sambil melirik pintu. Dia udah duduk di sana selama 15 menit, menunggu seseorang. Kopi di depannya udah setengah dingin, tapi pikirannya masih sibuk dengan pesan ancaman yang dia terima tadi malam.“Maaf, telat,” suara berat menginterupsi lamunannya. Nathaniel duduk di kursi di seberangnya dengan wajah serius.Alya melipat tangannya di meja. “Lo yakin nggak bakal ada yang curiga lo ketemu sama gue?”Nathaniel tersenyum tipis. “Gue bisa bikin ini keliatan kayak meeting kerja biasa. Lagian, gue COO. Siapa yang bakal nanya?”Alya mengangkat alis. “Oke, jadi kenapa lo minta ketemu?”Nathaniel mengeluarkan amplop cokelat dari tasnya. “Gue nemu sesuatu di laporan keuangan Zenith. Ini kayak… pola yang aneh, tapi gue nggak bisa pastiin ini sabotase atau cuma salah input data.”Alya mengambil amplop itu, membuka isinya, dan mulai membaca cepat. “Ini… transfer dana kecil, tapi sering. Ke akun yang beda-beda?”Nathaniel mengangguk. “Tepat. Kalau dilihat sekilas,

  • Jejak Langkah Sang CEO   Konspirasi Yang Terbuka

    Pagi itu, Alya menatap layar laptopnya sambil menyeruput kopi yang mulai dingin. Ia bolak-balik membaca catatan dari Evelyn dan mencoba mencocokkannya dengan beberapa dokumen lain yang ia temukan. Semuanya terasa seperti teka-teki besar yang belum ada gambarnya.“Lo nggak tidur, ya?” suara Mira yang baru bangun terdengar dari dapur kecil.“Sebentar aja,” jawab Alya singkat.“Sebentar yang udah masuk hari ketiga?” Mira mendekati meja kerja Alya sambil membawa roti bakar. “Lo serius banget. Awas, jangan sampai burnout.”Alya mendesah. “Gue nggak bisa berhenti, Mir. Semuanya makin jelas. Gue cuma butuh satu bukti lagi buat tahu siapa dalang sabotase Zenith ini.”Mira duduk di samping Alya, mengunyah pelan. “Lo yakin ini bukan cuma permainan Evelyn? Dia tuh manipulatif banget.”“Itu yang bikin gue pusing,” jawab Alya sambil mengusap wajah. “Tapi fakta yang dia kasih cocok sama investigasi gue.”Mira mengangkat bahu. “Yaudah, kalau lo yakin, gas terus. Tapi jangan lupa istirahat.”Di sisi

  • Jejak Langkah Sang CEO   Kepingan Rahasia

    Alya duduk di ruang tamu sambil menatap layar laptopnya. Matanya berkedip pelan, tapi pikirannya nggak berhenti muter-muter. Malam itu, setelah kejadian di gudang, dia nggak bisa tidur. Bukan cuma soal adrenalin yang masih tersisa, tapi juga karena satu nama yang terus ada di kepalanya: Aiden Ravindra.“Lo beneran bakal ngelaporin ini?” Mira muncul dari dapur sambil nenteng dua cangkir kopi.Alya mendesah, menerima cangkir dari Mira. “Gue masih belum yakin. Berita ini gede banget, Mir. Tapi, gue nggak mau asal nulis tanpa fakta lengkap.”“Dan lo yakin Aiden bakal kasih lo akses buat fakta lengkap itu?” Mira menaikkan alis.Alya terdiam sejenak, lalu menggeleng pelan. “Nggak. Dia tipe orang yang bakal ngelindungin rahasianya mati-matian.”Mira duduk di sebelah Alya. “Kalau gitu, kenapa lo nggak fokus ke hal lain dulu? Lo punya banyak bahan liputan, kan? Jangan lupa, ada Samuel Aditya di balik semua ini. Dia musuh nyata lo sekarang.”Alya menatap Mira, lalu menyesap kopinya. “Lo bener.

  • Jejak Langkah Sang CEO   Perang Dimulai

    Alya menatap Randy Suhartono yang berdiri di depan pintunya. Lelaki itu tampak kusut, matanya waspada sambil terus mengawasi lorong apartemen.“Masuk,” Alya akhirnya berkata, meski dalam hati masih ragu. Mira langsung berdiri dari sofa, memasang wajah curiga.“Lo ngapain di sini?” Mira memotong sebelum Randy sempat bicara.Randy mengangkat tangannya, seolah memberi tanda kalau dia nggak punya niat buruk. “Gue datang buat nyerah.”“Ny… nyerah?” Alya mengerutkan dahi, nggak percaya dengan apa yang baru dia dengar.Randy mengangguk pelan. “Samuel nggak tahu kalau gue di sini. Gue udah muak jadi pionnya dia. Dia nggak cuma mau ngancurin Zenith, tapi juga orang-orang kayak lo.”“Ngapain kita percaya lo?” Mira mendesis. “Lo tuh hacker bayaran. Lo bisa aja pura-pura baik buat jebak kita.”“Gue punya bukti lebih banyak tentang Samuel,” Randy bersikeras. “Semua rencananya ada di laptop gue. Kalau lo nggak percaya, gue bisa kasih itu sekarang.”Alya memutar otaknya cepat. Di satu sisi, ini kese

  • Jejak Langkah Sang CEO   Konfrontasi Tak Terduga

    Pagi itu di kantor Zenith Corp, Aiden duduk di ruangannya yang luas, dikelilingi oleh tumpukan dokumen dan laporan. Pandangannya tajam, tapi ada sedikit kerutan di keningnya. Pikirannya masih dipenuhi dengan kejadian sabotase yang terus menggoyang perusahaannya.Nathaniel masuk dengan langkah cepat tanpa mengetuk, seperti biasanya. “Gue dapet update dari Andre. Mereka nemuin server yang dipake buat ngelakuin sabotase itu. Lokasinya di kawasan milik Samuel.”Aiden menyandarkan diri di kursinya, ekspresinya datar tapi matanya penuh ketegangan. “Samuel lagi nyari gara-gara. Kalau dia pikir gue bakal duduk diam, dia salah besar.”“Lo mau ngelakuin apa?” tanya Nathaniel sambil melipat tangan di dadanya.Aiden diam sejenak, lalu menjawab dengan nada tegas. “Kita bikin dia nyesel pernah main-main sama Zenith. Tapi sebelum itu, gue butuh bukti konkret. Gue nggak mau bergerak tanpa strategi yang jelas.”Nathaniel mengangguk. “Gue bakal terusin penyelidikannya.”Di sisi lain kota, Alya duduk di

  • Jejak Langkah Sang CEO   Langkah Di Antara Bahaya

    Pagi itu di ruang meeting Zenith Corp, suasana tegang. Aiden duduk di ujung meja, dikelilingi Nathaniel, Clara, Lucas, dan Jessica. Di tengah meja, sebuah layar besar menampilkan grafik penurunan performa saham Zenith dalam sepekan terakhir.“Ini nggak bisa dibiarkan,” suara Aiden terdengar tegas, dingin seperti biasa.Lucas mengangguk, membuka file di laptopnya. “Gue udah nge-trace beberapa aktivitas mencurigakan di sistem internal kita. Gue yakin, ini kerjaan orang dalam.”“Lo yakin, Lucas?” Jessica menyela, ragu. “Kalau ini kerjaan orang dalam, siapa yang berani? Semua karyawan udah di-screening ketat.”Nathaniel menghela napas. “Masalahnya bukan siapa yang berani, tapi siapa yang cukup pintar buat bikin semua ini kelihatan kayak kesalahan teknis biasa.”Clara, yang sejak tadi diam, akhirnya buka suara. “Kalau ini bener sabotase, lo mau langkah pertama apa, Aiden?”Aiden mengarahkan pandangannya ke semua orang di ruangan itu. “Cari siapa pelakunya. Hentikan mereka sebelum kerusakan

  • Jejak Langkah Sang CEO   Jejak Di Balik Bayangan

    Alya menatap layar laptopnya sambil menggigit ujung pulpen. Data yang ia kumpulkan dari informannya, Vina, terasa seperti potongan puzzle yang belum lengkap. Sesuatu mengganggunya—tapi dia nggak tahu pasti apa.“Lo masih ngeliatin itu?” tanya Mira, yang baru aja balik dari pantry kantor sambil membawa dua cangkir kopi.“Masih,” gumam Alya sambil menghela napas. “Gue ngerasa ada sesuatu yang besar di balik ini semua, tapi kayak ada yang sengaja nutupin jejaknya.”Mira duduk di kursi sebelahnya, menyerahkan secangkir kopi. “Lo yakin Aiden bakal percaya sama lo?”“Gue nggak peduli dia percaya atau nggak,” jawab Alya. “Yang penting, gue udah kasih dia data itu. Sekarang gue harus cari bukti lebih kuat.”Mira menyeruput kopinya sambil melipat kakinya di kursi. “Tapi lo sadar kan, lo lagi main di zona bahaya? Kalau bener ini soal sabotase, pelakunya nggak bakal tinggal diam.”Alya terdiam. Kata-kata Mira bikin dia makin sadar risiko yang dia ambil. Tapi di sisi lain, dia tahu dia nggak bisa

  • Jejak Langkah Sang CEO   Rahasia Yang Mulai Terkuak

    Alya duduk di depan laptopnya, menatap layar kosong. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja sambil memikirkan bagaimana memulai tulisan tentang wawancaranya dengan Aiden. Dia tahu, artikel ini harus beda—bukan cuma soal angka, kesuksesan, atau bisnis besar.“Ini harus nyentuh sisi manusianya,” gumam Alya.Pikirannya terhenti ketika notifikasi pesan muncul di ponselnya. Dari Mira.“Gue lagi di tempat biasa. Ngobrol yuk, ada info penting.”Alya langsung berkemas. Kalau Mira bilang info penting, pasti ada sesuatu yang menarik.Sementara itu, di kantor Zenith, Aiden berdiri di depan jendela ruangannya yang besar. Nathaniel duduk di sofa dengan ekspresi serius.“Ada perkembangan soal Victor?” tanya Aiden tanpa menoleh.Nathaniel mengangguk. “Andre dapet data tambahan. Ada jejak transaksi mencurigakan yang melibatkan orang dalam Zenith.”Aiden berbalik, ekspresinya dingin tapi penuh perhatian. “Siapa?”Nathaniel menyerahkan dokumen. “Clara Hadi. Tapi ini belum pasti. Bisa jadi dia cuma korban m

DMCA.com Protection Status