Pagi itu di kantor Zenith Corp, Aiden duduk di ruangannya yang luas, dikelilingi oleh tumpukan dokumen dan laporan. Pandangannya tajam, tapi ada sedikit kerutan di keningnya. Pikirannya masih dipenuhi dengan kejadian sabotase yang terus menggoyang perusahaannya.
Nathaniel masuk dengan langkah cepat tanpa mengetuk, seperti biasanya. “Gue dapet update dari Andre. Mereka nemuin server yang dipake buat ngelakuin sabotase itu. Lokasinya di kawasan milik Samuel.” Aiden menyandarkan diri di kursinya, ekspresinya datar tapi matanya penuh ketegangan. “Samuel lagi nyari gara-gara. Kalau dia pikir gue bakal duduk diam, dia salah besar.” “Lo mau ngelakuin apa?” tanya Nathaniel sambil melipat tangan di dadanya. Aiden diam sejenak, lalu menjawab dengan nada tegas. “Kita bikin dia nyesel pernah main-main sama Zenith. Tapi sebelum itu, gue butuh bukti konkret. Gue nggak mau bergerak tanpa strategi yang jelas.” Nathaniel mengangguk. “Gue bakal terusin penyelidikannya.” Di sisi lain kota, Alya duduk di kafe langganannya, membuka folder yang dia curi dari rumah Evelyn. Mira duduk di depannya, menyeruput kopi sambil menatap Alya dengan cemas. “Lo yakin nggak akan ada yang ngeh kalau dokumen ini ilang?” tanya Mira. Alya mengangkat bahu. “Kalau pun mereka sadar, mereka nggak bakal langsung tahu siapa yang ngambil. Gue udah tutup semua jejak gue.” “Dan lo bawa dokumen segede gitu ke tempat umum? Serius, Alya?” Mira memutar matanya. Alya hanya tersenyum kecil. “Relax, Mir. Gue cuma mau baca beberapa poin penting aja. Lagian, nggak ada yang bakal curiga sama dua cewek biasa di kafe kayak gini.” Saat Alya membuka salah satu dokumen, namanya langsung tercetak besar di halaman pertama: “Proyek 42 – Operasi Sabotase Zenith Corp.” “Gila, ini lebih besar dari yang gue kira,” gumam Alya. “Apa isinya?” Mira mendekat, penasaran. “Ada daftar nama orang-orang yang terlibat. Evelyn, Samuel, bahkan hacker yang mereka sewa. Tapi ada satu nama yang bikin gue kaget.” “Siapa?” “Randy Suhartono.” “Si hacker itu?” Mira bertanya dengan alis terangkat. Alya mengangguk. “Dia bukan cuma hacker biasa. Dia punya sejarah panjang sabotase perusahaan besar, dan sekarang dia ada di pihak Samuel.” Belum sempat mereka melanjutkan pembicaraan, ponsel Alya bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal: “Kita harus bicara. Gue tahu apa yang lo temuin.” Alya langsung menatap Mira dengan tatapan penuh waspada. “Mir, gue rasa kita udah ketahuan.” Sementara itu, Samuel duduk di ruangannya dengan Evelyn. Wajahnya terlihat santai, tapi ada sinar licik di matanya. “Aiden udah mulai curiga, tapi dia nggak punya bukti yang cukup buat nyentuh kita,” kata Samuel dengan nada percaya diri. Evelyn menyilangkan tangan. “Lo yakin nggak ada kebocoran? Gue rasa ada sesuatu yang aneh.” Samuel menatapnya dengan senyum dingin. “Kalaupun ada yang tahu, kita punya rencana cadangan. Gue udah siapin langkah berikutnya buat ngejatuhin Zenith.” Evelyn mengangguk, tapi ada keraguan di wajahnya. Dia tahu, semakin jauh mereka melangkah, semakin besar juga risikonya. Alya terus menatap layar ponselnya. Pesan itu nggak cuma bikin was-was, tapi juga bikin otaknya langsung muter, mikir siapa yang bisa ngirimin itu. Mira, yang duduk di seberangnya, udah mulai kelihatan gelisah. “Lo mau bales nggak?” Mira nanya sambil nyender ke kursi. “Belum. Gue mesti tahu dulu siapa ini. Gue nggak mau gegabah,” jawab Alya sambil nge-screenshot pesan itu. Mira mendengus pelan. “Alya, kita nggak main-main di sini. Kalau orang itu beneran tahu apa yang lo ambil, lo bisa dalam bahaya.” Alya mengangguk pelan. “Makanya gue nggak bisa sembarangan. Tapi satu hal yang gue tahu, dia pasti ada kaitannya sama dokumen ini.” Dia memejamkan mata sejenak, mencoba mencerna semuanya. Kalau sampai orang itu tahu dokumen ini, artinya dia ada di dalam lingkaran Samuel atau Evelyn. Tapi kenapa dia ngontak Alya? Di kantor Zenith, Aiden berjalan bolak-balik di ruang rapat kecil bersama Nathaniel, Andre, dan Sylvia Kusuma. Layar besar di depan mereka menampilkan peta lokasi server yang jadi sumber sabotase. “Jadi, kita yakin 100% ini milik Samuel?” tanya Aiden dengan nada rendah tapi tegas. “Bukan cuma yakin, Pak,” jawab Andre. “Kami udah cross-check data kepemilikan lahan. Nama Samuel Aditya tercantum sebagai pemilik.” Sylvia menambahkan, “Kami juga nemu aktivitas mencurigakan dari server itu yang ngarah ke beberapa sistem internal Zenith.” Nathaniel menyilangkan tangan, suaranya penuh kekhawatiran. “Masalahnya, kalau kita langsung menyerang tanpa bukti kuat, Samuel bisa balik nyerang kita dengan klaim pencemaran nama baik. Dia tahu cara main kotor.” Aiden menghentikan langkahnya. “Gue nggak peduli dia main kotor. Gue mau Zenith tetep berdiri, dan dia ngelihat itu dari bawah.” Sylvia menatap Aiden dengan ragu. “Pak, kalau saya boleh saran, kita manfaatkan situasi ini buat ngumpulin bukti lebih banyak. Kalau kita bisa ngungkap koneksi dia ke hacker itu—” “Hacker?” Aiden menyela. “Randy Suhartono,” jawab Sylvia. “Dia salah satu pelaku sabotase, dan dia sering terlibat dalam kasus seperti ini.” Mata Aiden menyipit. “Temukan dia. Gue mau dia ngomong siapa yang bayar dia.” Andre langsung berdiri. “Kami akan cari tahu keberadaannya.” Sore itu, Alya akhirnya memutuskan buat membalas pesan misterius tadi. Dia mengetik dengan hati-hati: “Siapa lo? Apa yang lo tahu?” Pesan itu terkirim, dan nggak sampai semenit kemudian, balasan masuk: “Temui gue di parkiran basement Mall Grand Avenue, jam 8 malam. Sendirian.” Mira, yang ngintip dari samping, langsung protes. “Sendirian? Gila, nggak usah nurut, Alya! Ini bisa aja jebakan!” “Tapi gue nggak punya pilihan, Mir. Kalau dia beneran punya info penting soal ini, gue nggak bisa ngelewatin kesempatan,” jawab Alya. Mira melipat tangan di dadanya. “Kalau lo tetep mau pergi, gue bakal ngikutin lo dari jauh. Gue nggak mau lo kenapa-kenapa.” Alya tersenyum tipis. “Oke, tapi lo janji jangan bikin kehebohan, ya?” Mira mendengus, tapi akhirnya setuju. Di sisi lain kota, Samuel menerima laporan dari salah satu anak buahnya. “Alya Mahendra udah dapet dokumen itu,” kata pria bersetelan hitam. Samuel menyeringai dingin. “Bagus. Biarkan dia mikir dia punya kendali. Kita lihat seberapa jauh dia berani melangkah.” Evelyn, yang berdiri di sudut ruangan, memandang Samuel dengan pandangan tajam. “Lo yakin? Kalau dia dapet cukup bukti, dia bisa ngerusak semua yang udah kita bangun.” Samuel mendekat ke Evelyn, suaranya rendah tapi menusuk. “Tenang aja. Gue udah siapin skenario buat ngontrol semuanya. Alya cuma pion kecil yang nggak ngerti dia lagi main di papan siapa.” Evelyn nggak menjawab, tapi sorot matanya menunjukkan kalau dia mulai ragu sama semua rencana Samuel. Jam menunjukkan pukul 8 malam. Alya turun dari taksi di parkiran basement Mall Grand Avenue. Suasana di sana gelap dan sepi. “Lo yakin ini ide bagus?” tanya Mira lewat panggilan telepon, ngumpet di pojokan. “Gue nggak yakin, Mir, tapi gue harus coba,” jawab Alya sambil terus berjalan. Tiba-tiba, seorang pria muncul dari balik mobil hitam di depannya. Wajahnya tersembunyi di bawah hoodie, tapi suaranya jelas. “Lo Alya Mahendra, kan?” tanyanya. Alya mengangguk, meski hatinya berdebar kencang. “Lo siapa?” Pria itu mendekat, menyerahkan sebuah amplop kecil. “Ini semua yang lo butuhin buat ngehancurin Samuel. Tapi lo harus hati-hati. Dia udah tahu lo nyari tahu soal dia.” Sebelum Alya sempat bertanya lebih jauh, pria itu berbalik dan menghilang ke dalam kegelapan. Aiden berdiri di depan kaca besar ruangannya, memandang lampu-lampu kota yang berkelip. Di tangannya, dia menggenggam ponsel, membaca pesan dari Nathaniel. “Kami dapet lokasi hacker itu. Siap ngerjain langkah selanjutnya.” Dengan suara pelan tapi penuh tekad, Aiden bergumam, “Samuel, permainan ini baru aja dimulai.” Alya buru-buru masuk ke mobil Mira setelah pertemuan singkat tadi. Wajahnya tegang, tangannya masih menggenggam erat amplop kecil yang baru ia dapatkan. “Gue nggak percaya lo beneran pergi sendirian,” Mira ngomel sambil menyalakan mesin mobil. “Itu orang siapa? Dia bilang apa?” “Dia nggak nyebut nama. Tapi dia kasih ini.” Alya menunjukkan amplop itu. Mira melirik sekilas. “Lo yakin ini nggak berisi sesuatu yang bisa ngejebak lo? Kayak jebakan tikus gitu.” Alya menarik napas dalam-dalam. “Nggak ada cara lain buat tahu, kan?” Dia membuka amplop itu dengan hati-hati. Di dalamnya ada beberapa lembar dokumen dan satu flash drive kecil. Alya memeriksa dokumen itu dengan cepat, lalu matanya membelalak. “Ini…” Alya menelan ludah. “Ini bukti transfer dana Samuel ke hacker itu. Ada tanda tangan digitalnya juga.” Mira langsung melirik tajam. “Bentar. Itu beneran? Bisa nggak sih ini cuma dokumen palsu?” Alya menggeleng. “Nggak mungkin. Formatnya terlalu rapi, dan ada jejak digital yang bisa diverifikasi. Kalau ini asli, Samuel bakalan kena masalah besar.” Mira mendesah panjang. “Masalah besar buat dia, atau lo? Kalau Samuel tahu lo punya ini, lo yang bakal jadi target berikutnya.” Alya tersenyum kecil, meskipun matanya penuh kekhawatiran. “Itu risikonya jadi jurnalis, Mir. Tapi gue nggak bakal mundur.” Di kantor Zenith, Nathaniel baru saja selesai menjelaskan hasil penyelidikan terbaru ke Aiden. Mereka menemukan lokasi persembunyian Randy Suhartono, si hacker. “Dia ada di gudang kosong di pinggiran kota. Kami udah kirim tim buat ngawasin,” kata Nathaniel. Aiden mengangguk sambil mengepalkan tangan. “Bagus. Gue mau dia ditangkap malam ini juga.” “Kalau kita buru-buru, dia bisa kabur,” Nathaniel memperingatkan. “Gue nggak peduli,” suara Aiden rendah, penuh amarah. “Orang ini udah ngerusak sistem gue, ngancurin nama baik Zenith. Gue nggak bakal kasih dia waktu lebih lama lagi.” Nathaniel terdiam sejenak. “Baik, gue akan koordinasi sama Andre buat gerak sekarang.” Sementara itu, Samuel sedang duduk santai di ruangannya dengan secangkir kopi. Di depannya, layar laptop menampilkan laporan aktivitas Zenith yang ia dapatkan dari Randy. Evelyn berdiri di sudut ruangan, wajahnya penuh keraguan. “Lo yakin semua ini nggak bakal berbalik nyerang kita?” Samuel tersenyum dingin. “Lo terlalu banyak mikir, Evelyn. Kita udah jauh lebih depan dari mereka.” “Tapi Alya…” Evelyn mendesah. “Dia keliatannya nggak gampang nyerah. Kalau dia tahu soal ini, kita bisa dalam masalah besar.” Samuel tertawa kecil. “Alya Mahendra itu cuma anak kecil yang main api. Dia nggak tahu seberapa panas permainan ini.” Namun jauh di dalam dirinya, Samuel tahu kalau ancaman Alya nggak bisa diremehkan. Alya duduk di meja kerja di apartemennya, memindahkan file dari flash drive tadi ke laptopnya. Mira masih di sofa, mengunyah keripik sambil terus mengawasi Alya. “Lo yakin banget sama ini?” tanya Mira lagi. Alya mengangguk tanpa menoleh. “Gue harus pastiin semuanya sebelum gue kirim ke editor gue. Kalau bukti ini kuat, Samuel nggak bakal punya tempat buat sembunyi.” Tiba-tiba, ada suara ketukan di pintu. Alya dan Mira langsung saling pandang. “Siapa lagi malam-malam gini?” Mira berbisik. Alya bangkit pelan-pelan, meraih kunci pintu. Dia mengintip lewat lubang kecil di pintu. “Siapa?” tanya Mira. “Randy Suhartono,” jawab Alya, matanya melebar.Alya menatap Randy Suhartono yang berdiri di depan pintunya. Lelaki itu tampak kusut, matanya waspada sambil terus mengawasi lorong apartemen.“Masuk,” Alya akhirnya berkata, meski dalam hati masih ragu. Mira langsung berdiri dari sofa, memasang wajah curiga.“Lo ngapain di sini?” Mira memotong sebelum Randy sempat bicara.Randy mengangkat tangannya, seolah memberi tanda kalau dia nggak punya niat buruk. “Gue datang buat nyerah.”“Ny… nyerah?” Alya mengerutkan dahi, nggak percaya dengan apa yang baru dia dengar.Randy mengangguk pelan. “Samuel nggak tahu kalau gue di sini. Gue udah muak jadi pionnya dia. Dia nggak cuma mau ngancurin Zenith, tapi juga orang-orang kayak lo.”“Ngapain kita percaya lo?” Mira mendesis. “Lo tuh hacker bayaran. Lo bisa aja pura-pura baik buat jebak kita.”“Gue punya bukti lebih banyak tentang Samuel,” Randy bersikeras. “Semua rencananya ada di laptop gue. Kalau lo nggak percaya, gue bisa kasih itu sekarang.”Alya memutar otaknya cepat. Di satu sisi, ini kese
Alya duduk di ruang tamu sambil menatap layar laptopnya. Matanya berkedip pelan, tapi pikirannya nggak berhenti muter-muter. Malam itu, setelah kejadian di gudang, dia nggak bisa tidur. Bukan cuma soal adrenalin yang masih tersisa, tapi juga karena satu nama yang terus ada di kepalanya: Aiden Ravindra.“Lo beneran bakal ngelaporin ini?” Mira muncul dari dapur sambil nenteng dua cangkir kopi.Alya mendesah, menerima cangkir dari Mira. “Gue masih belum yakin. Berita ini gede banget, Mir. Tapi, gue nggak mau asal nulis tanpa fakta lengkap.”“Dan lo yakin Aiden bakal kasih lo akses buat fakta lengkap itu?” Mira menaikkan alis.Alya terdiam sejenak, lalu menggeleng pelan. “Nggak. Dia tipe orang yang bakal ngelindungin rahasianya mati-matian.”Mira duduk di sebelah Alya. “Kalau gitu, kenapa lo nggak fokus ke hal lain dulu? Lo punya banyak bahan liputan, kan? Jangan lupa, ada Samuel Aditya di balik semua ini. Dia musuh nyata lo sekarang.”Alya menatap Mira, lalu menyesap kopinya. “Lo bener.
Pagi itu, Alya menatap layar laptopnya sambil menyeruput kopi yang mulai dingin. Ia bolak-balik membaca catatan dari Evelyn dan mencoba mencocokkannya dengan beberapa dokumen lain yang ia temukan. Semuanya terasa seperti teka-teki besar yang belum ada gambarnya.“Lo nggak tidur, ya?” suara Mira yang baru bangun terdengar dari dapur kecil.“Sebentar aja,” jawab Alya singkat.“Sebentar yang udah masuk hari ketiga?” Mira mendekati meja kerja Alya sambil membawa roti bakar. “Lo serius banget. Awas, jangan sampai burnout.”Alya mendesah. “Gue nggak bisa berhenti, Mir. Semuanya makin jelas. Gue cuma butuh satu bukti lagi buat tahu siapa dalang sabotase Zenith ini.”Mira duduk di samping Alya, mengunyah pelan. “Lo yakin ini bukan cuma permainan Evelyn? Dia tuh manipulatif banget.”“Itu yang bikin gue pusing,” jawab Alya sambil mengusap wajah. “Tapi fakta yang dia kasih cocok sama investigasi gue.”Mira mengangkat bahu. “Yaudah, kalau lo yakin, gas terus. Tapi jangan lupa istirahat.”Di sisi
Alya mengetuk meja kafe kecil itu sambil melirik pintu. Dia udah duduk di sana selama 15 menit, menunggu seseorang. Kopi di depannya udah setengah dingin, tapi pikirannya masih sibuk dengan pesan ancaman yang dia terima tadi malam.“Maaf, telat,” suara berat menginterupsi lamunannya. Nathaniel duduk di kursi di seberangnya dengan wajah serius.Alya melipat tangannya di meja. “Lo yakin nggak bakal ada yang curiga lo ketemu sama gue?”Nathaniel tersenyum tipis. “Gue bisa bikin ini keliatan kayak meeting kerja biasa. Lagian, gue COO. Siapa yang bakal nanya?”Alya mengangkat alis. “Oke, jadi kenapa lo minta ketemu?”Nathaniel mengeluarkan amplop cokelat dari tasnya. “Gue nemu sesuatu di laporan keuangan Zenith. Ini kayak… pola yang aneh, tapi gue nggak bisa pastiin ini sabotase atau cuma salah input data.”Alya mengambil amplop itu, membuka isinya, dan mulai membaca cepat. “Ini… transfer dana kecil, tapi sering. Ke akun yang beda-beda?”Nathaniel mengangguk. “Tepat. Kalau dilihat sekilas,
Pagi itu, Alya duduk di ruang redaksi dengan segelas kopi dingin yang sudah setengah habis. Matanya terpaku ke layar laptop, mengetik cepat sambil sesekali menghela napas panjang. Di sebelahnya, Dio menyandarkan tubuh di kursi dengan ekspresi santai tapi usil.“Artikel lo soal Zenith udah kelar?” tanya Dio sambil melirik layar laptop Alya.“Belum,” jawab Alya singkat tanpa mengalihkan pandangan.“Lo serius banget, kayak mau nulis tesis.” Dio terkekeh.“Dio, kalau nggak ada yang penting, tolong jangan ganggu,” balas Alya sambil mengetik lebih cepat.Reza Hartono, editor senior sekaligus mentor Alya, tiba-tiba muncul dari balik meja. “Alya, gue butuh artikel itu sebelum jam makan siang. Lo masih punya waktu dua jam.”“Iya, Pak Reza. Hampir selesai,” kata Alya sambil mengangguk cepat.“Bagus. Gue percaya lo bisa handle ini,” ujar Reza sambil menepuk bahunya.Setelah Reza pergi, Dio menyeringai kecil. “Jangan lupa kasih gue bocoran soal Aiden Ravindra. CEO misterius itu pasti punya sisi g
“Udah sampai, Mbak Alya.” Alya melongok dari jendela mobil taksi online. Kantor Zenith Corp menjulang tinggi di tengah hiruk pikuk Jakarta. Gedung itu terasa dingin, sama seperti reputasi CEO-nya, Aiden Ravindra. Alya menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang sedikit lebih cepat dari biasanya. “Semangat, Alya. Ingat, lo wartawan. Nggak ada yang nggak bisa lo hadapin,” gumamnya pelan sebelum membayar ongkos dan turun. Begitu masuk ke lobi, dia disambut suasana yang penuh profesionalisme. Semua serba rapi, elegan, tapi juga terasa… kaku. Seorang resepsionis perempuan menyapanya dengan senyum tipis. “Selamat siang. Ada yang bisa saya bantu?” Alya memberikan ID persnya. “Alya Mahendra, dari Insight Media. Saya ada janji wawancara sama Pak Aiden Ravindra jam dua.” Resepsionis itu mengangguk sambil memeriksa daftar tamu. “Silakan tunggu sebentar, Mbak. Saya panggilkan Mbak Tara untuk mengantar Anda.” Beberapa menit kemudian, seorang perempuan muda dengan blazer
Alya sibuk mengetik di laptopnya di meja kerja kecil di kantor redaksi. Ruangan itu nggak besar, tapi selalu ramai. Suara keyboard dari semua penjuru, telepon berdering, dan obrolan rekan kerja jadi soundtrack sehari-hari. “Masih soal Aiden Ravindra?” suara Dio, rekan sekaligus saingannya, tiba-tiba muncul dari belakang. Alya mendongak, agak terganggu. “Ya, kenapa?” Dio menyandarkan diri ke dinding sambil tersenyum kecil. “Lo sadar nggak, kebanyakan artikel lo tuh berat ke sisi kemanusiaan. Bagus sih, tapi kadang gue mikir, apa semua CEO itu punya sisi manusiawi?” Alya mendengus, lalu melipat tangannya di meja. “Lo skeptis banget. Justru itu tugas kita, kan? Bukan cuma ngegali fakta, tapi nyari cerita di balik fakta itu.” Dio mengangkat bahu. “Well, good luck sama si robot es itu. Gue dengar dia baru aja nge-‘terminate’ kontrak gede tadi pagi.” Alya langsung berhenti mengetik. “Serius? Kontrak yang mana?” “BrightFuture Holdings,” jawab Dio dengan nada santai. Alya memicingkan
Alya duduk di depan laptopnya, menatap layar kosong. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja sambil memikirkan bagaimana memulai tulisan tentang wawancaranya dengan Aiden. Dia tahu, artikel ini harus beda—bukan cuma soal angka, kesuksesan, atau bisnis besar.“Ini harus nyentuh sisi manusianya,” gumam Alya.Pikirannya terhenti ketika notifikasi pesan muncul di ponselnya. Dari Mira.“Gue lagi di tempat biasa. Ngobrol yuk, ada info penting.”Alya langsung berkemas. Kalau Mira bilang info penting, pasti ada sesuatu yang menarik.Sementara itu, di kantor Zenith, Aiden berdiri di depan jendela ruangannya yang besar. Nathaniel duduk di sofa dengan ekspresi serius.“Ada perkembangan soal Victor?” tanya Aiden tanpa menoleh.Nathaniel mengangguk. “Andre dapet data tambahan. Ada jejak transaksi mencurigakan yang melibatkan orang dalam Zenith.”Aiden berbalik, ekspresinya dingin tapi penuh perhatian. “Siapa?”Nathaniel menyerahkan dokumen. “Clara Hadi. Tapi ini belum pasti. Bisa jadi dia cuma korban m
Pagi itu, Alya duduk di ruang redaksi dengan segelas kopi dingin yang sudah setengah habis. Matanya terpaku ke layar laptop, mengetik cepat sambil sesekali menghela napas panjang. Di sebelahnya, Dio menyandarkan tubuh di kursi dengan ekspresi santai tapi usil.“Artikel lo soal Zenith udah kelar?” tanya Dio sambil melirik layar laptop Alya.“Belum,” jawab Alya singkat tanpa mengalihkan pandangan.“Lo serius banget, kayak mau nulis tesis.” Dio terkekeh.“Dio, kalau nggak ada yang penting, tolong jangan ganggu,” balas Alya sambil mengetik lebih cepat.Reza Hartono, editor senior sekaligus mentor Alya, tiba-tiba muncul dari balik meja. “Alya, gue butuh artikel itu sebelum jam makan siang. Lo masih punya waktu dua jam.”“Iya, Pak Reza. Hampir selesai,” kata Alya sambil mengangguk cepat.“Bagus. Gue percaya lo bisa handle ini,” ujar Reza sambil menepuk bahunya.Setelah Reza pergi, Dio menyeringai kecil. “Jangan lupa kasih gue bocoran soal Aiden Ravindra. CEO misterius itu pasti punya sisi g
Alya mengetuk meja kafe kecil itu sambil melirik pintu. Dia udah duduk di sana selama 15 menit, menunggu seseorang. Kopi di depannya udah setengah dingin, tapi pikirannya masih sibuk dengan pesan ancaman yang dia terima tadi malam.“Maaf, telat,” suara berat menginterupsi lamunannya. Nathaniel duduk di kursi di seberangnya dengan wajah serius.Alya melipat tangannya di meja. “Lo yakin nggak bakal ada yang curiga lo ketemu sama gue?”Nathaniel tersenyum tipis. “Gue bisa bikin ini keliatan kayak meeting kerja biasa. Lagian, gue COO. Siapa yang bakal nanya?”Alya mengangkat alis. “Oke, jadi kenapa lo minta ketemu?”Nathaniel mengeluarkan amplop cokelat dari tasnya. “Gue nemu sesuatu di laporan keuangan Zenith. Ini kayak… pola yang aneh, tapi gue nggak bisa pastiin ini sabotase atau cuma salah input data.”Alya mengambil amplop itu, membuka isinya, dan mulai membaca cepat. “Ini… transfer dana kecil, tapi sering. Ke akun yang beda-beda?”Nathaniel mengangguk. “Tepat. Kalau dilihat sekilas,
Pagi itu, Alya menatap layar laptopnya sambil menyeruput kopi yang mulai dingin. Ia bolak-balik membaca catatan dari Evelyn dan mencoba mencocokkannya dengan beberapa dokumen lain yang ia temukan. Semuanya terasa seperti teka-teki besar yang belum ada gambarnya.“Lo nggak tidur, ya?” suara Mira yang baru bangun terdengar dari dapur kecil.“Sebentar aja,” jawab Alya singkat.“Sebentar yang udah masuk hari ketiga?” Mira mendekati meja kerja Alya sambil membawa roti bakar. “Lo serius banget. Awas, jangan sampai burnout.”Alya mendesah. “Gue nggak bisa berhenti, Mir. Semuanya makin jelas. Gue cuma butuh satu bukti lagi buat tahu siapa dalang sabotase Zenith ini.”Mira duduk di samping Alya, mengunyah pelan. “Lo yakin ini bukan cuma permainan Evelyn? Dia tuh manipulatif banget.”“Itu yang bikin gue pusing,” jawab Alya sambil mengusap wajah. “Tapi fakta yang dia kasih cocok sama investigasi gue.”Mira mengangkat bahu. “Yaudah, kalau lo yakin, gas terus. Tapi jangan lupa istirahat.”Di sisi
Alya duduk di ruang tamu sambil menatap layar laptopnya. Matanya berkedip pelan, tapi pikirannya nggak berhenti muter-muter. Malam itu, setelah kejadian di gudang, dia nggak bisa tidur. Bukan cuma soal adrenalin yang masih tersisa, tapi juga karena satu nama yang terus ada di kepalanya: Aiden Ravindra.“Lo beneran bakal ngelaporin ini?” Mira muncul dari dapur sambil nenteng dua cangkir kopi.Alya mendesah, menerima cangkir dari Mira. “Gue masih belum yakin. Berita ini gede banget, Mir. Tapi, gue nggak mau asal nulis tanpa fakta lengkap.”“Dan lo yakin Aiden bakal kasih lo akses buat fakta lengkap itu?” Mira menaikkan alis.Alya terdiam sejenak, lalu menggeleng pelan. “Nggak. Dia tipe orang yang bakal ngelindungin rahasianya mati-matian.”Mira duduk di sebelah Alya. “Kalau gitu, kenapa lo nggak fokus ke hal lain dulu? Lo punya banyak bahan liputan, kan? Jangan lupa, ada Samuel Aditya di balik semua ini. Dia musuh nyata lo sekarang.”Alya menatap Mira, lalu menyesap kopinya. “Lo bener.
Alya menatap Randy Suhartono yang berdiri di depan pintunya. Lelaki itu tampak kusut, matanya waspada sambil terus mengawasi lorong apartemen.“Masuk,” Alya akhirnya berkata, meski dalam hati masih ragu. Mira langsung berdiri dari sofa, memasang wajah curiga.“Lo ngapain di sini?” Mira memotong sebelum Randy sempat bicara.Randy mengangkat tangannya, seolah memberi tanda kalau dia nggak punya niat buruk. “Gue datang buat nyerah.”“Ny… nyerah?” Alya mengerutkan dahi, nggak percaya dengan apa yang baru dia dengar.Randy mengangguk pelan. “Samuel nggak tahu kalau gue di sini. Gue udah muak jadi pionnya dia. Dia nggak cuma mau ngancurin Zenith, tapi juga orang-orang kayak lo.”“Ngapain kita percaya lo?” Mira mendesis. “Lo tuh hacker bayaran. Lo bisa aja pura-pura baik buat jebak kita.”“Gue punya bukti lebih banyak tentang Samuel,” Randy bersikeras. “Semua rencananya ada di laptop gue. Kalau lo nggak percaya, gue bisa kasih itu sekarang.”Alya memutar otaknya cepat. Di satu sisi, ini kese
Pagi itu di kantor Zenith Corp, Aiden duduk di ruangannya yang luas, dikelilingi oleh tumpukan dokumen dan laporan. Pandangannya tajam, tapi ada sedikit kerutan di keningnya. Pikirannya masih dipenuhi dengan kejadian sabotase yang terus menggoyang perusahaannya.Nathaniel masuk dengan langkah cepat tanpa mengetuk, seperti biasanya. “Gue dapet update dari Andre. Mereka nemuin server yang dipake buat ngelakuin sabotase itu. Lokasinya di kawasan milik Samuel.”Aiden menyandarkan diri di kursinya, ekspresinya datar tapi matanya penuh ketegangan. “Samuel lagi nyari gara-gara. Kalau dia pikir gue bakal duduk diam, dia salah besar.”“Lo mau ngelakuin apa?” tanya Nathaniel sambil melipat tangan di dadanya.Aiden diam sejenak, lalu menjawab dengan nada tegas. “Kita bikin dia nyesel pernah main-main sama Zenith. Tapi sebelum itu, gue butuh bukti konkret. Gue nggak mau bergerak tanpa strategi yang jelas.”Nathaniel mengangguk. “Gue bakal terusin penyelidikannya.”Di sisi lain kota, Alya duduk di
Pagi itu di ruang meeting Zenith Corp, suasana tegang. Aiden duduk di ujung meja, dikelilingi Nathaniel, Clara, Lucas, dan Jessica. Di tengah meja, sebuah layar besar menampilkan grafik penurunan performa saham Zenith dalam sepekan terakhir.“Ini nggak bisa dibiarkan,” suara Aiden terdengar tegas, dingin seperti biasa.Lucas mengangguk, membuka file di laptopnya. “Gue udah nge-trace beberapa aktivitas mencurigakan di sistem internal kita. Gue yakin, ini kerjaan orang dalam.”“Lo yakin, Lucas?” Jessica menyela, ragu. “Kalau ini kerjaan orang dalam, siapa yang berani? Semua karyawan udah di-screening ketat.”Nathaniel menghela napas. “Masalahnya bukan siapa yang berani, tapi siapa yang cukup pintar buat bikin semua ini kelihatan kayak kesalahan teknis biasa.”Clara, yang sejak tadi diam, akhirnya buka suara. “Kalau ini bener sabotase, lo mau langkah pertama apa, Aiden?”Aiden mengarahkan pandangannya ke semua orang di ruangan itu. “Cari siapa pelakunya. Hentikan mereka sebelum kerusakan
Alya menatap layar laptopnya sambil menggigit ujung pulpen. Data yang ia kumpulkan dari informannya, Vina, terasa seperti potongan puzzle yang belum lengkap. Sesuatu mengganggunya—tapi dia nggak tahu pasti apa.“Lo masih ngeliatin itu?” tanya Mira, yang baru aja balik dari pantry kantor sambil membawa dua cangkir kopi.“Masih,” gumam Alya sambil menghela napas. “Gue ngerasa ada sesuatu yang besar di balik ini semua, tapi kayak ada yang sengaja nutupin jejaknya.”Mira duduk di kursi sebelahnya, menyerahkan secangkir kopi. “Lo yakin Aiden bakal percaya sama lo?”“Gue nggak peduli dia percaya atau nggak,” jawab Alya. “Yang penting, gue udah kasih dia data itu. Sekarang gue harus cari bukti lebih kuat.”Mira menyeruput kopinya sambil melipat kakinya di kursi. “Tapi lo sadar kan, lo lagi main di zona bahaya? Kalau bener ini soal sabotase, pelakunya nggak bakal tinggal diam.”Alya terdiam. Kata-kata Mira bikin dia makin sadar risiko yang dia ambil. Tapi di sisi lain, dia tahu dia nggak bisa
Alya duduk di depan laptopnya, menatap layar kosong. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja sambil memikirkan bagaimana memulai tulisan tentang wawancaranya dengan Aiden. Dia tahu, artikel ini harus beda—bukan cuma soal angka, kesuksesan, atau bisnis besar.“Ini harus nyentuh sisi manusianya,” gumam Alya.Pikirannya terhenti ketika notifikasi pesan muncul di ponselnya. Dari Mira.“Gue lagi di tempat biasa. Ngobrol yuk, ada info penting.”Alya langsung berkemas. Kalau Mira bilang info penting, pasti ada sesuatu yang menarik.Sementara itu, di kantor Zenith, Aiden berdiri di depan jendela ruangannya yang besar. Nathaniel duduk di sofa dengan ekspresi serius.“Ada perkembangan soal Victor?” tanya Aiden tanpa menoleh.Nathaniel mengangguk. “Andre dapet data tambahan. Ada jejak transaksi mencurigakan yang melibatkan orang dalam Zenith.”Aiden berbalik, ekspresinya dingin tapi penuh perhatian. “Siapa?”Nathaniel menyerahkan dokumen. “Clara Hadi. Tapi ini belum pasti. Bisa jadi dia cuma korban m