Alya duduk di ruang tamu sambil menatap layar laptopnya. Matanya berkedip pelan, tapi pikirannya nggak berhenti muter-muter. Malam itu, setelah kejadian di gudang, dia nggak bisa tidur. Bukan cuma soal adrenalin yang masih tersisa, tapi juga karena satu nama yang terus ada di kepalanya: Aiden Ravindra.
“Lo beneran bakal ngelaporin ini?” Mira muncul dari dapur sambil nenteng dua cangkir kopi. Alya mendesah, menerima cangkir dari Mira. “Gue masih belum yakin. Berita ini gede banget, Mir. Tapi, gue nggak mau asal nulis tanpa fakta lengkap.” “Dan lo yakin Aiden bakal kasih lo akses buat fakta lengkap itu?” Mira menaikkan alis. Alya terdiam sejenak, lalu menggeleng pelan. “Nggak. Dia tipe orang yang bakal ngelindungin rahasianya mati-matian.” Mira duduk di sebelah Alya. “Kalau gitu, kenapa lo nggak fokus ke hal lain dulu? Lo punya banyak bahan liputan, kan? Jangan lupa, ada Samuel Aditya di balik semua ini. Dia musuh nyata lo sekarang.” Alya menatap Mira, lalu menyesap kopinya. “Lo bener. Tapi gue juga nggak bisa lepasin Aiden dari cerita ini. Dia… terlalu misterius.” Mira tertawa kecil. “Lo lagi ngomongin kerjaan atau cowok? Jangan-jangan lo mulai suka sama dia.” Alya langsung menoleh tajam. “Mira! Please, deh. Fokus, ya. Ini soal investigasi!” “Ya udah, ya udah.” Mira mengangkat tangan tanda menyerah. Tapi senyumnya nggak hilang. Di tempat lain, Aiden berdiri di depan jendela kaca besar di kantornya. Jakarta malam itu penuh lampu, tapi pikirannya lebih gelap dari pemandangan di depannya. Nathaniel masuk tanpa mengetuk, membawa beberapa dokumen. “Bos, ini laporan dari tim keamanan. Randy udah kasih semua data yang dia punya soal sabotase itu,” kata Nathaniel sambil meletakkan map di meja. Aiden nggak berbalik, tapi dia mendengar dengan seksama. “Dan?” “Samuel jelas ada di belakang ini. Tapi dia nggak main sendiri. Ada koneksi ke Evelyn Kurniawan.” Nama itu bikin Aiden akhirnya berbalik. Matanya menyipit. “Evelyn?” Nathaniel mengangguk. “Kelihatannya dia masih punya dendam sama Zenith. Kita harus hati-hati, bos. Mereka mainnya rapi.” Aiden terdiam, mencoba mencerna informasi itu. Evelyn bukan nama asing buat dia. Mantan partner bisnis yang pernah hampir menghancurkan Zenith dari dalam. “Terus pantau mereka,” akhirnya Aiden berkata. “Dan pastikan nggak ada celah lagi di sistem kita.” Nathaniel mengangguk. “Oke. Tapi, bos, ada satu hal lagi.” Aiden menatapnya. “Apa?” “Alya Mahendra. Gue rasa dia udah terlalu dalam ke masalah ini. Kalau kita nggak atur langkah, dia bisa jadi target berikutnya.” Aiden mendengus pelan. “Dia keras kepala. Nggak mungkin dia bakal berhenti.” “Dan lo bakal biarin dia jalan sendirian?” Pertanyaan itu bikin Aiden terdiam. Dia tahu Alya bukan tipe orang yang mudah dipengaruhi. Tapi dia juga tahu satu hal: dunia ini jauh lebih berbahaya daripada yang Alya kira. Keesokan harinya, Alya masuk ke kantor dengan mata sedikit sayu. Begitu dia duduk di mejanya, Dio langsung muncul dari balik kubikel, senyum lebar di wajahnya. “Lo kelihatan capek. Lembur investigasi, ya?” Dio bertanya dengan nada sok tahu. “Lo mau apa, Dio?” Alya balas dengan nada malas. Dio terkekeh. “Gue cuma mau ngingetin. Kalau lo nggak cepet, berita lo bakal gue ambil alih. Samuel Aditya itu big deal, kan?” Alya mendelik. “Berita gue, urusan gue. Jangan coba-coba, Dio.” Dio mengangkat tangan pura-pura takut. “Santai, gue cuma bercanda.” Tapi senyumnya masih ada, bikin Alya makin jengkel. Sebelum Dio bisa ngomong lebih jauh, Mira datang sambil membawa dokumen. “Alya, lo harus lihat ini.” Alya mengambil dokumen itu dan membacanya cepat. “Apa ini?” “Info soal Evelyn Kurniawan. Gue dapet dari kenalan gue di Zenith. Dia terlibat dalam sabotase kemarin.” Alya mendongak, matanya melebar. “Lo serius? Evelyn?” Mira mengangguk. “Dan dia punya hubungan langsung sama Samuel Aditya.” Alya terdiam sejenak. Otaknya langsung menyusun rencana. Evelyn Kurniawan jelas bukan sekadar nama di latar belakang. Dia kunci buat ngebongkar semuanya. “Mira, lo bisa bantu gue cari kontak dia?” Mira tersenyum kecil. “Udah gue siapin. Lo tinggal tentuin kapan mau ketemu.” Alya menarik napas panjang. Dia tahu ini langkah besar. Tapi kalau dia mau maju, dia harus ambil risiko. “Besok. Gue mau ketemu dia besok.” Keesokan harinya, Alya berdiri di depan sebuah restoran kecil di pusat kota. Tangannya menggenggam ponsel, mencoba menenangkan degup jantungnya. Janji ketemu dengan Evelyn Kurniawan bukan hal kecil. Dia nggak tahu apakah Evelyn akan benar-benar datang atau justru mempersiapkan jebakan. “Lo yakin ini aman?” suara Mira terdengar di telepon. Alya menghela napas. “Gue harus coba, Mir. Kalau nggak, gue nggak bakal dapet jawaban.” “Oke, tapi gue tetep standby, ya. Gue nggak mau lo kenapa-kenapa.” “Iya, santai aja,” balas Alya sebelum memutus sambungan. Beberapa menit kemudian, seorang wanita masuk ke restoran. Dengan blazer hitam rapi, rambut panjang yang disisir ke belakang, dan aura percaya diri yang kuat, Evelyn Kurniawan akhirnya muncul. Dia melangkah menuju meja Alya dengan senyuman kecil yang sulit ditebak. “Jurnalis muda yang ambisius,” sapa Evelyn sambil duduk. “Kamu pasti Alya Mahendra.” “Dan Anda Evelyn Kurniawan,” jawab Alya tanpa basa-basi. Evelyn menyilangkan kakinya, menatap Alya dengan tajam. “Jadi, apa yang kamu mau?” Alya mengambil napas dalam-dalam. “Saya tahu Anda punya hubungan dengan sabotase di Zenith. Saya butuh informasi tentang itu.” Evelyn tertawa kecil, tapi dingin. “Kamu nggak main-main, ya? Tapi sayang, saya bukan tipe orang yang gampang buka mulut.” “Kalau gitu, kenapa Anda mau ketemu saya?” Alya balas menantang. Evelyn mendekat sedikit, menatap Alya dengan mata yang penuh intrik. “Karena saya penasaran. Apa sih yang bikin kamu berani main-main di medan yang penuh risiko ini? Kamu sadar kan, kalau kamu terlalu jauh masuk, nyawa kamu bisa jadi taruhan?” Alya menelan ludah, tapi tetap berusaha kelihatan tenang. “Saya nggak takut. Saya cuma mau kebenaran.” Evelyn tersenyum tipis. “Kebenaran, ya? Kamu tahu nggak, Alya, kebenaran itu punya banyak sisi. Kamu harus hati-hati milih mana yang mau kamu percaya.” “Kalau begitu, bantu saya ngerti sisi Anda,” desak Alya. Evelyn terdiam sejenak, lalu mengeluarkan sebuah amplop dari tasnya. Dia meletakkannya di atas meja. “Ini sedikit petunjuk. Tapi hati-hati, Alya. Kalau kamu terus maju, kamu bakal nemuin hal-hal yang nggak kamu siapin.” Alya mengambil amplop itu dengan tangan gemetar. “Kenapa Anda kasih ini ke saya?” Evelyn berdiri, membenarkan blazer-nya. “Karena kadang, kebenaran butuh orang bodoh yang cukup nekat buat mencarinya.” Setelah itu, Evelyn pergi tanpa menoleh lagi. Sore itu, Alya kembali ke apartemennya dan langsung membuka amplop dari Evelyn. Di dalamnya, ada beberapa foto dan catatan yang bikin dia langsung merinding. Foto pertama menunjukkan Samuel Aditya sedang bertemu dengan seseorang di tempat yang nggak dia kenal. Tapi yang bikin Alya terpaku adalah sosok di foto kedua: Aiden Ravindra. “Ini nggak mungkin,” gumam Alya. Di sebelah foto itu, ada catatan yang ditulis tangan: “Jangan percaya siapa pun, termasuk dia.” Alya menjatuhkan foto itu di meja, otaknya kacau. Evelyn sengaja ngasih ini buat bikin dia ragu. Tapi kenapa Aiden ada di tengah semua ini? Apa hubungannya dengan Samuel? Di sisi lain kota, Aiden duduk di kantornya dengan wajah tegang. Nathaniel baru saja selesai menjelaskan temuan terbaru mereka. “Samuel udah mulai gerak lagi. Evelyn kasih bocoran informasi ke pihak luar,” kata Nathaniel. Aiden mengepalkan tangan. “Siapa pihak luar itu?” Nathaniel ragu sejenak sebelum menjawab. “Alya Mahendra.” Mata Aiden menyipit. “Dia lagi. Kenapa dia selalu ada di tengah masalah ini?” “Karena dia nggak tahu kapan harus berhenti,” Nathaniel menjawab sambil menghela napas. “Tapi kalau kita biarin, dia bisa jadi ancaman.” Aiden terdiam, menatap ke arah jendela. Alya adalah campuran antara masalah dan solusi, dan itu bikin dia bingung harus ngapain. “Awasi dia,” akhirnya Aiden berkata. “Tapi jangan sampai dia terluka. Gue nggak mau ada korban lagi di perang ini.” Nathaniel mengangguk pelan. “Siap, bos.” Malam itu, Alya nggak bisa tidur. Foto-foto di meja terus menghantui pikirannya. Kalau Aiden memang terlibat, apa itu artinya dia ada di sisi yang salah? Atau ini cuma permainan Samuel buat menghancurkan kepercayaan Alya? Satu hal yang Alya tahu pasti: dia harus konfrontasi Aiden. Alya menatap layar laptopnya, mencari informasi apa pun yang bisa menghubungkan Aiden dengan Samuel. Tapi otaknya terus kembali ke catatan yang Evelyn kasih. “Jangan percaya siapa pun, termasuk dia.” “Ini bikin pusing,” gumam Alya, menutup laptop dan menyandarkan kepala ke kursi. Mira, yang lagi duduk di sofa sambil nyemil keripik, menatap Alya dengan alis terangkat. “Lo kenapa? Dari tadi bolak-balik, kayak setrikaan.” Alya mendesah panjang. “Gue nemu sesuatu tentang Aiden.” “Terus kenapa?” “Gue… nggak tahu dia ada di sisi yang mana, Mir.” Mira duduk tegak. “Tunggu, lo pikir Aiden terlibat sama sabotase Zenith?” “Itu yang Evelyn kasih tahu gue,” jawab Alya pelan. “Dan lo percaya sama Evelyn? Serius, Al? Dia tuh udah jelas main di wilayah abu-abu,” protes Mira sambil menunjuk amplop di meja. “Justru itu, Mir. Evelyn pasti punya alasan ngasih ini ke gue. Tapi gue nggak ngerti apa motifnya.” Mira terdiam sesaat sebelum bicara lagi. “Kalau gue jadi lo, gue bakal konfrontasi langsung ke Aiden.” Alya menatap Mira. “Itu rencana gue. Tapi kalau dia benar-benar ada di balik semua ini, gimana?” “Kalau dia beneran terlibat, lo harus siap ninggalin semua perasaan lo ke dia.” Alya membeku. Perasaan? Dia nggak mau ngakuin, tapi Mira mungkin ada benarnya. Di sisi lain, Aiden duduk di ruang kerjanya di Zenith Corp. Malam sudah larut, tapi pikirannya terus berkecamuk. Nathaniel baru saja mengirim laporan bahwa Alya bergerak lebih dalam. “Alya semakin dekat ke inti masalah,” kata Nathaniel melalui telepon. Aiden mengusap wajahnya. “Lo yakin dia nggak tahu terlalu banyak?” “Belum. Tapi kalau dia terus maju, dia bakal nemu sesuatu yang lebih besar.” Aiden menghela napas. “Gue nggak mau dia terjebak lebih jauh. Ini bukan urusannya.” Nathaniel mendengus. “Lo terlalu peduli sama dia, Den. Kalau dia tahu siapa lo sebenarnya, dia mungkin nggak bakal pernah mau deket sama lo lagi.” “Gue nggak butuh opini lo, Nat,” jawab Aiden dingin. “Awasi dia. Tapi jangan ganggu.” Nathaniel hanya menggumamkan persetujuan sebelum menutup telepon. Aiden memandangi jendela kantornya, tangannya mengepal. Kalau Alya tahu semua rahasia yang dia simpan, apa dia bakal tetap percaya padanya? Esok harinya, Alya memberanikan diri untuk mendatangi kantor Aiden. Dia tahu itu keputusan nekat, tapi dia nggak bisa terus-terusan main tebak-tebakan. Saat masuk ke lobi Zenith Corp, Tara yang sedang berjalan ke arah lift menghentikan langkahnya. “Alya? Lo ngapain di sini?” Alya tersenyum canggung. “Gue mau ketemu Aiden. Dia ada di ruangannya?” Tara menatap Alya dengan curiga. “Ada. Tapi lo yakin? Biasanya kalau dia lagi sibuk kayak gini, nggak ada yang berani ganggu.” “Aku cuma butuh lima menit,” desak Alya. Akhirnya, Tara mengalah dan mengantar Alya ke lantai atas. Ketika pintu ruang kerja Aiden terbuka, pria itu mengangkat wajahnya dari dokumen yang sedang dia baca. “Alya?” Aiden terlihat kaget. “Ada apa? Ini bukan waktu yang tepat.” Alya melangkah masuk tanpa basa-basi. “Aku perlu bicara.” “Alya, ini––” “Sendiri,” potong Alya sambil melirik Nathaniel, yang berdiri di sudut ruangan. Nathaniel melirik Aiden, lalu mengangguk dan pergi tanpa berkata apa-apa. Begitu pintu tertutup, Alya langsung menatap tajam ke arah Aiden. “Kamu tahu apa yang aku temuin?” tanyanya tanpa basa-basi. Aiden menatap Alya dengan ekspresi datar. “Apa maksud kamu?” Alya mengeluarkan foto dari Evelyn dan meletakkannya di meja Aiden. “Kenapa kamu ada di foto ini? Apa kamu kerja sama sama Samuel?” Aiden memandangi foto itu, ekspresinya berubah dingin. “Siapa yang ngasih ini ke kamu?” “Itu nggak penting,” jawab Alya tegas. “Aku mau tahu apa ini artinya kamu terlibat dalam sabotase Zenith.” Aiden berdiri dari kursinya, mendekati Alya. “Kamu nggak tahu apa-apa, Alya. Jangan coba-coba masuk ke permainan yang nggak kamu pahami.” “Kalau begitu, kasih tahu aku apa yang sebenarnya terjadi!” bentak Alya. Ruangan itu tiba-tiba sunyi. Aiden menatap Alya, matanya dipenuhi rasa frustrasi. “Aku nggak bisa,” katanya pelan. “Kenapa? Karena kamu takut aku bakal tahu siapa kamu sebenarnya?” Alya balas menantang. “Karena aku nggak mau kamu terluka!” suara Aiden meninggi. Alya terpaku. Dia nggak pernah melihat Aiden seemosional ini. Tapi sebelum dia sempat berkata apa-apa, Aiden melangkah mundur, kembali ke sisi meja. “Kamu harus berhenti, Alya,” ujar Aiden dengan suara lebih tenang tapi dingin. “Kalau kamu terus maju, kamu bakal hancur.” “Tapi aku nggak bisa berhenti,” jawab Alya, suaranya nyaris berbisik. Aiden menatapnya lama sebelum akhirnya berkata, “Kalau gitu, jangan salahkan aku kalau sesuatu terjadi.” Alya merasa dadanya sesak, tapi dia menahan air matanya. Dia mengumpulkan foto itu kembali, lalu berbalik pergi tanpa berkata apa-apa lagi. Saat pintu tertutup di belakangnya, Aiden menjatuhkan dirinya ke kursi, menatap kosong ke arah meja. “Kenapa harus kamu, Alya?” gumamnya pelan.Pagi itu, Alya menatap layar laptopnya sambil menyeruput kopi yang mulai dingin. Ia bolak-balik membaca catatan dari Evelyn dan mencoba mencocokkannya dengan beberapa dokumen lain yang ia temukan. Semuanya terasa seperti teka-teki besar yang belum ada gambarnya.“Lo nggak tidur, ya?” suara Mira yang baru bangun terdengar dari dapur kecil.“Sebentar aja,” jawab Alya singkat.“Sebentar yang udah masuk hari ketiga?” Mira mendekati meja kerja Alya sambil membawa roti bakar. “Lo serius banget. Awas, jangan sampai burnout.”Alya mendesah. “Gue nggak bisa berhenti, Mir. Semuanya makin jelas. Gue cuma butuh satu bukti lagi buat tahu siapa dalang sabotase Zenith ini.”Mira duduk di samping Alya, mengunyah pelan. “Lo yakin ini bukan cuma permainan Evelyn? Dia tuh manipulatif banget.”“Itu yang bikin gue pusing,” jawab Alya sambil mengusap wajah. “Tapi fakta yang dia kasih cocok sama investigasi gue.”Mira mengangkat bahu. “Yaudah, kalau lo yakin, gas terus. Tapi jangan lupa istirahat.”Di sisi
Alya mengetuk meja kafe kecil itu sambil melirik pintu. Dia udah duduk di sana selama 15 menit, menunggu seseorang. Kopi di depannya udah setengah dingin, tapi pikirannya masih sibuk dengan pesan ancaman yang dia terima tadi malam.“Maaf, telat,” suara berat menginterupsi lamunannya. Nathaniel duduk di kursi di seberangnya dengan wajah serius.Alya melipat tangannya di meja. “Lo yakin nggak bakal ada yang curiga lo ketemu sama gue?”Nathaniel tersenyum tipis. “Gue bisa bikin ini keliatan kayak meeting kerja biasa. Lagian, gue COO. Siapa yang bakal nanya?”Alya mengangkat alis. “Oke, jadi kenapa lo minta ketemu?”Nathaniel mengeluarkan amplop cokelat dari tasnya. “Gue nemu sesuatu di laporan keuangan Zenith. Ini kayak… pola yang aneh, tapi gue nggak bisa pastiin ini sabotase atau cuma salah input data.”Alya mengambil amplop itu, membuka isinya, dan mulai membaca cepat. “Ini… transfer dana kecil, tapi sering. Ke akun yang beda-beda?”Nathaniel mengangguk. “Tepat. Kalau dilihat sekilas,
Pagi itu, Alya duduk di ruang redaksi dengan segelas kopi dingin yang sudah setengah habis. Matanya terpaku ke layar laptop, mengetik cepat sambil sesekali menghela napas panjang. Di sebelahnya, Dio menyandarkan tubuh di kursi dengan ekspresi santai tapi usil.“Artikel lo soal Zenith udah kelar?” tanya Dio sambil melirik layar laptop Alya.“Belum,” jawab Alya singkat tanpa mengalihkan pandangan.“Lo serius banget, kayak mau nulis tesis.” Dio terkekeh.“Dio, kalau nggak ada yang penting, tolong jangan ganggu,” balas Alya sambil mengetik lebih cepat.Reza Hartono, editor senior sekaligus mentor Alya, tiba-tiba muncul dari balik meja. “Alya, gue butuh artikel itu sebelum jam makan siang. Lo masih punya waktu dua jam.”“Iya, Pak Reza. Hampir selesai,” kata Alya sambil mengangguk cepat.“Bagus. Gue percaya lo bisa handle ini,” ujar Reza sambil menepuk bahunya.Setelah Reza pergi, Dio menyeringai kecil. “Jangan lupa kasih gue bocoran soal Aiden Ravindra. CEO misterius itu pasti punya sisi g
“Udah sampai, Mbak Alya.” Alya melongok dari jendela mobil taksi online. Kantor Zenith Corp menjulang tinggi di tengah hiruk pikuk Jakarta. Gedung itu terasa dingin, sama seperti reputasi CEO-nya, Aiden Ravindra. Alya menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang sedikit lebih cepat dari biasanya. “Semangat, Alya. Ingat, lo wartawan. Nggak ada yang nggak bisa lo hadapin,” gumamnya pelan sebelum membayar ongkos dan turun. Begitu masuk ke lobi, dia disambut suasana yang penuh profesionalisme. Semua serba rapi, elegan, tapi juga terasa… kaku. Seorang resepsionis perempuan menyapanya dengan senyum tipis. “Selamat siang. Ada yang bisa saya bantu?” Alya memberikan ID persnya. “Alya Mahendra, dari Insight Media. Saya ada janji wawancara sama Pak Aiden Ravindra jam dua.” Resepsionis itu mengangguk sambil memeriksa daftar tamu. “Silakan tunggu sebentar, Mbak. Saya panggilkan Mbak Tara untuk mengantar Anda.” Beberapa menit kemudian, seorang perempuan muda dengan blazer
Alya sibuk mengetik di laptopnya di meja kerja kecil di kantor redaksi. Ruangan itu nggak besar, tapi selalu ramai. Suara keyboard dari semua penjuru, telepon berdering, dan obrolan rekan kerja jadi soundtrack sehari-hari. “Masih soal Aiden Ravindra?” suara Dio, rekan sekaligus saingannya, tiba-tiba muncul dari belakang. Alya mendongak, agak terganggu. “Ya, kenapa?” Dio menyandarkan diri ke dinding sambil tersenyum kecil. “Lo sadar nggak, kebanyakan artikel lo tuh berat ke sisi kemanusiaan. Bagus sih, tapi kadang gue mikir, apa semua CEO itu punya sisi manusiawi?” Alya mendengus, lalu melipat tangannya di meja. “Lo skeptis banget. Justru itu tugas kita, kan? Bukan cuma ngegali fakta, tapi nyari cerita di balik fakta itu.” Dio mengangkat bahu. “Well, good luck sama si robot es itu. Gue dengar dia baru aja nge-‘terminate’ kontrak gede tadi pagi.” Alya langsung berhenti mengetik. “Serius? Kontrak yang mana?” “BrightFuture Holdings,” jawab Dio dengan nada santai. Alya memicingkan
Alya duduk di depan laptopnya, menatap layar kosong. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja sambil memikirkan bagaimana memulai tulisan tentang wawancaranya dengan Aiden. Dia tahu, artikel ini harus beda—bukan cuma soal angka, kesuksesan, atau bisnis besar.“Ini harus nyentuh sisi manusianya,” gumam Alya.Pikirannya terhenti ketika notifikasi pesan muncul di ponselnya. Dari Mira.“Gue lagi di tempat biasa. Ngobrol yuk, ada info penting.”Alya langsung berkemas. Kalau Mira bilang info penting, pasti ada sesuatu yang menarik.Sementara itu, di kantor Zenith, Aiden berdiri di depan jendela ruangannya yang besar. Nathaniel duduk di sofa dengan ekspresi serius.“Ada perkembangan soal Victor?” tanya Aiden tanpa menoleh.Nathaniel mengangguk. “Andre dapet data tambahan. Ada jejak transaksi mencurigakan yang melibatkan orang dalam Zenith.”Aiden berbalik, ekspresinya dingin tapi penuh perhatian. “Siapa?”Nathaniel menyerahkan dokumen. “Clara Hadi. Tapi ini belum pasti. Bisa jadi dia cuma korban m
Alya menatap layar laptopnya sambil menggigit ujung pulpen. Data yang ia kumpulkan dari informannya, Vina, terasa seperti potongan puzzle yang belum lengkap. Sesuatu mengganggunya—tapi dia nggak tahu pasti apa.“Lo masih ngeliatin itu?” tanya Mira, yang baru aja balik dari pantry kantor sambil membawa dua cangkir kopi.“Masih,” gumam Alya sambil menghela napas. “Gue ngerasa ada sesuatu yang besar di balik ini semua, tapi kayak ada yang sengaja nutupin jejaknya.”Mira duduk di kursi sebelahnya, menyerahkan secangkir kopi. “Lo yakin Aiden bakal percaya sama lo?”“Gue nggak peduli dia percaya atau nggak,” jawab Alya. “Yang penting, gue udah kasih dia data itu. Sekarang gue harus cari bukti lebih kuat.”Mira menyeruput kopinya sambil melipat kakinya di kursi. “Tapi lo sadar kan, lo lagi main di zona bahaya? Kalau bener ini soal sabotase, pelakunya nggak bakal tinggal diam.”Alya terdiam. Kata-kata Mira bikin dia makin sadar risiko yang dia ambil. Tapi di sisi lain, dia tahu dia nggak bisa
Pagi itu di ruang meeting Zenith Corp, suasana tegang. Aiden duduk di ujung meja, dikelilingi Nathaniel, Clara, Lucas, dan Jessica. Di tengah meja, sebuah layar besar menampilkan grafik penurunan performa saham Zenith dalam sepekan terakhir.“Ini nggak bisa dibiarkan,” suara Aiden terdengar tegas, dingin seperti biasa.Lucas mengangguk, membuka file di laptopnya. “Gue udah nge-trace beberapa aktivitas mencurigakan di sistem internal kita. Gue yakin, ini kerjaan orang dalam.”“Lo yakin, Lucas?” Jessica menyela, ragu. “Kalau ini kerjaan orang dalam, siapa yang berani? Semua karyawan udah di-screening ketat.”Nathaniel menghela napas. “Masalahnya bukan siapa yang berani, tapi siapa yang cukup pintar buat bikin semua ini kelihatan kayak kesalahan teknis biasa.”Clara, yang sejak tadi diam, akhirnya buka suara. “Kalau ini bener sabotase, lo mau langkah pertama apa, Aiden?”Aiden mengarahkan pandangannya ke semua orang di ruangan itu. “Cari siapa pelakunya. Hentikan mereka sebelum kerusakan
Pagi itu, Alya duduk di ruang redaksi dengan segelas kopi dingin yang sudah setengah habis. Matanya terpaku ke layar laptop, mengetik cepat sambil sesekali menghela napas panjang. Di sebelahnya, Dio menyandarkan tubuh di kursi dengan ekspresi santai tapi usil.“Artikel lo soal Zenith udah kelar?” tanya Dio sambil melirik layar laptop Alya.“Belum,” jawab Alya singkat tanpa mengalihkan pandangan.“Lo serius banget, kayak mau nulis tesis.” Dio terkekeh.“Dio, kalau nggak ada yang penting, tolong jangan ganggu,” balas Alya sambil mengetik lebih cepat.Reza Hartono, editor senior sekaligus mentor Alya, tiba-tiba muncul dari balik meja. “Alya, gue butuh artikel itu sebelum jam makan siang. Lo masih punya waktu dua jam.”“Iya, Pak Reza. Hampir selesai,” kata Alya sambil mengangguk cepat.“Bagus. Gue percaya lo bisa handle ini,” ujar Reza sambil menepuk bahunya.Setelah Reza pergi, Dio menyeringai kecil. “Jangan lupa kasih gue bocoran soal Aiden Ravindra. CEO misterius itu pasti punya sisi g
Alya mengetuk meja kafe kecil itu sambil melirik pintu. Dia udah duduk di sana selama 15 menit, menunggu seseorang. Kopi di depannya udah setengah dingin, tapi pikirannya masih sibuk dengan pesan ancaman yang dia terima tadi malam.“Maaf, telat,” suara berat menginterupsi lamunannya. Nathaniel duduk di kursi di seberangnya dengan wajah serius.Alya melipat tangannya di meja. “Lo yakin nggak bakal ada yang curiga lo ketemu sama gue?”Nathaniel tersenyum tipis. “Gue bisa bikin ini keliatan kayak meeting kerja biasa. Lagian, gue COO. Siapa yang bakal nanya?”Alya mengangkat alis. “Oke, jadi kenapa lo minta ketemu?”Nathaniel mengeluarkan amplop cokelat dari tasnya. “Gue nemu sesuatu di laporan keuangan Zenith. Ini kayak… pola yang aneh, tapi gue nggak bisa pastiin ini sabotase atau cuma salah input data.”Alya mengambil amplop itu, membuka isinya, dan mulai membaca cepat. “Ini… transfer dana kecil, tapi sering. Ke akun yang beda-beda?”Nathaniel mengangguk. “Tepat. Kalau dilihat sekilas,
Pagi itu, Alya menatap layar laptopnya sambil menyeruput kopi yang mulai dingin. Ia bolak-balik membaca catatan dari Evelyn dan mencoba mencocokkannya dengan beberapa dokumen lain yang ia temukan. Semuanya terasa seperti teka-teki besar yang belum ada gambarnya.“Lo nggak tidur, ya?” suara Mira yang baru bangun terdengar dari dapur kecil.“Sebentar aja,” jawab Alya singkat.“Sebentar yang udah masuk hari ketiga?” Mira mendekati meja kerja Alya sambil membawa roti bakar. “Lo serius banget. Awas, jangan sampai burnout.”Alya mendesah. “Gue nggak bisa berhenti, Mir. Semuanya makin jelas. Gue cuma butuh satu bukti lagi buat tahu siapa dalang sabotase Zenith ini.”Mira duduk di samping Alya, mengunyah pelan. “Lo yakin ini bukan cuma permainan Evelyn? Dia tuh manipulatif banget.”“Itu yang bikin gue pusing,” jawab Alya sambil mengusap wajah. “Tapi fakta yang dia kasih cocok sama investigasi gue.”Mira mengangkat bahu. “Yaudah, kalau lo yakin, gas terus. Tapi jangan lupa istirahat.”Di sisi
Alya duduk di ruang tamu sambil menatap layar laptopnya. Matanya berkedip pelan, tapi pikirannya nggak berhenti muter-muter. Malam itu, setelah kejadian di gudang, dia nggak bisa tidur. Bukan cuma soal adrenalin yang masih tersisa, tapi juga karena satu nama yang terus ada di kepalanya: Aiden Ravindra.“Lo beneran bakal ngelaporin ini?” Mira muncul dari dapur sambil nenteng dua cangkir kopi.Alya mendesah, menerima cangkir dari Mira. “Gue masih belum yakin. Berita ini gede banget, Mir. Tapi, gue nggak mau asal nulis tanpa fakta lengkap.”“Dan lo yakin Aiden bakal kasih lo akses buat fakta lengkap itu?” Mira menaikkan alis.Alya terdiam sejenak, lalu menggeleng pelan. “Nggak. Dia tipe orang yang bakal ngelindungin rahasianya mati-matian.”Mira duduk di sebelah Alya. “Kalau gitu, kenapa lo nggak fokus ke hal lain dulu? Lo punya banyak bahan liputan, kan? Jangan lupa, ada Samuel Aditya di balik semua ini. Dia musuh nyata lo sekarang.”Alya menatap Mira, lalu menyesap kopinya. “Lo bener.
Alya menatap Randy Suhartono yang berdiri di depan pintunya. Lelaki itu tampak kusut, matanya waspada sambil terus mengawasi lorong apartemen.“Masuk,” Alya akhirnya berkata, meski dalam hati masih ragu. Mira langsung berdiri dari sofa, memasang wajah curiga.“Lo ngapain di sini?” Mira memotong sebelum Randy sempat bicara.Randy mengangkat tangannya, seolah memberi tanda kalau dia nggak punya niat buruk. “Gue datang buat nyerah.”“Ny… nyerah?” Alya mengerutkan dahi, nggak percaya dengan apa yang baru dia dengar.Randy mengangguk pelan. “Samuel nggak tahu kalau gue di sini. Gue udah muak jadi pionnya dia. Dia nggak cuma mau ngancurin Zenith, tapi juga orang-orang kayak lo.”“Ngapain kita percaya lo?” Mira mendesis. “Lo tuh hacker bayaran. Lo bisa aja pura-pura baik buat jebak kita.”“Gue punya bukti lebih banyak tentang Samuel,” Randy bersikeras. “Semua rencananya ada di laptop gue. Kalau lo nggak percaya, gue bisa kasih itu sekarang.”Alya memutar otaknya cepat. Di satu sisi, ini kese
Pagi itu di kantor Zenith Corp, Aiden duduk di ruangannya yang luas, dikelilingi oleh tumpukan dokumen dan laporan. Pandangannya tajam, tapi ada sedikit kerutan di keningnya. Pikirannya masih dipenuhi dengan kejadian sabotase yang terus menggoyang perusahaannya.Nathaniel masuk dengan langkah cepat tanpa mengetuk, seperti biasanya. “Gue dapet update dari Andre. Mereka nemuin server yang dipake buat ngelakuin sabotase itu. Lokasinya di kawasan milik Samuel.”Aiden menyandarkan diri di kursinya, ekspresinya datar tapi matanya penuh ketegangan. “Samuel lagi nyari gara-gara. Kalau dia pikir gue bakal duduk diam, dia salah besar.”“Lo mau ngelakuin apa?” tanya Nathaniel sambil melipat tangan di dadanya.Aiden diam sejenak, lalu menjawab dengan nada tegas. “Kita bikin dia nyesel pernah main-main sama Zenith. Tapi sebelum itu, gue butuh bukti konkret. Gue nggak mau bergerak tanpa strategi yang jelas.”Nathaniel mengangguk. “Gue bakal terusin penyelidikannya.”Di sisi lain kota, Alya duduk di
Pagi itu di ruang meeting Zenith Corp, suasana tegang. Aiden duduk di ujung meja, dikelilingi Nathaniel, Clara, Lucas, dan Jessica. Di tengah meja, sebuah layar besar menampilkan grafik penurunan performa saham Zenith dalam sepekan terakhir.“Ini nggak bisa dibiarkan,” suara Aiden terdengar tegas, dingin seperti biasa.Lucas mengangguk, membuka file di laptopnya. “Gue udah nge-trace beberapa aktivitas mencurigakan di sistem internal kita. Gue yakin, ini kerjaan orang dalam.”“Lo yakin, Lucas?” Jessica menyela, ragu. “Kalau ini kerjaan orang dalam, siapa yang berani? Semua karyawan udah di-screening ketat.”Nathaniel menghela napas. “Masalahnya bukan siapa yang berani, tapi siapa yang cukup pintar buat bikin semua ini kelihatan kayak kesalahan teknis biasa.”Clara, yang sejak tadi diam, akhirnya buka suara. “Kalau ini bener sabotase, lo mau langkah pertama apa, Aiden?”Aiden mengarahkan pandangannya ke semua orang di ruangan itu. “Cari siapa pelakunya. Hentikan mereka sebelum kerusakan
Alya menatap layar laptopnya sambil menggigit ujung pulpen. Data yang ia kumpulkan dari informannya, Vina, terasa seperti potongan puzzle yang belum lengkap. Sesuatu mengganggunya—tapi dia nggak tahu pasti apa.“Lo masih ngeliatin itu?” tanya Mira, yang baru aja balik dari pantry kantor sambil membawa dua cangkir kopi.“Masih,” gumam Alya sambil menghela napas. “Gue ngerasa ada sesuatu yang besar di balik ini semua, tapi kayak ada yang sengaja nutupin jejaknya.”Mira duduk di kursi sebelahnya, menyerahkan secangkir kopi. “Lo yakin Aiden bakal percaya sama lo?”“Gue nggak peduli dia percaya atau nggak,” jawab Alya. “Yang penting, gue udah kasih dia data itu. Sekarang gue harus cari bukti lebih kuat.”Mira menyeruput kopinya sambil melipat kakinya di kursi. “Tapi lo sadar kan, lo lagi main di zona bahaya? Kalau bener ini soal sabotase, pelakunya nggak bakal tinggal diam.”Alya terdiam. Kata-kata Mira bikin dia makin sadar risiko yang dia ambil. Tapi di sisi lain, dia tahu dia nggak bisa
Alya duduk di depan laptopnya, menatap layar kosong. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja sambil memikirkan bagaimana memulai tulisan tentang wawancaranya dengan Aiden. Dia tahu, artikel ini harus beda—bukan cuma soal angka, kesuksesan, atau bisnis besar.“Ini harus nyentuh sisi manusianya,” gumam Alya.Pikirannya terhenti ketika notifikasi pesan muncul di ponselnya. Dari Mira.“Gue lagi di tempat biasa. Ngobrol yuk, ada info penting.”Alya langsung berkemas. Kalau Mira bilang info penting, pasti ada sesuatu yang menarik.Sementara itu, di kantor Zenith, Aiden berdiri di depan jendela ruangannya yang besar. Nathaniel duduk di sofa dengan ekspresi serius.“Ada perkembangan soal Victor?” tanya Aiden tanpa menoleh.Nathaniel mengangguk. “Andre dapet data tambahan. Ada jejak transaksi mencurigakan yang melibatkan orang dalam Zenith.”Aiden berbalik, ekspresinya dingin tapi penuh perhatian. “Siapa?”Nathaniel menyerahkan dokumen. “Clara Hadi. Tapi ini belum pasti. Bisa jadi dia cuma korban m