Pagi itu, Alya menatap layar laptopnya sambil menyeruput kopi yang mulai dingin. Ia bolak-balik membaca catatan dari Evelyn dan mencoba mencocokkannya dengan beberapa dokumen lain yang ia temukan. Semuanya terasa seperti teka-teki besar yang belum ada gambarnya.âLo nggak tidur, ya?â suara Mira yang baru bangun terdengar dari dapur kecil.âSebentar aja,â jawab Alya singkat.âSebentar yang udah masuk hari ketiga?â Mira mendekati meja kerja Alya sambil membawa roti bakar. âLo serius banget. Awas, jangan sampai burnout.âAlya mendesah. âGue nggak bisa berhenti, Mir. Semuanya makin jelas. Gue cuma butuh satu bukti lagi buat tahu siapa dalang sabotase Zenith ini.âMira duduk di samping Alya, mengunyah pelan. âLo yakin ini bukan cuma permainan Evelyn? Dia tuh manipulatif banget.ââItu yang bikin gue pusing,â jawab Alya sambil mengusap wajah. âTapi fakta yang dia kasih cocok sama investigasi gue.âMira mengangkat bahu. âYaudah, kalau lo yakin, gas terus. Tapi jangan lupa istirahat.âDi sisi
Alya mengetuk meja kafe kecil itu sambil melirik pintu. Dia udah duduk di sana selama 15 menit, menunggu seseorang. Kopi di depannya udah setengah dingin, tapi pikirannya masih sibuk dengan pesan ancaman yang dia terima tadi malam.âMaaf, telat,â suara berat menginterupsi lamunannya. Nathaniel duduk di kursi di seberangnya dengan wajah serius.Alya melipat tangannya di meja. âLo yakin nggak bakal ada yang curiga lo ketemu sama gue?âNathaniel tersenyum tipis. âGue bisa bikin ini keliatan kayak meeting kerja biasa. Lagian, gue COO. Siapa yang bakal nanya?âAlya mengangkat alis. âOke, jadi kenapa lo minta ketemu?âNathaniel mengeluarkan amplop cokelat dari tasnya. âGue nemu sesuatu di laporan keuangan Zenith. Ini kayak⊠pola yang aneh, tapi gue nggak bisa pastiin ini sabotase atau cuma salah input data.âAlya mengambil amplop itu, membuka isinya, dan mulai membaca cepat. âIni⊠transfer dana kecil, tapi sering. Ke akun yang beda-beda?âNathaniel mengangguk. âTepat. Kalau dilihat sekilas,
Pagi itu, Alya duduk di ruang redaksi dengan segelas kopi dingin yang sudah setengah habis. Matanya terpaku ke layar laptop, mengetik cepat sambil sesekali menghela napas panjang. Di sebelahnya, Dio menyandarkan tubuh di kursi dengan ekspresi santai tapi usil.âArtikel lo soal Zenith udah kelar?â tanya Dio sambil melirik layar laptop Alya.âBelum,â jawab Alya singkat tanpa mengalihkan pandangan.âLo serius banget, kayak mau nulis tesis.â Dio terkekeh.âDio, kalau nggak ada yang penting, tolong jangan ganggu,â balas Alya sambil mengetik lebih cepat.Reza Hartono, editor senior sekaligus mentor Alya, tiba-tiba muncul dari balik meja. âAlya, gue butuh artikel itu sebelum jam makan siang. Lo masih punya waktu dua jam.ââIya, Pak Reza. Hampir selesai,â kata Alya sambil mengangguk cepat.âBagus. Gue percaya lo bisa handle ini,â ujar Reza sambil menepuk bahunya.Setelah Reza pergi, Dio menyeringai kecil. âJangan lupa kasih gue bocoran soal Aiden Ravindra. CEO misterius itu pasti punya sisi g
Alya duduk di sofa ruang tamunya, memandangi layar ponselnya dengan pikiran kacau. Telepon Aiden tadi sore terus terngiang-ngiang di kepalanya. Kalimat singkat itu terasa seperti peringatan, atau mungkin⊠tawaran bantuan?âSamuel Aditya,â gumam Alya pelan.Mira yang lagi sibuk ngotak-atik kameranya di meja makan langsung mendongak. âLo ngomong sama diri sendiri lagi, Al?âAlya menatap Mira, ragu sejenak sebelum akhirnya buka suara. âTadi Aiden telepon gue.âMata Mira langsung melebar. âAiden Ravindra? CEO ganteng super jutek itu? Ngapain dia telepon lo?ââDia bilang, kita harus bicara soal Samuel.âMira mendekat, duduk di sebelah Alya dengan ekspresi penasaran. âTerus, lo mau?âAlya menghela napas panjang. âGue nggak tahu, Mir. Gue ngerasa ini bisa jadi kesempatan buat dapat info penting. Tapi di sisi lain, dia nggak bisa sepenuhnya dipercaya.ââYa iyalah,â Mira menyahut cepat. âDia CEO gede, Al. Udah pasti dia punya agenda sendiri.ââTapi kalau dia beneran punya bukti buat ngejatuhin
âUdah sampai, Mbak Alya.â Alya melongok dari jendela mobil taksi online. Kantor Zenith Corp menjulang tinggi di tengah hiruk pikuk Jakarta. Gedung itu terasa dingin, sama seperti reputasi CEO-nya, Aiden Ravindra. Alya menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang sedikit lebih cepat dari biasanya. âSemangat, Alya. Ingat, lo wartawan. Nggak ada yang nggak bisa lo hadapin,â gumamnya pelan sebelum membayar ongkos dan turun. Begitu masuk ke lobi, dia disambut suasana yang penuh profesionalisme. Semua serba rapi, elegan, tapi juga terasa⊠kaku. Seorang resepsionis perempuan menyapanya dengan senyum tipis. âSelamat siang. Ada yang bisa saya bantu?â Alya memberikan ID persnya. âAlya Mahendra, dari Insight Media. Saya ada janji wawancara sama Pak Aiden Ravindra jam dua.â Resepsionis itu mengangguk sambil memeriksa daftar tamu. âSilakan tunggu sebentar, Mbak. Saya panggilkan Mbak Tara untuk mengantar Anda.â Beberapa menit kemudian, seorang perempuan muda dengan blazer
Alya sibuk mengetik di laptopnya di meja kerja kecil di kantor redaksi. Ruangan itu nggak besar, tapi selalu ramai. Suara keyboard dari semua penjuru, telepon berdering, dan obrolan rekan kerja jadi soundtrack sehari-hari. âMasih soal Aiden Ravindra?â suara Dio, rekan sekaligus saingannya, tiba-tiba muncul dari belakang. Alya mendongak, agak terganggu. âYa, kenapa?â Dio menyandarkan diri ke dinding sambil tersenyum kecil. âLo sadar nggak, kebanyakan artikel lo tuh berat ke sisi kemanusiaan. Bagus sih, tapi kadang gue mikir, apa semua CEO itu punya sisi manusiawi?â Alya mendengus, lalu melipat tangannya di meja. âLo skeptis banget. Justru itu tugas kita, kan? Bukan cuma ngegali fakta, tapi nyari cerita di balik fakta itu.â Dio mengangkat bahu. âWell, good luck sama si robot es itu. Gue dengar dia baru aja nge-âterminateâ kontrak gede tadi pagi.â Alya langsung berhenti mengetik. âSerius? Kontrak yang mana?â âBrightFuture Holdings,â jawab Dio dengan nada santai. Alya memicingkan
Alya duduk di depan laptopnya, menatap layar kosong. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja sambil memikirkan bagaimana memulai tulisan tentang wawancaranya dengan Aiden. Dia tahu, artikel ini harus bedaâbukan cuma soal angka, kesuksesan, atau bisnis besar.âIni harus nyentuh sisi manusianya,â gumam Alya.Pikirannya terhenti ketika notifikasi pesan muncul di ponselnya. Dari Mira.âGue lagi di tempat biasa. Ngobrol yuk, ada info penting.âAlya langsung berkemas. Kalau Mira bilang info penting, pasti ada sesuatu yang menarik.Sementara itu, di kantor Zenith, Aiden berdiri di depan jendela ruangannya yang besar. Nathaniel duduk di sofa dengan ekspresi serius.âAda perkembangan soal Victor?â tanya Aiden tanpa menoleh.Nathaniel mengangguk. âAndre dapet data tambahan. Ada jejak transaksi mencurigakan yang melibatkan orang dalam Zenith.âAiden berbalik, ekspresinya dingin tapi penuh perhatian. âSiapa?âNathaniel menyerahkan dokumen. âClara Hadi. Tapi ini belum pasti. Bisa jadi dia cuma korban m
Alya menatap layar laptopnya sambil menggigit ujung pulpen. Data yang ia kumpulkan dari informannya, Vina, terasa seperti potongan puzzle yang belum lengkap. Sesuatu mengganggunyaâtapi dia nggak tahu pasti apa.âLo masih ngeliatin itu?â tanya Mira, yang baru aja balik dari pantry kantor sambil membawa dua cangkir kopi.âMasih,â gumam Alya sambil menghela napas. âGue ngerasa ada sesuatu yang besar di balik ini semua, tapi kayak ada yang sengaja nutupin jejaknya.âMira duduk di kursi sebelahnya, menyerahkan secangkir kopi. âLo yakin Aiden bakal percaya sama lo?ââGue nggak peduli dia percaya atau nggak,â jawab Alya. âYang penting, gue udah kasih dia data itu. Sekarang gue harus cari bukti lebih kuat.âMira menyeruput kopinya sambil melipat kakinya di kursi. âTapi lo sadar kan, lo lagi main di zona bahaya? Kalau bener ini soal sabotase, pelakunya nggak bakal tinggal diam.âAlya terdiam. Kata-kata Mira bikin dia makin sadar risiko yang dia ambil. Tapi di sisi lain, dia tahu dia nggak bisa
Alya duduk di sofa ruang tamunya, memandangi layar ponselnya dengan pikiran kacau. Telepon Aiden tadi sore terus terngiang-ngiang di kepalanya. Kalimat singkat itu terasa seperti peringatan, atau mungkin⊠tawaran bantuan?âSamuel Aditya,â gumam Alya pelan.Mira yang lagi sibuk ngotak-atik kameranya di meja makan langsung mendongak. âLo ngomong sama diri sendiri lagi, Al?âAlya menatap Mira, ragu sejenak sebelum akhirnya buka suara. âTadi Aiden telepon gue.âMata Mira langsung melebar. âAiden Ravindra? CEO ganteng super jutek itu? Ngapain dia telepon lo?ââDia bilang, kita harus bicara soal Samuel.âMira mendekat, duduk di sebelah Alya dengan ekspresi penasaran. âTerus, lo mau?âAlya menghela napas panjang. âGue nggak tahu, Mir. Gue ngerasa ini bisa jadi kesempatan buat dapat info penting. Tapi di sisi lain, dia nggak bisa sepenuhnya dipercaya.ââYa iyalah,â Mira menyahut cepat. âDia CEO gede, Al. Udah pasti dia punya agenda sendiri.ââTapi kalau dia beneran punya bukti buat ngejatuhin
Pagi itu, Alya duduk di ruang redaksi dengan segelas kopi dingin yang sudah setengah habis. Matanya terpaku ke layar laptop, mengetik cepat sambil sesekali menghela napas panjang. Di sebelahnya, Dio menyandarkan tubuh di kursi dengan ekspresi santai tapi usil.âArtikel lo soal Zenith udah kelar?â tanya Dio sambil melirik layar laptop Alya.âBelum,â jawab Alya singkat tanpa mengalihkan pandangan.âLo serius banget, kayak mau nulis tesis.â Dio terkekeh.âDio, kalau nggak ada yang penting, tolong jangan ganggu,â balas Alya sambil mengetik lebih cepat.Reza Hartono, editor senior sekaligus mentor Alya, tiba-tiba muncul dari balik meja. âAlya, gue butuh artikel itu sebelum jam makan siang. Lo masih punya waktu dua jam.ââIya, Pak Reza. Hampir selesai,â kata Alya sambil mengangguk cepat.âBagus. Gue percaya lo bisa handle ini,â ujar Reza sambil menepuk bahunya.Setelah Reza pergi, Dio menyeringai kecil. âJangan lupa kasih gue bocoran soal Aiden Ravindra. CEO misterius itu pasti punya sisi g
Alya mengetuk meja kafe kecil itu sambil melirik pintu. Dia udah duduk di sana selama 15 menit, menunggu seseorang. Kopi di depannya udah setengah dingin, tapi pikirannya masih sibuk dengan pesan ancaman yang dia terima tadi malam.âMaaf, telat,â suara berat menginterupsi lamunannya. Nathaniel duduk di kursi di seberangnya dengan wajah serius.Alya melipat tangannya di meja. âLo yakin nggak bakal ada yang curiga lo ketemu sama gue?âNathaniel tersenyum tipis. âGue bisa bikin ini keliatan kayak meeting kerja biasa. Lagian, gue COO. Siapa yang bakal nanya?âAlya mengangkat alis. âOke, jadi kenapa lo minta ketemu?âNathaniel mengeluarkan amplop cokelat dari tasnya. âGue nemu sesuatu di laporan keuangan Zenith. Ini kayak⊠pola yang aneh, tapi gue nggak bisa pastiin ini sabotase atau cuma salah input data.âAlya mengambil amplop itu, membuka isinya, dan mulai membaca cepat. âIni⊠transfer dana kecil, tapi sering. Ke akun yang beda-beda?âNathaniel mengangguk. âTepat. Kalau dilihat sekilas,
Pagi itu, Alya menatap layar laptopnya sambil menyeruput kopi yang mulai dingin. Ia bolak-balik membaca catatan dari Evelyn dan mencoba mencocokkannya dengan beberapa dokumen lain yang ia temukan. Semuanya terasa seperti teka-teki besar yang belum ada gambarnya.âLo nggak tidur, ya?â suara Mira yang baru bangun terdengar dari dapur kecil.âSebentar aja,â jawab Alya singkat.âSebentar yang udah masuk hari ketiga?â Mira mendekati meja kerja Alya sambil membawa roti bakar. âLo serius banget. Awas, jangan sampai burnout.âAlya mendesah. âGue nggak bisa berhenti, Mir. Semuanya makin jelas. Gue cuma butuh satu bukti lagi buat tahu siapa dalang sabotase Zenith ini.âMira duduk di samping Alya, mengunyah pelan. âLo yakin ini bukan cuma permainan Evelyn? Dia tuh manipulatif banget.ââItu yang bikin gue pusing,â jawab Alya sambil mengusap wajah. âTapi fakta yang dia kasih cocok sama investigasi gue.âMira mengangkat bahu. âYaudah, kalau lo yakin, gas terus. Tapi jangan lupa istirahat.âDi sisi
Alya duduk di ruang tamu sambil menatap layar laptopnya. Matanya berkedip pelan, tapi pikirannya nggak berhenti muter-muter. Malam itu, setelah kejadian di gudang, dia nggak bisa tidur. Bukan cuma soal adrenalin yang masih tersisa, tapi juga karena satu nama yang terus ada di kepalanya: Aiden Ravindra.âLo beneran bakal ngelaporin ini?â Mira muncul dari dapur sambil nenteng dua cangkir kopi.Alya mendesah, menerima cangkir dari Mira. âGue masih belum yakin. Berita ini gede banget, Mir. Tapi, gue nggak mau asal nulis tanpa fakta lengkap.ââDan lo yakin Aiden bakal kasih lo akses buat fakta lengkap itu?â Mira menaikkan alis.Alya terdiam sejenak, lalu menggeleng pelan. âNggak. Dia tipe orang yang bakal ngelindungin rahasianya mati-matian.âMira duduk di sebelah Alya. âKalau gitu, kenapa lo nggak fokus ke hal lain dulu? Lo punya banyak bahan liputan, kan? Jangan lupa, ada Samuel Aditya di balik semua ini. Dia musuh nyata lo sekarang.âAlya menatap Mira, lalu menyesap kopinya. âLo bener.
Alya menatap Randy Suhartono yang berdiri di depan pintunya. Lelaki itu tampak kusut, matanya waspada sambil terus mengawasi lorong apartemen.âMasuk,â Alya akhirnya berkata, meski dalam hati masih ragu. Mira langsung berdiri dari sofa, memasang wajah curiga.âLo ngapain di sini?â Mira memotong sebelum Randy sempat bicara.Randy mengangkat tangannya, seolah memberi tanda kalau dia nggak punya niat buruk. âGue datang buat nyerah.ââNy⊠nyerah?â Alya mengerutkan dahi, nggak percaya dengan apa yang baru dia dengar.Randy mengangguk pelan. âSamuel nggak tahu kalau gue di sini. Gue udah muak jadi pionnya dia. Dia nggak cuma mau ngancurin Zenith, tapi juga orang-orang kayak lo.ââNgapain kita percaya lo?â Mira mendesis. âLo tuh hacker bayaran. Lo bisa aja pura-pura baik buat jebak kita.ââGue punya bukti lebih banyak tentang Samuel,â Randy bersikeras. âSemua rencananya ada di laptop gue. Kalau lo nggak percaya, gue bisa kasih itu sekarang.âAlya memutar otaknya cepat. Di satu sisi, ini kese
Pagi itu di kantor Zenith Corp, Aiden duduk di ruangannya yang luas, dikelilingi oleh tumpukan dokumen dan laporan. Pandangannya tajam, tapi ada sedikit kerutan di keningnya. Pikirannya masih dipenuhi dengan kejadian sabotase yang terus menggoyang perusahaannya.Nathaniel masuk dengan langkah cepat tanpa mengetuk, seperti biasanya. âGue dapet update dari Andre. Mereka nemuin server yang dipake buat ngelakuin sabotase itu. Lokasinya di kawasan milik Samuel.âAiden menyandarkan diri di kursinya, ekspresinya datar tapi matanya penuh ketegangan. âSamuel lagi nyari gara-gara. Kalau dia pikir gue bakal duduk diam, dia salah besar.ââLo mau ngelakuin apa?â tanya Nathaniel sambil melipat tangan di dadanya.Aiden diam sejenak, lalu menjawab dengan nada tegas. âKita bikin dia nyesel pernah main-main sama Zenith. Tapi sebelum itu, gue butuh bukti konkret. Gue nggak mau bergerak tanpa strategi yang jelas.âNathaniel mengangguk. âGue bakal terusin penyelidikannya.âDi sisi lain kota, Alya duduk di
Pagi itu di ruang meeting Zenith Corp, suasana tegang. Aiden duduk di ujung meja, dikelilingi Nathaniel, Clara, Lucas, dan Jessica. Di tengah meja, sebuah layar besar menampilkan grafik penurunan performa saham Zenith dalam sepekan terakhir.âIni nggak bisa dibiarkan,â suara Aiden terdengar tegas, dingin seperti biasa.Lucas mengangguk, membuka file di laptopnya. âGue udah nge-trace beberapa aktivitas mencurigakan di sistem internal kita. Gue yakin, ini kerjaan orang dalam.ââLo yakin, Lucas?â Jessica menyela, ragu. âKalau ini kerjaan orang dalam, siapa yang berani? Semua karyawan udah di-screening ketat.âNathaniel menghela napas. âMasalahnya bukan siapa yang berani, tapi siapa yang cukup pintar buat bikin semua ini kelihatan kayak kesalahan teknis biasa.âClara, yang sejak tadi diam, akhirnya buka suara. âKalau ini bener sabotase, lo mau langkah pertama apa, Aiden?âAiden mengarahkan pandangannya ke semua orang di ruangan itu. âCari siapa pelakunya. Hentikan mereka sebelum kerusakan
Alya menatap layar laptopnya sambil menggigit ujung pulpen. Data yang ia kumpulkan dari informannya, Vina, terasa seperti potongan puzzle yang belum lengkap. Sesuatu mengganggunyaâtapi dia nggak tahu pasti apa.âLo masih ngeliatin itu?â tanya Mira, yang baru aja balik dari pantry kantor sambil membawa dua cangkir kopi.âMasih,â gumam Alya sambil menghela napas. âGue ngerasa ada sesuatu yang besar di balik ini semua, tapi kayak ada yang sengaja nutupin jejaknya.âMira duduk di kursi sebelahnya, menyerahkan secangkir kopi. âLo yakin Aiden bakal percaya sama lo?ââGue nggak peduli dia percaya atau nggak,â jawab Alya. âYang penting, gue udah kasih dia data itu. Sekarang gue harus cari bukti lebih kuat.âMira menyeruput kopinya sambil melipat kakinya di kursi. âTapi lo sadar kan, lo lagi main di zona bahaya? Kalau bener ini soal sabotase, pelakunya nggak bakal tinggal diam.âAlya terdiam. Kata-kata Mira bikin dia makin sadar risiko yang dia ambil. Tapi di sisi lain, dia tahu dia nggak bisa